Pernikahan Beda Agama menurut al Quran

BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA

MENURUT ISLAM DAN KATOLIK

A. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam

Islam terlahir tidak pada ruang yang kosong. Ia terlahir pada sebuah konteks sosial, sekaligus merespon segala keadaan yang terjadi di seputarnya. Islam merespon dari masalah ketuhanan, politik, hukum, hubungan antar makhluk hidup, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Islam tentunya merespon hubungan pernikahan antar sesama manusia, lebih khusus lagi pernikahan antar-manusia yang kebetulan berbeda keyakinan, berbeda agama. Paparan selanjutnya akan memfokuskan diri pada pembahasan tentang pernikahan beda agama ini.

1. Pernikahan Beda Agama menurut al Quran

Respon Islam atas konteks sosial yang terjadi pada saat itu terrangkum dalam kitab suci al Quran. Al-Qur’an, meski menjadi pembeda antara Islam dengan agama-agama lainnya, memiliki pesan universal yang sama dengan agama-agama yang terlebih dahulu diturunkan ke dunia. Salah satu kesamaan yang paling kentara misalnya pesan yang mengatakan bahwa semua agama menyerukan umatnya untuk menyembah Allah yang Esa dan selalu melakukan perbuatan yang bermoral dan konstruktif. Namun demikian, pengejawantahan nilai-nilai dasar agama senantiasa bervariasi ketika sudah berhadapan dengan realitas sosial. Selalu terdapat dua dimensi das sein dan das solen, dimensi historisitas dan normativitas. Kedua dimensi tersebut tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Maka wilayah das solen ajaran agama Islam menyatu dengan praktek keseharian wilayah das sein sejarah kemanusiaan. 18 Pergumulan das sein dan das solen sudah dimulai sejak permulaan sejarah kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah naif kalau hanya memokuskan diri pada wilayah das solen seraya abai terhadap wilayah das sein. Karena, sekali lagi, teks-teks al-Quran sebagai wahyu Allah sendiri tidak berbicara pada ruang hampa. Artinya jelas bahwa al Quran akan kehilangan maknanya ketika ditanggalkan dari konteksnya. Penafsiran yang dilakukan secara parsial hanya akan menghilangkan keutuhan makna al Quran dan cenderung terjebak pada aspek yang sejatinya hanya simbolis. Khusus tentang permasalahan pernikahan beda agama, ayat-ayat al-Quran yang umumnya dijadikan pegangan oleh para ulama adalah surat al-Baqarah: 221  +,-  . 1 2 3 . 45 67 8 9 : ; =  3 ;   . 1 2 3 . 45 7 8 9 3BC D E9 F GHI J K L MN O GHI J L- 8 ,0 P  R S T U V 2=3 R 6 5 L L-X 4 YCX ; F 0Z [6 \]]_ 18 M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, Ulumul Qur’an, No. 4, IV, 1993, h. 17 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mumin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” al-Baqarah: 221 atau surat al-Mumtahanah:10: `a DC b cZN O 5 T J 4de 5Nc d ,-  f40h8 Y ;i 6 j MN 4HXk 9 `_l U V F U j ;i n X f  : j ;i ; o0 GHI J K pP5 : ;i qq 4rsf : 4;i F tX u r f 4;i ; 5 N L dJ PS 9 : ,-o 45 [HXk F 9 ;i N T J ;i 6v 5 ;i K oE9 : 5 w ; 4xy ; V z0 j ;X{| N  5} J PS 9 ;X{w ~ N dJ PS 9 45  T 4 {N 45 u 45 ,-vV MN + € Xk •‚~ \h_ “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” al-Mumtahanah60:10 Ayat-ayat di atas diturunkan di Madinah serta membawa pesan agar orang- orang muslim tidak menikahi perempuan musyrik, begitu juga sebaliknya. Istilah al-Musyrikun dan al-Musyrikah dalam ayat diatas merujuk pada masyarakat politeis, penyembah berhala, yang dibedakan oleh al-Qur’an dengan masyarakat keagamaan lainnya. 19 Sedangkan Muhammad Abduh, sebagaimana dinyatakan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, dengan tegas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Musyrik adalah Musyrik Arab pada konteks saat itu yang sangat agitatif terhadap umat Islam. 20 Ayat itu selain berbicara tentang larangan menikahi laki-laki atau perempuan musyrik juga memuat anjuran menikahi budak, karena dengan jalan menikahinya, maka si budak dan anak-anaknya akan menjadi merdeka. Pada sisi lain, surat al-Baqarah: 221 di atas turun dengan kondisi masyarakat Madinah yang cukup homogen. Umat Islam pada saat itu masih sangat sedikit, ditambah kondisi kebencian dan peperangan antara kaum Musyrik dengan umat Islam yang menyebabkan terusirnya Nabi Muhammad dan kaum Muslimin pengikutnya. Oleh karena itu, melakukan pernikahan dengan kaum Musyrik yang senantiasa memusuhi dan memerangi Islam, selain dianggap bertentangan dengan tujuan Islam juga dikhawatirkan malah hanya akan menimbulkan masalah lain. 19 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah kerangka konseptual, Bandung: Mizan, 1992, h. 73. 20 Dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada Tafsir al-Manar, Jilid VI, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t, Nurchalish Madjid dkk. menguatkannya dengan kontekstualisasi aspek keindonesiaan di sana-sini, sebagaimana terrekam pada tulisan mereka dalam Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004, h. 160. Selain Surat al-Baqarah sebagaimana disebutkan di atas, ayat lain yang seringkali dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama adalah surat al- Mumtahanah: 10. Ayat ini turun beriringan dengan peristiwa perjanjian Hudaibiyah yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan kaum musyrik Quraisy pada tahun 628 M. Salah satu butir kesepakatan yang dilahirkan pada perjanjian ini berisi bahwa apabila ada orang dari pihak Quraisy datang kepada Muhammad atau melarikan diri dari mereka tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang datang kepada pihak Quraisy, melarikan diri dari dia, maka tidak akan dikembalikan pada Muhammad. Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah perjanjian ini ditandatangani, Abu Jandal, anak dari Suhail bin Amr datang kepada Nabi dan mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan kaum Muslim. Suhail ternyata mengetahui hal ini, dia marah besar kemudian memukuli anaknya, direnggut kerah bajunya untuk dikembalikan kepada kaum Musyrik Quraisy. Saat itu, Abu Jandal berteriak dengan keras, “wahai kaum Muslim, apakah aku dikembalikan kepada orang- orang Musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku?” lantas Rasulullah berkata: “wahai Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan kepada orang-orang yang lemah yang bersamaan. Kami telah mengikat perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan kita tidak boleh menghianati mereka.” Setelah peristiwa itu ada beberapa orang perempuan Mukminin datang berhijrah ke Madinah, Ummu Khultsum binti ‘Uqba bin Mu’ait keluar dari Mekkah. Saudaranya, Umara bin Walid, kemudian menuntut kepada Nabi supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian. Tetapi Nabi menolak permintaannya, karena isi yang termaktub dalam perjanjian tidak mencakup kaum perempuan. Disamping itu, perempuan yang sudah masuk Islam tidak sah lagi bagi suaminya yang masih kafir Musyrik, oleh karena itu mereka harus berpisah. Maka dalam konteks inilah surat al-Mumtahanah turun. 21 Dari latar belakang turunnya ayat yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa ayat tersebut hanya menegaskan keharaman perempuan-perempuan Muslim untuk menikah dengan lelaki kafir Musyrik. Sebagian penafsir mengemukakan bahwa “kafir” yang dimaksud dalam ayat ini adalah kafir Musyrik Quraisy. Artinya yang haram untuk dinikahi oleh kaum muslim laki-laki dan perempuan adalah kaum Musyrik Quraisy. Dari pemaparan kedua ayat beserta konteks sosial historisnya di atas, dapat disimpulkan bahwa umat Islam dilarang menikah dengan orang Musyrik. Karena berdasarkan konteksnya bagaimana mungkin akan tercipta keluarga yang mawaddah wa rahmah jika ternyata kaum Musyrik sangat membenci dan memerangi Islam. Ayat inilah yang dipahami dan disimpulkan sebagian besar umat Islam sebagai ayat yang melarang pernikahan antara orang Muslim dengan non-Muslim.

2. Pernikahan Beda Agama dan Perdebatan tentang Ahl al-Kitab