Kehidupan Søren Kierkegaard
bidang itu tidak diminati oleh Kierkegaard namun untuk menuruti keinginan sang ayah ia harus menekuninya. Selain itu dalam statusnya menjadi
mahasiswa Kierkegaard lebih menyukai mempelajari filsafat, kesusastraan, dan sejarah.
3
Pengalaman hidup Kierkegaard ketika beranjak dewasa sangat membekas pada dirinya. Ibu dan kelima kakaknya satu persatu meninggal
karena sakit sebelum ia berusia 21 tahun. Oleh karena itu, ia yang memiliki kekurangan fisik, memiliki punuk di punggungnya dan kedua kakinya pun
tidak sama panjang sehingga jalannya pincang, menjadi yakin bahwa umurnya sendiri tidak akan pernah melebihi 35 tahun. Di Borgerdydskole tempat ia
belajar, Kierkegaard terkenal sebagai murid yang cerdas, berlidah tajam dan tukang pembuat onar. Ia melanjutkan studinya di universitas Copenhagen di
bidang teologi. Namun dia juga membaca dan belajar filsafat dan estetik cabang filsafat yang berhubungan dengan seni dan artistik.
4
Kierkegaard menikmati kehidupan kampus dengan mendatangi permainan-permainan, opera, partai dan mengikuti debat-debat. Dia lebih suka
mengikuti kegiatan yang berada di luar kampus dari pada konsentrasi terhadap pelajaran yang menjadi jurusannya. Tak hanya itu, di universitas yang jauh
dari ayahnya, ia menggunakan kesempatan ini dengan hidup berpesta-pora layaknya pemuda kaya Hal ini merupakan bentuk pembalasan terhadap
3
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 24
4
Shelley O’Hara, Kierkegaard Within Your Grasp, Willy Publishing. Inc.: Canada, 2004, p. 2
ayahnya yang selama ini telah mengekangnya. Kejadian ini sekitar tiga tahun sebelum ayahnya meninggal pada 1838.
5
Dalam kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan hura-hura, Kierkegaard justru mendapati ketidak-puasan dan merasakan kekosongan
hidup. Dalam karya Kierkegaard yang berjudul The Journals of Kierkegaard yang dikutip oleh Shelley O’Hara disebutkan :
What I really need is to come to terms with myself about what I am to do. . . . It is a matter of understanding my destiny, of seeing what the
Divinity actually wants me to do; what counts is to find a truth, which is true for me.
6
Kierkegaard menyadari bahwa kehidupan yang penuh dengan hidonis dan kesenangan dunia bukan kehidupan yang akan mendapatkan dirinya,
namun, malah menjauhkannya. Bahwa untuk mendapatkan dirinya sangat ditentukan oleh tindakan-tindakan yang dilakukannya. Tindakan-tindakan
tersebut jika dilakukan dengan penuh pengharapan akan mengantarkan kepada pemahaman takdir dan pemahaman keilahian. Dengan demikian, akan didapat
suatu kebenaran yang sebenarnya pada dirinya. Dalam kehidupan yang dilaluinya ia mengalami keputusasaan yang
mendalam. Catatan hariannya pada 1836 Kierkegaard menyadari bahwa hidupnya sangat dangkal, meskipun oleh teman-temannya ia dipandang
sebagai orang yang pandai dan suka bergaul. Kierkegaard menyadari dirinya
5
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta, KPG, 2004, h. 25
6
“Apa yang sungguh saya butuhkan untuk sampai kepada ketentuan-ketentauan yang berhubungan dengan diriku sendiri terkait dengan apa yang saya lakukan.… Hal tersebut
merupakan pokok untuk memahami takdirku, pemahaman atas keIlahian yang menghendaki saya untuk bertindak secara nyata; sesuatu yang dipertimbangkan untuk menemukan kebenaran,
kebenaran yang sejati bagiku.” Lihat Shelley O’Hara, Kierkegaard, p. 3
sebagai orang yang penuh dengan hidonis dan hura-hura. Pada saat inilah ia merasakan akan kehampaan diri. Jiwa yang kering tanpa eksistansi diri.
Dalam salah satu catatannya, dia menganggap dirinya seperti dua wajah Janus
, di satu sisi wajah yang tertawa, dan di sisi lain menangis. Kierkegaard harus berusaha untuk mendapatkan dirinya.
7
Keinginan Kierkegaard untuk mendapatkan dirinya menjadi lebih kuat manakala pada tahun 1838 ayahnya, Michael Pederson meninggal.
Kierkegaard menganggap kematian sang ayah adalah sebuah pengorbanan untuk dirinya. Setelah kematian sang ayah Kierkegaard kembali konsentrasi
belajar pada mata kuliah yang ada di kampus. Sampai ia menyelesaikan pendidikan teoligi pada tahun 1840.
8
2. Kehidupan Kierkegaard dengan Regina Olsen Pada saat beberapa tahun Kierkegaard kuliah di Copenhagen, ia
sempat berkenalan dengan putri seorang pejabat tinggi di Denmark yang bernama Regina Olsen. Hubungan dengan Regina bagi Kierkegaard
mempunyai arti khusus. Wanita ini dapat mengambil simpati hatinya sehingga dalam diri Kierkegaard muncul rasa cinta terhadapnya. Untuk melanjutkan
kedekatan yang lebih serius kemudian Kierkegaard memberanikan diri bertunangan dengan Regina Olsen. Regina sendiri menerima tawaran itu
karena melihat Kierkegaard sebagai sosok yang penuh tanggung jawab dan mempunyai masa depan yang cerah. Di sisi lain, bagi Regina, sosok
7
Shelley O’Hara, Kierkegaard, p. 4
8
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 25
Kierkegaard merupakan pemuda yang rajin dan ulet sehingga Regina yakin bahwa ia dapat melindungi jika kelak menjadi pendamping hidup. Namun
hubungan antara keduanya tidak ubah seperti ayah dan anak, dikarenakan selisih usia mereka yang cukup jauh.
Akan tetapi, setelah bertunangan dengan Regina, Kierkagaard merasakan kegelisahan yang kemudian menghantui pikirannya. Meskipun dia sangat
mencintai Regina Olsen, dia sadar akan sifatnya yang melankolis menganggap pertunangan dengan Regina tidak cocok dilanjutkan ke jenjang pernikahan.
Kierkegaard tidak mau pernikahannya nanti malah membawa Regina sedih dan hidup dalam kegelapan. Inilah salah satu alasan kenapa Kierkegaard
kemudian tidak melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Sifat-sifat melankolis yang ia miliki membuat ketidakpercayaan diri untuk mengarungi
kehidupan bersama kekasih yang dicintai.
9
Harapan Kierkegaard untuk menjalin hidup bersama merupakan keinginan yang dicita-citakan setiap pemuda. Kierkegaard sebenarnya telah
melewati masa kebimbangan dan ketidakpastian ketika menyatakan cinta kepada Regina. Jawaban dari Regina membuat Kierkegaard merasa lega
karena sesuai dengan harapannya bahwa ia menerima pinangan dari Regina. Etatsraad Olsen yang merupakan ayah Regina pun menyambut lamaran
Kierkegaard dengan lapang dada atas keberanian menjalin hubungan yang lebih serius dengan putrinya. Sehingga setelah itu tidak ada lagi hal yang
dirisaukan lagi karena semuanya telah dicapai, kekasih yang dicintai telah
9
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 26
bersedia menjadi pendamping hidup dan hanya tinggal menunggu rencana melaksanakan pesta perkawinan.
Namun demikian dalam renungan yang mendalam, Kierkegaard melihat bahwa perkawinan bukan merupakan tujuan hidup. Refleksi diri yang
sudah dirasakan jauh-jauh hari sebelumnya membuat kerisauan Kierkegaard akan diri mulai terkejawantahkan dalam sikapnya. Berangkat dari latar
belakang studi teologi dan filsafat yang telah dipelajari ia memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya dengan Regina. Dengan alasan yang ia yakini
sendiri akan kebenarannya maka dengan berat hati Kierkegaard memutuskan hubungan dengan kekasih yang dicintainya. Ia harus menyudahi pertunangan
dengan Regina. Ia harus mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan orang tua Regina agar perkawinan yang sudah direncakan dapat dibatalkan.
10
Keputusan Kierkegaard sudah sangat bulat, dengan keyakinan yang penuh ia harus meninggalkan Regina Olsen, dan merelakan sang kekasih
untuk bersuami dengan lelaki lain dan hidup layak sebagaimana orang kebanyakan. Setahun setelah pertunangan Kierkegaard mengembalikan cincin
yang sudah diberikan kepada Regina. Mengetahui hal ini Regina berisak tangis agar keputusan Kierkegaard dibabatalkan. Begitu juga Ayah Regina
memohon agar Kierkegaard mempertimbangkan lagi keputusan yang diambil. Namun, hal itu tidak mengubah langkah Kierkegaard untuk menyudahi
hubungannya dengan Regina. Ia merasa dirinya mengemban misi otentisitas
10
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 26
individu. Misi yang harus memutuskan hubungan dengan relasi-relasi, meskipun itu sangat dicintai.
Refleksi atas sikap pemutusan terhadap Regina diabadikan oleh Kierkegaard dalam sebuah karya berjudul EitherOr Februari 1843.
Kemudian setelah itu pada tahun yang sama Kierkegaard menerbitkan buku Repetition
dan Fear and Trembling, dan di susul oleh Philosophical Pragments
1844 dan Concluding Unscientific Postcript 1846. Karya-karya yang dibuat Kierkegaard banyak menggunakan nama
samaran, sebagaimana dalam Philosophical Fragments dan Concluding Unscientific Postcript
ia menggunakan nama Johannes Climacus, EitherOr menggunakan nama Victor Eremita dan nama Johannes de Silentio digunakan
pada buku Fear and Trembling. Kierkegaard dalam hal ini memiliki alasan tertentu kenapa karya-karya
yang dibuatnya tidak menggunakan nama dia sendiri. Namun demikian salah satu alasan kenapa ia memakai anonimitas dalam menulis karya-karyanya
adalah karena di sini Kierkegaard ingin menjadikan dirinya bukan sebagai pengarang buku, akan tetapi sebagai pembaca sebagaimana pembaca-pembaca
yang lain. Dengan nama samaran yang digunakannya, Kierkegaard berharap bahwa pembaca dapat berdialog langsung dengan buku yang dibacanya. Ia
ingin mengajak pembaca merefleksikan apa yang ia tulis, bukan sekedar memahami gagasan-gagasan yang ada pada karyanya. Penggunaan nama
samaran juga dimaksudkan agar pembaca tidak mengasosiasikan karya-
karyanya dengan pengalaman hidupnya, dan dapat lebih bebas memikirkan apa yang dikatakannya dalam tulisan-tulisan tersebut.
11
3. Pengalaman dengan The Corsair serta menjelang Kematiannya Beberapa waktu sebelum kunjungannya yang ketiga ke Berlin pada
1846, Kierkegaard sempat terlibat dalam polemik dengan tabloid mingguan The Corsair
. Tabloid ini memang agak kontroversial karena penuh dengan satir dan ejekan terhadap siapa saja, namun dibaca oleh banyak orang.
Polemik ini berawal dengan resensi oleh P. L. Moller atas buku Stages on Life’s Way
1845 yang ditulis oleh Kierkegaard dengan berbagai nama samaran, antara lain Hilarius Bookbinder. Moller sendiri sangat berpengaruh
terhadap The Corsair dan kadangkala menjadi editor tabloid ini, tetapi dengan nama samaran.
12
Resensi tersebut sebetulnya bernada positif karena menyanjung pengarang. Akan tetapi, mengingat mingguan tersebut selalu penuh dengan
satire, sanjungan itu bagi Kierkegaard agak janggal dan lebih merupakan ejekan. Dalam tanggapannya terhadap resensi itu, yang ditulis dengan nama
samaran Frater Taciturnus yang juga muncul dalam Stages, Kierkegaard menyerang Moller dengan membeberkan relasinya dengan tabloid itu. Ia juga
bertanya-tanya mengapa ia dipilih sebagai satu-satunya pengarang yang tidak ‘dibantai’ oleh tabloid tersebut. Kamudian The Corsair menanggapi
Kierkegaard dengan menerbitkan satire-satire yang kali ini langsung
11
Shelley O’Hara, Kierkegaard, p. 16
12
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 26
menyerang Kierkegaard sendiri, bukan lagi nama samarannya, Taciturnus. Tabloid tersebut secara khusus mengejek penampilan fisik Kierkegaard:
bahwa Kierkegaard adalah seorang yang aneh, berjalan pincang, dan hanya mengarang buku-buku yang aneh pula. Sejak Januari 1846 hingga Januari
1848 Kierkegaard menjadi bahan tertawaan publik di Kopenhagen. Peristiwa ini membuatnya semakin terasing.
13
Polemik dengan The Corsair yang membuat Kierkegaard sakit hati dan berdampak pada cemoohan publik atas dirinya menjadikan Kierkegaard
tergugah untuk membuat karya baru. The Sickness Unto death 1849, Practice in Christianity
1850 dan Attach Upon Christendom 1855 adalah karya-karya yang dibuat Kierkegaard setelah polemiknya terhadap The
Corsair . Dua karya yang disebutkan terakhir ini adalah sebuah kritik
Kierkegaard terhadap kemerosotan budaya kekristenan christendom di negara Denmark. Gereja yang dijadikan benteng kenyamanan, kompromi, dan
kepuasan spiritual jauh dari apa yang diharapkan.
14
Pada tanggal 11 November 1855 Kierkegaard menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit karena infeksi paru-paru. Saat-saat kematiannya
Kierkegaard merasa puas dengan karya-karya yang telah dia hasilkan. Misi yang telah diembannya berhasil dia lakukan sehingga Kierkegaard dapat
beristirahat tenang di sebuah peti yang tertimbun tanah. Dalam wasiatnya
13
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 28
14
Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 29
kepada orang yang ditinggalkan Kierkegaard memohon agar nanti pada makam di batu nisannya ia disebutkan sebagai “Sang Individu”.
15