Subyektivitas Sebagai Kebenaran KONSEP DIRI OTENTIK DALAM FILSAFAT
diambil cukup beralasan dikarenakan bahwa sebenarnya subyektifitas yang digunakan oleh Kierkegaard merupakan refleksi atas ide-ide obyektifitas yang
dibawa oleh Hegel.
1. Metode Obyektif dan Subyektif
Obyektif dalam pandangan Hegel merupakan rasionalisasi kesadaran Roh Absolut. Dimana ini merupakan sebuah proses dialiektika
antara tesis dan antitesis kemudian memunculkan sintesis. Dengan dialektika ini maka sejarah akan menemukan dirinya hingga mencapai
pengetahuan obyektif yang absolut. Pengetahuan dicapai melalui suatu proses yang terus-menerus terjadi
dimana yang mengetahui dan yang diketahui saling mempengaruhi dan mengembangkan.
Ditempatkan dalam konteks pengetahuan manusia mengenai realitas, pandangan Hegel ingin mengatakan bahwa kebenaran atau
pengetahuan sejati tidaklah dapat ditemukan hanya dengan memeriksa situasi atau masa tertentu dalam kehidupan manusia dan pengetahuan sejati
sesungguhnya mewujudkan atau memperlihatkan diri hanya melalui proses perkembangan yang terjadi dalam perkembangan sejarah. Maka satu-
satunya untuk mencapai realitas sejati atau kebenaran adalah dengan menggunakan pendekatan historis atau genetis. Dengan sejarah manusia
akan semakin mengenal diri dan realitas kehidupannya, dan akhirnya memperoleh pengetahuan absolut.
Dua konsep yang harus dipahami di sini adalah ‘Absolut’ dan ‘Roh’. Absolut menurut Hegel adalah keseluruhan realitas pada dirinya sendiri,
yang dapat diketahui oleh manusia. Mengenal absolut berarti mengenal realitas yang sebenarnya dan pengetahuan absolut sendiri berarti
pengetahuan yang bebas dari bias atau distorsi, menyeluruh, tidak tergantung pada konteks atau kondisi tertentu, dan tanpa inkonsistensi
internal. Pada absolut proses dialektika berhenti karena memang pengetahuan ini tidak dapat diatasi atau dilampaui lagi. Jadi pengetahuan
absolut merupakan pengetahuan terakhir yang bersifat penuh dan menyeluruh.
16
Sementara metode subyektif merupakan suatu usaha individu dengan sunggguh-sungguh dan penuh sadar dalam pencariannya terhadap
kebenaran. Relasi yang lebih ditekankan adalah bagaimana hubungan kebenaran dengan individu yang mencari sebuah kebenaran itu. Hal ini
sangat berbeda dengan kebenaran obyektif dimana titik penekanannya adalah hubungan antara obyek dengan suatu kebenaran. Dalam pandangan
Kierkegaard ketika dalam penekanan yang digunakannya adalah obyektifitas maka kebenaran akan semakin menjauh dari subyek dan secara
tidak langsung subyek akan terasingkan dari kebenaran itu sendiri dan kebenaran menjadi tidak bermakna sama sekali kepada subyek.
Kierkegaard sangat menekankan terhadap kebenaran subyektifitas, dimana kebenaran ini merupakan pencarian mendasar seorang subyek
16
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia: Jakarta, 1984, h. 40
terhadap suatu kebenaran. Kebenaran akan semakin dipeluk oleh subyek dan akan menjadi lebih mendekati subyek dan secara langsung pada
akhirnya kebenaran itu sendiri akan menjadi bermakna bagi si subyek.
2. Obyektif dan Subyektif dalam Perspektif Kierkegaard Pada bab Subjective Truth, Inwardness; Truth Is Subjectivty
17
, dalam buku Concluding Uncietifice Postcript to Fragment, Johannes
Climacus pseudonym dari Kierkegaard menekankan kebenaran empiris yang merupakan persesuaian antara pikiran thingking terhadap ada being.
Kebenaran ini adalah sesuatu yang diinginkan, dan semua kebenaran ditempatkan pada proses menjadi the process of becoming. Kebenaran bagi
empiris adalah sebuah proses yang tidak ada titik akhir dan hanya merupakan proses mendekati an aproximating belaka yang titik awalnya
tidak bisa dibangun secara absolut. Karena tidak ada konklusi yang mempunyai daya retroaktif.
18
Ada being dalam pengertian Kierkegaard dipahami sebagai terjemahan abstrak atau bentuk dasar yang abstrak sebagai sesuatu yang ada
secara empiris. Untuk itu sesuatu yang abstrak tidak bisa menjadi patokan suatu kebenaran dan perlu pencarian kebenaran lagi. Tidak adanya tempat
17
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, to Fragments, Translited by Howard V. Hong and Edna H Hong, Princeton, NJ: Princeton University Press, p. 189
18
Søren Kierkegaard, Concluding., p. 189
berhenti definisi kebenaran yang abstrak, maka pandangan ini hanya berakhir pada proses menjadi dan bukan konklusi yang absolut.
19
Kierkegaard lebih jauh mengkomparasikan antara kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif. Kebenaran obyektifitas menyandarkan
upaya pencariannya kepada obyek. Refleksi kebenaran yang merupakan hubungan antara subyek dan obyek dititik-beratkan pada kebenaran itu
sendiri. Sehingga pencarian kebenaran obyektif menjadikan individu jauh dari subyek dan itu akan menghilangkan makna kebenaran itu sendiri. Inti
dari suatu kebenaran bagi Kierkegaard bagaimana kebenaran yang didapat itu bisa dijalankan oleh seorang individu dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain refleksi kebenaran subyektif yang berupa relasi antara subyek dengan suatu obyek berpusat pada individu yang mencari kebenaran.
Kebenaran melekat pada eksistensi subyek dan berada pada diri subyek inwardness
. Kebenaran selalu berkaitan dengan subyek, yakni dengan diri yang memeluk dan meyakini kebenaran itu secara pribadi. Menurut
Kierkegaard yang ditekankan di sini adalah relasi hubungan manusia dengan kebenaran tersebut, dan bukan hakekat kebenaran itu sendiri.
20
Sebagaimana diungkapkan:
19
Søren Kierkegaard, Concluding, P. 190
20
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard, h. 112
To objective reflection, truth becomes something objective, an object, and the point is to disrigard the subject. To subjective
reflection, truth becames appropriation, inwardness, subjectivety, and the point is to immerse oneself, existing, in subjectivity.
21
Refleksi obyektif mengindikasikan individu pada sesuatu yang indifferent
jauh sama sekali dan meniadakan eksistensi individu itu sendiri hingga kebenaran menjadi indifferent pula. Kajian obyektifitas juga berupa
ilmu-ilmu yang abstrak sebagaimana matematika, ilmu sejarah dan ilmu lain yang ini bekerja menjauhi individu subyek. Kemudian pada ujungnya
dengan mempermasalahkan keobyektifitasan menghasilkan kontradiksi obyektif yang berdampak semakin menghilangkan individu subyek dan
semakin kabur pula kebenaran yang di carinya.
22
Bagi Kierkegaard refleksi subyektif menggugah batin ke arah subyektifitas, batin ini secara mendalam menginginkan akan kebenaran.
Cara mencari kebenaran seperti inilah yang harus di dahulukan. Karena jika kebenaran obyektif berusaha masuk lebih awal ke arah kebenaran maka
subyektif akan hilang. Subyektif harus di fokuskan, sementara obyektif dilenyapkan demi untuk mendapatkan suatu kebenaran yang eksis. Subyek
adalah eksis dan menjadi sebuah identifikasi antara pikiran dan ada, yang melibatkan individu yang eksis mencari kebenaran.
Bagi Kierkegaard, manusia dalam mencari sebuah kebenaran tidak akan mendapatkan titik final. Kebenaran yang dicarinya selalu dalam proses
21
“Refleksi kebenaran obyektif merupakan sesuatu yang obyektif pada obyeknya dan melupakan individu subyek. Sementara refleksi kebenaran subyektif adalah pendekatan batin
inwardness subyek dan pusatnya pada diri seseorang, yang bereksistensi dalam subyek.”
Søren Kierkegaard, Concluding., p. 192
22
Lihat, Søren Kierkegaard, Concluding. , p. 194
dan berubah-ubah hingga tak ada akhir. Untuk itu kebenaran manusia hanya bersifat aprosiasi mendekati kebenaran dan bukan sesuatu yang mutlak.
Untuk menyempurnakan kebenaran subyektif yang dianutnya, selanjutnya Kierkegaard menegaskan bahwa subyektifitas yang menjadi
kebenaran dalam batin subyek harus penuh hasrat passion. Batin yang eksis dalam subyek itulah yang dinamakan hasrat. Kebenaran menjadi
paradok dalam hubungannya dengan eksistensi subyek yang itu merupakan pergeseran relasi dari subyek yang mengetahui sebagai human being ke arah
sesuatu yang fantastik being fantastical something. Kebenaran menjadi obyek yang fantastik untuk diketahui.
23
Dengan demikian jika dikaitkan dengan wilayah eksistensi, individu berada pada tahap religius. Pada tahap ini subyek menemukan paradok-
paradok kebenaran yang tidak terdapat pada metode obyektiftas. Untuk itu indivudu dengan bekal eksistensi diri dan hasrat batin
mencari sebuah kebenaran perlu relasi terhadap Tuhan. Karena Tuhan inilah yang memiliki kebenaran absolut. Kierkegaard menegaskan bahwa
kebenaran ini tidak dapat dicapai dengan menggunakan metode obyektif, dikarenakan Tuhan adalah bukan obyek, akan tetapi ia adalah Subyek dan
hanya pendekatan subyektif-lah yang dapat mencapainya. Sebagaimana diungkapkan …. God is a subject and hence only for subjectivity in
inwardness.
24
23
Søren Kierkegaard, Concluding, p. 199
24
Søren Kierkegaard, Concluding., p. 200
Pandangan Kierkegaard mengenai kebenaran sebagai subyektif mengandung kritik epistoemologis yang tajam mengenai kemampuan
manusia mengetahui realitas sesungguhnya atau mendapat pengetahuan obyektif. Dasarnya adalah metafisika yang mengakui jurang tak terjembatani
antara realitas manusia dan realitas Ilahi.
25
Seperti yang kita lihat dalam pemikiran Hegel, ia berusaha untuk menjembatani dua realitas tersebut atau meruntuhkan batas-batas mutlak
diantara keduanya. Ia menegaskan rekonsiliasi yang rasional diantara semua yang bertentangan dalam realitas, sementara Kierkegaard yakin bahwa
realitas eksistensial, misalnya manusia sebagai sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi, memperlihatkan konflik yang fundamental dan tidak dapat
didamaikan. Bahkan, konflik ini adalah sesuatu yang niscaya, dan semua orang harus bergulat menghadapinya dengan mempunyai sikap hidup.
Dalam hal ini pandangan Kierkegaard sangat berbeda dengan optimisme rasional Hegel. Bagi nya yang Ilahi adalah yang Ilahi dan manusia tetaplah
manusia; hanya dengan usaha manusia bagaimanapun caranya, realitas Ilahi dan manusia tidak akan pernah bertemi.
Penolakan Kierkegaard terhadap kemungkinan bertemunya realitas Ilahi dan manusiawi dengan usaha manusia, misalnya melalui filsafat,
tidaklah berarti ia menolak adanya realitas obyektif antimateri. Ia mengakui bahwa realitas obyektif yang tidak tercakup dalam pemahaman
akal budi manusia memang ada. Tetapi hanya dapat diakses oleh Allah dan
25
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat., h. 75
bukan manusia. Pengetahuan paling-paling hanya dapat mendekati realitas obyektif bersebut, dan tidak akan pernah menguasai sepenuhnya. Maka bagi
Kierkegaard lompatan iman memang perlu.
26
Pertama-tama kita tidak tahu persis mengenai realitas yang sesungguhnya. Pilihan-pilihan yang kita buat seringkali juga didasarkan
pada pengetahuan yang terbatas. Oleh karena itu dalam ketidak-jelasan, orang harus melompat untuk membuat pilihan, lalu memeluk dan menekuni
pilihannya itu dengan penuh hasrat. Tetapi yang lebih penting, dengan membuat lompatan iman manusia justru mengakui bahwa ia adalah pengada
atau makluk yang terbatas, sedangkan Allah adalah pencipta yang terbatas. Kierkegaard melihat bahwa pengetahuan kebenaran manusia adalah
ketidakpastian obyektif yang dipeluk erat-erat dalam proses apropriasi oleh batin yang paling berhasrat. Inilah yang dinamakan iman, dimana iman
adalah kontradiksi antara hasrat tak terbatas batin sang individu dan ketidak pastian obyektif. Maksudnya secara obyektif manusia memang selalu
mengalami ketidakpastian karena tidak dapat sepenuhnya mengetahui pengetahuan obyektif dan hanya bisa mendekatinya.