Para Penyebar Agama Islam

Tionghoa dan membangun hubungan Diplomatik dan persahabatan antara Negara Tiongkok dan masyarakat Indonesia serta dengan masyarakat dunia lainnya. 69 Slamet Mulyana, ahli sejarah, seperti yang di kutip Azyumardi Azra, juga menyinggung kemungkinan Islam di Nusantara “bersal dari Cina.” 70 Hubungan antara Nusantara dan Cina lanjut Azra sudah terjalin sejak masa pra- Islam, sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber Cina bahkan memberi informasi-informasi yang cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara . Riwayat perjalanan pendeta pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuzza Sriwijaya pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia disana. Riwayat pengembara Chau Ju Kua juga memberitakan tentang adanya koloni Arab di Pesisir Barat Sumatera, yang paling mungkin di Barus. Sumber-sumber Cina ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama orang dan tempat yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang di kenal dalam Sejarah Nusantara. 71

B. Para Penyebar Agama Islam

Persoalan penerimaan Islam oleh penduduk Nusantara atau yang disebut pula conversion to Islam menjadi topik yang penting diperbincangan. Persoalan ini tidak dapat di lepaskan dari peran penting para pembawa Islam itu sendiri.. Sebagaimana teori kedatangan Islam, persoalan golongan pembawa Islam ke 69 Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho,Misteri perjalanan Muhibah di Nusantara, Jakarta : Pustaka Popular Obor 2005, hal. xxxii. 70 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia. 2002, hal. 167 . 71 Ibid., hal. 167 . Nusantara juga dapat di jelaskan setidaknya melalui tiga teori. Teori-teori tersebut sebenarnya menyangkut para pembawa Da’i Islam Asia Tenggara, akan tetapi di harapkan dapat membantu memahami persoalan Islam di Nusantara. 72 Dilihat dari sudut pandang keyakinan seorang Muslim, menyebarkan agama adalah suatu kewajiban. Oleh karena itu, setiap Muslim adalah dai, penyebar keyakinannya. Hal ini dilandasi setidaknya oleh sabda Nabi SAW yang menyebutkan “sampaikanlah sesuatu dariku walau satu ayat” inilah salah satu konsep dasar dakwah dalam Islam yang menyebabkan setiap Muslim, sampai pada batas tertentu dapat menjadi Da’i. sementara itu, teori-teori yang hendak di jelaskan disini merupakan kerangka metodologis untuk melihat bagaimana sesungguhnya proses penyebaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pembawa Islam tersebut. Dari teori-teori ini pula dapat dilihat latar belakang para Da’i tersebut, apakah pedagang, kaum Sufi, atau memang sebagai Da’i. Pertama, adalah teori yang menekankan para pedagang. Keberadaan mereka yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah Indonesia, menikah dengan beberapa penguasa lokal, dan yang telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir, itu semua menjadi petunjuk adanya Islamisasi di wilayah Nusantara. Mereka tidak hanya berdagang dan bersosialisasi tetapi juga terlibat dalam penyebaran Islam. Teori ini sangat berkaitan dengan teori pertama kedatangan Islam yang menyatakan bahwa Islam telah hadir di wilayah Nusantara sejak abad ke-7 . kenyataan bahwa kontak dagang wilayah Nusantara dengan 72 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid I, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000, hal. 721. Timur tengah telah terjadi sejak sebelum abad ke-7, sehingga memungkinkan wilayah ini disinggahi pula oleh para pedagang Arab yang telah memeluk Islam pada atau setelah abad ke-7. 73 Menyangkut teori pertama, perlu di beri penjelasan mengapa para pedagang tersebut juga mengajarkan Islam, para pedagang Muslim Asing yang datang ke Asia Tenggara, juga memperkenalkan Islam untuk mendapatkan keunggulan Ekonomi dan politik di kalangan Masyarakat Pribumi. Menurut kerangka pemikiran ini, diantara beberapa perkara yang diperkenalkan para pedagang Muslim kepada masyarakat pribumi adalah terutama tentang keuntungan-keuntungan Syariat Islam mengenai perdagangan, kejujuran dalam timbangan misalnya, sehingga mereka dapat mengambil keuntungan ekonomi secara maksimal. Dengan melakukan hal semacam ini mereka bukan saja memberikan landasan bagi perdagangan pribumi, tetapi juga sekaligus membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Islam dengan demikian menjadi pilihan Masyarakat Pribumi, dan karenanya Islam dapat di terima. 74 Kedua, adalah teori yang menjelaskan peran para Da’i atau kaum Sufi, atau yang disebut oleh sebagian Orientalis sebagai kaum Misionari, dari Gujarat, Benggal, dan Arabia. Kedatangan para Sufi bukan hanya sebagai Guru, tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan Istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Teori ini sangat tepat apabila di letakan pada konteks perkembangan Islam di Nusantara, setidaknya sejak abad ke – 11, mengingat 73 Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 85-86. 74 Saefullah, Islamisasi di Indonesia. Telaah Seputar MasuknyaIislam, Lektur Keagamaan, Depag RI, Vol, 2, No,, .2004, hal. 84. persebaran Sufisme ke luar wilayah utama dunia Islam Timur-Tengah, atau pembentukan jaringan internasional Sufisme- “tarekat Tasawuf “ 75 . penyebaran Islam melalui tasawuf lebih mudah di terima oleh bangsa Indonesia terutama untuk orang-orang yang sebelumnya mempunyai dasar-dasar ajaran ketuhanan. 76 Dari sudut pandang teori ini dapat di jelaskan bahwa Islam yang datang ke Nusantara di pandang oleh beberapa pengamat memiliki kesamaan bentuk dengan sifat Mistik dan Sinkretis kepercayaan Nenek Moyang setempat. Kesamaan bentuk ini di pandang sebagai faktor lain yang menyebabkan Islam di wilayah ini cepat diterima dan menjadi dominan , peran kaum Sufi lebih besar di banding peran pedagang muslim dalam proses ini. 77 Azyumardi Azra mengutip pendapat A.H. Johns, menyatakan bahwa para Sufi pengembara adalah kelompok yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara dalam jumlah besar. Hal ini setidaknya terjadi sejak abad 13 M. Faktor utama keberhasialan perpindahan agama penduduk kepada Islam adalah kemampuan kaum Sufi ketika menyajikan Islam dalam kemasan atraktif dan menarik, khususnya dengan menekankan beberapa kesamaan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal dengan Islam, atau kontinuitasnya, ketimbang perubahannya. 78 Ketiga, adalah teori yang lebih menekankan pada makna Islam bagi Masyarakat umum dari pada elite pemerintah. Islam telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi kedalam kehidupan masyarakat. Landasan ideologi tersebut berlaku bagi kebijakan individual, bagi solidaritas kaum tani dan 75 Azra, Ed. Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, hal. XXV. 76 Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 115. 77 Saefullah, Islamisasi di Indonesia. Telaah Seputar Masuknya Islam, hal .85. 78 Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Nusantara , hal. 32-33. komunitas pedagang, dan bagi integrasi kelompok parokial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar. Teori ini tentu tidak berlaku bagi proses Islamisasi sebelum invasi Barat ke wilayah Nusantara, yakni sebelum pendudukan Portugis atas Malaka pada 1511 M, yang di pandang sebagai awal munculnya kolonialisme Barat di Nusantara. 79 Berdasrkan teori ini dapat di jelaskan pula bahwa kehadiran para penjajah merangsang terjadinya proses Islamisasi dan intensifikasi lebih lanjut di Nusantara, terutama sejak awal abad ke 16 M. masyarakat Nusantara yang bukan hanya terpisah-pisah secara geografi oleh gugusan berbagai pulau, tetapi juga memiliki perbedaan sosial dan kultural, mendapati Islam sebagai satu wadah yang dapat menyatukan mereka dan memberika identitas diri kepada mereka. Bagi mereka, penjajah dipandang sebagai kafir. Dalam konteks menghadapi penjajah, Islam memberikan identitas diri dan mengintegrasikan masyarakat pribumi dari berbagai kalangan, baik kaum tani, maupun pedagang. Islam bagi mereka yakni masyarakat pribumi menjadi semacam defence mechanism mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis. 80 Berdasarkan teori-teori yang di kemukakan diatas, terlihat dengan jelas bahwa tidak ada sebuah proses tunggal bagi penyebaran Islam di Nusantara, dan tidak ada pula sumber tunggal mengenai hal ini. 81

C. Sejarah Awal Masuknya Islam di Jawa Barat