BAB II PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISTILAH
A. Pengertian Pernikahan Beda Agama
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengertian pernikahan beda agama, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari pernikahan itu
sendiri. Undang-Undang UU perkawinan pasal 1 menyebutkan secara jelas apa yang dimaksud dengan pernikahan. Penulis menjadikan definisi itu juga untuk
memaksudkan kata perkawinan atau pernikahan pada pembahasan selanjutnya. Di Undang-undang itu pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan ketuhanan yang
maha Esa.
6
Tampak bahwa UU di atas menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang mulia. Dari situ, idealitas kehidupan sepasang laki-laki dan perempuan guna
memperoleh kesejahteraan dan keutuhan hidup berada pada tempat yang utama. Undang-Undang tersebut tidak hanya melihat pernikahan dari sisi lahir, tetapi
sekaligus ikatan kebatinan antara suami istri dalam membina keluarga yang bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha Esa.
Dalam Islam, salah satu tanda dari kekuasaan Allah adalah penyatuan sepasang laki-laki dan perempuan. Penyatuan tersebut didasari oleh rasa kasih
sayang mawaddah wa rahmah yang terjalin di antara mereka. Artinya, dalam
6
Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
, Medan: CV. Zahir Trading Co Medan, , h. 237
Islam, pernikahan tidak hanya menjadi peristiwa sosial yang murni manusiawi, melainkan masih menyimpan unsur-unsur ketuhanan. Pernikahan bahkan
dianggap sebagai manifestasi dari tanda kebesaran Tuhan. Lebih dari itu, pernikahan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan
oleh Allah. Allah menganjurkan seorang laki-laki dan perempuan yang telah dewasa dan mapan serta siap menjalin hubungan dengan manusia yang nota bene
lain, baik dari jenis kelamin maupun keturunan darah, untuk melakukan pernikahan. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan Malik bin Anas
menyatakan bahwa untuk pribadi-pribadi tertentu, yang telah memenuhi kualivikasi sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, menikah menjadi
suatu perbuatan dan pengambilan sikap yang dihukumi wajib. Kewajiban, atau lebih tepatnya perintah, kemudian bahkan tidak hanya
dikenakan pada perbuatan menikah dalam skala besar, tetapi juga pada praktek yang lebih spesifik di dalamnya, yakni dalam rangka menambah dan melanjutkan
keturunan. Pada kasus ini Islam memerintahkan untuk senantiasa mengingat dan bertaqwa kepada-Nya. Karena itulah, pernikahan memiliki filosofi yang sangat
mendalam. Dalam Islam, menikah kemudian bukan hanya dianggap sebagai sebuah perbuatan yang bermaksud untuk sekedar bersenang-senang dan
melampiaskan nafsu rekreasi tetapi juga mengemban tugas mulia untuk melangsungkan keberlangsungan spesies manusia di muka bumi ini prokreasi.
Tugas suci tersebut hanya bisa diemban jika manusia memiliki cinta kasih mawaddah wa rahmah dalam melaksanakan pernikahan. Tanpa itu, cita-cita
mulia yang sebenarnya hendak dicapai akan sulit untuk diwujudkan.
Karena pernikahan adalah institusi yang dianggap sakral, maka pernikahan biasanya diatur oleh aturan-aturan agama. Mulai dari persyaratan, tata cara, dan
segala tetek bengek-nya. Karena itulah, pada lazimnya, pernikahan dilakukan oleh pasangan yang memeluk agama yang sama.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pasangan yang menikah berasal dari agama yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan
pernikahan beda agama. Bisa jadi, orang Islam, baik pria maupun wanita, akan menikah dengan orang yang non-Islam seperti Katolik, Protestan, Budha, Hindu,
Khonghucu, dan lain-lain. Pernikahan beda agama ini mengundang titik perdebatan yang panjang.
Karena, semua agama tampak ingin melindungi para penganutnya dari pengaruh yang ditebarkan oleh agama lain. Di samping itu, pernikahan beda agama
seringkali “dicurigai” sebagai upaya-upaya yang tersistematisir untuk membawa pemeluk salah satu agama menjadi pemeluk agama lain.
Titik perdebatan tersebut juga merambah hingga hal yang paling mendasar yaitu persoalan penafsiran terhadap teks-teks suci, baik al-Quran dari pihak Islam
maupun Injil dari pihak Katolik. Ada banyak pro dan kontra mengenai persoalan penafsiran teks suci ini.
Pihak yang tidak menyetujui pernikahan beda agama biasanya menggunakan pola penafsiran tekstual dalam memahami ayat-ayat suci. Mereka menganggap bahwa
teks suci diturunkan tanpa memandang realitas sosial yang terjadi di masa itu. Bagi kalangan penafsir tekstualis, kitab suci diangap sebagaimana layaknya
Tuhan itu sendiri, yang berkuasa mengatur segala persoalan kehidupan.
Sebaliknya, kalangan yang menerima keberadaan pernikahan beda agama cenderung menafsirkan teks suci atau teks keagamaan dengan pendekatan yang
lebih bersifat kontekstual. Mereka memandang bahwa teks adalah produk budaya, yang tak lepas dari interaksi dengan kondisi sosial pada masa ayat tersebut
diturunkan. Artinya, teks suci selalu berdialektika dengan kondisi sosial pada saat teks tersebut diturunkan, tak pernah tercabut dari kontekstualitas.
Oleh karena itu, dalam menyarikan maksud dari teks suci, para penafsir haruslah mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” ketika ayat tersebut
diturunkan. Artinya, harus ditelaah pula kondisi sosial budaya yang berlangsung pada saat ayat tersebut diturunkan, untuk diterjemahkan dalam konteks kekinian.
Perlu juga untuk menerjemahkan konteks tersebut dalam bingkai “ruang”, artinya bahwa teks tersebut diturunkan di suatu tempat tertentu yang notabene memiliki
kultur budaya berbeda dengan kultur budaya Indonesia. Pembahasan lain yang berkenaan dengan penikahan beda agama adalah
yang berkait dengan statusnya dalam wilayah hukum Indonesia. Hingga saat ini, belum ada hukum yang mengatur mengenai pernikahan beda agama. Dalam UU
Nomor 1 tahun 1974 pasal 57 memang disebutkan istilah perkawinan campur. Akan tetapi, yang dimaksud dengan perkawinan campur dalam undang-undang ini
adalah perkawinan pernikahan antara dua orang yang tinggal di Indonesia dan tetap tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan,
salah satu
pihak berkewarganegaraan
asing dan
pihak lainnya
berkewarganegaraan Indonesia.
7
Jadi, pernikahan yang dimaksud bukan
7
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia
, Serang: Percetakan Saudara, 1995, h. 35
merupakan pernikahan antara dua orang yang berbeda agama, melainkan pernikahan antara dua orang yang berbeda status kewarganegaraan.
Undang-undang perkawinan pada dasarnya telah menjelaskan pernikahan yang secara substansial dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang memiliki
perbedaan spesifik seperti kewarganegaraan. Kendati perbedaan agama tidak disebutkan secara spesifik dalam undang-undang perkawinan, namun para pakar
hukum perkawinan di Indonesia telah mendefinisikan pernikahan beda agama sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing
berbeda agamanya dan mempertahankan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa ”.
8
Pengertian pernikahan antar agama yang lebih ringkas dapat ditemukan dalam pedoman pegawai pencatat nikah.
Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa pernikahan antar agama adalah pernikahan yang terjadi di Indonesia antara dua orang yang menganut agama yang
berbeda.
9
Sedangkan pernikahan beda agama menurut Romo Antunius Dwi Joko, Pr yaitu pernikahan antara seorang baptis Katolik dengan pasangan yang bukan
Katolik bisa dibaptis oleh gereja lain, atau sama sekali tidak dibaptis. Dan, menurutnya, gereja memberi kemungkinan untuk pernikahan beda agama tersebut
8
Eoh O.S., Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 cet 1, h 35
9
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum perkawinan Nikah, Talak, Cerai, Rujuk, Bandung: Al-Bayan, 1994 cet 1, h
karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup agama sesuai dengan hati nuraninya.
10
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama yaitu suatu pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda keyakinan atau agama, mereka
bertekad untuk membangun keluarga bahagia tanpa harus meninggalkan keyakinan mereka masing-masing dan mereka tetap taat kepada agama yang
mereka anut.
B. Kebijakan Negara tentang Pernikahan Beda Agama