Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang dinamis di dalam lingkungan sosialnya. Agar dapat berkembang, manusia melakukan interaksi dengan sesamanya. Hubungan yang baik diperoleh dari komunikasi yang baik pula. Oleh karena itulah manusia melakukan komunikasi untuk mendapatkan hubungan atau ikatan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Komunikasi adalah sendi dasar terjadinya sebuah interaksi sosial, antara yang satu dengan yang lain saling tolong menolong, saling memberi dan menerima, saling ketergantungan. Intinya bahwa dengan berkomunikasi akan terjadi kesepahaman atau adanya saling pengertian antara satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Klinger yang mengemukakan bahwa hubungan dengan orang lain ternyata mempengaruhi kita”. 1 Kita menghabiskan sebagian besar jam di saat kita sadar dan bangun untuk berkomunikasi. Seringkali komunikasi kita anggap sebagai sesuatu hal yang lumrah dan biasa terjadi, sehingga tanpa disadari sebagian dari orang kurang memperhatikan bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan baik, dan akibatnya seseorang seringkali mengalami kegagalan dalam berinteraksi dengan sesamanya, yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman atau salah pengertian antara satu dengan yang lain. Untuk itulah diperlukan cara, strategi ataupun langkah yang dapat dilakukan oleh siapa pun untuk sama- sama menjadi seorang komunikator dan komunikan yang baik dalam proses komunikasi. Kita menyadari bahwa manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan 1 Alo Liliweri, “Komunikasi Antar Pribadi”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, Cet. Ke-1, h. 45 lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, baik konflik individual, kelompok maupun konflik sosial. Sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya dalam berpandangan, berpersepsi maupun dalam pengambilan keputusan. Dan konflik seperti dapat terjadi di mana saja, tidak terkecuali di sekolah. Pada dasarnya konflik merupakan proses batin yang diliputi kegelisahan karena adanya pertentangan, atau dapat dikatakan sebagai interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Di dalam organisasi, konflik muncul dalam bentuk yang beranekaragam, dari perbedaan penafsiran akan berbagai fakta yang ada, ketidaksesuaian dengan sasaran yang ingin dicapai, keputusan yang tidak akomodatif, maupun pada arah dan intensitas komunikasi yang dilakukan. Sekolah merupakan salah satu bentuk dari organisasi yang di dalamnya terdapat kumpulan individu-individu dengan karakter dan latar belakang yang berbeda yang pada akhirnya akan melahirkan bentuk keanekaragaman pandangan, pemikiran dan cara berkomunikasi, dengan sendirinya akan menimbulkan sebuah konflik dalam kelompok tersebut. Konflik dapat terjadi di dalam suatu kelompok maupun antar kelompok dalam organisasi. Tidak jarang kita jumpai di dalam kelompok yang sama terdapat polarisasi berupa konstelasi sika berbentuk “kita versus mereka”, yaitu menggambarkan kelompok lain versus anggota kelompok lainnya. Umumnya pekerjaan individual maupun kelompok dalam organisasi saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketika suatu konflik muncul berkaitan dengan pekerjaan masing-masing individu di dalam sebuah organisasi, penyebabnya teridentifikasi oleh adanya komunikasi yang kurang efektif. Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu menjadi kambing hitam. Komunikasi yang efektif sangat diperlukan demi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan komunikasi yang baik semestinya dilakukan oleh setiap individu, tidak terkecuali bagi seorang pimpinan atau leader dalam sebuah organisasi termasuk sekolah. Di dalam organisasi sekolah, seperti halnya yang terjadi di SMA Pribadi 2 Tangerang, kepala sekolah sangat bergantung kepada ketrampilan berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses perumusan keputusan dan untuk mensosialisasikan hasil keputusan tersebut kepada bawahannya dan pihak lain. Ketika seorang kepala sekolah tidak memiliki kecakapan yang baik untuk menyampaikan informasi yang tepat, relevan dan dapat dimengerti oleh bawahannya, tentunya hal tersebut akan menimbulkan sebuah miss communication yang berujung pada terciptanya sebuah konflik. Selain itu, kepala sekolah cenderung untuk tidak memberitahukan informasi tertentu pada bawahannya atau stafnya karena takut akan menyakiti hati bawahannya atau staf. Alasan lain adalah bahwa pimpinan menganggap bahwa informasi tersebut harus dilindungi, dan bukan untuk konsumsi bawahannya atau staf karena bawahannya atau staf tidak akan mungkin mengerti apa yang akan disampaikan. Demikian pula dengan bawahannya atau staf, mereka sering tidak menyampaikan informasi tertentu kepada pimpinan untuk melindungi dirinya dari tindakan pemecatan atau tindakan mendiskreditkan mereka berkaitan dengan fungsi dan kewenangan mereka di sekolah. Pada hal mereka semestinya dapat menempatkan diri mereka ketika melakukan komunikasi, baik dalam posisi komunikator maupun komunikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Saul W. Gellerman, yang dikutip oleh Rochmulyati Hamzah bahwa “komunikator tidak hanya harus mengetahui bagaimana mengatakan sesuatu, tetapi juga harus menerima apa yang dikatakan oleh pendengarnya”. 2 Hal yang rentan terjadi adalah orang-orang dalam komunitas sekolah cenderung jarang meninjau pekerjaan orang lain, atau keluar dari lingkungan pekerjaan sendiri, seseroang seringkali dibatasi pada cara pandangnya sendiri. 2 Saul W. Gellerman, “Manajer dan Bawahannya”, Jakarta: PT. Jaya Pirusa, 1983, Cet. Ke-1, h. 66 Mereka tidak mencoba melihat dari sudut pandang orang lain. Kepala sekolah sebagai pimpinan seringkali mengambil keputusan besar yang menyangkut keputusan keuangan dan strategi operasional secara umum, seringkali tidak mempertimbangkan detail pelaksanaan pekerjaan dan sudut pandang para pekerjaan. Sebaliknya, para bawahannya atau staf, seringkali hanya melihat suatu masalah dari sudut pandangnya sendiri kepentingan individunya semata, tanpa mencoba memahami sebuah situasi dari sudut pandang yang berbeda. Sempitnya perspektif inilah yang sering menyebabkan konflik tiap orang hanya melihat dari sudut pandang sendiri, dan tidak mencoba memahami orang lain. Selain itu, paradigma yang berkembang dalam komunitas guru mengindikasikan bahwa mereka seringkali hanya membatasi informasi yang cocok dengan ekspektasi mereka. Jika, ternyata informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mereka cenderung tidak termotivasi untuk mendengarkan informasi yang disampaikan. Misalnya, jika dalam rapat-rapat ternyata seringkali tanggapannya tidak diperhatikan, maka mereka cenderung enggan menyatakan pendapat, karena ia beranggapan percuma saja menyampaikan pendapat, karena biasanya juga tidak ada follow- up -nya. Demikian pula dengan pimpinan, yang sering mendengarkan pendapat bawahannya atau staf yang dianggapnya tidak relevan dengan keputusan yang akan diambil. Dalam hal ini waktu juga mempengaruhi keberhasilan dari proses komunikasi. Permasalahan seperti ini muncul ketika masing-masing pihak tidak memahami bagaimana cara mendapatkan perhatian dari pendengar dan menarik perhatian yang cukup lama agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Padahal ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mendapatkan perhatian dari komunikan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Saul W. Gellerman, yang dikutip oleh Rochmulyati Hamzah bahwa “cara yang paling baik untuk mendapatkan perhatian adalah dengan memasukan agenda mental ke dalam pembicaraan, artinya mengadakan dialog dua arah, saling berhadapan muka”. 3 Dengan demikian, komunikasi dirasakan sangat penting dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di lembaga pendidikan. Menurut Suranto AW, “komunikasi meningkatkan keharmonisan kerja dalam perkantoran. Sebaliknya apabila komunikasi tidak efektif, maka koordinasi akan terganggu. Akibatnya adalah disharmonisasi yang akan mengganggu proses pencapaian target dan tujuan pendidikan”. 4 Salah satu kekuatan efektif dalam pengelolaan sekolah yang berperan bertanggung jawab menghadapi perubahan adalah kepemimpinan Kepala Sekolah, yaitu perilaku kepala sekolah yang mampu memprakarsai pemikiran baru di dalam proses interaksi di lingkungan sekolah dengan melakukan perubahan atau penyesuaian tujuan, sasaran, konfigurasi, prosedur, input, proses atau output dari suatu sekolah sesuai dengan tuntutan perkembangan. Kepala sekolah memegang peranan penting dalam perkembangan sekolah. Oleh karena itu, ia harus memiliki jiwa kepemimpinan untuk mengatur para guru, pegawai tata usaha dan pegawai sekolah lainnya dengan bijak. Dengan kata lain, kepala sekolah tidak hanya mengatur para guru melainkan juga ketatausahaan sekolah, siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat dan orang tua siswa. Tercapai tidaknya tujuan sekolah sepenuhnya bergantung pada kebijakan policy yang diterapkan kepala sekolah terhadap seluruh personil sekolah. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Siagian bahwa “seorang manajer berperan sebagai pimpinan kelompok perlu memiliki rasa percaya yang besar pada kemampuannya sendiri”. 5 Ia tidak perlu takut, bahwa ia akan kehilangan kewenangannya dalam mengendalikan kelompoknnya. 3 Gellerman, Manajer dan Bawahannya..., h. 69 4 Suranto AW, Komunikasi Efektif untuk Mendukung Kinerja Perkantoran, http:www.uny.ac.idhomeartikel.php?m=I=3k=23 , 9 Febuari 2007, h. 1 5 P. Sondang Siagian, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan , Jakarta: Haji Masagung, 1990, Cet. Ke-2, h. 151 Sebagai pemimpin, kepala sekolah ingin mengkomunikasikan informasi dan ide-ide secara memuaskan; akan tetapi ia juga ingin mengkomunikasikannya sedemikian rupa sehingga mencapai hasil yang diinginkannya, misalnya menyakinkan, memotivasi ataupun mempengaruhi. Seorang kepala sekolah diharapkan dapat memberikan motivasi dan inspirasi kepada bawahannya. Oleh karena itu, cara kepala sekolah menggunakan kata-katanya adalah penting karena penggunaan frasa-frasa yang digunakan dalam komunikasinya mendatangkan dampak yang besar terhadap para pendengarnya. Dengan demikian, komunikasi yang ada di sekolah diharapkan akan mampu memberikan pengaruh terhadap kinerja guru. Adanya komunikasi yang sehat dan baik antara sub kerja yang satu dengan yang lain diharapkan akan turut membantu perkembangan kinerja guru di sekolah. Dengan adanya keterbukaan dan pengertian maka guru akan merasa lebih akrab dan dapat dijadikan sebagai teman diskusi. Setiap individu dalam bekerja tidak hanya menginginkan sekedar gaji dan prestasi, tetapi bekerja merupakan pemenuhan kebutuhan akan interaksi sosial. Guru yang memiliki rekan kerja yang ramah dan mendukung akan mengantarkan mereka pada hasil kerja yang baik pula. Berdasarkan gambaran yang telah diuraikan di atas, penulis merasa terdorong untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan yang ada tersebut dengan judul “Efektivitas Komunikasi Kepala Sekolah dalam Mengelola Tenaga Kependidikan di SMA PRIBADI 2 Tangerang”.

B. Identifikasi Masalah