Pengertian Perjanjian Jaminan dengan Jaminan Fidusia

tidak akan masuk dalam boedel pailit. Terakhir Pasal 28 UUJF memuat sifat kebendaan yang lainnya yaitu tentang yang lebih tua dimenangkan terhadap yang kemudian.

d. Pengertian Perjanjian Jaminan dengan Jaminan Fidusia

Jaminan didefinisikan sebagai Tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan. 88 Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Perbankan sama sekali tidak disebutkan mengenai definisi jaminan. Namun dalan penjelasan pasal 8 ayat 1 menyatakan : bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang berharga, proyek atau hak tagih yang dibayari oleh kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat yaitu tanah yang kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis yang digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Hukum jaminan tidak dapat terlepas dari hukum benda karena kaitannya sangat erat, terutama dalam jaminan kebendaan. Meskipun di dalam perjanjian jaminan peorangan yang diperjanjikan bukan benda tertentu tetepi kesanggupan pihak 88 Hasanuddin Rahman, Aspek‐Aspek Hukum Kredit Perbankan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998, hal 162 Universitas Sumatera Utara ketiga, namun pada hakikatnya tetap akan berkaitan dengan benda juga, yaitu benda milik pihak ketiga itu. 89 Pengaturan hukum banda dalam KUHPerdata terdapat dalam buku II tentang Hukum Kebendaan. System yang terdapat dalam buku II ini bersifat tertutup, dalam arti bahwa orang tidak dapat menciptakan atau mengadakan hak-hak kebendaan yang baru menyimpang dari apa yang telah ditentukan dalam perundang-undangan. H.F.A. Vollmar menyatakan bahwasanya hak-hak kebendaan baru dan yang lain dari pada yang telah diatur dalam undang-undang tidak diadakan lagi. Itulah pendapat umum yang diperkuat oleh putusan H.R. dan berdasarkan pertimbangan bahwa di dalam KUHPerdata tidak terdapat ketentuan-ketentuan umum bagi hak-hak kebendaan seperti yang terdapat dalam buku ketiga bagi perjanjian dan lagi adalah tidak sewajarnya, dimana hak kebendaan yang telah diakui oleh undang-undang itu tunduk pada peraturan-peraturan yang keras, bila orang bebas untuk mengadakan hak-hak kebendaab baru yang pada dasarnya tidak ada ketentuan umum atau yang khusus dengan kata lain untuk hak-hak itu berlaku system tertutup, artinya tidak ada alasan lagi untuk menambah hak-hak kebendaan selain apa yang telah diatur oleh undang-undang. 90 Pembahaan mengenai hukum benda sebagaimana diatur dalam buku II KUHPerdata hendaknya dengan mengingat berlakunya UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Dengan berlakunya UUPA memberikan pengaruh 89 Djuhaendah Hasan, Op cit, hal 58 90 H.F.A. Vollmar, Hukum Benda Menurut KUH Perdata, disadur oleh Chidir Ali, Tarsito, Bandung, 1990, hal 35 Universitas Sumatera Utara perubahan besar terhadap berlakunya buku II KUHPerdata dan juga terhadap berlakunya Hukum Tanah di Indonesia, akibatnya terdapat pasal-pasal yang masih berlaku penuh. Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi dan pasa-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh. 91 Pasal 499 KUHPerdata memuat pengertian kebendaan yang secara lengkap berbunyi bahwasanya menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Pendekatan kata pengertian benda seara yuridis ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek eigendom hak milik pasal 499KUHPerdata. 92 Ini berarti pengertian benda KUHPerdata tidak hanya terbatas pada barang goederen, lichamelijke zaken, tetapi juga mencakup hak rechten, onlichamelijke zaken. Dua pengertian tentang benda dalam KUHPerdata memang diakui dan banyak dibahas oleh para pakar, menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan dalam KUHPerdata kata zaak dipakai dalam dua arti. Pertama dalam arti barang yang berwujud, kedua dalam arti bagian daripada harta kekayaan. Selanjutnya dalam arti kedua yakni selain dari pada barang yang berwujud, juga beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak berwujud. 93 Menurut Riduan Syahrani pengertian zaak benda sebagai objek hukum tidak hanya meliputi “barang yang berwujud” yang dapat ditangkap dengan panca indera, 91 Lihat lebih lanjut dalam Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 5 92 Ibid, hal 13 93 Ibid, hal 14 Universitas Sumatera Utara akan tetapi juga “barang yang tidak berwujud” yakni hak-hak atas barang yang berwujud. 94 Bahkan untuk pasal-pasal tertentu ada pengertian dari zaak yang berbeda jauh dengan kedua pengertian benda seperti tersebut dalam pasal 499 KUHPerdata di atas. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 172 KUHPerdata zaak berarti “perbuatan hukum”, Pasal 1354 KUHPerdata zaak berarti “kepentingan”, dan Pasal 1263 KUHPerdata zaak berarti “kenyataan hukum”. 95 Terlepas dari pengertian zaak dalam KUHPerdata untuk lebih konkritnya kita dapat melihat pada cara – cara pembedaan benda dalam KUHPerdata. Dalam KUHPerdata benda dapat dibedakan menjadi : 96 1. Barang – barang yang bergerak dan barang – barang yang tak bergerak ; 2. Barang – barang yang dapat dipakai habis vebruikbaar dan barang – barang yang tak dapat dipakai habis onverbruikbaar . Oleh Riduan Syahrani disebut juga benda yang musnah dan benda yang tetap ada ; 3. Barang – barang yang sudah ada togenwoordige zaken dan barang – barang yang masih akan ada toekomstige zaken ; 4. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti ; 5. Benda yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi ; 94 Riduan Syahrani, Seluk0Beluk Asas‐Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 1989, hal 116 95 Disarikan dari Sri Soedewi Masjchoen, Opcit hal 15, lihat juga Riduan Syahrani, Ibid, lihat juga H.F.A.Vollmar, Op,cit, hal 32 96 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Ibid, hal 19, lihat juga Riduan Syarani, Ibid, hal 117‐123 Universitas Sumatera Utara 6. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan ; 7. Banda yang terdaftar dan yang tidak terdaftar. Dari cara – cara pembedaan benda tersebut diatas, pembedaan yang terpenting ialah pembedaan antara barang bergerak dan barang tak bergerak, pembedaan mana terdapat dalam buku II bagian titel III Pasal 506 – 518. 97 Pentingnya pembedaan ini terdapat dalam hal penyerahan, pembebanan, bezit dan kadaluarsa. Dalam BW mengenal pembedaan dalam “roerende” dan “onroernde” goederen, code civil Perancis dalam “meuble” dan “immeuble” Jerman mengenalnya juga, malahan sebagaimana diketahui peraturan yang terdapat dalam Pasal 1977 ayat 1 itu dikatakan berasal dari Jerman, dan lain – lain. 98 Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya sistem hukum pasti membedakan benda atas benda bergerak dengan benda tak bergerak. Perbedaan semacam ini menurut Subekti adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindarkan. Pembegian tersebut adalah sesuatu yang sesuatu dengan kodrat alam di mana barang yang dapat di bawa kemana – mana harus tunduk pada peraturan yang berlainan daripada yang berlaku untuk barang yang sepanjang masa tetapi ditempatnya. Benda dari macam yang pertama mudah dihilangkan, sedangkan benda dari macam yang kedua tidak mungkin dihilangkan. Oleh karena itu, 97 Sri Soedewi Masjhoen, Ibid, lihat juga H.F.A. Vollmar, Op.cit hal.39 bandingkan dengan Subekti, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Hukum Benda Menurut KUH Perdata, disadur oleh Chidir Ali, Tarsito, Bandung, 1990, hal 35. 98 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Ibid, lihat juga H.F.A. Vollman, Op.cit, hal 39 bandingkan dengan subekti, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Seminar Hukum Jaminan diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Binacipta, Yogyakarta, hal 22 Universitas Sumatera Utara maka pembagian dan perbedaan dalam perlakuan terhadap dua macam benda tersebut, adalah sesuatu yang dimana – mana terjadi secara otomatis. 99 Sehubungan dengan begitu penting dan utamanya pembedaan benda atas benda bergerak dan benda tak bergerak, maka perlu melihat hal – hal penting yang mencul dari pembedaan tersebut. Seperti telah disebutkan diatas, hal penting tersebut adalah dalam hal bezit, penyerahan, pembebanan dan kadaluarsa. Pembahasan mengenai bezit, diatur dalam Pasal 1977 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwasanya terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Dalam hal ini ditentukan bahwa sepanjang mengenai barang bergerak, maka siapa yang menguasainya dalam istilah hukum disebut bezitter dianggap sebagai pemilik – eigenaar – bezit geldt als volkomen titel . Kata “ dianggap” perlu diperhatikan karena anggapan terebut dapat dibuktikan tidak benar secara sah, dengan perkataan lain, anggapan bahwa bezitter adalah eigenaar akan dianggap benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam hubungan ini adalah terkenal ajaran tentang penghalusan hukum rechtsverfijning dari Paul Scholten yang menambahkan pada ketentuan tersebut dua persyaratan, yaitu ketentuan tersebut hanya berlaku untuk transaksi perdagangan dan pihak yang menerima barang itu harus “ beritikad baik “ dalam arti bahwa ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya 99 Subekti, Loc.cit Universitas Sumatera Utara bukan pemilik. 100 Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa dalam tinjauan hukum benda kita tidak dapat melepaskan diri dari eksistensi dari UUPA. Dalam UUPA dikenal pula pembagian benda yang berbeda dari pembagian benda menurut KUHPerdata pembagian benda menurut UUPA berdasarkan atas Hukum Adat sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agrarian atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Hukum adat membedakan antara benda tanah dan benda lain selain tanah. Pembedaan atas benda tanah sebagai benda utama, karena itu di dalam Hukum Adat tanah mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. 101 B. Pendaftaran Jaminan Fidusia Pada Kantor Pndaftaran Fidusia Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III di pasal 1313 menerangkan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebi, dimana di dalam KUHPerdata Buku III kriterial dapat dinilai secara materil dengan kata lain dinilai dengan uang. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikan dibuat secara tertulis maka ini bersifat dengan alat bukti apabila terjadi perselisihan. Perjanjian atas benda adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dan pihak yang satu selalu terdapat wanprestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum yang berlaku. 102 100 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hal 15 101 Djuhandah Hasan, OP.cit, hal 102 102 Prof. Dr. Marian Darus Badruzaman, SH, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 65‐67 Universitas Sumatera Utara Sementara itu dimana perjanjian ini dapat diikat di Kantor Pendaftaran Fidusia setelah adanya permohonan yang dibuat oleh pihak bank sebelum bersengketa, tetapi yang terjadi biasanya yang mendaftar di Kantor Pendaftaran Fidusia itu tidak langsung pihak bank tetapi pihak bank meminta salah satu Notaris yang mempunyai kerjasama dengan bank untuk mendaftarkan perjanjian tersebut agar mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila terjadi sengketa atau pihak kreditor ingkar janji wanprestasi , maka pihak Kantor Pendaftaran Fidusia bisa langsung Eksekusi Jaminan Fidusia. 103 Kalau debitur dan pemberi fidusia itu dua orang yang berlainan, cidera janji debitur tentunya ada pada perjanjian pokok, sedang cidera janji pemberi jaminan terhadap perjanjian penjaminan. Dalam hal ini UUJF telah meletakkan kewajiban – kewajiban tertentu kepada pemberi fidusia untuk mengeksekusi barang yang dijadikan jaminan terhadap perjanjian yang dibuat oleh debitur dan kreditur yaitu : a. Eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan grosse atau dengan titel eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. b. Eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan parate eksekusi melalui pelelangan umum. c. Eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia melalui penjualan di bawah tangan. 103 Wawancara dengan Juraini Sulaiman, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil DepKumHAM Sumatera Utara, tanggal 14 September 2009 Universitas Sumatera Utara Kasus yang sama dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Prima Ekspres Bank Cabang Medann v. Lim Bun Tong, No176Pdt.GG1998PN – Mdn, tanggal 17 September 1998. Perkara ini terjadi diawali dengan Lim Bun Tong tergugat meminjam kredit kepada Prima Ekspress Bank penggugat sebesar Rp 20 juta Dua Puluh Juta Rupiah sesuai dengan akta pengakuan hutang dengan jaminan fidusia tanggal 5 Agustus 1997, dengan bunga sebesar 11,87 per tahun dan harus dibayar lunas tanggal 5 Agustus 2000. Sebagai jaminan kredit, tergugat menyerahkan satu unit mobil sedan model truk Mitsubishi tahun 1995 kepada penggugat secara fidusia. Meskipun jangka waktu kredit telah berakhir, setelah hakim mebacakan Putusan ternya pihak tergugat tidak memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran pokok beserta bunganya yang telah ditetapkan. Penggugat memberikan peringatan, tetapi tergugat tidak mengindahkannya. Dengan demikian, tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi. Menurut Pasal 2 akta perjanjian fidusia tersebut di atas, apabila tergugat melalaikan kewajibannya, penggugat berhak memutuskan perjanjian kredit yang masih berjalan dan menagih hutang yang masih tersisa dengan seketika dan sekaligus. Hutang tergugat sampai tanggal 22 April 1998 berjumlah Rp. 25.120.896, -Dua Puluh Lima Juta Seratus Dua Puluh Ribu Delapan Ratus Sembilan Puluh Enan Rupiah belum termasuk bunga berjalan. Selain itu, berdasarkan Pasal 6 akta jaminan fidusia, tergugat harus membayar ongkos tagih sebesar 20 dan segala biaya yang timbul sebagai akibat gugatan ini. Karena gugatan ini di dasarkan pada bukti otentik, cukup beralasan untuk mengabulkan gugatan ini dengan serta merta. Untuk menjamin tuntutan penggugat, perlu diletakkan sita jaminan terhadap Universitas Sumatera Utara harta milik tergugat baik barang bergerak maupun tidak bergerak. Dalam persidangan tergugat tidak hadir. Untuk menguatkan dalil gugatannya, penggugat mengajukan bukti – bukti. Selanjutnya, pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa ternyata tergugat telah dipanggil dengan patut dan ketidakhadirannya tidak ternyata disebabkan oleh halangan yang sah hingga tergugat dinyatakan bahwa tergugat telah wanprestasi terhadap perjanjian kredit dengan fidusia tanggal 5 Agustus 1997. Menurut pasal 1 perjanjian tersebut, tergugat telah menerima pinjaman kredit dari penggugat sebesar Rp200 juta Dua Ratus Juta Rupiah dan harus dilunasi tergugat tanggal 5 Agustus 2000. Ternyata tergugat tidak pernah mengangsur hutangnya walaupun sudah diperingati penggugat dan sesuai dengan Pasal 7, tergugat wajib menyerahkan barang jaminan tersebut kepada pihak penggugat. Berdasarkan uraian diatas, tuntutan terhadap tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi cukup beralasan dikabulkan. Mengenai tuntutan agar tergugat membayar hutangnya kepada penggugat sebesar Rp. 25.120.896,- Dua Puluh Lima Juta Seratus Dua Puluh Ribu Delapan Ratus Sembilan Puluh Enan Rupiah dengan bunga 11,87 per tahun sejak 22 April 1998 sampai hutang dibayar lunas dapat dikabulkan sebagian yakni agar tergugat membayar hutangnya kepada penggugat sebesar Rp. 25.120.896,- Dua Puluh Lima Juta Seratus Dua Puluh Ribu Delapan Ratus Sembilan Puluh Enan Rupiah, sedangkan bunganya ditolak dengan pertimbangan bahwa tidaklah adil tergugat dibebankan bunga sedangkan perkara sudah diajukan ke pengadilan. Mengenai tuntutan selebihnya dari penggugat, menurut majelis tidak beralasan untuk dikabulkan sehingga harus ditolak. Berdasarkan pertimbangan diatas, gugatan penggugatan dikabulkan sebagian dan menolak yang lain selebihnya serta Universitas Sumatera Utara tergugat dibebankan membayar ongkos Perkara.Pengadilan memutuskan bahwa gugatan penggugat dikabulkan untuk sebagian dengan verstek, menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi, menghukum tergugat membayar hutangnya kepada penggugat sebesar Rp. 25.120.896,- Dua Puluh Lima Juta Seratus Dua Puluh Ribu Delapan Ratus Sembilan Puluh Enan Rupiah serta menghukum tergugat membayar ongkos perkara sebesar Rp 68 ribu Enam Puluh Delapan Ribu. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh Undang – Undang tentang fidusia adalah dengan mengambil pola eksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh UUHT, yaitu dengan mengatur eksekusi fidusia secara bervariasi, sehingga para pihak dapat memilih model eksekusi mana yang mereka inginkan. Eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan dalam beberapa cara antara lain : a. Eksekusi berdasarkan grosse Sertifikat Jaminan Fidusia Bahwa yang dinamakan eksekusi adalah pelaksanaan suatu keputusan pengadilan atau akta. Dalam Pasal 29 Ayat 1 huruf a UUJF, yang dimaksud dengan titel Eksekutorial sebagaimana yang disebut dalam Pasal 15 Ayat 2 UUJF termasuk dalam kelompok pelaksana suatu akta. Tujuan dari pada eksekusi adalah pengambilan pelunasan kewajiban debitor melalui hasil penjual barang – barang tertentu milik debitor atau pihak ketiga sebagai pemberi jaminan. Dalam hal eksekusinya didasarkan atas dasar Pasal 29 Ayat 1 huruf a UUJF, yaitu berdasarkan titel ekekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia sesuai dengan Pasal 15 Ayat 1 UUJF, yang berarti mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan Universitas Sumatera Utara yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pelaksanaannya juga harus mengikuti prosedur pelaksanaan Keputusan Pengadilan. Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata HIR, setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa grosse dari akta hipotik dan surat hutang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan sesuatu keputusan hakim. 104 Jika tidak dengan jalan damai, maka surat yang demikian dieksekusi dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan dalam pasal – pasal sebelumnya dari Pasal 224 ini, tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika putusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian diluar daerah hukum pengadilan negeri yang memerintahkan pelaksanaan putusan itu, maka haruslah dituruti ketentuan dalam Pasal 195 Ayat 2 HIR. Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan di dalam irah – irah dengan kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “. Sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai 104 Munir Fuady, Op.cit, Hal 58‐60 Universitas Sumatera Utara pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak tanggungan atas tanah, Kemudian, Pasal 15 UUJF menyatakan bahwa dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata – kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dari pasal – pasal tersebut diatas terlihat bahwa salah satu syarat agar suatu fiat eksekusi dapat dilakukan adalah bahwa dalam akta tersebut terdapat irah – irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“. Irah – iarah inilah yang memberikan titel eksekutorial, yakni titel yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, akta tersebut dapat dieksekusi tanpa perlu lagi suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang dmaksud dengan fiat ekekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkedudukan pasti. Yakni dengan cara meminta “ fiat “ dari ketua pengadilan, yaitu memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan tersebut akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR. Hanya yang tidak jelas dalam UU, dan juga dalam praktek, manakala ada pihak yang keberatan atas fiat eksekusi terebut, kemanakah harus diajukan, bagaimana prosedur pengajuannya serta siapakah yang harus memutuskannya. b. Eksekusi berdasarkan Parate Eksekusi Universitas Sumatera Utara Dalam ketentuan Pasal 29 Ayat 1 huruf b UUJF yang merupakan pelaksanaan daripada Pasal 15 Ayat 3 UUJF, maka sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kalau dalam melaksanakan eksekusi berdasarkan kekuasaan sendiri, maka ia melaksanakan hal tersebut berdasarkan parate eksekusi eksekusi dan dengan hal tersebut mengambil jalur yang lain dari pada melalui grosse. Pelaksanaan parate eksekusi tidak melibatkan pengadilan dan juru sita pengadilan. Kalau dipenuhi syarat – syarat dalam Pasal 29 Ayat 1 huruf b UUJF, maka kreditor bias langsung menghubungi juru lelang dan meminta benda jaminan dilelang atau bahwa dalam pelaksanaan parate eksekusi, selalu harus dilaksanakan penjualan di muka umum dilelang. Dalam hal karena dilaksanakan tanpa melibatkan pihak – pihak dari pengadilan maupun juru sita pengadilan, maka kreditor dalam hal ini sudah tentu akan memikul risiko, bahwa ia melaksanakan haknya secara keliru, dengan akibat, bahwa kreditor memikul tuntutan ganti rugi dari pemberi fidusia. Dengan adanya penegasan hak parate eksekusi yang terdapat dalam Pasal 15 Ayat 3 jo. Pasal 29 Ayat 1 huruf c UUJF, maka selanjutnya pelaksanaan parate eksekusi tidak mendapat hambatan lagi dan yang termasuk terpenting adalah bahwa juru lelang tidak takut lagi untuk memenuhi permintaan kreditor untuk melaksanakan lelang berdasarkan kewenangan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari suatu redaksi blanko Akta jaminan Fidusia dari salah satu Bank yang berbunyi : yang menjual atas kekuasaan sendiri, maka hal tersebut sama dengan menjual berdasarkan parate eksekusi dan penjualan seperti Universitas Sumatera Utara ini tidak didasarkan atas titel Ekekutorial. Akan tetapi, jika orang melaksanakan eksekusi berdasarkan grosse atau keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka orang yang melaksanakan penjualan seperti itu berdasarkan titel Eksekutorial. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas tentang eksekusi berdasarkan parate eksekusi, maka Munir Fuady juga mengatakan hal yang serupa, bahwa eksekusi fidusia dapat juga dilakukan oleh penerima fidusia dengan jalan mengekekusinya melalui lembaga pelelengan lembaga umum kantor umum , dimana hasil pelelengan tersebut diambil untuk melunasi hutang – hutang debitor, maka sisanya tersebut hal ini dapat dilihat dalam pasal 29 Ayat 1 huruf b. Dan ketentuan dari pasal 29 Ayat 1 huruf b terebut akan menghapus keragu – raguan yang sebelumnya seolah–olah eksekusi melalui kantor pelelangan umum haruslah dengan suatu penetapan pengadilan dan pandangan tersebut adalah tidak benar. 105 c. Penjualan dibawah tangan Dalam ketentuan pada Pasal 29 Ayat 1 huruf c UUJF, dimana pembuat Undang – Undang ingin memenuhi keinginan para pihak dalam perjanjian penjaminan Fidusia dengan sebaik – baiknya. Dalam penjualan melalui lelang tidak menjamin mendapat hasil yang optimal, karena adanya anggapan bahwa orang yang membeli melalui lelang biasanya selalu berpikir bisa mendapat barang dengan harga relatif lebih murah daripada melalui pembelian secara biasa. 105 Munawir Fuady, 2003, Op.cit hal 60 Universitas Sumatera Utara Penjualan melalui lelang dimaksudkan agar dapat diperoleh suatu harga yang adil fair dengan perkataan lain, untuk melindungi kepentingan pemberi jaminan agar tidak terjadi suatu akal – akaln untuk harga oleh kreditur – eksekutan. Kalau ketentuan penjualan di muka umum merupakan suatu upaya perlindungan pemberi jaminan, maka terserah kepada pemberi jaminan untuk menggunakan hak perlindungan tersebut atau tidak . Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 29 Ayat 1 huruf c UUJF tersebut, maka akan bisa diterima jika disertai dengan syarat antar lain : 1. Harus dengan adanya kata sepakat antara pemberi dan penerima Fidusia 2. Jika dilakukan cara tersebut, maka harus dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Dengan adanya penjualan tersebut yang dilakukan dibawah tangan, atau penjualan yang berdasarkan pasal 29 Ayat 1 huruf c UUJF tersebut, maka tetap saja merupakan penjualan secara suka rela, karena hal tersebut adalah inisiatif dari pihak kreditor dan bukan dari pihak pemilik jaminan. Akan tetapi, dalam kenyataannya untuk penyelesaian suatu kredit macet yang selama ini berjalan sebagain besar dilaksanakan dengan memberikan kesempatan kepada pemberi jaminan untuk mencari sendiri pembeli dengan harga tertinggi dalam hal harga penawaran tersebut disetujui oleh pihak kreditor, maka benda jaminan dijual sendiri oleh pemberi jaminan, tetapi pembelianpenjualannya diserahkan oleh pembeli dengan persetujuan pemilik jaminan langsung kepada kreditor dan pihak kreditor Universitas Sumatera Utara akan menyodorkan suatu surat pelunasan dan surat pengangkutan jaminan roya kepada pembeli. 106 Menurut Munir Fuady Fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi atau eksekusi tanpa melalui lembaga pengadilan, akan tetapi dengan cara menjual dengan dengan sebagai obyek jaminan fidusia tersebut secara dibawah tangan, asalkan memenuhi syarat – syarat untuk hal tersebut berdasarkan Pasal 29 UUJF tersebut, maka syarat – syarat untuk hal tersebut. Berdasarkan Pasal 29 UUJF tersebut, maka syarat – syarat agar objek Jaminan Fidusia dapat dieksekusi di bawah tangan adalah sebagai berikut : 1. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan Fidusia 2. Jika dengan cara penjualan dibawaha tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak 3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima Fidusia kepda pihak – pihak yang berkepentingan 4. Diumumkan dalam sedikit – dikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan 5. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis. 107 Sementara itu menurut Tan Kamelo, bahwa berdasarkan pasal 29 Ayat 1 UUJF, maka eksekusi jaminan Fidusia ada 3 cara antara lain : a. Pelaksanaan titel eksekutorial 106 Wawancara dengan Jawasmer, Staf Pemeriksa Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia di Kanwil DepKum HAM Sumatera Utara, tanggal 20 September 2009 107 Ibid, hal 60‐61 Universitas Sumatera Utara b. Penjualan benda jaminan berdasarkan parate ekssekusi c. Penjualan benda jaminan dibawah tangan Dalam hal suatu benda jaminan yang dijual secara dibawah tangan,undang- undang memberikan persyaratan bahwa persyaratan bahwa pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima Fidusia kepada pihak – pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit – dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. 108 Dalam penjualan suatu benda jaminan Fidusia secara dibawah tangan mempunyai ratio yuridis yaitu untuk memperoleh biaya tertinggi dan untuk menguntungkan kedua belah pihak. Dan oleh karena itu, maka perlu adanya kesepakatan antara Debitor dengan Kreditor tentang cara penjualan benda jaminan Fidusia, dan uang hasil dari penjualan tersebut diserahkan kepada Kreditur yang kemudian akan diperhitungkan dengan Hutang Debitor tersebut. Dan seandainya ada sisanya, uang tersebut dikembalikan kepada debitor pemberi Fidusia, tetapi jika tidak mencukupi untuk pelunasan hutang, maka debitor tetap harus bertanggug jawab untuk melunasi hutangnya tersebut. 108 Tan Kamello, Op.cit, hal 358 Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Sepanjang perjanjian itu bertujuan untuk membebani benda dengan Jaminan Fidusia, perjanjian tersebut tunduk pada UUJF. Pada umumnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia itu benda bergerak yang terdiri atas benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Dengan kata lain objek Jaminan Fidusia terbatas pada kebendaan bergerak. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas, yaitu : benda bergerak yang berwujud, benda bergerak yang, tidak berwujud, benda tidak bergerak, dan yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Salah satu objek Jaminan Fidusia adalah tanah belum terdaftar. Hal ini terkait dengan khususnya tanah-tanah di Sumatera Utara masih banyak yang belum terdaftar dan memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan kredit yakni dapat dipindah tangankan dan memiliki nilai ekonomis. Penggunaan jaminan yang tetap adalah lembaga Jaminan Fidusia, serta dapat membantu pelaku usaha ekonomi kecil dan menengah. Jadi, jaminan tanah belum terdaftar atau belum bersertifikat bukan dengan surat kuasa menjual yang tidak memiliki perlindungan hukum bagi pihak kreditor. Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Fidusia Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

0 26 5

Analisa Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

4 24 95

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 3 16

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 2 12

ASPEK HUKUM PENDAFTARAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MOBIL PERSPESKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN Aspek Hukum Pendaftaran Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Mobil Perspesktif Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jamina

0 2 12

Jaminan Fidusia Atas Pesawat Terbang Dalam Perjanjian Kredit Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 0 88

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 1 88

Pendaftaran Jaminan Fidusia Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 111

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA SKRIPSI

0 0 62