Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan.

Lebih jauh Wahid menandaskan bahwa pola hubungan antara agama dan Pancasila harus berwatak simbiotik, artinya antara keduannya harus ada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan. Agama, menurut Wahid harus memberi legetimasi pada Pancasila, sebaliknya Pancasila memberi keabsahan terhadap agama-agama, tanpa melihat mayoritas atau minoritas. ”...Pancasila adalah “hilir” dari berbagai “hulu” agama dan ia merupakan ekspresi dari suatu negara yang sekular secara politik, namun tetap mendukung perkembangan agama-agama secara umum, dan itu berarti tanpa adanya Pancasila, maka sama halnya kita akan berhenti sebagai negara. Dan berarti juga tanpa Pancasila, negara Indonesia tidak akan pernah ada.” 119

F. Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan.

Potret sejarah hukum Islam di Indonesia sebenarnya dapat dibaca dari masuknya Islam ke negeri ini. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu kredo yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dan filsafat hukum Islam yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Dalam bahasa Gibb sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum 119 Dougles E Remage, Demokrasi, Toleransi Agama dan Pancasila; Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dalam Greg Fealy dan Greg Barton ed, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU-Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997, h.198 Islam atas dirinya. 120 Begitulah keberadaan hukum Islam di Indoensia ketika itu. Sebagai sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini. Karena kedudukan hukum Islam yang sedemikain memusat, maka hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluknya saja, tetapi ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup. Faktor-faktor lain seperti tasawuf dan lainnya, yang merupakan penentu pada tingkat lebih lanjut, baru memiliki arti jika telah diberi legitimasi oleh hukum Islam. Tetapi kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai semacam proses fosilisasi yang hampir selesai. Di sana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami proses inrelevansi secara berangsur-angsur tetapi pasti. 121 Menurut Abdurrahman Wahid, peranan hukum dewasa ini masih bersifat statis, dan apologetis. Wahid menjelaskan: “...kestatisan hukum Islam terlihat dari peran hukum Islam sebagai “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keIslaman dari pengaruh non- Islam, terutama yang bersifat sekular. Sebagai alat penahan lajunya proses 120 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta, LKiS, 2005, h. 50 121 Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LKiS, 1999, h. 36 sekularaisasi kehidupan yang berlangsung secara merata, hukum Islam tidak berperan banyak karena dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itupun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang ini dan menentang itu. Hukum Islam hanya mampu mencanangkan suatu gambar dunia terlalu idiil, di mana hukum Islam ditandaskan dapat memberikan kebahagiaan duniawi ukhrowi, dunia mana merupakan kota Tuhan Civitas Dei yang masih jauh dari jangkauan masa kini, dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan akutnya yang memerlukan penggarapan dan pemecahan segera”. 122 Untuk memperoleh relevansinya, maka hukum Islam harus mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yakni pendekatan suplementer dan komplementer. 123 Menurut pendekatan pertama, agama adalah penunjang bagi upaya pembangunan, karena ia mempengaruhi pola tingkah laku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Karenannya agama hukum Islam harus memberikan sumbangsih dengan jalan melegitimasi upaya mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan. Keluarga Berencana misalkan, dengan berbagai pertimbangan ekonomis dan lain hal menuntut pelaksanaan sebuah program nasional tentang kependudukan, yang bertujuan untuk menurunkan angka kelahiran dalam titik tertentu dalam waktu tertentu pula, maka agama dituntut peran sertanya untuk memberi legitimasi upaya tersebut, tanpa dilibatkan dalam penentuan saran yang hendak dicapai. 122 Ibid., h. 38. 123 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim Di Tengah Pergumulan, Jakarta, Lappenas, 1981, h.5 Pendekatan kedua, justru bergerak sebaliknya. Pendekatan ini menuntut peran lebih agama dalam menetapkan sasaran pembangunan, metode dan sarana yang diperlukan, serta menetapkan orientasi pembangunan itu sendiri. Agama dalam hal ini terlibat dalam pembangunan sejak semula. Bersama dengan unsur- unsur lain dalam pembangunan, agama berperan saling tunjang menunjang dalam menetapkan tujuan pembangunan dan cara-cara menyelenggarakannya. Abdurrahman Wahid dalam hal ini, lebih memilih pendekatan kedua dibanding pendekatan pertama. 124 Bagi Wahid pendekatan pertama, lebih ber nuansa manipulasi terhadap agama terlihat kental, agama pada akhirnya juga akan dipolitisir. Wahid lebih memilih pendekatan kedua, karena melihat agama dalam hal ini hukum Islam yang lebih dinamis. Kedinamisan tersebut akan dimiliki jika meletakkan titik berat perhatiannya pada soal-soal duniawi yang menggulati kehidupan bagsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan- persoalan aktual yang di hadapi masa kini. Namun demikian, menurut Abdurrahman Wahid, pendinamisan hukum Islam sendiri akan menemui kegagalan jika tidak mempertimbangkan tiga ciri penting dalam hukum Islam itu sendiri. 125 Pertama adalah keterlepasannya dalam perspektif kesejarahan. 126 Hukum Islam dalam hal ini berkembang dalam sebuah proses yang dalam dirinya sendiri 124 Ibid, h. 6. 125 Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai …, h.39. 126 Ibid., h. 40. memiliki potensi kesejarahan, tetapi pada hakikatnya ia berkembang di luar perkembangan sejarah; ia memiliki sejarahnya sendiri tarikh al-tasyri’, tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses sejarah umum. Ciri inilah yang menerangkan mengapa tidak ada konflik tajam antara hukum Islam yang teoritis dan yang dipraktikkan oleh pemerintahan Islam di mana-mana selama ini. Kedua, keterikatan hukum Islam kepada landasan penafsiran harfiah bahasa Arab atas kehendak Tuhan, baik yang berbentuk ayat al-Qur’an mapun Hadits. 127 Pengertian bahasa menjadi ketentuan mutlak untuk memberi nama dan dengan demikian status hukum kepada suatu perbuatan. Definisi-definisi yang dibuat untuk membatasi status hukum dari suatu perbuatan, karena keterikatan kepada penafsiran linguistik yang ketat dan kaku ini, pada akhirnya meniadakan kemungkinan pengembangan pola diversifikasi dan multi-dimensional hukum Islam. Ketiga, adalah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan- keputusan hukumnya di masyarakat. 128 Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya masih pribadi sebagai pendapat perseorangan para juristen fuqoha. Akibatnya, hampir tidak dapat 127 Reformasi al-Syafi’i, berhasil menghilangkan cara pengambilan keputusan yang bersimpang siur. Metodenya yang dikenal dengan nama tariq al-istiqra, berhasil menyederhanakan proses tersebut menjadi sebuah sistem yang kemudian kita kenal sebgai ushul fiqh. Tetapi usaha al- Syafi’i itu sendiri akhirnya tidak berhasil mengelakkan proses irelevansi hukum agama sebagai akibat keterikatan kepada konotasi bahasa yang terlalu literal. Ibid., h. 41-42. 128 Ibid., h. 43. ditemui kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk semua negara, atau bahkan untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah negeri. Oleh karenanya Wahid menekankan perlunya kesediaan dari para fuqoha untuk memberikan batasan atas ruang lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam dalam rangka pembinaan hukum nasional. Hal ini penting untuk menghindarkan diri dari penghamburan waktu dan fikiran dari pembicaraan panjang tentang soal-soal yang tidak urgen. Seperti pembahasan yang terjadi di Mesir dan Irak misalnya, pembahasan hanya dibatasi pada wilayah perdata perkawinan dan waris, sehingga dapat menghasilkan hukum yang responsif. Pembatasan ini pun harus diikuti oleh upaya untuk merumuskan prinsip- prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa kini. Bagi Wahid; ”...pertimbangan-pertimbangan manusia harus memperoleh tempat yang layak. Bahkan titik berat proses pengambilan keputusan hukum harus ditunjukan kepada integrasi pertimbangan manusiawi ini ke dalam pranata jurisprudensi”. 129 Untuk itu dalam jangka panjang perlu disusun sebuah sistem jurisprudensi yang lebih berantisipasi kepada kemungkinan-kemungkinan hidup masa mendatang. Yang tak kalah penting adalah perlunya pembentukan sebuah lembaga untuk tujuan penyusunan metodologi, sehingga ada pranata yang secara sadar dan berencana, berusaha menyegarkan yurisprudensi yang telah ada, hingga ditetapkannya yurisprudensi yang baru. Lembaga ini paling tidak harus mampu 129 Ibid., h. 47. menciptakan sarana administratif bagi upaya pengintegrasian hukum Islam kedalam hukum nasional. 130 Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran Wahid bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. 131 Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan menempatkan hukum Islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yakni upaya membuatnya lebih peka kepada kebutuhan masa kini dan masa depan. Adapun pelaksanaannya dapat dilaksanakan oleh aparat pemerintah dengan menjadi bagian hukum formil, atau dilaksanakan secara sukarela oleh masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam dalam hukum formil di Indonesia—terutama sejak akhir tahun 1890-an, memang terlihat mulai menunjukan perkembangan cukup berarti. Lahirnya Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang- Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, lahirnya Bank Muamalat Indonesia serta lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah wujud kongkrit dari hal itu. Terbitnya Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam KHI, membawa dampak positif bagi perkembangan peradilan Agama di Indonesia. 132 Sebagaimana diketahui bahwa sebelum di keluarkannya inpres tentang KHI, para 130 Ibid., h. 48. 131 Ibid., h. 50. 132 Cik Hasan Basri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, Rosdakarya, 1997, h. 30 hakim di peradilan agama mengalami kesulitan dalam memutuskan perkara, karena tidak ada sebuah peraturan yang bisa dijadikan rujukan tetap, kecuali bersandar pada kitab-kitab fiqih klasik. Potensi terjadinya putusan-putusan yang berdisparitas tinggi antara peradilan satu dengan peradilan yang lain, serta antara hakim satu dengan hakim yang lain menjadi tak terhindarkan. KHI merupakan wajah positif Hukum Islam bagi pembangunan Indonesia, karena ia lahir dari penggalian dari beberapa kitab fiqih klasik, penelaahan yurisprudensi peradilan agama, wawancara dengan ulama besar di Indonesia serta kajian perbandingan dengan hukum keluarga di Maroko, Mesir dan Turki. Disamping itu KHI memperlihatkan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, baik secara vertikal maupun horisontal. 133 Namun demikian, dalam prosesnya, dominasi birokrat Depag RI dan Hakim Agung MA RI terlihat sangat kental 134 Hal tersebut berakibat pada terpinggirkannya kelompok-kelompok sosial umat Islam dan individu-individu dalam masyarakat, menjadi pasif dan non-partisipatif dalam proses reformasi hukum Islam ini. Benar bahwa ulamatokoh muslim dan intelektual dilibatkan, akan tetapi keterlibatan mereka bukan pada posisi kebijakan, lebih-lebih kebijan strategis. Keberadaan mereka hanya sebagai responden pada lokakarya. 133 Ibid., h. 28. Untuk melihat lebih jauh tentang proses kelahiran KHI dapat dilihat di Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, LkiS, 2001, h. 141-171. 134 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara..., h. 190. Dengan kata lain, bahwa kehadiran mereka adalah hanya sebagai pelengkap dan pengabsah kerja eksekutif dan yudikatif. Padahal proyek seperti ini sangat penting, karena bukan hanya sekedar tindakan reformulasi hukum Islam, melainkan penciptaan hukum Islam baru yang lebih bernuansa Indonesia. Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan Wahid, ia menegaskan; ”...bahwa meski hukum Islam dapat dilaksanakan oleh para pejabat negara, namun usaha-usaha penyesuaian yang bersifat individual dan tradisional antara kebutuhan masa kini dan keputusan yang telah ada, harus diikuti dengan cermat dan tidak boleh diabaikan”. 135 Dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam soal agama, pemekaran agama yang satu, dapat menjadi ancaman bagi agama yang lainnya. Legislasi hukum agama yang satu, dapat menimbulkan keterasingan dan kecemburuan agama yang lain. Oleh karena itu, untuk menjaga perasaan orang lain, hukum Islam harus direduksi sampai pada tingkat yang membuat penganut agama lain merasa tidak diancam eksistensinya, penganut agama lain pun mempunyai kepentingan yang sama. Karenanya, Wahid memiliki pandangan bahwa hukum agama tidak akan hilang kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan, katanya: ”...kebesaran akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi masyarakat yang bernama agama. Dan bukankah memaksakan hukum Islam melalui instrumen perangkat negara, hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat pemaksaan? Kita sebagai bangsa tidak ingin dipaksa-paksa oleh orang dengan alasan apapun. Bukankah dengan 135 Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai …, h. 49. demikian berarti kita dilarang melakukan tindak kekerasan untuk memaksa kehendak juga?” 136 Demikian pertanyan-pertanyaan retorik Abdurrhaman Wahid dalam berupaya agar legislasi hukum Islam tidak merugikan kelompok non muslim. Legislasi Islam, tanpa mempertimbangkan realitas sosiologis, kedalam kenegaraan, kata Abdurrahman Wahid: “…merupakan pengingkaran demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga kelas dua. Dalam keadaan demikian, persaman kedudukan semua warga Negara di depan undang-undang tidak tercapai”. 137 Karena itu Wahid curiga bahwa mereka yang menganjurkan pembinaan masyarakat Islam, dalam kenyataannya, masih berupaya terus menerus “mengistimewakan umat Islam”. Terhadap mereka, ia mengungkapkan: “,,,Saya berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina sebuah masyarakat Islam. Dalam pandangan saya, masyarakat Islam di Indonesia merupakan penghianatan terhadap konstitusi, karena ia menempatkan masyarakat non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi, sebuah “masyarakat Indonesia” yang di dalamnya umat Islam menjadi kuat, dalam arti berfungsi dengan baik, adalah sesuatu yang saya anggap baik”. 138 Penekanan yang berlebihan pada sisi legalistik hukum Islam disamping bertentangan dengan masyarakat Pancasila yang bersifat toleran, juga akan membawa Islam pada sikap sangat ideologis dalam pengaturan masyarakat yang 136 Abdurrahman Wahid, Antara Asas Islam dan Asas Pancasila dalam Membangun Demokrasi, Bandung, Rosdakarya, 1999, h. 42. 137 Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokrasi dalam Th. Sumartana ed, Spiritualitas Baru; Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta, Interfidei, 1994, h. 274. 138 Ellyasa KH Darwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS,1997, h. 115 mengabaikan penyempitan ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan arti manusia sebagai subjek kehidupan.

G. Pribumisasi Islam Sebagai Model.