Faktor Risiko Alergi Hygiene Hypothesis, Alergi, dan Revolusi Industri di Britania Raya

agen patogen bahkan merupakan flora normal usus dan kulit. Karena proses tersebut, terjadi dominasi pada sistem imun Th1 dibanding Th2. 6 Revolusi industri di Britania Raya sendiri dimulai pada tahun 1750 sampai dengan 1850. 21 Pada rentang tahun tersebut, Britania Raya membangun pabrik-pabrik secara besar-besaran, perkebunan dan pertanian ditutup. Semua orang yang biasa bertani dan berdagang, dipekerjakan untuk menjadi karyawan dan ditempatkan di berbagai industri. Bahkan, karena masih kekurangan pekerja, pemilik pabrik memutuskan untuk mempekerjakan anak-anak. Baru setelah beberapa dekade, pemerintah Britania Raya menerapkan peraturan bagi pekerja anak-anak 22 Setelah revolusi, pekerja anak-anak yang telah beranjak dewasa, segera menikah dan memiliki keturunan. Keturunan mereka bernasib lebih baik, karena dibesarkan pada lingkungan yang relatif lebih bersih. Britania Raya terus mengalami revolusi hingga menjadi salah satu negara yang maju dan makmur. Kemajuan dan kemakmuran mengakibatkan perbaikan pada kebersihan lingkungan pada daerah Britania Raya. Anak-anak tidak lagi bermain dengan sapi perah, padi, hamparan rumput, semuanya tergantikan dengan sekolah-sekolah, taman bermain. Lingkungan lama berganti menjadi lingkungan yang lebih bersih dari sebelumnya. 23 Berdasarkan studi epidemiologi Strachan tahun 1989, terjadi peningkatan insidensi hay fever pada orang di Britania Raya yang lahir tahun 1959. Karenanya, Strachan menyimpulkan peningkatan insidensi hay fever tersebut karena adanya peningkatan status higienitas. 4 Gambar 2, Old Friends Hypothesis oleh Graham Rook Sumber: Yazdanbakhsh, 2002. 8 Gambar di atas menjelaskan secara garis besar teori yang dibuat oleh Rook. Rook, yang menyempurnakan hygiene hypothesis Strachan berkesimpulan bahwa ketika seseorang seimbang antara infeksi yang memicu Th1 dan Th2, maka akan terjadi perkembangan T-regulasi sehingga terjadi keseimbangan yang mengarah pada ketiadaan imunopatologi. Sedangkan ketika salah satunya lebih dominan, T-regulasi tidak terbentuk sehingga akan terjadi autoimunitas bila infeksi yang memicu Th1 lebih dominan, dan alergi bila infeksi yang memicu Th2 lebih dominan. 24

2.1.8 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Dermatitis Atopi

Pada studi potong lintang deskriptif tahun 2011 yang dilakukan oleh Sidabutar S dkk, menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dermatitis atopi mengalami sensitisasi oleh alergen makanan. 20 Faktor risiko alergi sedang dan tinggi, tidak mendapat ASI eksklusif, dan mendapat makanan padat usia dini ditemukan lebih sering pada anak dermatitis atopi. 20 Pada studi tersebut, ditemukan juga bahwa pajanan asap rokok merupakan faktor risiko lingkungan yang memiliki proporsi lebih besar pada anak DA yang mengalami sensitisasi. 20 Faktor risiko seperti karpet bulu, binatang peliharaan, kasur kapuk memiliki proporsi rendah. 20 Pajanan asap rokok tersebut didasarkan pada teori bahwa pajanan asap rokok dapat menimbulkan sensitisasi dengan meningkatkan respons IgE. 20

2.1.9 Dermatitis Atopi dan Riwayat Tidak Vaksinasi BCG

Riwayat tidak vaksinasi BCG juga merupakan salah satu faktor risiko atopi yang pada beberapa studi terbukti kemaknaannya secara statistik, walaupun beberapa studi yang lain menyimpulkan hal tersebut diperkirakan tidak memberikan efek proteksi dari atopi. Pada studi yang dilakukan oleh Ahmadiasfhar tahun 2005, didapatkan bahwa terdapat korelasi yang berkebalikan antara bekas luka BCG dengan dermatitis atopi dan asma, namun gagal menunjukkan hubungan antara bekas luka BCG dan rinitis alergi. Studi tersebut merupakan studi cross sectional yang melibatkan 1000 anak yang berumur 10-15 tahun di kota Zanjan. Dari 1000 anak tersebut, 501 anak adalah perempuan dan 499 anak adalah laki-laki. Didapatkan 137 anak dengan asma, 121 anak dengan dermatitis atopi, dan 141 anak dengan rinitis alergi. Dalam studi tersebut, disebutkan bahwa diameter bekas luka BCG merupakan marker untuk aktivitas limfosit Th1, sebagai efek inhibitor untuk limfosit Th2 dan induksi alergi. 9 Pada studi lain yang dilakukan oleh Al-Yaseen, yang juga mencari hubungan antara dermatitis atopi dan riwayat vaksinasi BCG, ditemukan bahwa persentase anak dengan dermatitis atopi yang memiliki diameter bekas luka kurang dari 1mm bekas luka BCG negatif lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Studi tersebut menyimpulkan bahwa risiko dermatitis atopi pada anak dengan bekas luka BCG negatif diameter 1mm lebih besar 3,2 kali dibanding dengan anak dengan reaksi BCG lemah atau positif. Studi tersebut melibatkan 252 anak dengan dermatitis atopi dibandingkan dengan kelompok kontrol sebanyak 350 anak. Adapun reaksi BCG dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1. Reaksi BCG positif, ketika diameter bekas luka 5 mm. 2. Reaksi BCG lemah, ketika diameter bekas luka 1- 5mm. 3. Rekasi BCG negatif, ketika bekas luka tidak ada atau seperti titik 1 mm 19