Lahirnya Eksistensialisme: Sebuah Kritik Atas Hegelian

yang mengawang dan tidak bisa menjawab terhadap masalah-masalah individu secara nyata. Roh absolut dari Hegel ternyata bersifat abstrak dan kabur. Untuk itu perlu adanya pencarian kebenara baru yang bisa dapat menyelami pengalaman- pengalaman eksistensial individu. Para kelompok yang menawarkan konsep tentang perlunya memahami pengalaman-pengalaman manusia konkrit inilah yang dinamakan sebagai tokoh Eksistensialisme. Eksistensialisme lebih menekankan pada kenyataan manusia konkrit, eksistensialisme tidak bisa menerima bahwa realitas ini adalah suatu yang totalitas. Eksistensialisme memutuskan perhatian pada fenomena kenyataan langsung, yakni kenyataan yang singular dan partikular. Eksistensialisme melihat manusia sebagai individu yang berdiri berhadapan dengan realitas dalam sebuah relasi yang penuh ketegangan, kemungkinan dan tragedi. Eksistensialisme tidak pertama-tama melihat manusia sebagai makhluk yang berpikir secara rasional, melainkan makhluk yang bertindak dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya.. Para eksistensialisme memandang, bahwa inilah jawaban bagi kegelisahan yang selama ini dipikirkan, sekaligus sebagai kritik atas “keangkuhan” konsep filsafat Hegel. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa konsep filsafat Hegel merupakan batu pijakan terhadap filsafatnya dari usaha untuk mencapai suatu kebenaran. Tentunya mereka para eksistensialis perlu sadar diri bahwa kacang tidak melupakan kulitnya. Dalam perkembangannya filsfat eksistensialisme di Jerman mampu menggulingkan dominasi Idealisme Hegel. Di antara tokoh-tokoh eksistensialisme adalah: Søren Kierkegaard, Martin Buber, Karl Jaspers 1883-1969, Martin Heidegger 1889-1976, Gabriel Marcel. 4 Pada pertengahan abad ke-20, perkembangan filsafat eksistensialime seperti jamur di musim penghujan. Tidak hanya itu, setelah perang dunia ke-II, di Prancis juga lahir seorang tokoh eksistensialis seperti; Jean-Paul Sartre 1905- 1980, Simone de Beauvoir, Maurice Merleau-Ponty, and Albert Camus yang pemikiran eksistensialnya mampu memengaruhi negerinya. 5 Eksistensialisme bukanlah sebuah aliran filsafat dengan doktrin tertentu dan pengikutkelompok yang bisa diidentifikasi dengan jelas, sebagaimana misalnya idealisme. Labelisasi eksistensialis itu tidak muncul karena mereka memiliki doktrin yang sama mengenai manusia, melainkan karena obyek pemikiran mereka, yakni manusia dengan segala problematikanya. Pemikiran eksistensialis Sartre yang ateis, jelas berbeda dari Kierkegaard yang justru sangat teis, dan pemikiran kedua filsuf ini juga berbeda misalnya dari pemikiran Heidegger dan Jaspers yang mengaku bukan teis dan juga bukan ateis, melainkan mereka memiliki semacam “iman filosofis” yang bersifat mistis dan estetis, ada eksistensialis yang pesimis, seperti Kierkegaard, Sartre dan Camus, tapi yang optimis seperti Nietzsche. Gabriel Marcel bukan pesimis atau optimis, melainkan seorang yang memiliki harapan metafisis hope. Dengan segala perbedaan dan kemiripan tersebut, eksistensialisme bisa didefinisikan sebagai sebuah “cara berfilsafat” a style of philosophizing mengenal manusia konkret. Problematika 4 F. Budi Hardiman, Filsafat Kontemporer., h. 150 5 Lihat, Stephen Michelman, Historical Dictionary of Existentialism, USA: Scarecrow Press, 2008, p. xiii manusia konkret yang sering muncul dan dijadikan tema pembahasan oleh para eksistensialis itu antara lain individu dan sistem, intensionalitas, ada being dan absurditas, hakikat dan arti penting tindakan memilihmemutuskan, pengalaman- pengalaman ekstrim, dan hakikat komunikasi. 6 Sebagai filsafat yang bertolak dari kenyataan manusia konkret, eksistensialisme menolak melihat kenyataan ini sebagai sebuah totalitas konseptual. Konseptualisasi atas obyek dengan sendirinya telah mendistorsikan obyek yang hendak dipahami tersebut. Eksistensialisme memutuskan perhatian pada fenomena kenyataan langsung, yakni kenyataan partikular dan telanjang, sebelum dikonseptualisasikan atau direfleksikan secara rasional –itulah sebabnya kebanyakan eksistensialis adalah fenomenolog tapi tidak sebaliknya, karena metode ini menyediakan alat untuk mengivestigasi eksistensi manusia apa adanya. Pikiran dan refleksi bersifat sekunder bagi eksistensialisme. Eksistensialisme melihat manusia sebagai individu yang berdiri berhadapan dengan realitas dalam sebuah relasi yang penuh ketegangan, kemungkinan dan tragedi. Eksistensialisme tidak pertama-tama melihat manusia sebagai makhluk yang berpikir secara rasional, melainkan makhluk yang bertindak dalam segala keterbatasan dan kemungkinannya. Eksistensialisme menyibukkan diri dengan fakta-fakta mengenai obyek. Eksistensialisme lebih menekankan pada eksistensi obyek ketimbang esensi obyek. 7 Prinsip pokok dari eksistensialisme adalah bahwa kedirian selfhood tidak secara alamiah terberi, tetapi harus didesakan dari situasi kepuasan diri sendiri 6 Stephen Michelman, Historical Dictionary., p. xiii 7 Stephen Michelman, Historical Dictionary., p. xiv complacency , kompromi, dan kelupaan akan diri sendiri. Keberhasilan diri seseorang otentik untuk menerima beberapa esensi seperti keterbatasan, kebebasan, tanggungjawab dan menggunakan pengertian ini secara konsekuen dalam tindakan-tindakan praktis. 8 Tema-tema umum yang menjadi fokus perhatian eksistensialisme adalah yang berhubungan dengan diri dan berbagai tindakan praktis yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kehidupan-kehidupan yang aktual. 9 Eksistensialisme juga memiliki pengertian yang khas mengenai eksistensi. Dalam idealisme dan filsafat abad pertengahan, misalnya, existentia dipahami sebagai oposisi essentia. Esensi itu universal, abstrak, abadi sementara eksistesi itu partikular, konkret, kontingen. Esensi termanifestasikan melalui eksistensi; eksistensi adalah predikat bagi esensi. Sementara dalam eksistensialisme, eksistensi mengacu secara khusus kepada keberadaan manusia individual yang konkret dan unik. Eksistensialis mengakui bahwa batu, pohon atau rumah itu ada tapi mereka tidak eksis. Kata “eksistensi” berasal dari bahasa Latin: ek-sis berarti “keluar dari” atau “muncul dari” ex-sistere. Tapi ek-sis dari mana? Menutut kaum eksistensialis bahwa eksis dari ketiadaan bukan dari esensi. Konsekuensi dari pendapat ini maka eksistensialis menolak adanya esensi manusia, sebab kalau manusia memiliki esensi, ia menjadi tidak bebas karena ia sudah selalu terjangkarkan pada esensi itu. Jadi ek-sis berarti ke luar dari, muncul dari, ketiadaan. 10 8 Stepen Michelman, Historical Dictionary., p. 42 9 Stepen Michelman, Historica Dictionary l., p. 43 10 John Marquarrie , Existentialism, Middlesex: Penguin Books, 1973, h. 41-45 Eksistensialisme memiliki 6 ciri umum –tapi harus diingat bahwa ciri tersebut juga tidak begitu mudah didefinisikan karena setiap pemikir memberi makna sendiri-sendiri terhadapnya. Keenam ciri tersebut adalah, pertama, bahwa para eksistesialis mengembangkan pemikiran mereka berdasarkan pengalaman eksistesial Existentialen Erlebnis yang berbeda pada masing-masing pemikir. Ini paling mencolok terlihat dalam pengalaman hidup yang dialami oleh Søren Kierkegaard. Pengalaman eksistensial ini misalnya, terdapat dalam konsep “ada menuju kematian” pada Heidegger. “kesadaran mengenai kerapuhan ada” pada Jasper. Kedua, obyek penelitian mereka adalah Existenz, yakni cara mengada khas manusia. Yang mau diungkapkan dengan istilah ini adalah bahwa manusia tidak memiliki, melainkan dia adalah eksistensinya. Untuk merujuk pada hal yang sama, beberapa filsuf menggunakan kata yang berbeda. Dasein, ich “saya”, atau Fursichsein “ada-bagi-diri-sendiri”, ego, dan lain-lain. Ketiga, existenz dipahami mutlak sebagai aktualitas, yakni cara mengada khas manusia; manusia tidak pernah “ada” ist begitu saja, melainkan ia selalu “menciptakan” schafft dirinya; ia “menjadi”, ia sebuah proyeksi” Ent-wurf. Keempat, manusia dipahami sebagai subyektifitas murni yang menciptakan dirinya sendiri, dan bukan sebagai manifestasi proses kosmis dari kehidupan yang lebih luas, sebagaimana pada Bergson atau Hegel. Di sini subyektivitas dimengerti dalam arti kreatif; manusia menciptakan dirinya secara bebas, manusia adalah kebebasan itu sendiri jadi manusia tidak memiliki kebebasan, karena justru dialah kebebasan itu. Kelima, manusia itu tidak lengkap selalu belum sudah. Ia adalah realitas terbuka yang selalu terikat pada dunia dan manusia lain secara esensial –ciri ini tidak terdapat pada Kierkegaard. Pengertian ini terdapat pada konsep “berada-dalam-dunia” In- der-Welt-sein dan “mengada-bersama” Mitdasein pada Heidegger, pada Jaspers: Komunikasi, pada Marcell: engkau Du. Keenam, semua eksistensialis menolak perbedaan antara subyek dan obyek, dan dengan demikian menolak pengetahuan intelektual untuk tujuan filosofis anti-Cartesian. Bagi mereka pengetahuan sesungguhnya tidak diperoleh lewat pemahaman intelektual, melainkan lewat pengalaman langsung akan fenomena realitas konkret. 11

C. Kritik Kierkegaard terhadap Hegelian

Setelah memahami pemikiran filsafat eksistensialisme secara umum, perlu dipaparkan pula bagaimana tanggapan Kierkegaard tentang filsafat Hegelian yang berkembang pada waktu itu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang alur pemikiran Kierkegaard yang serta-merta menolak sistem filsafat yang di bangun Hegel. Kierkegaard yang pada awalnya adalah pengikut setia Hegel, namun dalam perjalanan filsafatnya memutar jalur dengan berbalik mengkritik pandangan-pandangan yang di gagas Hegel. Tokoh eksistensialis pertama ini lebih melihat bahwa konsep-konsep Hegel merupakan parodi kebenaran, setelah ia mendapatkan pemahaman subyek yang sebenarnya. . Hegel menciptakan gagasan sistem konprehensif yang didasarkan pada rasio dan abstraksi. Dia menciptakan pandangan perkembangan rasio manusia. 11 Bochenski, Contemporary European Philosophy, translated by Donald Nichol and Karl Aschenbrenner, London: University of California Press, 1964. p. 34 Bahwa manusia bergerak dari beberapa level kebenaran hingga akhirnya sampai pada kebenaran absolut. 12 Kritikan Kierkegaard terhadap Hegel termuat dalam buku Concluding Uncientifict Postscript dengan menggunakan nama samaran Johanes Climacus. Dalam bukut tersebut dia menanyakan suatu kebenaran: “System and conclusiveness are just about one and the same, so that if the system is not finished, there is not any system. Elsewhere I have already point out that a system that is not entirely finished is a hypothesis, whereas a half-finished system is nonsense..” 13 Bagi Kierkegaard bahwa kebenaran adalah menyeluruh dan lengkap. Menurutnya jika kebenaran tidak menyeluruh bagaimana bisa dijadikan sistem kebenara. Kebenaran berasal dari pengalaman-pengalaman hidup manusia, dan pengalaman manusia tidak pernah lengkap. Jika demikian bagaimana ada suatu sistem kebenaran yang komplit. Kierkegaard juga mengkritik tajam atas sistem filsafat Hegel yang menganggap bahwa akal bisa mengetahui ke ranah sains dan agama. Bagi Kierkegaard konsep yang ditawarkan Hegel mungkin dapat dibenarkan ketika berbicara pada wilayah sains, karena itu berhubungan dengan rasio akal. Akan tetapi ketika berbicara pada wilayah religius, idealisme Hegel tidak bisa digunakan, dikarenakan agama adalah masalah iman faith, bukan rasio. 14 12 Shelley O’Hara, Kierkegaard Within Your Grasp, Willy Publishing. Inc. Canada. p. 66 13 “Sistem dan keberakhiran hanya tentang satu dan kesamaannya, maka jika sistem adalah tidak berakhir, itu bukan sistem. Di sisi lain saya menitik-beratkan bahwa sebuah sistem tidak berakhir menyeluruh atau sebuah hipotesis, karena sistem yang hanya setengah belum berakhir itu tidak ada.” S ø ren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, to Fragments, Translited by Howard V. Hong and Edna H Hong, Princeton, NJ: Princeton University Press, p. 107 14 Shelley O’Hara, Kierkegaard., p. 11