3. Paradigma Simbiotik
Paradigma Simbiotik ini tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem
kenegaraan yang lengkap pula. Namun paradigma ini , tidak sependapat juga bila Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan kenegaraan.
Menurut paradigma ini, Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kedatipun dalam Islam tidak terdapat
sistem ketata negaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.
37
Salah seorang pemikir yang mendukung paradigma ini adalah Muhammad Musain Haikal. Pemikir Mesir ini—sebagaimana di kutip oleh Munawir
Sjadzali—berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Qur’an dan sunah tidak ada yang langsung berkaitan
dengan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan dasar tentang tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi dan budi pekerti dalam wahyu tidak
menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan bernegara, dan tidak secara langsung menyinggung sistem pemerintahan.
Kepindahan Muhammad dari Makah ke Madinah sebagi awal kehidupan bernegara, nyatanya juga tidak serta merta merubah sedikitpun sistem
pemerintahan yang demikian beraneka ragam di Hijaz, dan juga tidak meletakkan dasar-dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Apa yang beliau lakukan adalah
37
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h.2
mengirim utusan kepada berbagai suku dan kota yang sudah menerima Islam untuk mengajarkan agama dan mengatur pola hidup dengan prinsip-prinsip dasar
seperti, keimanan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.
38
Agama dan negara, dalam paradigma ini, berhubungan secara simbolik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini,
agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya, negara juga butuh agama, karena dengan agama, negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
39
Dengan alur argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi
paradigma ini, yang terpenting adalah bahwa negara—karena posisinya yang bisa menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama—menjamin
tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan teologis atau relegius untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai
kedaulatan rakyat, negara bangsa sebagai unit teritorial yang sah, dan prinsip- prinsip umum teori politik modern. Karena wataknya yang substansialis itu
dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, kecenderungan itu
38
Ibid., h.185
39
Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara…, h.26
mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat
menghubungkan Islam dengan sistem politik modern.
40
Namun demikian paradigma ini dapat melahirkan tiga bentuk model negara, tergantung dari perbedaan kualitas keterikatan agama dan negara.
41
Pertama, meski agama dan negara memiliki keterikatan, namun aspek keagamaan yang
masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga akan melahirkan sebuah model negara yang lebih dekat dengan “negara sekular”. Kedua, jika determinasi agama yang
lebih tinggi, dimana 75 konstitusi negara diisi oleh hukum agama, maka akan melahirkan model negara yang lebih dekat kepada “negara agama”. Ketiga, jika
determinasi keduanya berimbang maka akan melahirkan model negara netral.
B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia.