BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang identitas penduduknya terdiri beragam agama, etnis, dan budaya. Fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara
yang dikenal dengan kekayaan budayanya di antara negara lain di dunia ini. Namun demikian, Indonesia juga dikenal dengan negara yang berpenduduk
Muslim terbesar di dunia. Mayoritas penduduk Muslim ini kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dikaji. Sejumlah penelitian
menyebutkan bahwa dengan banyaknya penduduk yang beragama Islam, Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah negara yang sanggup merepresentasikan
nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Asumsi tersebut memang sah, namun justru terbantahkan dengan realitas
sosial yang menunjukkan bahwa Indonesia sendiri merupakan kesatuan dari multi kebudayaan.
1
Dengan kata lain, identitas masyarakat indonesia tidak hanya bersandar kepada homogenitas agama Islam melainkan juga mengacu kepada
heterogenitas budaya yang melingkupinya. Implikasi luas dari heterogenitas kebudayaan adalah timbulnya beragam perbedaan dalam realitas sosial. Sebagai
contoh seringkali ditemukan perbedaan baik di tingkat sikap, persepsi, bahkan tindakan yang sangat mungkin berujung konflik di antara sesama Muslim
1
Dalam prakata buku Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme,
Jakarta, Kapal Perempuan, 2004 hlm ii. Yanti Muchtar mengatakan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural; dilihat dari sisi agama, suku, ras, dan
kelas, dan lain-lain. Ruang interaksi lintas golongan sangat terbuka lebar.
Indonesia tentang sebuah fenomena sosial keagamaan. Untuk mencontohkan betapa perbedaan seperti itu kerap terjadi di Indonesia ambil contoh peristiwa
pengusiran jamaah Ahmadiyah, jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, hingga peristiwa pernikahan beda agama di kalangan umat Muslim.
Isu pernikahan beda agama juga merupakan isu yang sensitif jika kita tempatkan kepada pemeluk agama selain Islam di Indonesia. Dalam konteks
agama Katolik di Indoenesia, pernikahan beda agama merupakan sebuah hal yang sama sensitifnya dengan agama Islam. Setidaknya dua agama besar ini melihat
bahwa pernikahan beda agama justru merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan jika pasangan yang melakukan pernikahan tetap berpegang kepada
prinsip agamanya masing-masing dalam melangsungkan pernikahan. Namun demikian, dalam agama Katolik pernikahan yang dilakukan tetaplah sah jika
pasangan yang berbeda agama tersebut menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan pernikahan menurut agama Katolik.
Peristiwa pernikahan beda agama menjadi salah satu masalah perbedaan yang cukup kompleks dalam isu pernikahan. Dalam sejarah pernikahan beda
agama, pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda berdasarkan hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan telah diatur
secara khusus sejak zaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan.
2
Namun sejak diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974, definisi pernikahan beda agama mengarah
kepada orang yang menikah dengan perbedaan kewarganegaraan. Undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tentang pernikahan
memuat asas penting bahwa, “pernikahan adalah sah apabila dilaksanakan
2
Maria Ulfa dan Martin Lukito Sinaga ed., Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme
, Jakarta: Kapal Perempuan, 2004, h. 92
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Asas ini berlaku untuk semua pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia termasuk
pernikahan antar agama.
3
Di sini jelas bahwa pernikahan yang dilaksanakan di luar hukum agama maka akan dianggap oleh negara sebagai pernikahan yang tidak sah. Selama ini
pernikahan beda agama sudah banyak terjadi di Indonesia, tetapi dalam hal ini pemerintah kurang tegas dalam menanggapi pernikahan beda agama karena
sampai detik ini pernikahan beda agama masih terus berlangsung. Dan dari sekian banyak pelaku pernikahan beda agama pun masih belum jelas tercatat dalam arsip
pemerintah. Sedangkan permasalahan pernikahan beda agama dalam hukum agama
Islam, senantiasa dimaknai dan dipahami secara berbeda oleh para penganutnya. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari kandungan kitab suci Al-Quran yang
lebih banyak memuat gambaran umum dari satu persoalan, dan oleh karenanya selalu ada peluang untuk ditafsirkan, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kondisi
dan situasi saat ini yang jelas berbeda dengan kondisi masa lalu. Beragam penafsiran disamping mencerminkan bahwa ada pluralitas dalam agama itu
sendiri, juga mencerminkan kekayaan khasanah al-Quran yang senantiasa bisa digali untuk kemudian mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah ditemukan
oleh generasi sebelumnya. Oleh karena itu, pernikahan beda agama dalam Islam menjadi sesuatu
yang tak pernah selesai diperdebatkan. Sebagian sumber nash al-Qur’an dimaknai sebagai bentuk pelarangan terhadap pernikahan beda agama, sementara
3
H. Ichtiyanto, SA, SH, APU, Pernikahan Campuran dalam Negara Republk Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,2003, h.81
sebagian lagi ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai ayat yang membolehkan pernikahan beda agama. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam upaya
memahami teks al-Qur’an sebagai sumber hokum, termasuk untuk pernikahan beda agama, adalah konteks pada saat ayat itu diturunkan. Dengan melihat
konteks tersebut, penafsiran ayat yang membicarakan tentang pernikahan beda agama akan lebih jelas dipahami.
Maka, dalam hemat penulis, ayat yang melarang pernikahan beda agama merupakan bentuk larangan untuk umat pada saat itu. Terbukti ketika konteksnya
berubah, nada ayat al-Qur’an juga mengalami perubahan. Al-Qur’an kemudian secara tegas memperbolehkan terjadinya pernikahan beda agama meski, pada saat
itu, terbatas hanya pernikahan antara kaum Muslim dengan Ahl al-Kitab. Konteks yang terjadi dan dapat dilihat pada masa kini, berbeda hampir 180
derajat dengan konteks baik ketika al-Qur’an melarang pernikahan beda agama maupun ketika memperbolehkannya dengan syarat tertentu. Konteks kini,
manusia begitu plural, tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bergaul dan berinteraksi dengan yang lain. Hubungan dan, bahkan, pernikahan dengan umat
dari agama lain pun, kini, tak terelakkan lagi. Pendapat seperti ini sudah diutarakan oleh banyak ulama dan pemikir Islam kontemporer sebagaimana akan
dijelaskan pada bab III. Sedangkan bagi umat Katolik sendiri pernikahan beda agama adalah salah
satu halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan. Apabila pernikahan beda agama ini masih tetap dilaksanakan harus terlebih dahulu
meminta izin atau dispensasi kepada uskup setempat.
4
Walaupun di dalam
4
Lihat Kanon 1086 pasal 2
pernikahan ini tidak ada keharusan bagi pihak yang bukan Katolik untuk ikut menjadi Katolik, tetapi ia harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan
pernikahan menurut agama Katolik. Di dalam agama Katolik terdapat ayat-ayat yang dipakai sebagai acuan
pernikahan beda agama. Sebagian besar kitab Katolik melarang terjadinya pernikahan beda agama. Hal itu sebagaimana terlihat pada beberapa ayat di dalam
kitab Perjanjian Lama seperti Kejadian 6:5-6 dan Ulangan 7:3-4. Pelarangan pernikahan beda agama juga terrekam dalam kitab Perjanjian Baru seperti pada
Korintus 6:14 Korintus 7:1 dan 7: 12-16.
5
Sementara tanda-tanda pembolehan pernikahan beda agama baru muncul pada Hukum Kanonik, hukum turunan dari
Kitab Suci yang berbasis pada realitas. Meski pasangan yang akan menikah beda agama terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan tertentu, dua ayat dalam
Hukum Kanonik patut disebut sebagai ayat-ayat yang memungkinkan terjadinya pernikahan beda agama dalam Katolik. Dua ayat tersebut adalah Hukum Kanon
1125 dan 1126. Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan, dan itu tidak akan menjadi
suatu masalah selama kita bisa menyikapinya dengan arif dan bijaksana, salah satunya yaitu senantiasa menumbuhkan sikap saling menghormati dan
menghargai kepada sesama pemeluk agama. Dan kita tidak sepatutnya untuk memaksakan suatu agama kepada orang lain karena pada dasarnya semua agama
itu mengajarkan tentang kebaikan. Demi kepentingan kajian ini, penulis akan membahas lebih jauh mengenai
pernikahan beda agama dari perspektif agama Islam dan dari agama Kristen
5
Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, Bandung:Penerbit Kalam Hidup Pusat, 1987, h.53
Katolik. Kedua agama ini merupakan agama yang cukup menarik karena kedua agama ini cukup banyak membahas tentang pernikahan beda agama, baik itu dari
perspektif yang melarang pernikahan beda agama sampai dengan perspektif yang membolehkan bersyarat dengan alasan kemajemukan agama merupakan suatu
yang tak terbantahkan, sehingga pernikahan seperti ini merupakan hal yang wajar terjadi di Negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai macam suku
dan agama . Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis kemudian merasa perlu untuk
melakukan studi secara mendalam mengenai pernikahan beda agama. Tentunya studi mendalam terhadap pandangan agama Islam dan Kristen Katolik dalam
melihat pernikahan beda agama. Studi ini akan ditulis dengan judul: “PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK”.
Diharapkan dengan adanya studi mengenai pernikahan beda agama ini penulis bisa memberikan kontribusi penting baik bagi studi agama yang telah dilakukan
maupun yang akan dilakukan.
B. Batasan dan Rumusan Masalah