Pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Tingkat Kemandirian Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara
SKRIPSI
PENGARUH RASIO EFEKTIVITAS PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA BAGI HASIL (DBH), DANA ALOKASI UMUM (DAU), DAN
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP TINGKAT
KEMANDIRIAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
O L E H :
BENNYLY PANGIHUTAN JOULI SIMBOLON 090522015
PROGRAM STUDI STRATA 1 AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Tingkat Kemandirian Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara” adalah benar hasil karya saya sendiri dan judul yang dimaksud adalah pengembangan dari judul-judul yang lalu dengan menambahkan variabel yang berbeda dan periode yang berbeda serta kalaupun ada ditemukan judul yang sama, itu merupakan ketidaksengajaan penulis. Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas dan benar apa adanya. Apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.
Medan, 20 Juni 2011 Yang membuat pernyataan,
(Bennyly Pangihutan Jouli Simbolon) NIM : 090522015
(3)
KATA PENGANTAR
Syukur dan Puji Tuhan penulis panjatkan kepada tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya, serta senantiasa memberikan kesehatan, kemampuan, dan kekuatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Universitas Sumatera Utara dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi. Adapun judul skripsi ini adalah: “Pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Tingkat Kemandirian Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara”.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, baik dai segi isi maupun penyajiannya. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis masih dan akan terus belajar untuk meningkatkan kemampuan.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan, bantuan dan dukungan serta doa dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terma kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, terutama:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Firman Syarif, M.Si, Ak selaku Ketua Program Studi S1 Akuntansi Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
(4)
3. Bapak Drs. H.M Zainul Bahri Torong, M.Si, Ak selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Prof. Erlina, SE, M.Si, Ak., Phd selaku dosen pembanding/penguji I yang telah banyak memberikan arahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Bapak Drs. Sucipto, MM, Ak selaku dosen pembanding/penguji II yang telah banyak memberikan arahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada Bapak Bupati Samosir, Ir. Mangindar Simbolon dan kepada Pejabat di Dinas Pendapatan, Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten Samosir, Bapak Parlin P. Malau, Bapak Drs. Abdu Nainggolan, Ibu Hotmariani Simbolon, SH, M.Kn yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk tugas belajar pada Universitas Sumatera Utara. Terima kasih dan semoga Kabupaten Samosir semakin maju.
6. Secara khusus saya persembahkan kepada istriku terkasih dan tercinta, Krisna Basa Provita Sihombing, S. Pd serta kepada kedua anakku tersayang, Daniel Ivaner Simbolon dan Lydia Eunike Simbolon. Terima kasih buat semangat dan doa serta pengorbanan yang telah kalian berikan.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Medan, 21 Juni 2011 Penulis,
(Bennyly Pangihutan Jouli Simbolon) NIM : 090522015
(5)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusu (DAK) berpengaruh signifikan positif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan desain penelitian kausal, dengan jumlah sampel 20 Kabupaten/Kota setiap tahunnya dari 33 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk periode 2007-2008. Jenis data yang dipakai adalah data sekunder. Data diperoleh melalui situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan
dalam penelitian ini adalah data Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (LRAPBD). Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan metode analisis data yang terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik sebelum melakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda dengan uji t, uji F dan uji koefisien determinasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh secara signifikan positif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. Sedangkan variabel Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara signifikan negatif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. Secara simultan rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
Kata Kunci : Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
(6)
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the significant impact of Local Own Revenue Effectivity Ratio, Share Allocation Fund, General Allocation Fund and Special Allocation Fund toward Regional Financial Independence in regency/city at North Sumatera Province.
The method of this minithesis is a causal research design with 20 regency/city as a sample for every year from 33 regency/city at North Sumatera Province. This research is done for 2007-2008 period. This research utilizes secondary data. The data are taken from the website Financial Department of the
Republic Indonesia
research are collected through the region budget of revenue and expense and the realitation the region budget of revenue and expense. The data which have already collected are processed with classic asumption test before hypothesis test. Hypothesis test in this research use double regression with t test, F test and coefficient determination test.
The result of this research show that partically Local Own Revenue Effectivity Ratio have a positive significant impact to the Regional Financial Independence. Whereas, Share Allocation Fund, General Allocation Fund and Special Allocation Fund have a negative significant impact to the Regional Financial Independence. Local Own Revenue Effectivity Ratio, Share Allocation Fund, General Allocation Fund and Special Allocation Fund have a positive significant impact to the Regional Financial Independence simultaneously.
Keywords : Regional Financial Independence, Local Own Revenue Effectivity Ratio, Share Allocation Fund, General Allocation Fund, Special Allocation Fund.
(7)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... i x DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Penelitian ... 6
C. Perumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis ... 9
1. Keuangan Daerah ... 9
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 9
a. Pengertian Unsur-unsur APBD ... 9
b. Struktur APBD ... 11
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 12
4. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah ... 17
(8)
1). Dana Bagi Hasil ... 20
2). Dana Alokasi Umum ... 21
3). Dana Alokasi Khusus ... 22
6. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah ... 24
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis ... 26
1. Kerangka Konseptual ... 26
2. Hipotesis Penelitian ... 27
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 29
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 29
C. Jenis dan Sumber Data ... 31
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ... 31
E. Teknik Pengumpulan Data ... 33
F. Model dan Teknik Analisis Data ... 33
1. Model Analisis Data ... 33
2. Pengujian Asumsi Klasik a. Uji Normalitas ... 34
b. Uji Heteroskedastisitas ... 35
c. Uji Autokorelasi ... 36
d. Uji Multikolinearitas ... 37
G. Pengujian Hipotesis ... 38
1. Uji Signifikan Parsial (uji-t) ... 38
2. Uji signifikan simultan (Uji-F) ... 39
(9)
I. Jadwal Penelitian ... 40
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ... 41
1. Data Penelitian ... 41
a. Gambaran Umum wilayah Sumatera Utara ... 41
b. Data Kemandirian Keuangan Daerah ... 44
c. Data Rasio Efektivitas PAD ... 45
d. Data Rasio DBH ... 46
e. Data Rasio DAU ... 47
f. Data Rasio DAK ... 48
2. Statistik Deskriptif ... 49
3. Pengujian Asumsi Klasik ... 50
a. Uji Normalitas ... 50
b. Uji Heteroskedastisitas ... 54
c. Uji Autokorelasi ... 57
d. Uji Multikolinearitas ... 58
4. Model dan Teknik Analisis Data ... 59
5. Pengujian Hipotesis ... 61
a. Uji Signifikan Parsial (uji-t) ... 61
b. Uji signifikan simultan (Uji-F) ... 62
c. Koefisien Determinasi (R2) ... 63
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66
(10)
C. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25
Tabel 3.1 Penentuan Sampel Penelitian ... 30
Tabel 3.2 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 32
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 40
Tabel 4.1 Pemerintahan Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara ... 42
Tabel 4.2 Pemerintahan Kota di Provinsi Sumatera Utara ... 43
Tabel 4.3 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ... 44
Tabel 4.4 Rasio Efektivitas PAD ... 45
Tabel 4.5 Rasio DBH ... 46
Tabel 4.6 Rasio DAU ... 47
Tabel 4.7 Rasio DAK ... 48
Tabel 4.8 Descriptive Statistics ... 49
Tabel 4.9 Uji Normalitas sebelum transformasi dengan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 51
Tabel 4.10 Uji Normalitas setelah transformasi dengan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 53
Tabel 4.11 Hasil Uji Heteroskedastisitas sebelum transformasi dengan Uji Glejser ... 55
Tabel 4.12 Hasil Uji Heteroskedastisitas setelah transformasi dengan Uji Glejser ... 57
Tabel 4.13 Hasil Uji Autokorelasi ... 57
Tabel 4.14 Hasil Uji Multikolinearitas ... 58
(12)
Tabel 4.16 Uji Statistik t ... 61 Tabel 4.17 Uji Statistik F ... 63 Tabel 4.18 Koefisien Determinasi... 63
(13)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ... 26 Gambar 4.1 Histogram sebelum transformasi - Dependent
Variable: Tingkat Kemandirian ... 50 Gambar 4.2 Normal P-P Plot of Regression Standarized Residual
sebelum transformasi - Dependent Variable: Tingkat
Kemandirian ... 51 Gambar 4.3 Histogram setelah transformasi - Dependent
Variable: LN_KMDRN ... 52 Gambar 4.4 Normal P-P Plot of Regression Standarized Residual
setelah transformasi - Dependent Variable:
LN_KMDRN ... 53 Gambar 4.5 Grafik Scatterplot sebelum transformasi - Dependent
Variable: Tingkat Kemandirian ... 54 Gambar 4.6 Grafik Scatterplot setelah transformasi - Dependent
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran 1 Tabel Penentuan sampel penelitian
Lampiran 2 Rekapitulasi Data Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara yang dijadikan sampel periode 2007-2008
Lampiran 3 Descriptive Statistics
Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas dengan Grafik Histogram sebelum transformasi
Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas dengan Normal Probability Plot sebelum transformasi
Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas sebelum transformasi dengan
Nonparametric test Kolmogorov-Smirnov
Lampiran 7 Hasil Uji Normalitas dengan Grafik Histogram setelah transformasi
Lampiran 8 Hasil Uji Normalitas dengan Normal Probability Plot setelah transformasi
Lampiran 9 Hasil Uji Normalitas setelah transformasi dengan
Nonparametric test Kolmogorov-Smirnov
Lampiran 10 Hasil Uji Heteroskedastisitas sebelum transformasi dengan Uji
Scatterplot
Lampiran 11 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser sebelum transformasi
(15)
Lampiran 12 Hasil Uji Heteroskedastisitas setelah transformasi dengan Uji
Scatterplot
Lampiran 13 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser setelah transformasi
Lampiran 14 Hasil Uji Autokorelasi Lampiran 15 Hasil Uji Multikolinearitas Lampiran 16 Hasil Analisis Regresi
(16)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusu (DAK) berpengaruh signifikan positif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan desain penelitian kausal, dengan jumlah sampel 20 Kabupaten/Kota setiap tahunnya dari 33 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk periode 2007-2008. Jenis data yang dipakai adalah data sekunder. Data diperoleh melalui situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan
dalam penelitian ini adalah data Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (LRAPBD). Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan metode analisis data yang terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik sebelum melakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda dengan uji t, uji F dan uji koefisien determinasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh secara signifikan positif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. Sedangkan variabel Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara signifikan negatif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. Secara simultan rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
Kata Kunci : Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
(17)
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the significant impact of Local Own Revenue Effectivity Ratio, Share Allocation Fund, General Allocation Fund and Special Allocation Fund toward Regional Financial Independence in regency/city at North Sumatera Province.
The method of this minithesis is a causal research design with 20 regency/city as a sample for every year from 33 regency/city at North Sumatera Province. This research is done for 2007-2008 period. This research utilizes secondary data. The data are taken from the website Financial Department of the
Republic Indonesia
research are collected through the region budget of revenue and expense and the realitation the region budget of revenue and expense. The data which have already collected are processed with classic asumption test before hypothesis test. Hypothesis test in this research use double regression with t test, F test and coefficient determination test.
The result of this research show that partically Local Own Revenue Effectivity Ratio have a positive significant impact to the Regional Financial Independence. Whereas, Share Allocation Fund, General Allocation Fund and Special Allocation Fund have a negative significant impact to the Regional Financial Independence. Local Own Revenue Effectivity Ratio, Share Allocation Fund, General Allocation Fund and Special Allocation Fund have a positive significant impact to the Regional Financial Independence simultaneously.
Keywords : Regional Financial Independence, Local Own Revenue Effectivity Ratio, Share Allocation Fund, General Allocation Fund, Special Allocation Fund.
(18)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah untuk kemandirian keuangan daerah. Hal ini membuat topik tentang kemandirian keuangan daerah dalam era otonomi semakin tertarik untuk dibahas, terlebih sejak digulirkannya paket perundang-undangan tentang otonomi daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian kedua undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dimana Pemerintah Daerah berhak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi daerah dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta semua masyarakat, serta meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut diikuti dengan berbagai tuntutan masyarakat untuk dilakukannya reformasi di segala bidang, termasuk reformasi di bidang pemerintahan yang bersih dari praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut, pada prinsipnya merupakan tanggapan terhadap berkembangnya tuntutan desentralisasi atau otonomi daerah yang lebih luas bagi daerah. Diberlakukannya kebijakan
(19)
desentralisasi melalui kedua undang-undang tersebut bukan hanya sekedar meredam gejolak yang diakibatkan oleh semangat reformasi, tetapi juga merupakan koreksi total terhadap kebijakan yang lama didalam perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan bangsa yang sentralistik dan monopolistik yang lebih menonjolkan keseragaman daripada keragaman, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan bagi daerah.
Kemandirian keuangan daerah dapat dilihat dari besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh tiap Pemkab/Pemko. Semakin besar PAD dibandingkan dengan bantuan yang diberikan Pemerintah Pusat maka Pemkab/Pemko tersebut dapat dikatakan mandiri. PAD itu sendiri merupakan hal yang utama dalam mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah. Oleh karena itu, perlu dilihat efektivitas PAD tersebut dengan membandingkan antara PAD yang dianggarkan dengan realisasi PAD. PAD inilah yang merupakan sumber pembiayaan yang memang benar-benar digali dari daerah itu sendiri sehingga dapat mencerminkan kondisi riil daerah. Jika nantinya struktur PAD sudah kuat, boleh dikatakan daerah tersebut memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat. Untuk itu tentu dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta objek pajak dan retribusi yang taat. Semantara Bagi Hasil, DAU dan DAK serta berbagai bentuk transfer lainnya dari Pemerintah Pusat semestinya hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sehingga tingkat ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat dalam pembiayaan daerahnya semakin kecil. Dengan semakin kecilnya tingkat ketergantungan tersebut, maka suatu daerah dapat dikatakan mandiri.
Namun yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU dan
(20)
DAK. Hanya beberapa daerah yang menunjukkan struktur PAD yang kuat. Itupun daerah yang terletak di Pulau Jawa yang secara historis sudah kuat sejak lama.
Dalam hal sumber pendapatan daerah misalnya, sebelum otonomi daerah digulirkan sumber pendapatan daerah relatif terbatas yakni hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan relatif sedikit dana dari bantuan pusat. Lahirnya kebijakan Dana Perimbangan merupakan konsekuensi dari strategi desentralisasi fiskal. Pada prinsipnya Dana Perimbangan tersebut merupakan sumber pembiayaan yang saling melengkapi dengan dana dari masing-masing daerah dengan tetap memperhatikan kebutuhan wilayah daerah otonom yang bersangkutan. Namun dalam proses implementasi, desentralisasi fiskal belum menjadi salah satu faktor keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, jika Pemerintah Daerah tidak siap dalam mengelola dan memanfaatkan keuangan daerah secara efektif dan efisien untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah berupa Pendapatan Asli Daerah, sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan. Jika dilihat dari perspektif kemampuan daerah dalam memperoleh PAD, maka pelaksanaan otonomi dalam bidang keuangan sesungguhnya sangat kecil. Ini berarti peran PAD dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan lainnya tidak akan berarti. Daerah-daerah lebih bertumpu kepada sumber pendapatan dari Dana Perimbangan. Implementasi kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui Dana Perimbangan ditujukan untuk mengurangi ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu didorong untuk
(21)
menggali potensi daerahnya guna memperkuat posisi PAD, sehingga secara bertahap mengurangi ketergantungan pada pusat.
Propinsi Sumatera Utara yang telah melaksakan otonomi daerah dengan melakukan pemekaran daerah pada pemerintahan kabupaten/kota perlu ditinjau tingkat kemandirian keuangannya terutama tingkat kemandirian keuangan pada Pemerintahan Kabupaten dan Pemerintahan Kota. Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana publik
(public services). Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara
mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ayu (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah DAU berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah dengan sampel Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa DAU mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah selama kurun waktu penelitian. Yunita (2008) juga melakukan penelitian untuk mengetahui apakah rasio efektivitas PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan variabel rasio efiktivitas PAD dan DAU berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Namun secara Parsial, variabel rasio efiktivitas PAD tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara sedangkan variabel DAU berpengaruh secara signifikan terhadap
(22)
tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, Muliana (2009), juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah rasio efektivitas PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan variabel rasio efiktivitas PAD, DAU dan DAK berpengaruh secara signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Namun secara Parsial, variabel rasio efiktivitas PAD berpengaruh secara signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara sedangkan variabel DAU dan DAK berpengaruh secara signifikan negatif terhadap variabel tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian terdahulu, yaitu antara Yunita (2008) dan Muliana (2009) terdapat perbedaan hasil penelitian dimana perbedaan tersebut terletak pada pengujian secara parsial antara variabel rasio efiktivitas PAD dengan tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian terdahulu tersebut di atas, memiliki keterbatasan berupa variabel penelitian yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah. Padahal disamping ketiga variabel tersebut masih terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, dimana variabel tersebut tidak diteliti oleh peneliti terdahulu. Jumlah sampel pada penelitian terdahulu masih relatif sedikit jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, periode yang diteliti pada penelitian terdahulu dibatasi hanya sampai pada periode 2006.
(23)
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian sejenis dengan mengambil sampel Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara dengan judul “Pengaruh Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Tingkat Kemandirian Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.”.
B. Batasan Penelitian
Peneliti memberi batasan penelitian agar penelitian ini terfokus pada topik yang telah dipilih, yaitu:
1. Batasan Aspek
Aspek penelitian ini terbatas pada Akuntansi Sektor Publik untuk menjelaskan Pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
2. Batasan Lokasi
Lokasi penelitian ini terbatas pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
3. Batasan Waktu
Waktu Penelitian ini terbatas pada tahun 2007 sampai dengan 2008.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Apakah Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan
(24)
Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara?”.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Untuk menganalisis dan mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pad Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
b. Bagi Pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran mengenai Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus serta pengaruhnya terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
c. Bagi calon peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk penelitian yang lebih lanjut yang berkaitan dengan Pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana
(25)
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis
1. Keuangan Daerah
Menurut Mamesah dalam Halim (2007 : 23), keuangan daerah dapat diartikan sebagai “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku.”
Menurut Halim (2004 : 20), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari “keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah. Kekayaan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD.”
“Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh sebab itu, keuangan daerah identik dengan APBD.” (Saragih, 2003 : 12).
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) a. Pengertian dan Unsur-unsur APBD
Menurut Yani (2008 : 369), “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah ”. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada hakekatnya
(27)
merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Tugas utama dari anggaran adalah mengendalikan aktivitas fiskal Pemerintah, mengkaji tindakan sebelumnya dan mengetahui program Pemerintah di masa yang akan datang. Anggaran Daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah.
Menurut Bastian (2006 : 189), ”APBD merupakan pengejawantahan rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik”. Menurut Halim (2004 : 15), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat didefinisikan sebagai berikut :
suatu anggaran daerah, yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun.
Sedangkan Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Saragih (2003 : 127) :
APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak – pajak daerah.
Berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, ” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD”. Dapat disimpulkan bahwa APBD merupakan rencana kerja Pemerintah Daerah untuk satu periode tertentu, biasanya satu tahun, yang disusun berdasarkan peraturan
(28)
tentang APBD. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input
yang ditetapkan.
Unsur-Unsur Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai berikut:
a. rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci,
b. adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan,
c. jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka, d. periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
b. Struktur APBD
Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada pasal 22, yaitu :
pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah (Permendagri 13/ 2006). Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan APBD yang memakai format Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, maka APBD yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu :
(29)
pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang (Halim, 2004 : 18).
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Setiap daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD. Dikhawatirkan jika Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang.
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Definisi Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh Pemerintah Daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD. Semakin besar
(30)
kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap bantuan Pemerintah Pusat.
Menurut Halim (2004 : 67), ”Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatn Asli Daerah yang dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah”.
“Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.” (Mardiasmo, 2002 : 132)
Menurut Yani (2008 : 51) :
Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 pasal 1, ”Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar Pemerintah Daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari Pemerintah Pusat.
(31)
Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka diharapkan tiap-tiap Pemerintah Daerah dapat membangun infrastruktur ekonomi yang baik di daerahnya masing-masing, guna meningkatkan pendapatannya. Keleluasaan yang dimiliki oleh Daerah harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan baru tanpa membebani masyarakat dan tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Upaya peningkatan PAD tersebut harus dipandang sebagai perwujudan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
b. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah
Klasifikasi PAD berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas
(32)
umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran / cicilan penjualan.
Menurut Halim (2007 : 96), “Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah”.
a) Pajak Daerah
Menurut UU No. 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Saragih (2003 : 61), ”Pajak daerah ialah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.
Pajak daerah, sebagai salah satu pendapatan asli daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
b) Retribusi Daerah
Menurut Yani (2008 : 63), ”Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”.
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah. Jadi, retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Retribusi daerah,
(33)
sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Daerah kabupaten/ kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap masyarakatnya, maka kecendrungan perolehan dana retribusi semakin besar. c) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik
Daerah yang Dipisahkan atau bagian laba BUMD
Menurut Yani (2008:73),“Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan hasil yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan yang terpisah dari pengelolaan APBD. Jika atas pengelolaan tersebut memperoleh laba, laba tersebut dapat dimasukkan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah”.
BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) merupakan badan usaha yang didirikan seluruhnya atau sebagian, dengan modal daerah. Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah. Selain itu, BUMD juga merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Bagian laba BUMD tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan daerah dan anggaran belanja daerah, setelah dikurangi dengan penyusutan, dan pengurangan lain yang wajar dalam BUMD.
(34)
BUMD sebenarnya juga merupakan salah satu potensi sumber keuangan bagi daerah yang perlu terus ditingkatkan guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah . Besarnya kontribusi laba BUMD dalam Pendapatan Asli Daerah dapat menjadi indikator kuat dan lemahnya BUMD dalam suatu daerah.
d) Lain-lain PAD yang sah
Menurut Yani (2008 : 74), “Lain-lain PAD yang sah merupakan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan”.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya. Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka daerah harus melakukan maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah. Maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah dalam pengertian bahwa keleluasaan yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang baru.
4. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2007:232), “Kemandirian Keuangan Daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan
(35)
daerah.” Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota ditekankan pada kemampuannya dalam membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Dimana pembiayaan itu diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah masing. Maka menjadi suatu tugas yang sangat penting bagi masing-masing Pemkab/Pemko untuk menggali sumber keuangan daerahnya agar dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang maksimum guna menanggulangi semua aktivitas ataupun kegiatan pada setiap daerah, sehingga tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaan daerahnya semakin kecil. Dengan semakin kecilnya tingkat ketergantungan tersebut, maka suatu daerah dapat dikatakan mandiri.
Menurut Halim (2007:234), “Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah”, dengan rumus:
Realisasi Penerimaan PAD
Efektivitas = X 100% Target Penerimaan PAD
Menurut Mahsun (2006 : 191), “Efektivitas (hasil guna) adalah suatu keberhasilan suatu organisasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan,”
Efektivitas juga menggambarkan tingkat kinerja pemerintah daerah dalam merealisasikan anggaran yang tersusun dalam APBD agar mencapai target yang diharapkan atau bahkan melebihi target yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006, “Kinerja adalah hasil
(36)
keluaran/hasil kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.”
5. Dana Perimbangan
a. Pengertian Dana Perimbangan
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Saragih (2003 : 85) adalah:
Suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
Menurut Halim (2004 : 69), “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah”. Sedangkan menurut Widjaja (2004 : 229) :
Dana perimbangan merupakan pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, peningkatan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Menurut Saragih (2003 : 84), “komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Dalam kebijakan fiskal, dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal”.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan merupakan inti dari hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem
(37)
hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara Pemerintah Pusat dan Daerah (intergovernmental fiscal relation system), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyediaan sebahagian wewenang pemerintahan. Dengan kata lain, hubungan keuangan merupakan suatu sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah.
b. Klasifikasi Dana Perimbangan Menurut Saragih (2003 : 86) : Dana perimbangan terdiri dari :
1) Dana Bagi Hasil dari : pajak bumi bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penetapan besarnya dana bagi hasil pajak dan nonpajak didasarkan atas persentase dengan tarif dan basis pajaknya,
2) Dana Alokasi Umum (DAU) atau sering disebut juga dengan block grant yang besarnya didasarkan atas formula,
3) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK identik dengan special grant
yang ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi yang sangat khusus, namun prosesnya tetap dari bawah (bottom-up).
Adapun klasifikasi dana perimbangan yang terbaru adalah berdasarkan Permendagri 13/ 2006, dimana dana perimbangan tersebut terdiri atas :
dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
1) Dana Bagi Hasil
Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004, “Dana Bagi Hasil adalah dana yang diperoleh dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA)”. Melalui bagi hasil penerimaan negara tersebut, diharapkan potensi penerimaan
(38)
daerah menjadi semakin meningkat dan daerah merasakan bahwa haknya atas pemanfaatan SDA yang dimiliki masing-masing daerah diperhatikan oleh Pemerintah Pusat. Dengan sistem pembagian yang didasarkan atas daerah asal (by
origin), sebagian penerimaan yang diperoleh dari daerah penghasil harus
diberikan dan dinikmati oleh daerah penghasil yang bersangkutan. 2) Dana Alokasi Umum
Menurut Widjaja (2004 : 47), ”Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer dari Pusat kepada Daerah yang bersifat block grant yang kewenangan pengaturan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaran pemerintahan daerah”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, “Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Sedangkan menurut Widjaja (2004 : 47) :
Dana Alokasi Umum merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan peranannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah. Proporsinya yang cukup besar dan kewenangan pemanfaatan yang luas sekaligus akan memberikan makna otonomi yang lebih nyata bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah. Dari penjelasan diatas, terlihat Dana Alokasi Umum memiliki jumlah yang sangat signifikan sehingga semua Pemerintah Daerah menjadikannya sebagai sumber penerimaan terpenting dalam anggaran penerimaannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, Dana Alokasi Umum dapat dilihat sebagai respons Pemerintah terhadap aspirasi daerah untuk mendapatkan sebahagian kontrol yang lebih besar terhadap keuangan negara.
(39)
Menurut Saragih (2003 : 104), “bagi daerah yang relatif minim Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung operasional Pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan”. Menurut Saragih (2003 : 132), “tujuan DAU di samping untuk mendukung sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan
(equalization) kemampuan keuangan Pemerintah Daerah”. Adapun tujuan DAU
berdasarkan PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dalam Mardiasmo (2002 : 157) dijelaskan berikut ini.
tujuan Dana Alokasi Umum terutama adalah untuk : horizontal equity
dan sufficiency. Tujuan horizontal equity merupakan kepentingan
Pemerintah Pusat dalam rangka melakukan distribusi pendapatan secara adil dan merata agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antar daerah. Sementara itu, yang menjadi kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency), terutama adalah untuk menutup fiscal gap. Sufficiency
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : kewenangan, beban, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM).
Dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bantuan umum (block grant) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistibusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi Dana Alokasi Umum adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antara Pemerintah Daerah/Pemerintah Kota di seluruh Indonesia.
3) Dana Alokasi Khusus
Menurut Halim (2004 : 141), “ Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu”. Menurut Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun
(40)
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional”. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menggariskan bahwa kebutuhan khusus yang dapat dibiayai dengan Dana Alokasi Khusus antara lain kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus Dana Alokasi Umum dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Adapun persyaratan untuk memperoleh Dana Alokasi Khusus adalah sebagai berikut:
1) Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan yang Sah;
2) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK Reboisasi);
(41)
3) Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri Teknis/ Instansi terkait.
6. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Halim (2007:232), “Kemandirian Keuangan Daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.” Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota ditekankan pada kemampuannya dalam membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Dimana pembiayaan itu diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah masing. Maka menjadi suatu tugas yang sangat penting bagi masing-masing Pemkab/Pemko untuk menggali sumber keuangan daerahnya agar dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang maksimum guna menanggulangi semua aktivitas ataupun kegiatan pada setiap daerah, sehingga tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaan daerahnya semakin kecil. Dengan semakin kecilnya tingkat ketergantungan tersebut, maka suatu daerah dapat dikatakan mandiri.
Menurut Halim (2007:232), rumus Rasio Kemandirian adalah: Pendapatan Asli Daerah
Rasio Kemandirian = X 100% Bantuan Pemerintah Pusat (Provisi Pinjaman)
Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini, berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi)
(42)
semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD).
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tinjauan penelitian terdahulu merupakan acuan dalam penelitian ini. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama
dan Tahun
Judul Penelitian Variabel
Penelitian Hasil Penelitian Rifana Ayu (2007) Analisis Pengaruh DAU terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Dalam Otonomi Daerah (studi kasus pada Pemerintah Daerah/Kota Provinsi Sumatera Utara) Variabel dependen: Kemandirian Keuangan Daerah Variabel independen: Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh secara signifikan terhadap
kemandirian keuangan daerah pada Pemerintah Daerah/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Tiodora Delima Nababan (2007) Analisis Pengaruh Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Variabel dependen: Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Variabel independen: Pajak daerah, Retribusi daerah, Bagian laba BUMD, dan Lain-Lain PAD yang sah
1. Secara simultan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-Lain PAD yang sah
berpengaruh signifikan positif terhadap DAU dan DAK
2. Secara parsial, hanya Pajak Daerah yang tidak berpengaruh signifikan terhadap DAU dan hanya Lain-Lain PAD yang sah yang tidak berpengaruh signifikan terhadap DAK
(43)
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual
Berdasarkan Latar Belakang Masalah, kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Dewi Anggra Yunita (2008) Pengaruh Rasio Efektivitas PAD dan DAU terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara Variabel dependen: Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Variabel independen: Rasio Efektivitas PAD dan DAU
1. Secara parsial, hanya DAU yang berpengaruh secara signifikan
2. Secara simultan, Rasio Efektivitas PAD dan DAU berpengaruh secara signifikan
Muliana (2009)
Pengaruh Rasio Efektivitas PAD , DAU, dan DAK terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara Variabel dependen: Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Variabel independen: Rasio Efektivitas PAD, DAU, dan DAK
1. Secara parsial, Rasio efektivitas PAD berpengaruh secara signifikan positif
2. Secara parsial, DAU dan DAK berpengaruh secara signifikan negatif 3. Secara simultan, Rasio
Efektivitas PAD, DAU dan DAK berpengaruh secara signifikan positif
Rasio Efektivitas PAD (X1)
Dana Bagi Hasil (X2)
Dana Alokasi Umum (X3)
Dana Alokasi Khusus (X4)
Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
(44)
Penelitian ini merupakan suatu kajian yang berangkat dari berbagai konsep teori dan kajian penelitian yang mendahuluinya. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang daerah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah di dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahannya, baik dalam bidang politik, sosial maupun ekonomi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan dalam menggali sumber keuangannya sendiri dan membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Pembiayaan tersebut diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah yang didukung pula oleh dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah setara antara Propinsi dan Kabupaten/ Kota.
Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan ini berpengaruh terhadap Tingkat Kemandirian Daerah. Semakin efektif Pemerintah Daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah, maka akan memperbesar atau meningkatkan jumlah Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh. Jika jumlah Pendapatan Asli Daerah cukup besar maka diharapkan akan dapat menurunkan atau bahkan menutupi jumlah Dana Perimbangan yang diperoleh dari Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Pusat tidak perlu lagi mengalokasikan dana kepada Pemerintah Daerah. Dan hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada kemandirian daerah.
2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara parsial dan simultan
(45)
terhadap tingkat kemandirian keuangan pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
(46)
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian assosiatif kausal, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara suatu variabel dengan variabel yang lainnya (umar, 2003 : 30). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap tingkat kemandirian keuangan pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian
Menurut Sugiyono (2004 : 73), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulannya.” Populasi dalam penelitian ini adalah 25 Kabupaten dan 8 Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara untuk tahun 2007 s/d 2008 yang menyampaikan Laporan APBD dan Laporan Realisasi APBD.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2004 : 73). Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu “teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004 : 78).
Beberapa pertimbangan yang ditentukan oleh peneliti dalam pengambilan sampel adalah:
(47)
1. Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan Laporan APBD dan Laporan Realisasi APBD-nya dalam situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2. Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan Laporan APBD dan Laporan Realisasi APBD-nya selama periode 2007 s/d 2008. 3. Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang menerima Dana Transfer
Pusat (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus). Berdasarkan kriteria tersebut di atas, didapatkan sebanyak 20 sampel yang memenuhi kriteria yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 7 Kota di Provinsi Sumatera, sehingga jumlahnya 40 sampel (20 Kabupaten/Kota dikali 2 tahun). Tabel penentuan sampel adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Penentuan Sampel Penelitian
No. Nama Kabupaten/Kota Kriterian Sampel Sampel
1 2 3
1 Kab. Asahan x x x -
2 Kab. Dairi Sampel 1
3 Kab. Deli Serdang Sampel 2 4 Kab. Tanah Karo Sampel 3 5 Kab. Labuhan Batu Sampel 4
6 Kab. Langkat x -
7 Kab. Mandailing Natal x x x -
8 Kab. Nias Sampel 5
9 Kab. Simalungun Sampel 6 10 Kab. Tapanuli Selatan Sampel 7 11 Kab. Tapanuli Tengah Sampel 8 12 Kab. Tapanuli Utara x - 13 Kab. Toba Samosir Sampel 9 14 Kota Binjai Sampel 10
15 Kota Medan Sampel 11
16 Kota Pematang Siantar Sampel 12 17 Kota Sibolga Sampel 13 18 Kota Tanjung Balai Sampel 14 19 Kota Tebing Tinggi Sampel 15 20 Kota Padang Sidempuan Sampel 16
(48)
21 Kab. Pakpak Barat x x x - 22 Kab. Nias Selatan Sampel 17 23 Kab. Humbang Hasundutan Sampel 18 24 Kab. Serdang Bedagai Sampel 19 25 Kab. Samosir Sampel 20
26 Kab. Batu Bara x x x -
27 Kab. Nias Utara x x x -
28 Kab. Padang Lawas x x x - 29 Kab. Padang Lawas Utara x x x - 30 Kota Gunung Sitoli x x x - 31 Kab. Labuhan Batu Selatan x x x - 32 Kab. Labuhan Batu utara x x x -
33 Kab. Nias Barat x x x -
C. Jenis dan sumber Data
Jenis data yang digunakan Peneliti adalah Data Sekunder. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dan data tersebut sudah diolah seperti sejarah singkat Provinsi Sumatera Utara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara untuk Tahun Anggaran 2007 sampai dengan Tahun Anggaran 2008.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pooled data yaitu kombinasi antara data time series dengan data cross section selama periode tahun 2007 sampai dengan 2008. Data time series merupakan sekumpulan data untuk meneliti suatu fenomena tertentu yang didapat dalam beberapa interval waktu tertentu, misalnya dalam mingguan, bulanan, atau tahunan. Sedangkan data cross section
adalah sekumpulan data untuk meneliti suatu fenomena tertentu dalam satu kurun waktu.
Sumber Data dalam penelitian ini diperoleh peneliti dari Badan Pusat
Statistik (BPS),
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas/independen (X) dan variabel terikat/dependen (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variabel
(49)
Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah (X1), DBH (X2), DAU (X3), dan DAK
(X4). Variabel terikatnya adalah Tingkat kemandirian keuangan daerah (Y).
Definisi operasional dan pengukuran variabel dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel Definisi Operasional Pengukuran Skala
Independen 1. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah Menurut Halim (2007:234), “Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang
direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah”
Realisai PAD
X 100% Realisasi Total Pendapatan
Rasio
2. Dana Bagi Hasil (DBH)
Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004, “Dana Bagi Hasil adalah dana yang diperoleh dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA)”
Realisai DBH
X 100% Realisasi Total Pendapatan
Rasio
3. Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Saragih (2003 : 132), “tujuan DAU di samping untuk mendukung sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan keuangan Pemerintah Daerah”
Realisai DAU
X 100% Realisasi Total Pendapatan
(50)
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik dokumentasi, yakni peneliti melakukan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara dan mendownload situs melalui buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. F. Model dan Teknik Analisis Data
1. Model Analisis Data
Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi berganda, karena menyangkut empat variabel independen dan satu variabel dependen.
4. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Menurut Halim (2004 : 141), “ Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu”
Realisai DAK
X 100% Realisasi Total Pendapatan
Rasio Dependen 1. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232), “Kemandirian Keuangan Daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah.”
Realisai PAD
X 100% Realisasi Total Belanja
(51)
Model persamaan regresi untuk menguji hipotesis dengan formula sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e Dimana:
Y = Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah a = konstanta
X1 = Rasio Efektivitas PAD
X2 = DBH
X3 = DAU
X4 = DAK
b1 = koefesien regresi Efektivitas PAD
b2 = koefesien regresi DBH
b3 = koefesien regresi DAU
b4 = koefesien regresi DAK
e = pengganggu (error) 2. Pengujian Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah terdistribusi secara normal. Uji normalitas perlu dilakukan untuk menentukan alat statistik yang dilakukan, sehingga kesimpulan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Ghozali (2005 : 110), ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu:
a. Analisis grafik
Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual adalah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Metode
(52)
yang lebih handal adalah dengan melihat normal probability plotyang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal dan plotnya data residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
b. Analisis statistik
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai kurtosis dan nilai Z-skewness. Uji statistik lain yang dapat digunakan untuk menguji normalitas residual adalah uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S), Jika tingkat signifikansinya > 0,05, maka data itu terdistibusi normal dan dapat dilakukan model regresi berganda.
Pedoman pengambilan keputusan tentang data tersebut mendekati atau merupakan distribusi normal berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov dapat dilihat dari:
1) nilai Sig. atau signifikan atau probabilitas < 0,05, maka distribusi data adalah tidak normal,
2) nilai Sig. atau signifikan atau probabilitas > 0,05, maka distribusi data adalah normal.
Distribusi yang melanggar asumsi normalitas dapat dijadikan menjadi bentuk yang normal dengan beberapa cara sebagai berikut :
1) Transformasi Data
Transformasi data dapat dilakukan dengan logaritma natiral (ln), log10, maupun akar kuadrat. Jika ada data yang bernilai negatif, transformasi data dengan logaritma akan menghilangkannya sehingga julah sampel (n) akan bekurang.
b) Trimming
Trimming adalah memangkas (membuang) observasi yang bersifat outlier,
yaitu yang nilainya lebih kecil dari µ-2σ atau lebih besar dari µ+2σ. Metode ini juga mengecilkan sampelnya.
(53)
c) Winzorising
Winzorising mengubah nilai-nilai outliers menjadi nilai-nilai minimum atau maksimum yang diizinkan supaya distribusinya menjadi normal. Nilai-nilai observasi yang lebih kecil dari µ-2σ akan diubah nilainya menjadi µ+2σ dan nilai-nilai yang lebih besar dari µ+2σ akan diubah nilainya menjadi µ-2σ.
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lainnya tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika varians berbeda, maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang tidak terjadi heteroskedastisitas.
Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan cara melihat grafik scattter plot
antara variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Dasar analisisnya:
a) jika ada pola-pola tertentu, seperti titik-titik yang membentuk pola tertentu yang teratur, maka terjadi heteroskedastisitas,
b) jika tidak ada pola yang jelas atau titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas atau terjadi homoskedastisitas.
Cara lain untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain adalah dengan uji Glejser yang dilakukan dengan meregresikan kembali nilai absolut residual terhadap variabel independen. Salah satu cara untuk mengurangi
(54)
masalah heteroskesdatisitas adalah menurunkan besarnya rentang (range) data. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan rentang data adalah melakukan transformasi (manipulasi) logaritma. Tindakan ini bisa dilakukan bila semua data bertanda positif.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi ini digunakan untuk menguji asumsi klasik regresi berkaitan dengan adanya autokorelasi. Model regresi yang baik adalah model yang tidak mengandung autokorelasi. Autokorelasi adalah keadaan dimana variabel error-term pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel error-term
pada periode lain yang bermakna variabel error-term tidak random. Pelanggaran terhadap asumsi ini berakibat interval keyakinan terhadap hasil estimasi menjadi melebar sehingga uji signifikansi tidak kuat. Uji ini dilakukan pada penelitian yang menggunakan data time series. Oleh karena data dalam penelitian ini merupakan gabungan antara data cross section dan time series, maka harus dilakukan uji autokorelasi terlebih dahulu.
Uji autokorelasi dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Durbin-Watson (DW). Panduan mengenai angka D-W untuk mendeteksi autokorelasi bisa dilihat pada tabel D-W, yang bisa dilihat pada buku statistik yang relevan. Namun demikian secara umum bisa diambil patokan:
a) angka D-W di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif,
b) angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi, c) angka D-W diatas +2 berarti ada autokorelasi negatif.
d. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel independen. Menurut
(55)
Ghozali (2005 : 91), untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut :
a). nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independennya banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen,
b). menganalisis matrik korelasi variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya di atas 0.90), maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen tidak berarti bebas dari multikolinearitas. Multikolinearitas dapat disebabkan karena adanya efek kombinasi dua atau lebih variabel independen,
c). multikolinearitas dapat juga dilihat dari (a) nilai tolerance dan lawannya (b) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian sederhana setiap variabel independen menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres terhadap variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/ Tolerence). Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai tolerance < 0.10 atau sama dengan nilai VIF > 10. Cara untuk mengobati jika terjadi multikolinearitas, yaitu:
1) mengeluarkan satu atau lebih variabel independen yang mempunyai korelasi tinggi dari model regresi dan identifikasikan variabel independen lainnya untuk membantu prediksi,
2) menggabungkan data cross section dan time series (pooling data), 3) menambah data penelitian.
G. Pengujian Hipotesis
1. Uji Signifikan Parsial (Uji – t)
Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
Untuk pengujian secara parsial, digunakan uji-t, bentuk pengujiannya adalah:
(56)
Ho : b1, b2, b3, b4 = 0, artinya Rasio Efektivitas PAD, DBH, DAU dan DAK
secara parsial tidak mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
Ha : b1, b2, b3, b4 ≠ 0, artinya Rasio Efektivitas PAD, DBH, DAU dan DAK
secara parsial mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
Pengujian dilakukan menggunakan uji-t dengan tingkat pengujian pada alpa 5%, derajat kebebasan (degree of freedom) atau df = (n-k)
Kriteria pengambilan keputusan: Ho diterima jika t hitung < t tabel
Ha diterima jika t hitung > t tabel
2. Uji Signifikan Simultan (Uji – F)
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Pengujian simultan ini menggunakan uji F, yaitu dengan membandingkan antara nilai signifikansi F dengan nilai signifikansi yang digunakan yaitu 0,05. Bentuk pengujiannya adalah :
Ho : b1, b2, b3, b4 = 0 , artinya Rasio Efektivitas PAD, DBH, DAU dan DAK
secara simultan tidak mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
Ha : b1, b2, b3, b4 ≠ 0 , artinya Rasio Efektivitas PAD, DBH, DAU dan DAK
secara simultan mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.
Kriteria pengambilan keputusan : Ho diterima jika F hitung < F tabel
(57)
Ha diterima jika F hitung > F tabel
3. Koefisien Determinasi (R²)
Pengujian Koefisien Determinasi (R²) digunakan untuk mengukur proporsi atau persentase sumbangan variabel independen yang diteliti terhadap variasi naik turunnya variabel dependen. Koefisien determinasi berkisar antara nol sampai dengan satu ( 0 ≤ R² ≤ 1 ). Hal ini berarti bila R² = 0 menunjukkan tidak adanya pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen, bila R² semakin besar mendekati 1, menunjukkan semakin kuatnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dan bila R² semakin kecil mendekati nol maka dapat dikatakan semakin kecilnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
H. Jadwal Penelitian
Jadwal Penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 3.3 Jadwal Penelitian
N o.
Tahapan Penelitian
Feb. 2011 Maret 2011 April 2011 Mei 2011 Juni 2011
Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 Pengajuan
Judul Tentatif 2 Pengumpulan
Data 3 Bimbingan
Proposal 4 Seminar Proposal 5 Bimbingan
Skripsi 6 Penyelesaian
Skripsi
(58)
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian 1. Data Penelitian
a. Gambaran Umum Wilayah Sumatera Utara
Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 1° - 4° Lintang Utara dan 98°- 100° Bujur Timur atau terbesar ketujuh dari luas wilayah Republik Indonesia. Batas wilayah Sumatera Utara sebagai berikut:
Utara : berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Selatan : berbatasan dengan Sumatera Barat dan Riau.
Barat : berbatasan dengan Samudera Hindia. Timur : berbatasan dengan Selat Malaka.
Berdasarkan letak dan kondisi alamnya, Sumatera Utara dibagi atas 3 kelompok wilayah yaitu:
1) Pantai Barat (Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sibolga, dan Nias)
2) Dataran Tinggi (Tapanuli Utara, Simalungun, Pematangsiantar, Karo, dan Dairi)
3) Pantai Timur (Medan, Binjai, Langkat, Tebing Tinggi, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu)
Pusat pemerintahan Sumatera Utara terletak di kota Medan. Sebelumnya, Sumatera Utara termasuk ke dalam Provinsi Sumatera sesaat Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pada tahun 1950, Provinsi Sumatera Utara dibentuk meliputi sebagian Aceh. Tahun 1956, Aceh dipisahkan menjadi Daerah Otonom dari Provinsi Sumatera Utara. Luas daratan propinsi Sumatera Utara adalah 71.680
(1)
Lampiran 12
Hasil Uji Heteroskedastisitas setelah transformasi dengan Logaritma Natural
Coefficients
a1.145
1.884
.608
.547
1.184
.038
.968
31.233
.000
.024
.035
.015
.680
.501
-.032
.022
-.042
-1.489
.145
.037
.029
.029
1.248
.220
(Constant)
Rasio PAD
Rasio DBH
Rasio DAU
Rasio DAK
Model
1
B
Std. Error
Unstandardized
Coefficients
Beta
Standardized
Coefficients
t
Sig.
Dependent Variable: Tingkat Kemandirian
a.
(2)
Lampiran 13
Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan uji Glejser setelah transformasi dengan
Logaritma Natural
Scatterplot
Dependent Variable: LN_KMDRN
Regression Standardized Predicted Value
4 3
2 1
0 -1
-2
R
egr
es
s
ion S
tude
nt
iz
ed R
es
id
ual
4 3 2 1 0 -1 -2
(3)
Lampiran 14
Hasil Uji Autokorelasi
Coefficientsa
.785 .733 1.072 .291
1.015 .037 .955 27.793 .092
-.040 .049 -.027 -.824 .416
-.151 .169 -.029 -.889 .380
-.030 .035 -.038 -.860 .396
(Constant) LN_RPAD LN_RDBH LN_RDAU LN_RDAK Model
1
B Std. Error Unstandardized
Coefficients
Beta Standardized
Coefficients
t Sig.
Dependent Variable: LN_KMDRN a.
Model Summaryb
.992a .984 .982 .07212 1.847
Model 1
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Durbin-W atson
Predictors: (Constant), LN_RDAK, LN_RDAU, LN_RDBH, LN_RPAD a.
Dependent Variable: LN_KMDRN b.
(4)
Lampiran 15
Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficients
a.380
2.629
.429
2.331
.415
2.411
.225
4.447
LN_RPAD
LN_RDBH
LN_RDAU
LN_RDAK
Model
1
Tolerance
VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: LN_KMDRN
a.
(5)
Lampiran 16
Hasil Analisis Regresi
Coefficientsa
.785 .733 1.072 .291
1.015 .037 .955 27.793 .000 .380 2.629 -.040 .049 -.027 -.824 .416 .429 2.331 -.151 .169 -.029 -.889 .380 .415 2.411 -.030 .035 -.038 -.860 .396 .225 4.447 (Constant) LN_RPAD LN_RDBH LN_RDAU LN_RDAK Model 1
B Std. Error Unstandardized
Coefficients
Beta Standardized
Coefficients
t Sig. Tolerance VIF Collinearity Statistics
Dependent Variable: LN_KMDRN a.
Coefficients
a1.072
.291
27.793
.000
2.037 (0.05;40)
-.824
.416
2.037 (0.05;40)
-.889
.380
2.037 (0.05;40)
-.860
.396
2.037 (0.05;40)
(Constant)
LN_RPAD
LN_RDBH
LN_RDAU
LN_RDAK
Varia
bel
1
t hitung
Sig. t
Regresi
t tabel
Dependent Variable: LN_KMDRN
a.
ANOVAb
11.409 4 2.852 548.314 .000a
.182 35 .005
11.591 39 Regression Residual Total Model 1 Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), LN_RDAK, LN_RDAU, LN_RDBH, LN_RPAD a.
Dependent Variable: LN_KMDRN b.
(6)
Model Summaryb
.992a .984 .982 .07212
Model 1
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate Predictors: (Constant), LN_RDAK, LN_RDAU,
LN_RDBH, LN_RPAD a.
Dependent Variable: LN_KMDRN b.