karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup agama sesuai dengan hati nuraninya.
10
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama yaitu suatu pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda keyakinan atau agama, mereka
bertekad untuk membangun keluarga bahagia tanpa harus meninggalkan keyakinan mereka masing-masing dan mereka tetap taat kepada agama yang
mereka anut.
B. Kebijakan Negara tentang Pernikahan Beda Agama
Sebelum berlakunya UU tahun 1974, di Indonesia kita jumpai peraturan perkawinan campuran Regeling of De Gemende Huwelykue; Staatsblad 1898 No.
158. Akan tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 66 UU, peraturan Staatsblad 1898 No. 158 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Di luar fakta sejarah di atas, UU Staatsblad 1898 No. 158 sendiri menyatakan bahwa pernikahan campuran adalah pernikahan antara orang-orang
yang tinggal di Indonesia namun tunduk pada hukum yang berlainan.
11
Menurut UU di atas setiap pernikahan di antara orang-orang yang berada dan tunduk pada
hukum yang berlainan disebut pernikahan campuran, baik disebabkan perbedaan golongan penduduk, perbedaan hukum adat, maupun perbedaan agama. Artinya,
UU Staatsblad tahun 1898 No. 158 ingin mengatakan bahwa perbedaan golongan penduduk baik warga asing atau bukan warga asing, perbedaan hukum adat dan
perbedaan agama bukanlah suatu penghalang bagi pasangan yang ingin
10
Romo Antunius Dwi Joko, “Kawin Campur,” artikel diakses pada 10 september 2007 dari WWW.Yesaya. Indocell. Net.
11
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan nasional, h. 238
melangsungkan pernikahan campuran. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan UU tahun 1974 yang telah ditetapkan oleh pemerintah saat ini.
UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 disusun berdasarkan Pancasila yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU ini tidak dibahas secara
eksplisit mengenai pernikahan beda agama. Walaupun secara implisit dapat ditemukan landasannya pada pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang selalu menjadi rujukan soal pernikahan
beda agama di Indonesia. Pasal 2 ayat 1 menyerahkan sepenuhnya soal pernikahan beda agama kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan
mengenai diperbolehkan atau dilarangnya pernikahan tersebut.
12
Sedikit ke belakang, menengok proses sejarah yang sebelumnya terjadi, pemberlakuan pasal itu sendiri sebelumnya melalui pro-kontra yang tidak pendek.
Pengesahan UU perkawinan ini sendiri sempat mengalami penolakan baik dari internal DPR, sebagai pemutus UU, maupun dari masyarakat. Sebagai bentuk
kompromi, akhirnya UU perkawinan tidak membahas secara eksplisit tentang pernikahan beda agama. Pernikahan yang diatur di dalam UU perkawinan sebatas
pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraan, bukan berbeda agama.
Dalam buku terbitan Balitbang Depag RI yang ditulis oleh Ichtiyanto disebutkan bahwa kata “masing-masing” dalam UU perkawinan tertuju pada
agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukan mengacu kepada masing-masing pengantin. Yang dimaksud di sini bahwa pernikahan itu akan sah apabila
12
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia
, h. 36
pengantin dapat memeluk agama dan kepercayaan yang sama, jika yang terjadi sebaliknya, yaitu pengantin menganut agama yang berbeda, maka pernikahan
tersebut tetap dianggap tidak sah.
13
Di Indonesia, pernikahan beda agama bisa dilakukan bila salah satu pasangan yang akan melaksanakan pernikahan beda agama terlebih dahulu
melakukan perpindahan agama sehingga kedua pasangan memiliki kesamaan agama. Di sisi lain, pernyataan seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan prinsip
yang terdapat pada Undang-Undang Dasar UUD 1945, sebagai konstitusi dasar, pasal 29 ayat 2 yang secara tegas menyatakan adanya kebebasan beragama bagi
setiap warga negara, tanpa terkecuali. Inilah contoh penyimpangan UU turunan dari UUD di antara sekian banyak contoh lainnya.
Dari sejarahnya, rancangan UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR, semula memuat pasal 11 ayat 2 yang
menyebutkan bahwa perbedaan kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama atau kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang
pernikahan. Tetapi, karena satu dan lain hal yang tidak penulis ketahui, akhirnya ketentuan dalam rancangan UU itu tidak dimasukkan sebagai salah satu pasalnya.
Alih-alih memberi keleluasaan semua pemeluk agama untuk melangsungkan pernikahan, UU perkawinan sekarang malah memperlihatkan bahwa perbedaan
agama dapat menjadi penghalang dalam melangsungkan pernikahan.
14
Kesan bahwa UU no 1 tahun 1974 menentang pernikahan beda agama terlihat pada pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan
13
Ichtiyanto, SA, SH, APU, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003 h. 85
14
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia
, Serang:Penerbit Saudara, 1995, h. 37
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
.
15
Karena setiap agama dalam pemikiran mainstream cenderung menolak pernikahan beda agama, maka dengan demikian pasal ini
secara implisit juga melarang pernikahan beda agama. Pelarangan beda agama di Indonesia pada ujungnya menimbulkan dampak
sosial yang tidak ringan. Karena Undang-Undang tidak melindungi pasangan berbeda agama yang ingin melangsungkan pernikahan, maka yang sering terjadi
adalah salah satu pasangan berpindah agama ke agama pasangannya. Walhasil, keberadaan Undang-Undang ini seakan memaksa seseorang untuk berpindah
keyakinan. Padahal, undang-undang dasar sudah menjamin bahwa setiap warga negara berhak menjalankan keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan. Atau,
bisa juga dikatakan bahwa, pelarangan atas pernikahan beda agama sama juga dengan perngangkangan terhadap amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Pelarangan pernikahan beda agama, yang berakibat perpindahan agama yang terpaksa dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukannya, juga bisa
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Karena, memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak manusia yang paling asasi.
Setiap orang berhak memeluk agama yang dianutnya tanpa ada paksaan. Hal ini termaktub dalam piagam HAM yang sudah diratifiaksi dalam TAP MPR no XVII
MPR1998 pasal 13 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agamanya
15
Undang-Undang No : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara 19741; TLN NO. 3019
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
16
Perpindahan agama yang dilakukan oleh pasangan beda agama seringkali dilakukan dengan kepura-puraan. Maskudnya, salah satu pasangan pura-pura
berpindah agama dengan memeluk agama yang dianut oleh pasangannya, hanya untuk “mengelabui” hukum dan aturan tertulis. Hal ini merupakan konsekuensi
lebih parah dari adanya pelarangan atas pernikahan beda agama. Tindakan demikian sama dengan mempermainkan hukum dan kepercayaan. Sesuatu yang
sejatinya bertentangan dengan semangat penegakan hukum itu sendiri. Upaya lain yang sering dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukan
pernikahan beda agama adalah melakukan pernikahan di luar negeri. Hal ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang juga sama beratnya. Selain
membebani ongkos yang tidak sedikit, pernikahan di luar negeri juga menyisakan sedikit “pekerjaan rumah” bagi pasangan tersebut, yaitu mengenai status
kewarganegaraan anak mereka. Karena, pernikahan mereka dilakukan tidak dengan
hukum yang berlaku di Indonesia, maka mengurus status
kewarganegaraan anak mereka akan lebih rumit. Bila pasangan yang ingin melakukan pernikahan beda agama ini merasa
repot dengan segala aturan yang ada, sementara mereka tidak ingin berpindah agama masing-masing, terkadang mereka mengambil jalan pintas untuk “kumpul
kebo” atau hidup bersama tanpa menikah. Dari segala paparan diatas, maka akan tampak bahwa setiap upaya untuk
menghalangi pernikahan beda agama akan menimbulkan konsekuensi yang
16
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII MPR1998.
sebenarnya bertentangan dengan tujuan pernikahan yang diatur dalam UU itu sendiri. Karena itu, sebaiknya pemerintah patut mempertimbangkan kembali
segala macam aturan yang melarang, atau setidaknya menghalangi dan mendiskriminasi pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama selayaknya
diberikan jalan yang lebih mudah, demi terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Pemerintah harus lebih tegas karena pernikahan beda agama akan terus
terjadi di Indonesia yang masyarakatnya sangat plural ini. Untuk keselamatan masyarakat Indonesia, pemerintah sudah sepatutnya menetapkan hukum yang
berlaku untuk masyarakatnya tentang pernikahan orang-orang yang berlainan agama, dengan tidak melebihkan satu agama atas agama lainnya. Pemerintah
harus betul-betul kembali mempertimbangkan dan memperhatikan asas kesamaan di muka hukum untuk semua warga negara dari semua agama. Sekali lagi,
terutama dalam kasus pernikahan, pemerintah harus menetapkan aturan yang egaliter dan memfasilitasi mereka yang kemungkinan menikah dengan pasangan
yang memiliki perberbedaan keyakinan beragama. Hal ini penting mengingat modernitas dan perkembangan interaksi yang terjadi di Indonesia sudah tidak bisa
dibatasi dengan faktor agama atau apapun. Lebih dari itu, pelaranganan terhadap pernikahan beda agama hanya akan
memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang tua sah menurut hukum. Yang dari sini kemudian menimbulkan masalah baru seperti tidak terjaminnya hak
atas pemeliharan dan warisan. Lebih parah lagi, anak hasil pernikahan beda agama kerap memperoleh penghinaan dalam pergaulannya dengan anak-anak lain yang
kebetulan orang tuanya menikah dengan pasangan yang seagama. Hampir dapat
disimpulkan kalau anak hasil pernikahan beda agama adalah anak yang tidak jelas identitas dan statusnya dalam hukum negara.
Ada sejumlah tempat di mana Kantor Catatan Sipil KCS bisa mencatatkan pernikahan beda agama. Dari sumber-sumber tulisan yang menjadi
rujukan, terlihat bahwa di kantor-kantor tersebut terdapat beberapa putusan yang memberi izin pernikahan beda agama yaitu:
1. Penetapan pengadilan Negeri Jakarta Selatan, PdtP1990, 3 april 1990
antara Bambang Djatmiko Setiabudi, pria Indonesia Islam dan Maliangkay Sharon dari perempuan Kristen, mendasarkan antara lain
atas Putusan Mahkamah Agung No. 1400KPdt1986 2.
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 151PdtP1988 antara laki-laki Indonesia beragama Budha Cornelis Hendrik dan Siti Nuraini
Isa seorang perempuan Indonesia beragama Islam. Berdasarkan pasal 66 UU tahun 1974 No. 1. Hakim telah menggunakan materi aturan dari
Regeling op de Gemengde Huweijken GHR, aturan tentang perkawinan
campur zaman pendudukan Belanda, 1898 No. 158 mengingat dalam UU 1974 No. 1 tidak mengatur pernikahan beda agama secara devinitif.
3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.36PdtP1989P.N. Jkt.
Sel. tertanggal 23 Februari 1989, tentang pengabulan pernikahan antara Togar Siborutorop, laki-laki Indonesia Kristen dan Yavinsa Merlgita
seorang perempun Islam. Pernikahan beda agama tersebut tetap dilangsungkan berdasar pada materi putusan GHR sebagaimana juga
disebut pada Pasal 60 undang-undang tahun 1974 No. 1 ayat 3 dan 4: perbedaan agama bukan penghalang untuk menikah.
4. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 456PdtP1988PN Jkt.
Bar., tanggal 29 juni 1988, antara Geri Lumempow seorang laki-laki Indonesia Kristen, dengan Gina Lasiari seorang wanita dari Islam,
dengan alasan bahwa sesuai pasal 29 UUD 1945. sesungguhnya tidak ada aksaan dari warga Indonesia untuk memeluk suatu agama tertentu.
Demikian pula undang-undang perkawinan tidak mengadakan paksaan atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Dan sama sekali tidak
menganjurkan seseorang untuk berpindah agama. Sesuai dengan Rakernas M.A. dengan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia tahun
1986 No. 102, menurut pasal 2 ayat 2 PP No. 91975, pencatatan mereka yang melangsungkan pernikahan menurut agama dan kepercayaan selain
Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Kantor Catatan Sipil. Kalau pegawai Kantor Catatan Sipil menolak, pengadilan berwenang
memerintahkan mereka untuk mencatat pernikahan tersebut.
17
Keputusan-keputusan yang membolehkan pernikahan beda agama seperti yang tertera diatas tidak banyak kita dapati di Indonesia mungkin hanya sebagian
kecil saja. Hanya beberapa lembaga yang memberi kemudahan bagi pasangan beda agama untuk melaksanakan pernikahan seperti Paramadina dan Wahid
Institut. Yang dipertanyakan disini mengapa Departemen Agama yang merupakan alat Negara untuk memberi solusi semacam pernikahan beda agama malah tidak
memberi jalan bagi pasangan beda agama. Dari situ, tak aneh kalau kemudian orang-orang yang ingin melaksanakan
pernikahan beda agama malah lari ke negara-negara lain hanya untuk
17
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung:Citra Aditya Bakti,1996, h. 289
mendapatkan keabsahan pernikahan mereka. Di sini jelas bahwa negara kita tidak mampu untuk melindungi warga negaranya sendiri, malah negara lain yang
sanggup memberi perlindungan bagi warga negara Indonesia, seperti Singapura dan Australia. Maraknya pernikahan di luar negeri memberi kesan bahwa
Indonesia belum dapat menjamin sepenuhnya hak-hak warga negaranya. Pada titik inilah dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi masih menghantui pasangan
yang melakukan pernikahan beda agama di Indonesia. Cara-cara seperti menikah di negara lain seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah lebih mempunyai
kepekaan dan tanggung jawab untuk menjamin kebebasan warga negaranya sebagaimana diamanatkan oleh UUD.
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA