dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam yang beragama Islam dalam rangka
mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Menimbang, begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut, maka hal tersebut
diatur pula secara khusus dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 sebagai
Peraturan pelaksanaannya, yang juga bersandar kepada ketentuan hukum agama Islam, kemudian disempurnakan dan diperlengkapi lagi dengan
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.
39
BAB III JUAL-BELI TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF SERTA AKIBAT HUKUMNYA. A.
Jual-Beli Tanah Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, yang didalamnya terkandung sumber acuan dalam hal ibadah baik hubungan antara manusia kepada
Allah maupun manusia dengan manusia. Sumber acuan tersebut yakni adalah Al- Qur‟an dan Assunnah Alhadits. Namun pada perkembangannya agar dapat
menyesuaikan antara hukum dengan zaman, perlu adanya penjelasan yakni baik yang berasal dari Al-
Qur‟an maupun Asunnah. Untuk mempermudah dalam memahami hukum hukum tersebut, dibutuhkan Ijtihad pendapat para Ulama,
yang dikelompokan dari berbagai macam Madzhab yakni : Hanafiyah, Hanabilah, Syafi‟iyah, dan Malikiyah.
Mayoritas penduduk Muslim Indonesia dalam menentukan hukum, baik dalam hal mu‟amalah, munakahat dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal
ibadah mereka menggunakan pendapat Imam Syafi‟i, karena mayoritas Muslim di Indonesia berma
zhab Imam Syafi‟i. namun, kaitannya dengan kegiatan perwakafan di Indonesia yang telah termuat dalam peraturan perundang-undangan
mengenai wakaf tidaklah sepenuhnya mengambil hukum mengenai wakaf yang bersum
ber dari pendapat Imam Syafi‟i, hal ini bukan berarti pendapat Imam
Syafi‟i tidak diminati penduduk Muslim Indonesia tetapi dalam kaitan dengan kegiatan perwakafan ketentuan hukum perundang-undangan mengambil sebagian
dari pendapat Imam Syafi‟i dan sebagian lagi dari ijtihad pendapat para imamulama dari madzhab yang lain sela
in Imam Syafi‟i.
Wakaf yang produktif adalah wakaf yang memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat dalam hal kemaslahatan orang banyak sesuai dengan tujuan
wakaf. Dalam hal jual beli hartatanah wakaf memang pada dasarnya banyak perbedaan pendapat dari Imam-imam Madzhab, tetapi dalam Pasal 40 UU No.41
Tahun 2004 mutlak tidak diperbolehkan tanah wakaf untuk diperjual belikan, namun ada pengecualian yang dapat memperbolehkannya. Dalam hal jual beli
hartatanah wakaf menurut Islam akan dijelaskan dari beberapa pendapat para Ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf “:tidak diperbolehkan harta wakaf
untuk diperjual belikan tanpa kecuali”, dan Imam Muhammad salah seorang sahabat Abu Yusuf berkata : “apabila harta wakaf telah rusak, maka secara
otomatis harta wakaf tersebut kembali kepada pemilik awal wakif”
2. Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti
dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf
tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi‟I.
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiah melarang keras penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu
dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak. a.
Mengganti Barang Wakaf yang Bergerak Kebanyakan fuqoha madzhab maliki memperbolehkan penggantian
barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama Malikiah mensyaratkan
bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi bermacam
disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak, dan tidak dapat dipergunakan lagi. Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih
bisa digunakan. b.
Mengganti barang wakaf tidak bergerak Para ulama Malikiah dengan jelas melarang penggantian barang wakaf
yang tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat terjadi atau demi kepentingan umum. Jika keadaan memaksa, mereka
membolehkan penjualan barang wakaf, meskipun dengan cara paksaan.
Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan umum.
1
Dikalangan ulama Malikiah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama
Malikiah melarang menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut tidak mendatangkan hasil sama sekali. Sebagian ulama
Malikiah memperbolehkan menggantikan dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah lain yang lebih
baik, namun dengan tiga syarat yaitu :
2
1 Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual;
2 Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai
lagi dengan tujuan semula diwakafkannya; 3
Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya dan lain sebagainya.
3
Dan Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi‟iyah dikenal lebih berhati-hati dibanding ulama madzahab lainnya,
hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat
berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan
1
Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.366-368.
2
Muhammad Abu Zahrah, al-Waqf, Cet II Beirut: Dar Al-Fikr, 1971, h.171.
3
Mughniyah, al-ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333.