B. Perdebatan Kontemporer Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Hampir semua fenomena, pada dirinya sendiri, menyimpan pro dan kontra. Tanpa terkecuali fenomena pernikahan beda agama. Pro-kontra yang meliputi
pernikahan beda agama itu sendiri mungkin sudah setua kehadiran berbagai agama, bahkan sejak adanya perbedaan dalam umat manusia.
Dalam konteks Islam dan Katolik, kontroversi perihal pernikahan beda agama lebih diwarnai oleh pendapat yang dimiliki oleh kelompok konservatif dan
kelompok moderat dalam memahami teks dan penafsiran agama. Pihak pertama adalah golongan yang cenderung menolak terjadinya pernikahan beda agama,
sementara pihak kedua menjadi golongan yang menerima. Golongan pertama memandang agama sebagai sesuatu yang “saklek” dan paten, tidak bisa diubah
lagi. Beragama adalah menjalani aturan-aturan yang telah tertulis tanpa banyak pertanyaan, dan menganggap bahwa segala ijtihad untuk menyarikan kebenaran
secara lebih mendalam dianggap sebagai bid’ah dan menyesatkan. Dalam konteks Islam, perdebatan tentang pernikahan beda agama hingga
kini tetap diwarnai dengan penafsiran atas kata Musyriq dan Ahl al-Kitab yang terdapat dalam teks al-Quran. Pihak yang menolak pernikahan beda agama dari
kalangan Islam, misalnya, beranggapan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dengan mengutip beberapa ayat al-Quran, seperti an-Nahl: 89.
45
Bagi kalangan ini, aturan-aturan pernikahan yang ada dalam al-Quran sudah merupakan
aturan yang final dan tidak dapat diubah lagi. Golongan ini berkeyakinan bahwa al-Quran, sebagai kitab suci, sudah mengatur segala aspek pernikahan secara
45
Budi Handrianto, Pernikahan Beda Agama Dalam Syari’at Islam Jakarta: PT. Kairul Bayan, 2003, h. 14.
komprehensif.
46
Pemahaman yang dikemukakan cenderung tekstualis tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan sejarah.
Sebaliknya, pihak yang menerima pernikahan beda agama memiliki pemahaman agama lebih kontekstual. Pihak ini cenderung menganggap bahwa
teks agama tidaklah berdiri sendiri tanpa intervensi ruang dan waktu. Sebuah teks agama merupakan hasil kerjasama yang sinergis antara “maksud Tuhan” dengan
setting sosial pada waktu teks tersebut diturunkan. Karena itu, untuk bisa
menyarikan kebenaran yang sejati dari sebuah teks agama, perlu dilakukan pemaknaan atas konteks saat teks tersebut diturunkan, lalu dihubungkan dengan
konteks kekinian. Memaknai kata Musyriq dan Ahl al-Kitab harus juga memperhatikan setting sosial saat teks tersebut diturunkan. Tidak bisa hanya
sekedar dimaknai sesuai dengan arti dari kamus atau kitab terjemahan saja. Dari situ, sangat bisa dimaklumi kalau pihak yang menolak pernikahan
beda agama memaksudkan Ahl al-Kitab terbatas pada agama-agama Ibrahim Abrahamic Religions, yaitu Kristen dan Yahudi. Mereka menganggap bahwa
hanya agama-agama tersebutlah yang memiliki kitab suci asli dari “langit”. Mereka menganggap bahwa agama-agama selain yang disebutkan di atas bukan
berasal dari wahyu Tuhan, melainkan ciptaan manusia. Bahkan, bagi mereka, kaum Kristen dan Yahudi sekarang ini tidak bisa dianggap sebagai Ahl al-Kitab
lagi karena terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan atas kitab sucinya. Walhasil, kemungkinan untuk melakukan pernikahan beda agama menurut
golongan ini sudah benar-benar tidak mungkin.
46
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 14.
Pihak yang menolak pernikahan beda agama juga melakukan generalisasi bahwa orang yang menikah beda agama tidak akan berbahagia. Pernikahan
tersebut tidak akan bertahan lama. Selain itu, mereka juga mempertanyakan tentang nasib anak-anak yang lahir dari keluarga yang melakukan pernikahan
beda agama tersebut
47
. Di luar perdebatan pemaknaan teks-teks agama, pihak yang menolak pernikahan beda agama kerap menyela pemikiran pihak yang
menerima. Mereka beranggapan bahwa pendapat kalangan yang menerima pernikahan beda agama adalah nyleneh dan tidak berdasar.
48
Bahkan tak jarang “mengkafirkan” para tokoh yang memperbolehkan pernikahan beda agama.
Sedangkan pihak yang menerima pernikahan beda agama menganggap bahwa yang disebut Ahl al-Kitab bukan hanya agama Kristen dan Yahudi saja,
tetapi semua agama yang mengakui adanya Tuhan yang Esa, yang memiliki kitab suci sebagai panduan hidup mereka. Dalam kategori ini, maka agama Budha dan
Konghucu masuk dalam hitungan.
49
Selain itu, mereka memiliki tafsir tersendiri atas pemaknaan Kafir atau Musyriq dan Ahl al-Kitab. Sebutan untuk golongan
Kafir selalu merujuk kepada kaum Kafir Quraiys di Mekkah yang selalu menindas
kaum Muslim. Juga adakalanya merujuk kepada bangsa yang melakukan invasi kepada Islam seperti bangsa Persia dan Romawi. Perlu dicatat, bahwa bangsa
Romawi dan Persia juga beragama Kristen dan Yahudi. Sedangkan istilah Ahl al- Kitab
merujuk kepada kaum non-Muslim yang tidak melakukan invasi atau upaya-upaya yang mengancam keberlangsungan Islam, baik yang beragama
Kristen, Yahudi Abrahamic Religion maupun lainnya. Bahkan, tercatat
47
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26-27.
48
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 114.
49
Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Fondation, 2003, h. 48.
Rasulullah SAW sendiri pernah menikahi wanita non-Muslim yang bernama Mariatul Qibtiyah. Wanita ini beragama Kristen Koptik, atau Kristen dari Syiria.
Tipikal kalangan penolak pernikahan beda agama dapat dilihat sebagaimana dicontohkan oleh pandangan-pandangan Budi Handrianto.
Budi menyebutkan bahwa pernikahan beda agama adalah haram. Kebahagiaan hakiki
berada dalam institusi rumah tangga
50
. Karena itu, dalam rumah tangga harus dibangun sinergitas antara suami dan isteri. Hal tersebut belum terlaksana bila
pasangan suami isteri berbeda agama. Budi juga mempertanyakan pendidikan anak hasil pernikahan campur.
51
Budi mengkhawatirkan anak-anak dari masyarakat Muslim akan beralih agama ke non-Muslim karena pernikahan
campur. Budi juga mengritik perilaku dari artis-artis yang gemar melakukan pernikahan campur
52
. Pendapat yang melarang pernikahan beda agama juga diperkuat oleh
Majelis Ulama Indonesia MUI yang telah menerbitkan fatwa mengenai keharaman melakukan pernikahan beda agama. Dalam
fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor : 4MUNAS VIIMUI82005 tentang pernikahan beda agama,
MUI memutuskan bahwa : 1.
Pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan
Muslim.
50
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 20.
51
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26.
52
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 30.
Tentang pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab sendiri masih terdapat perbedaan pendapat. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa
mafsadah -nya akan lebih besar daripada maslahatnya, MUI kemudian
memfatwakan pernikahan tersebut juga hukumnya haram.
53
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan baik oleh MUI maupun para ulama Nahdlatul Ulama NU dari 1960-an hingga 1990-an tentang pernikahan beda
agama ternyata tidak mengalami perubahan dan fleksibilitas yang signifikan. Hampir semua fatwanya berisi penolakan terhadap pernikahan beda agama.
Ulama-ulama NU, pada tahun 1962, mengeluarkan larangan pernikahan beda agama, disusul kemudian oleh fatwa yang sama pada 1968 dan 1969. MUI Jakarta
mengeluarkan fatwa senada pada 1975, diikuti fatwa MUI pusat pada 1980. Kemudian MUI Jakarta kembali mengeluarkan surat publik yang menegaskan
larangan pernikahan beda agama dalam situasi apapun pada tahun 1986.
54
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa fatwa-fatwa tersebut tidak berubah? Komentar Mohammad Atho Mudzhar menanggapi hal ini menarik untuk
disimak:
“Dikeluarkannya fatwa oleh MUI yang melarang kaum Muslimin pria dan wanita untuk kawin dengan orang yang bukan Islam bahkan juga dengan orang-orang
ahl al-kitab , rupanya didorong oleh keinsyafan akan adanya persaingan
keagamaan kendatipun ada kenyataan khusus al-Qur’an yang memberi izin kepada kaum pria Islam untuk mengawini wanita Ahl al-Kitab. Hal ini boleh jadi
berarti bahwa persaingan itu sudah dianggap para ulama telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat Muslim, sehingga pintu
bagi kemungkinan dilangsungkannya pernikahan antaragama harus ditutup sama sekali.”
55 53
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Inddonesia Mesjid Istiqlal, 1995, h. 91.
54
Muhammad Ali, “Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 9, no. 3 2002: h. 1.
55
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988
Jakarta: INIS, 1993, h. 103.
Lebih lanjut dia menilai bahwa fatwa-fatwa tersebut sangat radikal karena selain berlawanan dengan apa yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran juga
bertentangan dengan kitab-kitab fiqh klasik yang biasanya dirujuk oleh MUI sendiri untuk membuat fatwa-fatwa.
Paparan di atas menerbitkan suatu pemahaman bahwa ternyata fatwa- fatwa pelarangan pernikahan beda agama muncul dalam konteks ketegangan
antara umat Islam dengan umat Kristen yang sudah terjadi berabad-abad. Hal lain dapat juga diutarakan bahwa kemunculan fatwa semacam itu tidak hanya
menggambarkan wacana mengenai hukum Islam tapi lebih mencerminkan sikap dan persepsi para pemuka Islam terhadap penganut agama lain. Ini tercermin dari
komentar beberapa tokoh Islam ketika mengomentari maraknya pernikahan beda agama dewasa ini.
Amidhan, Ketua MUI, berpendapat bahwa pernikahan beda agama harus dihindari karena selain bertentangan dengan Undang-undang Pernikahan Nomor I
Tahun 1974, juga dikhawatirkan menimbulkan pergeseran makna pernikahan menurut Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki makna sakral. Dengan
menikah diharapkan terwujud sebuah keluarga yang sakinah. Berdasarkan tujuan pernikahan tersebut maka pada prakteknya akan sulit membangun kelurga sakinah
melalui fondasi perbedaan agama dalam satu atap. Al-Quran memang memperbolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab,
meski para ulama masih bersilang pendapat. Terlepas dari silang pendapat tersebut yang perlu digarisbawahi adalah motif dari pernikahan beda agama itu
sendiri. Kalau motifnya untuk mengagamakan salah satu pasangan ke agama yang lain, maka hal itu jelas bertentangan dengan tujuan suci pernikahan oleh agama.
56
Husein Umar, Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia DDII berpendapat senada dengan Amidhan. Menurutnya pernikahan beda agama tidak
dapat diterima karena bertentangan dengan aqidah Islam dan undang-undang yang ada UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan. Islam tidak boleh menganggap
sepele masalah pernikahan beda agama. Ada sinyalemen bahwa maraknya pernikahan beda agama di beberapa daerah merupakan bagian dari strategi
pemurtadan. Baginya, pernikahan beda agama tidak ada kaitannya dengan toleransi antarumat beragama. Senada dengan itu, Muslimat NU mengemukakan
bahwa sebaiknya pernikahan beda agama dilarang secara tegas, tujuannya untuk mencegah pemurtadan dan kehancuran pernikahan.
57
Dari komentar tokoh-tokoh Islam yang telah dipaparkan di atas, tak heran apabila orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama dianggap telah
melanggar cita-cita agama dalam hal memelihara aqidah dan menjaga identitas serta integritas komunitas dalam hal ini Islam.
Quraisy Syihab termasuk salah seorang ulama tafsir yang memaknai Ahl al-Kitab
terbatas pada umat Yahudi dan Kristen, baik yang ada sebelum Islam maupun setelah datangnya Islam. Menurutnya, laki-laki Muslim diperbolehkan
menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab, yakni Yahudi dan Kristen, kalau mereka memang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya sebagaimana
56
“Ada Motif di Balik Pelaminan,” Tabloid Republika Dialog Jum’at, 15 Agustus 2003, h. 4.
57
“Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda Agama di Kalangan Ulama,” Tabloid Jum’at, 12 September 2003, h. 5.
diungkapkan dalam surat al Maidah di atas, wal muhshshanatu minal ladzina utul kitab
. Nada yang berbeda dikemukakan oleh Musdah Mulia. Menurutnya,
kekhawatiran sebagian umat Islam akan terjadinya konversi agama dari pihak Muslim jika menikah dengan non-Muslim, berangkat dari sindrom psikologis,
yakni umat Islam seringkali dihinggapi rasa tidak percaya diri dan rasa takut yang berlebihan, yang tidak beralasan. Meskipun mayoritas, umat Islam Indonesia
cenderung bersikap atau bermental minoritas. Lebih dari itu, kalaupun pernikahan beda agama diperbolehkan, maka umat Islam selalu menginginkan pihak Muslim
mampu mempengaruhi pasangannya agar melakukan konversi agama, dan jika terjadi sebaliknya, umat Islam pun menjadi murka dan mengutuknya. Hal ini
disebabkan yang pertama identik dengan kemenangan dan yang kedua identik dengan kekalahan, dan umat Islam hanya ingin menang. Lebih parah lagi, sikap
dan pikiran yang sangat tidak sehat ini ternyata tidak hanya didapati di kalangan Muslim, tetapi juga di kelompok agama yang lain.
58
Budhy Munawar-Rahman menilai bahwa kondisi masyarakat kini yang sangat plural mengakibatkan terjadinya interaksi yang tidak mungkin lagi
dikendalikan, ia menjadi tidak terbatas. Maka, menurutnya, negara telah berlaku ekslusif saat menetapkan Undang-undang Pernikahan yang tidak memberi ruang
bagi pernikahan beda agama.
59
Senada dengan itu, Ulil Abshar Abdala, Koordinator Jaringan Islam Liberal, mengungkapkan bahwa dalam Islam
pernikahan beda agama itu tidak ada masalah. Islam, menurutnya, adalah agama
58
Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan AntarAgama
, Oktober 2003, h. 11.
59
“Pernikahan Campuran: Ibu Dominan, Anak Bingung,” Tabloid Republika Dialog Jum’at
, 15 Agustus 2003, h. 3.
revolusioner. Hal itu terbukti dengan diperbolehkannya pernikahan antaragama meski pada saat itu masih sebatas untuk laki-laki Muslim yang menikahi Ahl al-
Kitab . Revolusi seperti itu harus diteruskan sehingga pernikahan beda agama tidak
dilarang. Kesulitan pernikahan beda agama sebetulnya lebih kepada kesulitan birokrasi, bukan kesulitan secara agama. Islam sendiri justru percaya bahwa
semua agama itu benar.
60
Sedangkan menurut Zainun Kamal, secara eksplisit al-Quran sebenarnya mengizinkan seorang laki-laki Muslim untuk menikah dengan wanita non-
Muslim. Hal tersebut disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5. Zainun mengatakan bahwa dalam ayat tersebut dinyatakan alladzîna ûtu al-kitab, orang-
orang-orang yang mempunyai kitab suci.
61
Zainun berpendapat bahwa al-Quran mengkategorisasikan kaum non- Muslim menjadi golongan Musyriq, Mukmin dan Ahl al-Kitab. Orang Musyriq
bisa didefinisikan sebagai mereka yang percaya pada adanya Tuhan tetapi juga mempersekutukan dengan lainnya, serta tidak percaya pada kitab suci dan atau
tidak percaya pada salah seorang nabi. Kaum musyrik yang disebut disini adalah kaum musyrik Mekkah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi.
Sedangkan Ahl al-Kitab adalah mereka yang percaya pada salah seorang Nabi dan salah satu kitab suci.
Teks yang tertera dalam al-Quran surat al-Mâ’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab atau Ahl al-Kitab. Golongan ini mempercayai kebenaran
kitab suci mereka dan yang diutus kepada mereka adalah seorang Nabi. Maka,
60
“Pernikahan Mei Menuai Kontroversi,” Gatra, 21 Juni 2003, h. 19.
61
Petikan wawancara dengan Zainun Kamal, dalam www.islamlib.com
. Tanggal akses 29 desember 2007.
menurut Zainun, menikahi golongan ini diperbolehkan. Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gautama adalah seorang Nabi.
Konghuchu, dianggap Nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho. Jadi, pemeluk agama-agama tersebut dianggap sebagai Ahl al-Kitab.
Begitu juga dengan pemeluk agama Yahudi, yang memiliki kitab taurat dan percaya kepada rasul yang diutus kepada mereka, yakni Nabi Musa. Juga umat
Nasrani yang memiliki kitab suci yang rasul. Mengenai persoalan hanya Muslim laki-laki yang boleh menikahi wanita
non-Muslim, Zainun mengatakan bahwa hal tersebut perlu untuk ditinjau ulang. Karena pada akhirnya, tanggungjawab untuk mendidik anak ada pada kaum
perempuan. Sehingga, dalam pernikahan beda agama, posisi seorang perempuan justru lebih potensial untuk mempengaruhi anak-anak mereka agar masuk agama
tertentu. Lebih lanjut, Zainun juga berpendapat bahwa semua agama sebenarnya membawa pesan moral yang sama.
Selain Zainun Kamal, tokoh lain yang menerima pernikahan beda agama adalah Drs. Nuryamin Aini., M.A. Ia adalah pengajar pada Fakultas Syariah UIN
Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia PPSDM UIN Jakarta pada Kamis. Nuryamin menulis tesis untuk meraih gelar
MA di Flinders university dengan mengambil tema pernikahan beda agama. Nuryamin melakukan penelitian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY
sebagai sasaran penelitian. Alasannya, karena DIY merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya. Dari data tersebut ditemukan bahwa di DIY
terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang menikah beda agama dari 1000 kasus pernikahan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik
menjadi 18 kasus dan justru trend-nya menurun menjadi 12 kasus saja pada tahun 2000. Trend penurunan ini dalam bahasa statistiknya disebut U terbalik. Tahun
1980 rendah 151000, lalu naik tahun 1990 191000, kemudian turun lagi tahun 2000.
Dari kalangan Katolik, tokoh yang menerima keberadaan pernikahan beda agama adalah Antonius Dwi Joko. Antonius berpendapat memang sebaiknya
masyarakat pemeluk agama Katolik tidak melakukan kawin campur. Akan tetapi, mengingat kompleksitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang
Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen
lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong pada pemahaman akan realitas terjadinya pernikahan campur.
62
Namun, satu hal yang menjadi amatan penulis dari perdebatan soal pernikahan beda agama, meski tidak akan dijabarkan lebih jauh, adalah kurangnya
perhatian terhadap perspektif jender. Ini tak aneh, mengingat pembahasan pernikahan memang kerap bias jender. Dari paparan di atas, tampak bahwa
pernikahan beda agama atau pernikahan secara umum cenderung lelaki sentris. Makanya penghalalan pernikahan beda agama oleh beberapa kalangan pun belum
dapat melepaskan diri dari pengarus-utamaan laki-laki. Faktanya, kehalalan pernikahan antara lelaki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab lebih dilatari
oleh alasan bahwa lelaki lebih bisa mendidik dan mengarahkan istri dan anak- anaknya, tidak sebaliknya. Di dunia sekarang, hal sebaliknya justru banyak
terlihat. Kini, tidak sedikit perempuan istri yang lebih mempengaruhi keluarga
62
Antonius Dwi Joko, Pr, “Kawin Campur”, http:yesaya.indocell.netid1066.htm
, diakses pada tanggal 29 Desember 2007.
ketimbang suami. Kalau sudah demikian, maka tidak hanya suami tetapi pendidikan anak pun sebenarnya dapat ditentukan atau lebih didominasi oleh
peran istri perempuan.
C. Analisis Komparatif terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia