BAB IV ANALISIS KOMPARATIF
TERHADAP FENOMENA PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Fakta Pluralitas di Indonesia
Pernikahan beda agama dalam konteks Indonesia yang terdiri dari manusia-manusia, etnis, suku bangsa, bahasa, budaya dan agama beragam
menjadi fenomena yang sangat mungkin terjadi, bahkan tak terelakkan. Suatu hal yang tentunya sangat alamiah jika pemeluk dari satu agama dengan pemeluk
agama lain saling berinteraksi, membangun relasi, pertemanan, bahkan persaudaraan, termasuk dalam ikatan pernikahan.
Fenomena yang sangat alamiah itu semestinya tidak berimplikasi terhadap apapun. Sayangnya, di Indonesia hal itu muncul lebih sebagai masalah ketimbang
berkah. Maka tak bisa disangkal kalau sebenarnya ada sejenis kepentingan yang dimainkan di balik pelarangan atau minimal sulitnya melangsungkan pernikahan
beda agama di negeri ini. Siapakah mereka yang berkepentingan ini? Kamala Chandrakirana, dalam pengantar buku Perkawinan Lintas Agama Perspektif
Perempuan dan Pluralisme yang diterbitkan oleh Kapal Perempuan, memberi
jawaban cukup tegas. Baginya, pihak yang paling tergantung terhadap pernikahan beda agama adalah pihak yang mempunyai kepentingan tertentu dengan institusi
perkawinan itu sendiri.
43
43
Kamala Chandrakirana, “Kata Pengantar”, dalam Maria Ulfah Anshor ed, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme
Jakarta : KAPAL Perempuan, 2004
Dari situ dapat dikatakan bahwa pelarangan atau resistensi beberapa kelompok terhadap pernikahan beda agama, bukan sesuatu yang berjalan secara
alamiah. Respon demikian hadir karena memang ada pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan di belakangnya. Untuk kembali mempertegas ungkapan
Chandrakirana, “orang dalam” institusi perkawinan itulah yang justru punya permainan. Tentunya, ini tidak murni kepentingan agama. Kesimpulan ini bisa
ditarik karena faktanya tak ada satu agama pun yang hadir dengan eksklusifitas spesial ketimbang agama-agama lainnya. Maka semua agama sejatinya
menempatkan posisi umat dari setiap agama sebagai umat yang setara. Semua agama mengakui pluralitas umat manusia, tak ada satu pun yang menganggap
bahwa hanya umat dari agamanyalah yang berhak hidup dan melangsungkan keturunan di dunia.
Dalam konteks itu, Indonesia sebagai negara besar, berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa dan plural dari segala aspeknya, hendaknya mengerti sekaligus
memperhatikan betul kemungkinan terjadinya hubungan lintas agama di antara warga negaranya. Indonesia harus sangat sadar bahwa kemajemukan yang
embodied pada tubuhnya tak selamanya berjalan dan terawat dengan rapih. Hal itu
mesti ditekankan betul karena kemajemukan selain bisa menjadi sebuah kekayaan, pada dirinya sendiri, ia menyimpan benih disintegrasi dan perpecahan. Perbedaan
yang dimiliki bangsa tak ubah seperti sekam dalam tumpukan jerami. Ia tidak terlihat berbahaya, tetapi sekali mengemuka bisa membakar semuanya,
menghilangkan semua harmoni yang sebelumnya mendominasi permukaan. Mungkin masih lekat dalam ingatan bagaimana kasus Ambon dan Poso, di mana
masyarakat saling bergolak karena tidak memahami esensi kemajemukan.
Dalam meretas gagasan di tengah-tengah kemajemukan inilah, esensi pluraslisme dan dialog antaragama patut dibangun. Banyak titik awal untuk
memulai dialog dan kerjasama lintas agama. Di masa Orde Baru, istilah dialog dan kerjasama tidak begitu populer. Namun demikian, berbagai upaya untuk
mempererat hubungan antaragama telah dilakukan baik oleh pemerintah, melalui Departemen Agama Depag, maupun oleh individu-individu tokoh dan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat LSM. Istilah toleransi dan kerukunan umat beragama awalnya diprakarsai oleh
pemerintahan Orde Baru, tepatnya oleh Depag, walaupun secara praktis masih belum banyak dilakukan. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Prof. Dr. Mukti
Ali. Ketika menjadi Menteri Agama periode 1971-1978, ia membentuk proyek kerukunan hidup antarumat beragama yang menyelenggarakan dialog antar-tokoh-
tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah-wadah ini dibentuk
bersama dengan Majelis Ulama Indonesia MUI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia PGI, Konferensi Wali-Wali Gereja di Indonesia KWI, Parisada
Hindu Dharma Indonesia PHDI, dan Perwakilan Umat Budha Indonesia Walubi.
44
Proyek kerukunan antarumat beragama atau toleransi dilakukan oleh pemerintah dalam konteks integrasi nasional, atau secara spesifik untuk
menciptakan stabilitas dalam menunjang pembangunan nasional. Kendati pemerintah merupakan pihak pemrakarsa, secara resmi sering
dinyatakan bahwa esensi kerukunan merupakan tanggung jawab agama. Karena
44
Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004, h. 198.
itu, apabila terjadi perselisihan baik intern suatu agama maupun antarumat beragama, seyogyanya harus diselesaikan oleh umat beragama itu sendiri.
Dengan kata lain, ungakapan di atas mengandung pesan bahwa di Indonesia agama tidak berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dan pengaruh
pemerintah. Hubungan agama dan negara merupakan hubungan yang konsultatif dan partnership kemitraan, bukan hubungan dominatif. Sebab, Indonesia
memang tidak di desain sebagai negara agama. Persentuhan agama dengan ide-ide demokrasi yang telah ramai disuarakan
sejak awal 1990-an, yakni pasca runtuhnya Komunisme yang diklaim sebagai kemenangan demokrasi liberal, membuat forum-forum keagamaan menjadi lebih
terbuka terhadap segala ide yang berkembang. Dalam konteks Indonesia, misalnya, sudah cukup sering dilakukan seminar-seminar ilmiah berskala lokal,
nasional, bahkan internasional yang mengambil tema-tema dialog antaragama, peradaban dan globalisasi, Islam dan Barat, dan sebagainya. Semua itu tak lain
merupakan bukti bahwa agama kini tidak bisa mengisolasi diri, apalagi menghindar, dari pergaulan global dan globalisasi. Ide keterbukaan glasnot yang
digulirkan oleh Mikhail Gorbachev semasa menjadi presiden Uni Soviet yang kemudian memacu gelombang demokratisasi di seluruh Eropa Timur, bukan
hanya menjadi gejala yang khas berkembang di negeri-negeri bekas Komunis. Hal tersebut merupakan fenomena global, termasuk gejala agama-agama.
Dialog antaragama adalah sebentuk aktivitas yang coba menyerap ide keterbukaan itu. Dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka
antara dua belah pihak. Karenanya, dialog antaragama memiliki arti yang amat penting untuk menyingkap ketertutupan dalam hubungan antaragama yang selama
ini membeku. Hubungan antar agama yang selama ini terjadi, tanpa bermaksud membuang fakta harmoni antaragama dalam forum dan organisasi-organisasi
tertentu, masih cenderung diliputi rasa saling curiga, menganggapnya sebagai indoktrinasi, kristenisasi dalam anggapan umat Islam dan Islamisasi dalam
anggapan umat Kristiani, dan lain sebagainya. Sebuah hubungan yang tidak dilandasi rasa saling percaya dan saling menghormati.
Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dialog yang dikembangkan masih kerap dilakukan sebatas dalam forum-forum seminar di kampus-kampus
dan di tempat-tempat yang eksklusif, tidak dapat diakses oleh semua umat beragama. Parahnya lagi, aplikasi dari dialog masih hanya mengejawantah dalam
bentuk jargon. Belum beranjak ke arah tindakan yang praksis. Itupun hanya dilakukan oleh segelintir orang dari masing-masing agama. Beberapa kemajuan
sebagai implikasi dari forum dialog antaragama memang cukup membanggakan, mulai terbangun rasa saling percaya dan menghormati pada kelompok atau
komunitas agama tertentu. Sayangnya ini, lagi-lagi, tidak menjadi mainstream, bahkan cenderung dicurigai dan dinilai negatif oleh internal masing-masing
agama komunitas tersebut. Di atas segalanya, dialog antaragama sejatinya perlu terus dikembangkan, selain mengingat kondisi pluralitas bangsa Indonesia, juga
karena persoalan globalisasi. Dua faktor besar tersebut menjadikan hubungan antarmanusia, kini, tidak bisa disekat oleh norma budaya dan agama tertentu,
melainkan menerobos batas-batas itu dan mengatasi segalanya. Di luar faktor agama, dalam konteks budaya bangsa, keragaman yang
dimiliki bangsa ini, sekali lagi, dapat menjadi kekayaan dan penambah keindahan, tetapi juga sekaligus dapat menjadi bahaya dan seumber kerusakan. Masih belum
kering dalam ingatan beberapa kasus di tanah air yang terjadi atas dasar perselisihan Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan SARA. Kasus Ambon,
Poso, Luwu, dan lain sebagainya seakan semakin menahbiskan betapa berbahayanya keragaman bangsa ini jika tidak didialogkan. Selain itu, muncul
juga sedikit pertanyaan, jika dialog agama telah lama dilakukan dan hingga kini masih terjadi berbagai kasus berdarah yang berlatar perbedaan agama, bukankah
berarti bahwa pola dialog antaragama yang selama ini dilakukan kurang memberikan manfaat.
Berangkat dari pertanyaan ini, sudah saatnya pula digagas pola dialog antaragama dalam bentuk lain. Pola dialog antaragama yang tidak hanya selesai di
seminar-seminar atau buku-buku saja. Bukan sekedar dialog dan toleransi yang melangit dan mewacana, tidak membumi dalam tindakan praktis. Sudah saatnya
sekarang merekontruksi pola hubungan antaragama yang secara kongkrit bisa dipraktekkan untuk mengikat pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu cara yang
mungkin bisa dilakukan adalah dengan tidak melarang atau menghalang-halangi pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama. Sudah tidak dapat
ditolerir lagi sikap curiga buta atau ketakutan atas agama lain, karena pluralitas sendiri memang tidak bisa dibatasi termasuk oleh pernikahan.
Di samping itu, pelarangan pernikahan beda agama jelas merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM. Karena pernikahan adalah hak
yang asasi bagi setiap manusia. Setiap orang boleh menikah dengan siapa saja yang dia anggap bisa membahagiakan dirinya dan melangsungkan keturunannya.
Lagipula, segala konseksuensi yang ditimbulkan oleh pernikahan akan di tanggung oleh orang yang menjalaninya. Baik atau buruk, duka atau bahagia
hanya akan ditanggung oleh para pelaku yang menjalaninya. Karena itulah, seharusnya tidak boleh ada larangan untuk melakukan pernikahan campur. Setiap
orang boleh saja menikah dengan pasangan yang berbeda agama asalkan ia meyakini bahwa pasangannya tersebut bisa membahagiakan dirinya. Sama sekali
tidak ada urusannya dengan intitusi agama atau bahkan negara. Dilihat dari pertimbangan agama sendiri, pelarangan terhadap pernikahan
beda agama merupakan tindakan yang sama sekali tidak bijak, baik berdasarkan ajaran agama Islam mupun Katolik pembahasan utama tulisan ini. Setiap ajaran
agama mengajarkan tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan dan cinta kasih. Tentunya, prinsip tersebut sejalan dengan cita-cita pihak yang ingin melakukan
pernikahan beda agama, yang memang mendasarkan hubungan atas dasar cinta kasih sesama manusia, tanpa memandang “baju” dan keyakinan apa yang mereka
kenakan dan miliki. Dalam Islam, dikenal konsep bahwa Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamiin
, agama yang memberi rahmat, cinta kasih bagi seluruh alam semesta. Konsep demikian membawa implikasi bahwa setiap mahluk di
seluruh dunia, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, selayaknya mendapatkan atsar yang baik dari keberadaan agama Islam.
Konsep serupa juga dimiliki oleh Katolik. Katolik mendefinisikan dirinya juga sebagai agama penebar cinta kasih. Yesus sebagai pembawa ajaran Kristiani
hadir dengan membawa pesan utama cinta kasih terhadap semua manusia. Pesan utama Yesus tersebut tentunya relevan untuk diterapkan dalam pernikahan beda
agama. Karena cinta kasih tidak memandang kaya miskin, suku-bangsa, bahasa, budaya, negara dan agama.
B. Perdebatan Kontemporer Pernikahan Beda Agama di Indonesia