Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional

40 dimintakan untuk dieksekusi di Indonesia, apakah putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak. 43 Hal ini diatur dalam Pasal 62 UU No. 30 Tahun 1999. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa indikator mengenai ketertiban umum tidak dinyatakan jelas sebatas mana ketertiban umum itu dapat tercederai atau tidak. Ketertiban umum yang dimaksud ialah “rem” yang dipergunakan untuk menjauhkan keberlakuan Hukum Asing yang seharusnya dipergunakan oleh ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia. Diberlakukan hukum asing oleh Hakim Indonesia, tidak boleh sampai berakibat dilanggarnya atau tercederanya sendi-sendi hukum negara kita sendiri.

B. Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional

Hukum Internasional bukanlah hukum yang bersumber dari Internasional, melainkan hukum negara yang melewati perbatasan negara dan subjek hukum berbeda negara. 44 Pengertian “Internasional” pada istilah Hukum Perdata Internasional Private International Law, International Privatrecht, droit International Prive di sini bukan diartikan sebagai “Internasiones” bukan berarti 43 Erman Suparman. Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 190-191. 44 Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa APSSuatu Pengantar. BANI: PT Fikahati Aneska, 2011. h. 59. 41 bahwa sumber Hukum Perdata Internasional adalah Internasional. Sebaliknya sumber HPI adalah nasional belaka. 45 Karena Hukum Perdata Internasional bersumber pada masing-masing hukum nasional suatu negara, maka tak jarang terjadi benturan hukum ketika suatu negara satu dengan negara yang lainnya memiliki ketersinggungan yang menyebabkan suatu hukum harus dilaksanakan terhadap subjek hukum tersebut. Negara merupakan salah satu pihak yang terkait dalam kontrak Internasional, yaitu suatu subjek hukum yang disebut juga sebagai subjek hukum yang sempurna. Negara memiliki kedaulatan, berdaulat penuh atas wilayahnya, memiliki yurisdiksi eksklusif atas orang termasuk badan hukum, benda-benda dan peristiwa hukum yang terjadi di wilayahnya. Konsep-konsep negara sebagai subjek hukum yang sempurna hanya dapat dijelaskan oleh hukum Internasional. 46 Dalam Pasal 1 UNCITRAL Rule menyimpulkan bahwa suatu arbitrase adalah internasional, jika meliputi syarat-syarat berikut ini 47 : a. Pihak yang membuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha di negara- negara yang berbeda. 45 Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, 1967. Bandung: Binacipta. h. 3. 46 Huala Adolf. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Resika Aditama, 2008. h. 12. 47 Sudiarto dan Zaeni Asyhadie. Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. h. 131-132. 42 b. Jika tempat di mana akan dilakukannya arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase terletak di luar negara tempat usaha para pihak, meskipun tempat usaha para pihak masih dalam satu negara. c. Tempat dari objek perjanjian terletak di luar wilayah negara dimana para pihak memiliki usahanya. d. Para pihak menyetujui secara tegas, bahwa objek perjanjian arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara. Keterikatan arbitrase dan pengadilan juga berlaku di dunia Internasional, dimana sebagian besar pengadilan menghormati ketentuan yang ada dalam klausul arbitrase. Disini, agar sebuah arbitrase Internasional dapat bekerja secara efektif, pengadilan-pengadilan nasional dan kedua belah pihak yang bersengketa harus mengakui dan mendukung arbitrase. Namun bukan berarti apabila suatu negara mengakui dan mendukung putusan arbitrase, negara tersebut lantas kehilangan jati dirinya dalam memperjuangkan kedaulatan negaranya sendiri, dalam arti mempertahankan aturan-aturan yang berlaku di Inonesia. Dalam kegiatan bisnis internasional terdapat dua alasan mengapa pengadilan merupakan sistem yang penting dalam proses kelangsungan arbitrase, yaitu: 48 Pertama, putusan arbitrase harus dapat dilaksanakan melalui sistem peradilan negara tersebut. Jadi, di mana pun arbitrase diputuskan, maka negara tersebut patut mengakuinya dan memprosesnya sesuai dengan ketentuan hukum 48 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2006. h. 73. 43 yang berlaku di negara bersangkutan, baik itu terkait dengan menyalahi aturan suatu negara tersebut atau tidak, ataupun mencederai nilai-nilai ketertiban umum. Arbitrase harus diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Jadi, tak perlu ada pembedaan dapat dilakukannya gugatan pembatalan atau tidak, sedangkan untuk persoalan keputusan harus diputus sesuai dengan UU bertentangan atau tidak. Kedua, klausul arbitrase hendaknya secara tegas menyatakan bahwa para pihak setuju atas yurisdiksi setiap pengadilan yang berkompeten terhadap pelaksanaan setiap putusan. Pencantuman klausula tersebut sangat penting meskipun Konvensi New York 1958 telah memberikan jaminan atas pelaksanaan putusan arbitrase di banyak yurisdiksi nasional. Dengan demikian, jika salah satu pihak menang melalui proses arbitrase di mana pun itu dilakukan, maka ia yakin bahwa pengadilan nasional di setiap negara akan bersedia melaksanakan putusan arbitase, jika putusannya tak menyalahi aturan di negara yang dimohonkan eksekusi. Pengadilan memiliki peran dalam arbitrase yang dilakukan sebelum, saat dan sesudah dilakukannya proses berarbitrase. Konvensi New York Tahun 1958 sendiri mengaturnya dalam Pasal 2 ayat 3 yang berisikan rumusan sebagai berikut: “The court of a contracting state, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this 44 article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed ” Ketentuan tersebut pada intinya memberikan arti bahwa pengadilan dari negara-negara yang ikut meratifikasi Konvensi ini, yang telah mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui Arbitrase, wajib menyerahkan kewenangan tersebut kepada forum arbitrase, kecuali ditemukan bahwa perjanjian tersebut tidak sah atau mengandung suatu cacat hukum. 49 Hal ini terkait dengan kewenangan lembaga arbitrase yang dipilih dalam penyelesaian sengketa dan tercantum dalam perjanjian, menurut Konvensi pengadilan tidak memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa apabila dalam klausula perjanjian mereka memilih arbitrase sebagai lembaga untuk penyelesaian sengketa tersebut. Kemudian bagaimana dengan asas yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan apapun, justru hal ini yang dapat mencederai rasa keadilan bagi para pihak. Perlu diketahui terlebih dahulu apa saja kewenangan pengadilan suatu negara terhadap keputusan arbitrase internasional. Selain pengakuan, pelaksanaan exequatur pengadilan juga memiliki kewenangan pembatalan. Terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan hal tersebut diatur dalam Pasal V 49 Gunawan Widjaja dan Michael Adrian. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. h. 60. 45 Konvensi New York 1958, menjelaskan mengenai alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Apabila dikaitkan dengan pembatalan putusan, hal ini diatur dalam Pasal V 1 e Konvensi New York 1958 yang menjelaskan bahwa “The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made ” Maka apabila ditafsirkan competent authority yang dapat melakukan pembatalan putusan arbitrase adalah pengadilan dari negara di mana putusan arbitrase itu dibuat. Sedangkan dalam Pasal III Konvensi New York 1958 juga diterangkan mengenai kandungan asas jus sanguinis atau “asas personalitas” yang menentukan, pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dijalankan menurut tata cara hukum acara yang berlaku di negara mana eksekusi dimohon. Ketentuan ini menunjukkan bahwa, eksekusi putusan arbitrase asing yang hendak dijalankan di Indonesia haruslah mengikuti aturan hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu KUHPerdata. Karenanya seperti yang diketahui sebelumnya mengenai kewenangan pengadilan baik hal tersebut dinyatakan jelas dalam Konvensi maupun UU No. 30 Tahun 1999 tentang AAPS, merupakan aplikasi dari ratifikasi konvensi tersebut. Sehingga kewenangan pengadilan terhadap putusan arbitrase internasional yaitu 46 diperlakukan sama dengan kewenangan hukum acara yang sudah berlaku di negara Indonesia, karena bagaimanapun juga suatu putusan arbitrase harus dihargai sebagai putusan yang final dan mengikat antara para pihak. Hal ini merupakan suatu wujud konsistensi kesepakatan dan penghormatan terhadap hukum positif di Indonesia. 47

Bab IV Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung No. 631KPdt.Sus2012