Kondisi Sosial, Keagamaan Masyarakat Jawa Barat Pra Islam

adalah Sri Baduga Maha Raja atau terkenal dengan sebutan Prabu Siliawangi. Keraton Pajajaran terkenal karena besar dan megah dinamai Sri Bima Untarayana Mandura Suradipati. Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaaan terbesar yang terakhir yang bercorak Hindu di Jawa Barat dan selanjutnya wilayah Jawa Barat masuk kedalam kekuasaan Mataram serta pengaruh Cirebon sangat mendominasi dalam penyebaran agama Islam di wilayah ini. 30

C. Kondisi Sosial, Keagamaan Masyarakat Jawa Barat Pra Islam

Telah menjadi hal yang umum diketahui bahwa sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat sunda khususnya telah memiliki bentuk kepercayaan. Bentuk kepercayaan yang pertama yang mereka kenal adalah kepercayaan terhadap Roh-Roh nenek Moyang Animisme dan kepercayaan terhadap kekuatan Alam yang ada pada Benda-benda dinamisme 31 . Kepercayaan tersebut mencapai bentuk nyata pada jaman Neolithikum dan jaman perunggu-besi, pada waktu kehidupan masyarakat telah mulai menetap dan telah berlaku budaya bercocok tanam mulai 1500 S.M.. 32 Hal tersebut dapat dilihat dari peninggalan-peninggalannya berupa megalith kebudayaan Batu besar seperti tugu-tugu tegak menhir, meja batu 30 Hoesein Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cirebon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya” Dalam Masa Awal Kerajaan Cirebon , Jakarta : Bharata, 1973, hal. 23-40. 31 Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010. 32 R. Moh Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan. Bandung : Pemerintah Daerah Tingkat I Jaw a Barat, 1972, hal. 52. dolmen kubur-kubur, dan punden yang ditemukan di beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Lebak Banten Selatan Salak Datar, Cangkuk, Panggujangan Leles- Garut, Cibuntu kuningan, dan Cirebon. 33 Perihal agama Masyarakat Jawa Barat atau penduduk Kerajaan Sunda, Sri Yoeliawati dalam masuk dan berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan Sekitarnya menjelaskan sebagai berikut: pada abad-abad pertama Masehi, pengaruh India Hindu-Budha mulai masuk Indonesia. Tanah Sunda Jawa Barat pun tidak terlepas dari masuknya pengaruh India tersebut. Masuknya pengaruh Hindu di Tanah Sunda mulai terungkap dengan ditemukannya beberapa prasasti peninggalan Punawarman, seorang Raja dari kerajaan Tarumanegara, di Desa Tugu, sungai Ciareuteun, Muara Cianten, Kebon kopi, Jambu Ciampea-Bogor. Dari beberapa Prasasti dapat diketahui bahwa agama Hindu telah menjadi agama resmi kerajaan Tarumanagara Punawarman. Prasasti Ciareuteun secara lebih jelas menyebutkan bahwa Punawarman adalah penganut agama Hindu aliran Waisnawa menyembah Dewa Wisnu termasuk pemujaan terhadap Surya atau mazhab Saura. 34 . Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta berarti keseluruhan penduduk kerajaan Tarumanagara Punawarman memeluk agama Hindu. Dilihat dari seluruh Prasasti peninggalannya, dapat diketahui bahwa Purnawarman adalah penganut agama yang telah menyatu dengan kepercayaan pribumi. Prasasti tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi Arwah Raja yang telah meninggal. 33 Ibid., hal. 52. 34 Sri Yoeliawati, Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan Sekitarnya, Bandung : Universitas Padjajaran, 1987, hal. 38. Kemudian penempatan Prasasti di sungai-sungai juga merupakan tradisi leluhur Masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. 35 Dari uraian tersebut dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa Waisnawa merupakan mazhab pertama agama Hindu yang berkembang di Jawa Barat. Hal tersebut di dukung dengan penemuan dua patung Wisnu Cibuaya di Karawang, yang pada saat itu termasuk dalam wilayah kerajaan Tarumanagara. Begitu juga dengan daerah-daerah lainnya seperti di Talaga dengan penemuan patung Wisnu Taraju, di indramayu dengan penemuan benda Laksmi sakti wisnu dari kerajaan Tarumanaga sendiri. 36 Selanjutnya kerajaan Tarumanagara terpecah menjadi kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan sejak itu upacara ke- Hinduan dengan pemujaan kepada Wisnu terus mengalami pemudaran. Aliran tersebut kian di desak oleh aliran Syiwa dan Buddha abad 14 Masehi. 37 Lebih lanjut diuraikan; di Jawa Barat banyak di temukan patung-patung atau simbol-simbol pemujaan dewa Syiwa dalam berbagai bentuk sesuai fungsinya seperti Lingga-Yoni Syiwa dan isterinya Nandi sapi tunggangan Syiwa, dan patung Syiwa Mahadewa. Selain itu berkembang agama Buddha. Hal itu terbukti dengan ditemukannya patung-patung Buddha dibeberapa daerah di Jawa Barat. 38 Pengaruh agama Hindu di Jawa Barat begitu kuat sehingga naskah Sewaka Dharma kropak 408 yang juga disebut Serat Dewa Buddha tahun 1357 Caka 35 Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan, hal .58. 36 R. M. Eddy Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jawa Barat, DEPDIKBUD, 1977, hal. 43. 37 Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke- 3, Bandung : Sundanologi Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi daerah Tingkat I Jawa Barat, .1983-1984, hal. 39. 38 Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, 1977, hal, 44 – 45. atau 1453 Masehi, masih menyebut nama-nama dewa Hindu seperti Brahma, Wisnu, Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kowera, dan Indra. Carita Parahyangan juga secara jelas menyebut semangat ke- Hinduan, ditambah dengan adanya Prasasti Sanghyang Tapak 1030 Caka yang dikeluarkan oleh Sri Jayabhupati yang juga memperlihatkan pengaruh Hindu yang tertanam sejak jaman Tarumanegara pada awal abad ke-5 Masehi. 39 Namun, Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian Kropak 406 juga menyebut keberadaan pengaruh Hindu dan unsur ajaran Buddhisme telah bercampur dengan kepercayaan setempat, dimana masyarakat sunda lebih menjujung tinggi roh leluhur yaitu Hyang. 40 Apabila Agama Orang Pajajaran telah bersendikan Hyang atau Batara Seda Niskala dan menempatkan dewa-dewa terpenting agama Hindu di bawahnya, maka itu berarti agama Hindu telah kehilangan vitalitasnya. Sisa-sisa agama itu mungkin dianggap tradisi tanpa dikaitkan lagi dengan India. Hindu sebagai agama di kukuhkan oleh Dewawarman I 730 M, akhirnya berkembang menjadi “Varietas lokal” setelah kontak keagamaan Jawa Barat – India terputus. Sejak abad ke 14 Masehi, agama tersebut telah tertelan oleh unsur - unsur asli kepercayaan penduduk. 41 Uraian di atas menunjukan kepercayaan asli Masayarakat Jawa Barat Pra Islam yaitu Animisme - Dinamisme yang bercampur dengan unsur-unsur India Hindu-Budha. Unsur leluhur masih tampak jelas sehingga Wangsakerta dan 39 Saleh Danasasmita, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian dan Amanat Galunggung transkip dan terjemahan , Bandung : Sundanologi Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1987, hal. 65-66. 40 Ibid., hal. 74. 41 Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke- 3, hal. 41-42. Pleyte menyatakan bahwa pemelukan agama Hindu hanya berlaku di kalangan Keraton dan sementara rakyat banyak tetap setia kepada agama leluhurnya, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang atau pitarapuja. 42 Masuknya agama Hindu tidak mengubah tatanan sosial yang telah ada dan pengaruhnya dapat dikatakan sebagai lapisan yang sangat tipis, kemudian terjadi percampuran antara yang sudah ada dengan yang datang kemudian. 43 Demikian juga benda-benda peninggalannya seperti Candi-candi, Patung-patung, Prasasti-prasasti, Ukiran- ukiran cenderung menonjolkan sifat-sifat budaya Indonesia yang dilapisi unsur Hindu-Buddha . hal itu dapat diketahui dari berbagai penemuan di Jawa, Sumatera dan Bali, atau Patung-patung corak Pajajaran yang menunjukan sifat budaya sebelum pengaruh budaya India masuk ke Indonesia. 44 Pada umumnya, penduduk kerajaan pra- Islam di Indonesia menggantungkan kehidupan mereka dari Pertanian Perladangan. Demikan juga mayoritas Masyarakat Jawa Barat pra- Islam mereka hidup dari Pertanian Perladangan. 45 Pada umumnya, manusia ladang bertempat tinggal di ladangnya masing-masing sehingga mereka hidup terpencil dari para peladang lainnya. Hal ini menyebabkan taraf kebersamaan Masyarakat ladang lebih longgar. Kehidupan di ladang akan membentuk manusia yang berwatak ladang, ciri yang paling menonjol dari Masyarakat itu ialah selalu berpindah tempat, yang secara langsung turut mempengaruhi bentuk bangunan tempat tinggal mereka. Untuk Masyarakat 42 Ibid., hal. 39. 43 Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, 1977, hal.71. 44 Ibid., hal . 35. 45 Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010. yang selalu berpindah tempat, yang diperlukan sebagai tempat tinggal ialah bangunan yang sederhana. Dengan memperhatikan pola hidup seperti itu, barangkali dapatlah di mengerti, apa sebabnya di daerah Jawa Barat sedikit sekali di temukan prasasti atau Naskah Sastra 46 , karena kebiasaan menulis bukanlah ciri utama Masyarakat ladang apalagi usaha-usaha untuk mendirikan bangunan yang tahan zaman seperti Candi atau Istana misalnya. 47 Selain pertanian dan perladangan, Masyarakat Jawa Barat pra- Islam memiliki penghidupan lain yaitu Perniagaan atau Perdagangan melalui Pelabuhan. Hal tersebut terungkap dari keberadaan Masyarakat Sunda yang mengenal dasa dan Calagra serta Beya Retribusi yang di pungut di tempat-tempat tertentu pelabuhan, Muara Sungai,dan tempat-tempat penyebrangan 48 Pelabuhan-Pelabuhan yang ada di Jawa Barat pada waktu itu adalah pertama Pelabuhan Bantam Pelabuhan dagang, kedua Pelabuhan ke arah Japara Pontang yang kurang ramai dari Banten, ketiga pelabuhan Cigede merupakan cabang Muara Cisadane, keempat adalah Tangerang dengan Pelabuhan yang serupa seperti Pelabuhan yang sebelumnya, kelima adalah Pelabuhan Kalapa yang bagus sekali dan pelabuhan terpenting dan terbaik dari semuanya, disinilah berlangsung perdagangan paling ramai dan kesanalah mereka semuanya berlayar dari Sumatera,Palembang, Laue di mulut sungai Kapuas Kalimantan, 46 Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010. 47 Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, Data Naskah, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 32. 48 Danasasmita, Sejarah Jawa Barat IV , hal. 5. Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura serta banyak tempat lain. Keenam pelabuhan Cimanuk disinilah ujung kerajaan, pelabuhan Cimanuk memiliki perdagangan yang baik dan para orang Jawa pun berdagang disana, disamping itu pelabuhan ini merupakan sebuah kota yang besar dan bagus. 49 Bagi masyarakat yang berdiam di pesisir lebih-lebih di kota pelabuhan, pada umumnya mereka menunjukan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang, yang disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar. 50 Dari pelayaran dan perdagangan dapat diketahui struktur sosial, hubungan satu dengan lain dan wibawa yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan. 51 Dalam menentukan Lapisan-lapisan Masyarakat berdasarkan status sosial pada saat itu tidak mudah karena kurangnya Sumber Sejarah yang mengenai hal itu. tetapi menurut Uka Tjandrasasmita, bahwa penggolongan Masyarakat kota pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan yang becorak Islam di Indonesia dapat di bagi atas : a. Golongan raja-raja dan keluarganya b. Golongan Elit c. Golongan non Elit d. Golongan Budak Penggolongan semacam ini berlaku juga di Jawa Barat, menurut Drs. Iwa Kartiwa bahwa penggolongan Masyarakat Sunda pada waktu itu terbagi atas : 49 Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, Data Naskah Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 34-35. 50 Uka Tjandrasasmita, ed, Sejarah Nasional Indonesia, jakarta : Balai Pustaka, 1984, Cet. Ke 4, jilid, 3, hal. 173. 51 Ibid., hal. 175. a. Golongan Raja b. Golongan Pejabat atau alat Negara c. Golongan Rohaniawan dan Cendikiawan d. Golongan Rakyat biasa Petani yang mempunyai sawah dan Nelayan yang mempunyai perahu e. Golongan Buruh atau kuli. 52 52 Wawancara , Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010. BAB III SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT

A. Teori Masuknya Islam ke Nusantara