Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
penjualannya wajib dibelikan tanah lain yang nilai dan manfaatnya harus sama dengan harta wakaf awal yang dijual. Jika perikatan terjadi maka secara
otomatis didalamnya mengandung sebuah kata “sepakat” sesuai dengan Asas
Konsensualisme. Perbuatan menjual tanah wakaf pada dasarnya sebagai perbuatan
melawan hukum apabila dilakukan dengan sengaja tanpa memperhatikan syarat, pengecualian, prosedur hukum yang berlaku khususnya hukum wakaf.
Perbuatan tersebut batal demi hukum, karena objek jual beli adalah harta wakaf. Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan
menimbulkan perikatan jika objeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang.
6
Dalam Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain
dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat dengan alasan:
7
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif; b.
Karena kepentingan umum.
6
Ibid.,hal.4.
7
Rachmandi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal.71.
Namun, pada kenyataannya jual-beli tanah wakaf pernah dilakukan baik dari keluarga wakif, pihak pemerintah, maupun orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dengan tidak memperhatikan syarat dan tata cara yang berlaku .
Hal tersebut terjadi dalam sebuah kasus yang penulis angkat dalam skrispsi ini mengenai jual-beli tanah wakaf yang dikategorikan melawan
hukum karena prosedur atau tata caranya tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah dalam pengaturan wakaf, pengaturan BWI dan UU
No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kasus jual-beli tanah wakaf tersebut terjadi di Medan di mana tanah wakaf tersebut dijual oleh Syekh Ali Oemar
Bahadjadj yang termasuk keponakan wakif sekaligus ketua Yayasan Syekh Oemar Salmin Bahadjadj selaku tergugat II dan tergugat I adalah Yayasan
Syekh Oemar Salmin Bahadjadj yang didirikan oleh orang tua tergugat 1 bernama Syekh Oemar Salmin Bahadjadj.
Dahulu semasih orang tua tergugat II masih hidup, ia sempat membuat surat wasiat yang bertujuan salah satunya untuk membiayai Madrasah
Arabiyah Islamiyah yang merupakan, lembaga pendidikan Islam khusus WNI keturunan Arab dan umumnya bagi penduduk muslim di Medan yang berdiri
diatas tanah wakaf paman dari tergugat II yang bernama Syekh Abdullah bin Salmin Bahadjadj,namun tujuan wasiat yang dilakukan oleh orang tua
tergugat II tidak tercapai. Tergugat II selaku ketua Tergugat I dengan sengaja telah melawan
hukum yaitu merobohkan gedungbangunan lembaga pendidikan Madrasah
Arabiyah Islamiyah dan mengalihkankan tanah wakafnya dengan jual-beli. Jual-beli tanah wakaf tidak diperbolehkan menurut PP No.42 Tahun 2006
tentang pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf yang harus memperhatikan pengecualian atau alasan dilakukan jual-beli tanah wakaf,
tetapi
dengan
sengaja tergugat II tidak mengindahkan peraturan tersebut. Dalam hal gugatan yang dimohonkan oleh penggugat di Pengadilan
Negri Medan, hakim telah memenangkan para tergugat dengan alasan penggugat tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Madrasah Arabiyah
Islamiyah diwakafkan oleh Abdullah Salmin Bahadjadj,, dan hal perkara ini terus berlangsung hingga permohonan kasasi, sehingga Mahkamah Agung
mengeluarkan putusan bahwasannya yang dilakukan Para tergugat adalah memang melawan hukum. Maka dari sumber kasus inilah penulis
berkeinginan dan
tertarik untuk
menulis skripsi
dengan judul
“PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 KPdt2002 ”.