Penjelasan Pada huruf f pasal 40 UU wakaf adalah mengenai “ditukar”, sebelum terjadinya tukar menukar tanah wakaf terlebih dahulu
terjadi transaksi jual-beli , yang mana hasil penjualan tersebut di belikan tanah atau obyek wakaf sekurang-kurangnya sama nilainya seperti obyek wakaf
asalsemula.Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 PP No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa nilai dan
manfaat harta benda penukar dihitung sebagai berikut: a.
harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak NJOP sekurang- kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk
dikembangkan. Menurut ketentuan dalam Pasal 13 ayat 3 Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1978, perubahan status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan penggantian yang sekurang-kurangnya senilai dan seimbang
dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf. Jadi, sangatlah jelas bahwasannya terjadinya tukar menukar tanah wakaf yang disebabkan dengan
adanya transaksi jual-beli tanah wakaf adalah dinilai bukan dari luas tanah tersebut melainkan dari segi nilai dan manfaat. Tata cara penukaran terhadap
harta benda wakaf yang akan diubah statusnya, diatur dalam Pasal 51 PP No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 bahwa
prosedur penukaran terhadap benda wakaf yang akan diubah statusnya adalah sebagai berikut:
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Mentri melalui
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan statustukar-menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Departemen Agama KabupatenKota; c.
Kepala Kantor Departemen Agama KabupatenKota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud dalam
pasal 49 ayat 4, dan selanjutnya bupatiwalikota setempat membuat Surat Keputusan.
d. Kepala Kantor Departemen Agama KabupatenKota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya
meneruskan permohonan tersebut kepada Mentri; dan e.
Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke Kantor
pertanahan danatau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
C. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA
Prinsip terhadap tanah wakaf tidak dapat dilakukan perubahan baik perubahan status, peruntukan maupun penggunaannya. Menurut kenyataan
didunia ini tidak ada satupun yang abadi. Menurut kodratnya sesuatu akan
berubah, dan bahkan karena kemajuan-kemajuan yang terjadi didalam kehidupan manusia telah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan olehnya.
Perubahan peruntukan tanah dikarenakan adanya perubahan kondisi tanah atau lingkungannya, atau bisa juga dikarenakan adanya perubahan rencana tata
guna tanah, tata ruang atau rencana pembangunan daerah atau nasional.Perubahan peruntukan hak menurut hukum agraria nasional, selain dapat dilakukan melalui
cara dengan jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, warisan, dan lain-lainnya, dapat juga dilakukan dengan cara wakaf.
Ketentuan peruntukan hak atas tanah selain maslahat dan manfaatnya lebih besar dan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat, juga sesuai dengan
maksud dari pada fungsi sosial dari pada hak atas tanah yang dianut hukum agrarian nasional. UUPA melakukan pembatasan terhadap peralihan atau
perubahan hak milik, hanya mereka yang memenuhi ketentuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1 jo. Pasal 21 ayat 2 UUPA saja yang dapat
menjadi pemegang hak milik atas tanah.
7
Mengenai perwakafan tanah dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA diatur dalam Pasal 49 ayat 3 dimana perwakafan tanah dilindungi dan diatur
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah , Prenada Media, Jakarta: Prenada Media, 2004,
h.79.
dengan peraturan pemerintah.
8
Menurut Pasal 11 ayat 1 PP No.28 Tahun 1977 bahwa pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
9
Untuk itulah, maka di atur dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA Pasal 49 ayat 3 jo. PP No.28 Tahun 1977 jo. Permandagri No.6 Tahun 1977 jo.
PMA No.1 Tahun 1978 dan lain-lain, dimana hanyalah perwakafan hak milik yang kepentingannya umum atau kepentingannya tidak lain sebagai kepentingan
umum atau kepentingan peribadatan lainnya wakaf sosial, bukan wakaf ahli. Semua hak-hak atas tanah di dalam hukum agraria nasional mempunyai
fungsi sosial, yang berarti pula hak-hak tersebut harus mampu memenuhi satu atau lebih kepentingan masyarakat. Oleh Karen itu hukum agraria nasioanal kita
tidak menganut sistem adanya suatu hak mutlak atas tanah. Hak milik sekalipun dibatasi oleh:
a. Adanya fungsi sosial yang dianggap melekat padanya.
b. Corak masyarakat Indonesia yang sejak Zaman dahulu membebankan
manusia perorangan dengan berbagai kewajiban terhadap keluarga, masyarakat dan sekitarnya.
8
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria Medan: Pustaka Bangsa Press,2003, h.8.
9
Usman Suparman, Hukum Perwakafan Di Indonesia Jakarta: Darul Ulum Press, 2002, h.218.
Untuk masalah perwakafan yang status dan peruntukannya dipergunakan sebagai kepentingan pribadi atau keluarga wakaf ahli, tidaklah termasuk ruang
lingkup dan jangkauan pengaturannya. Ruang lingkup semacam ini diperlukan dengan maksud dan tujuan untuk menghindari adanya kekaburan di dalam
masalah perwakafan. Dalam hal seseorang mewakafkan tanahnya untuk kepentingan seseorang pribadi atau keluarga wakaf ahli, maka untuk tidak
menyulitkan nantinya setelah orang yang menerima wakaf nadzir meninggal dunia, mengingat wakaf tidak dapat dirubah peruntukannya, baik dengan cara jual
beli, hibah, warisan dan lain-lainnya, maka wakaf tersebut harus dianggap hibah. Pada Pasal 49 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA menyatakan
bahwa hak milik badan-badan keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-
badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
10
Pada Pasal 49 ayat 3 UUPA menyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
11
Pasal 23 UU No. 51960 tentang UUPA pada ayat 1 menyatakan bahwa hak milik, demikian pula setiap perubahan peruntukan, hapusnya dan pembebanannya
10
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003, h.58.
11
Ibid.,h.58.