Analisis Komparatif terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia

ketimbang suami. Kalau sudah demikian, maka tidak hanya suami tetapi pendidikan anak pun sebenarnya dapat ditentukan atau lebih didominasi oleh peran istri perempuan.

C. Analisis Komparatif terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia

Pernikahan beda agama, sedari awal sudah dinyatakan, menjadi fenomena yang kontroversial baik dalam Islam maupun Katolik. Meski dalam banyak hal, keduanya memiliki perbedaan yang amat jelas, persamaan juga muncul tak kalah banyak. Persamaan ini, secara umum, terlihat minimal pada adanya sumber teks kitab suci yang secara eksplisit melarang pernikahan beda agama dan kemudian ada pula teks kitab suci yang memperbolehkannya dengan spesifikasi persyaratan yang berbeda-beda. Dari sini, persamaan antara Islam dan Katolik, pada saat yang sama juga menyimpan perbedaan. Dua hal ini pada paragraf-paragraf berikutnya akan dieksplorasi lebih detil. Untuk lebih mensistematisasi perbandingan pandangan mengenai pernikahan beda agama antara Islam dan Katolik, berikut disajikan tabel persamaan dan perbedaan sumber dan pandangan kedua belah pihak: Tabel Perbandingan pandangan Pernikahan Beda Agama PBA Menurut Islam dan Katolik Aspek Perbandingan Islam Katolik Keterangan Perjanjian Lama: Kejadian 6: 5-6 dan Ulangan 7: 3-4 Larangan terhadap PBA Teks Primer Kitab Suci al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 Perjanjian Baru: Korentus 6: 14, 7:1, dan 7: 12-16 Baik Islam maupun Katolik mempunyai sumber primer Kitab Suci yang menyatakan tidak bolehnya melakukan PBA Pembolehan PBA Teks Primer Kitab Suci al-Maidah ayat 5 Islam membolehkan PBA antara laki-laki Muslim dan Perempuan Ahl al- Kitab dan tidak sebaliknya. Sementara tidak ada teks primer Kitab Suci Katolik yang menyatakan bolehnya melakukan PBA Teks Sekunder Hadits Nabi Hukum Kanon 1125 dan 1126 Katolik baru menyatakan boleh melakukan PBA pada hukum pendukung Kitab Suci dengan persyaratan yang sangat ketat Penafsiran Kontemporer Pandangan kontemporer yang berkembang dalam Islam maupun Katolik tentang PBA bervariasi. Tidak sedikit yang tetap menyatakan tidak boleh, sementara juga bermunculan penafsiran dan pendapat yang menyatakan bolehnya melakukan PBA, bahkan tidak dibatasi oleh jenis kelamin dan syarat-syarat yang memberatkan bagi pasangan pelaku PBA Dari tabel di atas, tampak bahwa baik Islam maupun Katolik sama-sama memiliki teks primer kitab suci yang menyatakan tidak diperbolehkannya melakukan pernikahan beda agama. Namun demikian, Islam secara eksplisit memiliki satu sumber teks pada kitab suci yang memperbolehkan pernikahan beda agama, meski hanya untuk pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl al-Kitab . Di atas segala perdebatan yang muncul tentang pemaknaan kata Ahl al- Kitab itu, satu hal yang menjadi nilai lebih pada Islam adalah adanya teks kitab suci yang memperbolehkan pernikahan beda agama bagi umatnya. Lebih dari itu terdapat juga salah satu hadits Nabi yang memperbolehkan pernikahan beda agama. Pada titik ini, baik sumber hukum primer al-Quran maupun sumber hukum sekunder, pendukung hadits Nabi menyatakan bolehnya melakukan pernikahan beda agama. Persoalan tentang pernikahan beda agama dalam Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ. Dalam penafsiran baik pada jaman ulama salaf ulama jaman dahulu maupun jaman sekarang masih terdapat kekhawatiran akan pernikahan beda agama. Lebih dari itu, kekhawatiran itu kini menjadi lebih tegas dengan munculnya pelarangan pernikahan beda agama. Larangan tersebut datang dengan latar argumen bahwa sudah tidak ada lagi umat yang bisa dikatakan Ahl al-Kitab dan kekhawatiran terjadinya mutasi keimanan dan agama bagi umat Islam yang melakukan pernikahan beda agama. Parahnya, hal itu diperkuat oleh Undang-Undang UU perkawinan yang dimiliki oleh Indonesia. UU perkawinan Indonesia terlihat masih membatasi, tidak memfasilitasi, bahkan dapat dikatakan melarang terjadinya pernikahan beda agama. Kalaupun boleh, persyaratan yang musti dipenuhinya begitu berat, hampir-hampir tidak memungkinkan melangsungkan pernikahan beda agama. Untuk yang terakhir ini, tentunya, tidak hanya dialami oleh umat Islam, melainkan juga umat Katolik dan umat agama- agama lain yang ada di Indonesia. Sedangkan dari pemikiran agama Katolik, gereja Katolik menganggap bahwa pernikahan beda agama bukanlah pernikahan yang ideal. Pasalnya, pernikahan dalam agama Katolik dianggap sebagai sebuah sakramen kudus. Karena itu, Katolik tampak lebih memberikan persyratan yang terlampau ketat bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama. Persoalan Pernikahan beda agama seperti yang diinformasikan kitab Kejadian 6: 5-6 dianggap sebagai pernikahan yang tidak dikehendaki Allah. Ada semacam keyakinan bahwa pernikahan beda agama hanya akan mengakibatkan pada makin bertambahnya dosa dalam kehidupan manusia, bahkan mendatangkan penyesalan dalam hati Tuhan. 63 Kitab Ulangan 7: 3-4. menyebutkan bahwa bangsa Israel dilarang kawin dengan bangsa-bangsa di luar Israel. Israel dalam konteks itu artinya umat Kristen 63 Lihat dalam kitab Kejadian: 24. Katolik juga tidak boileh menikah dengan bangsa atau umat lain. Namun dalam Hukum Kanonik, sikap gereja Katolik tampak lebih melunak. Meski kemungkinan melakukan pernikahan beda agama disertai dengan berbagai persyaratan yang sama sekali tidak mudah. 64 Kendati begitu, tampak bahwa gereja lebih memiliki keasadaran untuk tidak melarang pernikahan beda agama. Melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup merupakan hal yang tidak bijaksana. Dengan kejadian ini Paulus kemudian menulis, “Kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.” Kembali membincangkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, hal itu tetap memberatkan. Contohnya, pasangan yang bukan beragama Kristen harus menerima prinsip-prinsip moralitas hidup Kristen yang dijalankan oleh pasangannya, meski tanpa menyebut syarat untuk berganti agama menjadi Kristen. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari Tuhan tetapi dari Paulus. Paulus meyakini bahwa ikatan pernikahan semacam ini tetap suci sebagaimana dikatakan Korentus 7:14, “karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” Dispensasi seperti yang disebutkan di atas pun baru bisa dilakukan jika ada izin dari uskup setempat dengan mengikuti pesyaratan-persyaratan yang sudah 64 Ichtiyanto, Pernikahan Campuran dalam Negara Republik Indonesia Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003, h. 130. ditetapkan. Dispensasi dari uskup ini juga baru dapat diberikan jika di antara kedua pasangan pernikahan beda agama ini mempunyai kesadaran untuk membina keluarga yang baik dan utuh setelah pernikahan, juga untuk kepentingan pemeriksaan guna memastikan tidak adanya halangan pernikahan. Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka uskup belum bisa memberi izin untuk melakukan pernikahan beda agama. Pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama harus membuat perjanjian lisan maupun tulisan di depan saksi mengenai janji-janji yang sudah dinyatakan. Perjanjian tersebut kewenangannya di pegang oleh wali Gereja. Syarat-syarat diatas harus benar-benar diperhatikan oleh pasangan pernikahan beda agama, karena jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak sah. Di atas segalanya, syarat-syarat yang sedemikian rumit sebenarnya dilakukan sebagai upaya untuk mencegah perpindahan agama dari Katolik ke agama lain. Atau minimal mencegah menurunnya keimanan penganutnya setelah kawin dengan penganut agama lain. Akan tetapi, dikalangan pendeta Katolik, kini, sudah cukup banyak yang berpikiran moderat yang beranggapan bahwa pernikahan beda agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Perbuatan menghalangi cinta kasih dua insan atas nama agama sungguh tidak benar dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia HAM. Karena Yesus sendiri datang dengan membawa ajaran mengenai cinta kasih dan perdamaian. Bukan malah membawa umatnya ke dalam kejumudan dalam pergaulannya. Umat Katolik, seyogyanya menyebarkan gagasan-gagasan cinta kasih Yesus kepada pemeluk lain dengan berbagai cara, termasuk jika terjadi hubungan pernikahan dengan umat agama lain. Sedangkan perbedaan antara pandangan Islam dan Katolik pada sumber yang memperbolehkan pernikahan beda agama pada kedua agama tersebut adalah dalam hal jenis kelamin. Dalam Islam, teks al-Quran menyebutkan bahwa kebolehan tersebut hanya berlaku bagi laki-laki. Sedangkan perempuan tidak diperkenankan melakukannya. Asumsi dari aturan ini adalah, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang otoritasnya dianut oleh keluarga. Sehingga, upaya untuk membawa anak-anak mereka ke dalam agama Islam akan lebih mudah dilakukan oleh seorang laki-laki daripada perempuan. Meski demikian Islam kemudian menunjukkan perkembangan bahwa pendapat dan tafsir atas hal ini perlu dikaji ulang dengan melihat pada konteks ayat tersebut. Ayat tersebut mungkin relevan jika dikorelasikan dengan konteks turunnya ayat di jaziran Arab pada abad ke enam 6 Masehi. Pada masa itu, dominasi jenis kelamin laki-laki sangatlah kuat. Sedangkan kaum perempuan tidak memiliki daya apapun jika berhadapan dengan laki-laki. Akan tetapi, sekarang ini, asumsi tersebut tidak lagi bisa dijadikan patokan. Seorang ibu, kini, justru lebih dekat dengan anak-anak mereka. Maka peluang untuk menanamkan pengaruh dalam keagamaan menjadi lebih potensial dimilikinya ketimbang sang ayah. Karena itulah kemudian muncul sebuah wacana untuk membebaskan jenis kelamin pihak yang melakukan pernikahan beda agama tersebut. Sementara Katolik tidak mengenal pembedaan jenis kelamin dalam melakukan pernikahan beda agama. Setiap jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, boleh melakukan pernikahan beda agama, asal memenuhi segala persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Hukum Kanon. Dalam hal ini, Katolik terlihat lebih egaliter ketimbang Islam yang masih kental patriarkhis. Perbedaan kedua adalah mengenai syarat-syarat untuk melakukan pernikahan beda agama. Dalam pandangan Islam, pernikahan beda agama tidak menuntut persyaratan yang rumit, semua berlaku seperti pernikahan biasa. Akan tetapi, dalam pandangan Katolik, persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama cukup rumit. Harus ada perjanjian lisan maupun tertulis dari pihak yang beragama Katolik untuk tidak berpindah agama. Begitu pula dengan pengasuhan anak-anak mereka. Pandangan Katolik menuntut otoritas mendidik agama anak-anak hasil pernikahan beda agama dalam didikan gereja. Namun kedua agama ini juga memiliki titik kesamaan bahwa pernikahan akan lebih baik dilakukan dengan pasangan yang seiman. Dalam pandangan Islam, disebutkan al-Baqarah: 221 bahwa wanita budak yang beriman lebih baik dibandingkan dengan wanita Kafir yang merdeka. Disebutkan pula dalam hadis bahwa dalam memilih pasangan ada empat hal yang harus dipertimbangkan; dari aspek, kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Dan aspek agama inilah yang paling penting untuk dipertimbangkan. Senada dengan pandangan Islam, pandangan Katolik pun menganggap bahwa pernikahan akan lebih sempurna bila penganut Katolik menikah dengan orang yang seiman. Lebih jauh lagi, dalam menyikapi fenomena keberagaman Indonesia, terutama konteks agama, baik dari kalangan Islam maupun Katolik sama-sama sudah memunculkan pihak yang cukup bijak dengan menganggap pernikahan beda agama sebagai sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari lagi. Dimensi pluralitas bangsa ini menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi bangsa jika tidak disikapi dengan bijak. Melarang pernikahan antaragama, sama dengan menghilangkan kemungkinan terjadinya akulturasi dan peleburan simpul-simpul sosial bangsa. Tampak bahwa penafsiran paling kontemporer pada kedua agama memiliki kesamaan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang tidak terlarang, bahkan tanpa pembedaan jenis kelamin dan ketatnya persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi oleh para pelaku pernikahan beda agama. Sebuah kondisi yang menggembirakan.

BAB V PENUTUP