Tahap-tahap Eksistensi KONSEP DIRI OTENTIK DALAM FILSAFAT

bahasa Yunani aisthesis yang berarti sensasi atas perasaan. 2 estetis juga dapat diartikan sebagai ‘mengindrai’, ‘mencecap’. 3 Estetis merupakan usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik dan yang jahat dan selalu menuruti keinginan yang akan dilakukannya. 4 Tahap estetika adalah wilayah dimana individu yang berada dalam keombang-ambingan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi- emosinya. 5 Ciri yang menonjol dari tahap ini adalah pemenuhan keinginan langsung dan spotan immediate. Oleh karena itu dalam tahap ini tidak ada prinsip moral yang mempertimbangkan baik dan buruk. Yang ada hanyalah kepuasan dan ketidak puasan, nikmat dan frustasi, senang dan susah, ekstasi dan putus asa. Hedonisme mereduksi eksistensi individu dalam kepuasan langsung. Kierkegaard mencontohkan Don Juan sebagai salah satu dari orang- orang estetis. Don Juan adalah orang yang selalu melakukan sesuatu untuk dapat memenuhi hasrat seksualnya. Kehidupannya dipenuhi dengan berganti-ganti wanita, berpindah-pindah dari perempuan yang satu ke perempuan yang lain. Setiap saat Don Juan menggoda wanita yang dilihatnya menarik hingga dia mendapatkan cintanya dari wanita itu. 2 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta, KPG, 2004, h. 85 3 F. Budi Hardiman, Filsafat Kontemporer dari Machavelli sampai Nietsche, Jakarta: Gramedia, 2005, h. 252 4 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard, h. 88 5 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 252 Kemudian dia mencari wanita lain lagi dengan berbagai rayuan untuk mendapatkan cintanya. Dan begitu seterusnya. Kepuasan nafsu sesaat dari cintanya akan dilampiaskan terhadap para wanita, dan ketika hasrat itu muncul ia akan buru-buru mencari korban wanita yang lain. Kehidupan yang dijalaninya akan terus demikian demi kepuasan hasrat yang bersarang di dalam keinginannya. Don Juan melihat kehidupan hanya sebuah rasa sensuous atau sensualitas. Yang dilakukannya adalah bagaimana ia bisa menikmati sesuatu dengan apa yang dirasanya, sehingga cinta yang diberikan Don Juan hanya sebatas cinta rasa, bukan sebuah kesetiaan atau totalitas. 6 Dorongan seksual yang merupakan kenikmatan temporal menjadi pememenuhan kepuasannya tanpa pertimbangan moral maupun komitmen apapun. Orang seperti Don Juan tidak mengerti bagaimana membina hubungan, karena ia sekedar membangun karya seni singkat’ untuk menarik hati semua wanita. Bagi Don Juan semuanya hanyalah masalah ‘waktu sesaat’. Melihat dan mencintai wanita menurutnya tidak ada bedanya. Cintanya tidak bersifat batin, melainkan bersifat indrawi. Semua wanita hanyalah ‘wanita dalam abstraksi’: perbedaannya hanyalah bersifat yang menunjukkan mana yang lebih menarik secara fisik. Pendek kata, hasrat sesaat itulah yang mendikte hidup seorang estetis seperti Don Juan. 7 6 Søren Kierkegaard, EitherOr, transliter: David F. Swenson, Lilian Marvin Swenson, and Walter Lawrie, Princeton University Press, 1959, p. 94 7 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard. , h. 89 Dengan menggunakan tokoh Don Juan sebagai simbol estetis, di sini Kierkegaard ingin menyampaikan sebuah pengalaman eksistensinya. Bahwa pada diri manusia memiliki sebuah perasaan hasrat atau nafsu yang mana orang bisa saja melampiaskan nafsunya tanpa harus melihat aturan-aturan yang ada. Orang bisa saja melakukan apa yang dilihatnya hanya dengan menggunakan standarisasi kenikmatan tanpa melihat yang lain. Namun, apakah kenikmatan yang dialaminya akan mendapatkan kepuasan yang sesungguhnya. Kenikmatan yang dialami oleh Don Juan adalah kenikmatan yang hanya bersifat temporal. Setelah kenikmatan itu dilampiaskan, kenikmatan itu akan hilang dengan sendirinya, dan kemudian akan muncul kenikmatan yang baru. Alangkah nistanya apabila seseorang menjalani hidup seperti Don Juan yang hanya diperbudak oleh kenikmatan yang hanya bersifat sementara. 8 Hasrat selalu muncul secara spontanitas dimana indra ketika menyaksikan sebuah obyek lalu muncul suatu keinginan. Hasrat selanjutnya akan hilang manakalah keinginan tersebut telah terpenuhi. Kemudian indra menyaksikan suatu obyek yang lain dan muncul keinginan yang baru lagi, begitu seterusnya tanpa ada titik kepuasan yang permanen. Sehingga pada akhirnya sang estetis mengalami titik kehidupan yang semakin membosankan life of boredom 9 yang kemudian menghendaki pencarian 8 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard. , h. 90 9 Walter Kaufman, Existentialism from Dostoebsky to Sartre, New York: Meridian 1989, p. 263 atau pengejaran eksistensi hidup untuk mengurangi kebosanannya. Inilah yang selanjutnya individu akan melompat ke wilayah eksistensi etis. 2. Tahap Etis Individu yang kemudian melompat dari wilayah estetis ke etis memilih moral sebagai standarisasi dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. 10 Inidividu yang memilih wilayah etis mencoba untuk menahan hasrat nafsu yang dimilikinya. Bagaimanapun juga apa yang dilakukannya harus berlandaskan moral yang ada. Wilayah etis menekankan terhadap moralitas, di saat seseorang mampu mempertimbangkan sesuatu estetis-nya. Perbuatan yang ia lakukan tidak menjadi tindakan aksidental, akan tetapi lebih melihat apakah keputusan yang akan diambil harus disesuaikan degan patokan-patokan moral universal. Diri individu dalam tahap ini akan selalu mengontrol keinginan-keinginan dari hasrat yang timbul. Acuan yang digunakan dari perbuatan yang akan dilakukannya adalah pertimbangan moral atau baik dan jahat. Di sini rasio dan suara hati menjadi peranan penting untuk memilih mana yang baik dan yang jahat. Dalam tahap etis ini individu akan lebih memahami hidup dalam menjalankan aktualisasi kesehariannya. Jika tahap estetis kehidupan yang dipikirkannya hanya saat sekarang melalui hasrat kepuasasnya, sementara dalam tahap etis ini individu lebih melihat masa lalu sebagai pengalaman hidup dan memandang masa depan sebagai harapan yang didasarkan 10 Walter Kaufman, Existentialism., p. 263 komitmen hidupnya. 11 Tahap etis mencoba memahami kehidupan agar lebih bermakna secara utuh dan dapat menjalankan keputusan-keputusan hidupnya. Tokoh yang digunakan Kierkegaard dalam tahap ini adalah Socrates, dimana ia mau mengorbankan dirinya demi asas-asas moral universal. Dengan kebijaksanaan yang menjadi prinsip hidupnya, Socrates menjalani pengalaman dirinya dengan prinsip-prinsip moral. Dia mengajarkan kepada murid-muridnya arti sesungguhnya moral universal yang harus dijaga dan diaplikasikan dalam keseharian. Moral universal yang di maksudkan di sini adalah suatu aturan hukum yang tak tertulis namun secara rasional mampu dijalankan oleh setiap manusia yang mengetahui arti kebijaksanaan. Hal ini sangat berkaitan dengan nilai-nilai humanisme, anti kekerasa, ketaatan terhadap hukum akal dan tidak melanggar aturan susila. Socrates benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut tanpa mempedulikan resiko yang akan menimpanya. Sebagaimana yang di lihat dapat kehidupan pada masa Socrates, penguasa yang berkuasa pada waktu itu lebih bersifat otoriter sehingga Socrates selalu mengingatkan penguasa penguasa tersebut. Dengan sikap ketegasan terhadap pemerintah, Socrates melawan tentang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Socrates pada akhirnya menjadi ’pahlawan tragis’ yang berusaha mengandalkan rasionya tanpa memahami dasar-dasar eksistensi yang serba 11 Walter Kuafman, Existentialism., p. 263 terbatas. Landasan moral berupa perbuatan baik dan buruk, itu tidak cukup menjadi acuan yang mutlak. Karena tidak semua perbuatan individu dapat diselesaikan dengan hal tersebut. Individu dapat saja menghadapi suatu dilematis paradoks yang sulit untuk diputuskan dengan mengandalkan standarisasi moral. Karena permasalahan kehidupan sehari-hari manusia begitu kompleks dan penuh dengan teka-teki. Sebagai contoh sederhana: Ketika seorang bapak yang harus bekerja merantau ke pulau seberang demi menghidupi keluarganya, namun demikian ia tidak tega melepaskan tangisan anaknya yang merengek-rengek agar pelukannya jangan dilepaskan. Ini adalah sebuah permasalah hidup yang cukup dilematis bagi seorang bapak, haruskah ia pergi jauh? Ataukan ia harus selalu berada di sisi anak kesayangannya? Sepertinya hal seperti ini tidak bisa diputuskan dengan standarisasi moral. Wilayah etis mungkin tidak akan bekerja efektif di wilayah ini. Baik dan buruk tidak bisa berbicara banyak dalam masalah ini. Kierkegaard memiliki ruang yang lain selain etis. Ada wilayah yang bisa memecahkan masalah ini. Hal ini tidak lain adalah wilayah religius. Wilayah ini sudah tidak lagi menggunakan standarisasi moral, yang dibutuhkan adalah pendekatan batin iman kepada Tuhan, karena kita tahu bahwa moral tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dilematis paradok. Individu yang ingin menemukan dirinya harus mau melompat ke wilayah religius tersebut. Menurut Kierkegaard individu tidak hanya cukup pada tahap etis, karena jika individu sungguh-sungguh mendalami eksistensi hidupnya secara mendalam dia akan menjumpai “paradok absolut”. Ini yang tidak bisa dipecahkan dalam tahap etis, karena yang dapat mengatasinya adalah iman seorang individu terhadap Allah. Di saat inilah orang perlu melompat ke tahap eksistensi berikutnya. 12 3. Tahap Religius Sebagai mana yang telah disebutkan bahwa pada tahap etis yang digunakan setandarisasi adalah moralitas berupa baik dan buruk. Namun demikian, dalam menjalankan aktualisasi hidup seseorang tidak hanya cukup dengan menggunakan hukum-hukum moral. Karena menurut Kierkegaard individu dihadapan Tuhan adalah penuh dengan dosa. Untuk itu diharuskan melompat ke tahap eksistensi religius, dimana pada wilayah ini seorang mempunyai semangat komitmen terhadap Tuhan dan secara total individu bebas dari ketidak-bermaknaan meaninglessness dan kecemasa dread dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidup. 13 Bagi Kierkegaard tahap religius adalah tahap yang ditandai oleh pengakuan diri akan Allah dan kesadaran diri sebagai pendosa yang membutuhkan pemgampunan. Individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya lompatan iman. 14 12 F. Budi Hardiman, Filsafat Kontemporer, h. 253 13 Walter Kaufman, Existentialism, p. 263 14 F. Budihardiman, . 253, Walter Kaufman, Existentialism., p. 263 Kierkegaard mengambil contoh Ibrahim sebagai tokoh religius. Ibrahim seperti yang diceritakan dalam kitab-kitab suci telah rela mengorbankan putranya yaitu Iskak dikarenakan imannya kepada Allah yang menghendaki pengorbanan itu. Apa yang dilakukan Ibrahim ketika diposisikan pada tahap etis jelas sangat bertentangan, karena dengan melakukan pengorbanan yang dilakukan terhadap Iskak melanggar hukum moral. Namun demikian Ibrahim tidak seperti mereka yang ada dalam wilayah etis, ia lebih menekankan diri atas relasi dan komitmennya terhadap Allah. Wilayahnya bukan terletak kepada baik dan buruk akan tetapi sebuah aktualisasi iman yang sungguh-sungguh dalam menjalin hubungan terhadap Ilahi. 15 Dalam pengalaman hidup Kierkegaard sendiri, pada saat ia memutuskan tunangannya, Regina Olsen. Ia sebenarnya tidak mau berada pada wilayah etis, saat menuju ke jenjang perkawinan dengan kekasihnya. Dia ingin melompat ke tahap religius dengan memilih hidup sendiri karena sadar akan misinya sebagai manusia. Kierkegaard adalah sebagaimana Ibrahim yang mengabaikan nilai-nilai moral universal demi untuk berelasi kepada Allah. Tahap yang ketiga ini di samping mengantarkan kepada kesadaran penuh akan kebenaran pada dirinya juga menjadikan eksistensi pada diri secara utuh sebagai individu. Bagi Kierkegaard dalam tahap ini manusia akan menjadi diri otentik authentic self. 15 Søren Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness Unto Death, Translated: Walter Lowrie, Princeton University Press: New York, 1954, p. 30

B. Subyektivitas Sebagai Kebenaran

Dalam tiga ruang eksistensialisme inilah yang kemudian mengilhami Kierkegaard untuk mendapatkan suatu kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang bukan didapat dari luar diri manusia, akan tetapi dari dalam diri manusia itu sendiri. Setelah manusia mencapai tahap religius, ia akan lebih dekat dengan Sang Ilahi. Hal ini kemudian menuntun kepada sang inidividu untuk meyakini bahwa seluruh tingkah laku yang dilakukannya atau keputusan-keputusan yang dipilihnya tidak lain adalah kebenaran yang berangkat dari Tuhannya. Individu akan mendapatkan kebenaran yang berasal dari dirinya karena dekat dengan Tuhannya dengan keimanan. Inilah yang Kierkegaard yakini bahwa kebenaran itu bukan obyektif, atau yang berasal dari luar, akan tetapi kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenara subyektif, yang berada dalam diri manusia itu sendiri. Dalam tradisi pemikiran filsafat ada dua metode untuk mencari sebuah kebenaran, metode obyektif objective of method dan metode subyektif subjective of method . Metode obyektif sering digunakan tanpa memerlukan penjelasan yang terlalu jauh. Sementara pada pendekatan subyektif sepertinya metode ini terlihat bias dan absurd. Untuk menjelaskan dua metode ini penulis akan menggunakan dua pemikir, dimana pada metode obyektif akan mengambil pendekatan pemikiran Hegel. Sementara pada metode subyektif dengan menggunakan analisa Kierkegaard sebagai pengkritik terhadap metode obyektifitas. Tokoh Hegel yang diambil cukup beralasan dikarenakan bahwa sebenarnya subyektifitas yang digunakan oleh Kierkegaard merupakan refleksi atas ide-ide obyektifitas yang dibawa oleh Hegel. 1. Metode Obyektif dan Subyektif Obyektif dalam pandangan Hegel merupakan rasionalisasi kesadaran Roh Absolut. Dimana ini merupakan sebuah proses dialiektika antara tesis dan antitesis kemudian memunculkan sintesis. Dengan dialektika ini maka sejarah akan menemukan dirinya hingga mencapai pengetahuan obyektif yang absolut. Pengetahuan dicapai melalui suatu proses yang terus-menerus terjadi dimana yang mengetahui dan yang diketahui saling mempengaruhi dan mengembangkan. Ditempatkan dalam konteks pengetahuan manusia mengenai realitas, pandangan Hegel ingin mengatakan bahwa kebenaran atau pengetahuan sejati tidaklah dapat ditemukan hanya dengan memeriksa situasi atau masa tertentu dalam kehidupan manusia dan pengetahuan sejati sesungguhnya mewujudkan atau memperlihatkan diri hanya melalui proses perkembangan yang terjadi dalam perkembangan sejarah. Maka satu- satunya untuk mencapai realitas sejati atau kebenaran adalah dengan menggunakan pendekatan historis atau genetis. Dengan sejarah manusia akan semakin mengenal diri dan realitas kehidupannya, dan akhirnya memperoleh pengetahuan absolut.