Ditinjau dari Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

34

Bab III Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional

A. Ditinjau dari Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa No. 30 Tahun 1999 UU AAPS Arbitrase merupakan lembaga yang paling umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa komersial dalam lingkup transaksi bisnis domestik maupun bisnis internasional. Dalam hal ini lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase. Kewajiban pengadilan tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 juncto Pasal 11 ayat 2 UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. 35 M. Yahya Harahap kurang setuju mengenai hal ini. Menurutnya yang dikaitkan dengan yurisdiksi arbitrase dan pengadilan yang digariskan Pasal 3 dan 11 menimbulkan kecende rungan yang keliru. “Terdapat kecenderungan penerapan yurisdiksi arbitrase secara generalisasi dan absolut, tanpa memperhatikan rumusan klausul yang disepakati dalam perjanjian”. 36 35 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2006. h. 70. 36 M. Yahya Harahap. “Beberapa Cacatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU. 30 Tahun 1999 ”, Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21, Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 16. Dalam tulisannya M. Yahya Harahap menerangkan bahwa bentuk klausula yang bersifat umum yang disepakati dalam perjanjian. Para pihak sepakat agar para pihak sepakat agar segala atau setiap disputes yang terjadi atau yang timbul dari perjanjian, akan 34 35 Artinya, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 telah membentuk kecenderungan penerapan klausula arbitrase secara generalisasi dan absolut berbentuk klausul umum, sehingga setiap klausula yang diperjanjikan otomatis melahirkan yurisdiksi absolut arbitrase untuk menyelesaikan segala atau setiap sengketa yang terjadi dari perjanjian. Padahal di sisi lain, hukum tidak hanya mengakui dan membenarkan bentuk klausula umum saja, tetapi juga bentuk klausula yang bersifat enumeratif atau parsial secara terbatas untuk jenis sengketa tertentu saja. Dalam bentuk klausula yang bersifat rinci enumeratif dan parsial atau terbatas, harus ditegakkan penerapan yurisdiksi secara terbatas untuk jenis sengketa tertentu saja. Dalam bentuk klausula yang enumeratif dan parsial, harus ditegakkan penerapan yurisdiksi secara terpisah dan mendua: 37 - Yang menjadi yurisdiksi arbitrase hanya terbatas sepanjang jenis sengketa yang disebut dalam klausula; - Sebaliknya segala sengketa yang timbul di luar ruang lingkup yang disebut dalam klausula arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi PN. Keterangan mengenai kelemahan pasal UU Arbitrase tersebut apabila dilihat pada pasal-pasal lain memiliki beberapa kelemahan yang hampir sama. Salah satunya pasal mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase. diselesaikan oleh arbitrase. Sedangkan absolut dalam pasal tersebut, menerangkan bahwa sengketa apa saja yang timbul dari perjanjian menjadi mutlak yurisdiksi arbitrase untuk menyelesaikannya. 37 M. Yahya Harahap. “Beberapa Cacatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU. 30 Tahun 1999 ”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 18. 36 Dalam pasal yang menyinggung mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase, yaitu dijelaskan pada Bab VII di Pasal 70 hingga Pasal 72. Isi dalam bab tersebut mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase dan tidak dijelaskan diperuntukkan untuk putusan arbitrase mana yang dapat dibatalkan. Sebelumnya patut diperhatikan perbedaan mengenai Pembatalan dan Penolakan. Dari segi bahasa Inggris Pembatalan diistilahkan sebagai annulment atau set aside, sementara Penolakan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai refusal. Dalam hal ini, Pembatalan dan Penolakan dapat dilihat dari konsekuensi hukumnya. Pembatalan putusan berakibat pada dinafikannya seolah tak pernah dibuat suatu putusan arbitrase, dan Penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan tidak berarti menafikan putusan tersebut. 38 Pasal 65 menjelaskan ”Yang berwenang menangani masalah Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan tempat penyelenggaraan pendaftaran terkait dengan pengakuan putusan arbitrase asing, dan hal tersebut merupakan yurisdiksi yang kewenangannya diberikan melalui Perma No. 1 Tahun 1990 dan diperkuat lagi melalui UU No. 30 Tahun 1999. Kemudian sebatas mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berhak atas pengakuan dan pelaksanaan tersebut diatur kemudian di dalam pasal selanjutnya. 38 Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional ”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 68. 37 Keterkaitan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, dijelaskan di dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS juga tidak secara jelas menerangkan arbitrase nasional maupun arbitrase Internasional. Para penegak hukum pun masih banyak yang keliru menerapkan bunyi pasal ini. Adanya indikasi bahwa aturan pembatalan putusan arbitrase diperuntukkan untuk putusan arbitrase nasional, terlihat pada pengaturan tentang pengadilan yang berwenang untuk menerima pendaftaran putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan terhadap Putusan Arbitrase Internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan 67 ayat 1, pembentuk UU menunjuk secara eksklusif „Pengadilan Negeri Jakarta Pusat‟. Sementara dalam pembatalan putusan arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 dan 71, tidak dilakukan secara eksklusif di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melainkan bisa didaftarkan di panitera „Pengadilan Negeri‟. 39 Hal tersebut menerangkan bahwa pembatalan putusan arbitrase Internasional tidak diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Dalam praktiknya Pengadilan Indonesia pernah membatalkan Putusan Arbitrase Internasional, yaitu pada Kasus Karaha Bodas Company KBC. Dimana PN Jakarta Pusat 39 Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional ”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 71. 38 menyatakan bahwa dirinya memiliki kompetensi untuk membatalkan Putusan Arbitrase Jenewa. Sengketa ini bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Join Operation Contract JOC pada tanggal 28 Nopember 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara PLN di satu pihak dan Pertamina serta KBC menandatangani perjanjian Energy Supply Contract ESC. Perjanjian kerjasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan. 40 Secara garis besar, kesimpulannya Pertamina tidak mau melaksanakan putusan Arbitrase Jenewa tersebut dan berusahan menolakan putusan Arbitrase melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu melakukan penolakan ke pengadilan- pengadilan di negara-negara dimana KBC meminta untuk dilakukan eksekusi. Bahkan Pertamina bukan hanya melakukan upaya hukum dengan menolak putusan tersebut, tetapi melakukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase yang dilakukan di Pengadilan Indonesia. 40 Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional ”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 69. 39 Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Sebelum diajukannya gugatan pembatalan ini, Pertamina pada tanggal 8 Maret 2002 telah menyerahkan dan mendaftarkan Putusan Arbitrase Jenewa ke PN Jakarta Pusat. 41 Seperti telah diutarakan bahwa pada prinsipnya dalam pemberian eksekuatur Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan menilai benar tidaknya materi putusan arbitrase. Akan tetapi, terhadap prinsip tersebut dikenal ada pengecualian. Setidaknya ada dua hal yang dikecualikan, sehingga dalam rangka melakukan eksekuatur KPN Jakarta Pusat boleh menilai segi-segi materi putusan arbitrase. Pertama, apakah materi putusan arbitrase tidak melampaui batas yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan. Kedua, apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum public policy. 42 Materi putusan arbitrase dianggap melampaui batas yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan apabila forum arbitrase telah memeriksa dan memutus kasus-kasus sengketa yang secara mutlak tidak termasuk jurisdiksi arbitrase. Sedangkan yang berkaitan dengan persoalan ketertiban umum public policy , penilaian dilakukan terhadap setiap putusan arbitrase internasional yang 41 Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional ”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 70. 42 Erman Suparman. Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 190, Lihat juga pada Pasal V 2 Konvensi New York 1958. 40 dimintakan untuk dieksekusi di Indonesia, apakah putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak. 43 Hal ini diatur dalam Pasal 62 UU No. 30 Tahun 1999. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa indikator mengenai ketertiban umum tidak dinyatakan jelas sebatas mana ketertiban umum itu dapat tercederai atau tidak. Ketertiban umum yang dimaksud ialah “rem” yang dipergunakan untuk menjauhkan keberlakuan Hukum Asing yang seharusnya dipergunakan oleh ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia. Diberlakukan hukum asing oleh Hakim Indonesia, tidak boleh sampai berakibat dilanggarnya atau tercederanya sendi-sendi hukum negara kita sendiri.

B. Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional