Selanjutnya K.H Cholil Bisri berpendapat bahwa inti pemikiran Abdurrahman Wahid adalah berangkat dari keinginan untuk menunjukan kepada khalayak ramai
bahwa ajaran Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipertahankan oleh kalangan kyai pesantren, dengan kitab-kitab klasik sebagai obyek kajiannya masih sangat
relevan untuk dicerdasi sebagai pijakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, Abdurrahman Wahid
mencoba mengadaptasikan gagasan modern dengan sikap, tindakan dan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi riil negari ini. Sehingga terkesan Abdurrahman
Wahid telah meloncat jauh ke depan, sementara warga NU berlari terpontang- panting. Hanya sebagian kecil saja yang bisa memahami jalan penalaran yang
pada dasarnya timbul dari obsesi ingin membumikan syari’ah Islam ahl sunah wal jama’ah. Karena menurutnya, ahlussunah wal jama’ah adalah keislaman yang
manusiawi atau humanistik.
73
2. Pertemuan Abdurrahman Wahid dengan Dunia Modern.
Sejak kecil Abdurrahman Wahid dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantern, di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri Hadratus Syaikh
Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU dan pelopor Pesantren Tebuireng Jawa Timur. Sementara ayahnya, K.H Wahid Hasyim, adalah menteri Agama RI pada
tahun 1950.
73
M Cholil Bisri, pengantar dalam Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, Bandung, Rosda Karya, 1999, h.viii-ix
Ketika menapak usia yang tergolong anak-anak, “Abdurrahman Wahid ad- Dakhil” yang kerap dipanggil Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, ia tidak seperti
kebanyakan anak-anak seusianya, Abdurrahman Wahid tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Disaat serumah dengan
kakeknya itulah, Abdurrahman Wahid kecil mulai mengenal politik dari orang- orang yang setiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Tahun 1950, Abdurrahman Wahid dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayah Abdurrahman Wahid dilantik menjadi Menteri Agama, sehingga
mereka harus bermukim di Jakarta. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinnya, Abdurrahman Wahid kecil bisa akrab dengan dunia politik
yang didengar dari rekan-rekan ayahnya yang sering berkunjung di rumahnya. Lagi pula, Abdurrahman Wahid sendiri adalah bocah yang tergolong amat peka
mengamati dunia sekelilingnya. Tak heran, menurut pengakuan ibunya, sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, adapun gurunya waktu itu adalah ayahnya
sendiri. Abdurrahman Wahid kecil aktif menjadi anggota perpustakaan umum di
Jakarta. Pada usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar, habis dilahapnya. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra tak
sedikit pun ia lewatkan. Saat Abdurrahman Wahid masuk SMEP Gowangan sambil mondok di
Pesantren Krapyak, kegandrungannya terhadap buku, kian menjadi-jadi. Kala itu, ia bahkan sudah dibantu dengan kemampuannya dalam menguasai bahasa Inggris
yang dipelajarinya lewat radio voice of America dan BBC London. Tak heran, kalau pada usia 15 tahun, bocah ini sudah melahap Das Kapital-nya Karl Mark,
Filsafat Plato, Thales, novel-novel William Booher dan buku-buku lain yang di pinjamkan gurunya di SMEP Yogyakarta.
Abdurrahman Wahid berasal dan tersosialisasikan dalam pemikiran tradisionalis.
74
Akan tetapi di masa remajanya, ia pernah magang di rumah tokoh Muhamadiyah Yogyakarta selama beberapa tahun. Sosialisasinya dengan alam
pemikiran modernis,
75
terutama berasal dari kedudukan ayahnya sebagai tokoh politik nasional. Ketokohan ayahnya, memungkinkan Abdurrahman Wahid untuk
melakukan komunikasi intelektual secara lebih luas, dibandingkan dengan pendukung pemikiran tradisionalis lainnya. Lewat kepustakaan yang dimiliki
sang ayah, ia berkenalan dengan ide-ide lain. Agaknya, wawasan pandangannya semakin luas ketika ia menempuh pendidikan, baik di universitas Al-Azhar
maupun Universitas Baghdad. Pergumulannya dengan dunia intelektual di luar batas-batas tradisionalisme, menyebabkan ia lebih memahami baik alam
pemikiran modernis maupun alam pikiran tradisionalis sekaligus, lengkap dengan
74
Tradisi : Kebiasaan turun menurun atau menurut tradisi. Lihat : Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer Surabaya, Arkola, 1994, h. 756. Dalam konteks bahasan,
penulis mempersonifikasikan kata “tradisional” kepada Abdurrahman Wahid dengan makna yang kuat atau dekat kepada adat kebiasaan Kyai pesantren Jawa yang mendasari pendidikan pada lingkup
pesantren, dengan kajian kitab-kitab kuning dan jauh dari metode pembaharuan pendidikan.
75
Modern : Cara baru, kreasi baru, pembaharuan corak model kehidupan. Lihat : Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer Surabaya, Arkola, 1994, h. 477. Dalam
konteks bahasan, penulis mempersonifikasikan kata “modern” kepada Abdurrahman Wahid dengan makna yang melekat pada gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dengan membuka jalan
sumber daru dalam keilmuan. Jadi rujukan dan metode lain selain kitab kuning dan metode pesantren salafi yang didapat Abdurrahman Wahid, penulis anggap sebagai salah satu unsur modernisasi yang di
dapat beliau.
kelemahan dan kelebihannya. Pengalaman dan komunikasi intelektual semacam inilah yang menyebabkan ia berusaha muncul dengan pola pemikiran neo-
modernis.
76
Pada saat berada di Jombang, Abdurrahman Wahid sering terlibat konflik pemikiran dengan pamannya sendiri, K.H Yusuf Hasyim. Sebagai anak muda
yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah dan telah mempelajari sebagian ilmu-ilmu Barat, Abdurrahman Wahid menunjukkan sikap kritisnya
terhadap pemikiran dan perilaku politik K.H Yusuf Hasyim. Ini menunjukan bahwa Abdurrahman Wahid mulai menunjukan pemberontakan dan sikap
radikalnya di dalam keluarga darah biru NU itu, dan tak segan-segan ia berhadapan dengan figur yang sebenarnya pewaris NU sendiri.
77
76
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1989, h.176-177. Penggolongan Wahid sebagai bagian dari kelompok neo-modernis, bukan tanpa
perdebatan. Beberapa orang dalam tubuh NU, seperti Ahmad Baso maupun Rumadi menolak penggolongan ini. Bagi mereka Wahid masuk dalam kelompok neo-tradisonalis bukan neo-modernis.
Menurut Rumadi neo-modernis Islam yang lahir dari tradisi modern Islam bukanlah tradisi pemikiran yang dilalui Wahid. Titik tolak pemikiran Wahid bukan dengan mengagungkan modernisme, tapi
mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisional. Ia sependapat dengan apa yang di sebut oleh Esposito dan Voll, bahwa Wahid adalah seorang pembaru modern tapi
bukan modernis. Hal tersebut menggambarkan afiliasi kultural dan asal usul sosial Wahid, tapi juga menggambarkan corak dan tradisi pemikirannya. Penolakan penggolongan Wahid dalam kelompok
noe-modernis dan cenderung pada kelompok neo-tradisionalis, didasarri oleh dua hal. Pertama, dari segi genealogi pemikiran dan pemahaman keagamaan, kalangan NU selalu menekankan pada
kontiunitas tradisi, mereka juga mempunyai resistensi yang kuat terhadap gerakan modern karena dianggap mengancam tradisi. Kalau toh pun muncul pemikiran liberal dalam pemikiran mereka, hal
tersebut merupakan upaya untuk mentransmisikan tradisinya dengan pemikiran yang lebih progresif, sehingga menjadi pemikiran yang berakar kuat pada tradisi dan mempunyai jangkauan yang luas.
Kedua,
dari segi topik dan pemilihan wacana, dimana kaum tradisonal mengalami kegelisahan terhadap fenomena gerakan simbolisme dan formalisme Islam, sementara kelompok modernis justru
mengusung isu formalisme Islam yang dinilai tidak produktif dengan gerakan Islam. Rumadi, Post Tradisionalime Islam; Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU,
Disertasi Doktoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h.181-182
77
Laode Ida dan A Thantawi Jauhari, Gus Dur Di Antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999, h. 69
Sikap Abdurrahman Wahid ini sempat ditangkap oleh aktivis LSM di Jakarta, utamanya yang tergabung di LP3ES. Salah satu yang tanggap terhadap fenomena
Abdurrahman Wahid pada saat itu adalah Dawam Rahardjo. Oleh karena itu, beliau kemudian berusaha menghadirkan Abdurrahman Wahid di Jakarta dan
menjadikannya sebagai salah satu fungsionaris di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis LSM, baik di Jakarta maupun di luar negeri.
Perpindahan Abdurrahman Wahid ke Jakarta pada akhir 1977 merupakan awal fase baru yang membuatnya lebih dikenal, sebab ia semakin produktif.
Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM sejak akhir 1970-an, ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok
dengan latar belakang yang berbeda-beda dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan kontak secara teratur
dengan kaum intelektual muda progresif dan pembaharu seperti Nurcholis Majid dan Johan Effendy, melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok studi.
78
Dunia di luar tradisi pesantren yang dia masuki antara lain sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1982-1985. Menjadi dewan juri Festival
Film Nasional di tahun 1970-an dan 1980-an, padahal saat itu dunia film masih dianggap tabu di NU. Bergaul akrab dengan para pendeta, bahkan terlibat pada
aktifitas semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, hadir dalam sidang
78
Ibid., h. 69
PGI maupun membuka lomba lagu-lagu gerejani.
79
Dalam aktivitasnya yang demikian, ia banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari
kalangan ulama NU sendiri. Namun Wahid tetap berjalan dengan kiprah dan kegiatannya, ia beranggapan bahwa semua itu bukan saja merupakan
konsekwensi logis kehidupan kemasyarakatan dan keindonesiaan kita, lebih dari itu merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai Islamis. Dengan kata lain, yang
ingin diyakinkan oleh Wahid adalah nilai-nilai Islam jauh melampaui batas-batas dunia simbolis yang berlabelkan Islam sebagaimana dipahami oleh sebagian
kalangan.
80
Wahid termasuk orang yang tidak sedikit bersitegang dengan berbagai kalangan, baik itu negara maupun kalangan Islam sendiri. Lewat Forum
Demokrasi Fordem yang dibentuk pada tahun 1991 bersama 45 tokoh-tokoh intektual lainnya, melakukan perlawanan terbuka terhadap ICMI yang dibekengi
oleh negara. Menurutnya pembentukan ICMI merupakan sebuah contoh eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok
ekslusif yang sempit, di atas kepentingan nasional. Dengan mengedepankan kepentingan Islam, ICMI menurut Wahid telah mengembangkan visi Indonesia
79
Zainal Arifin Toha dan M.Aman Mustofa, Membangun Budaya Kerakyatan; Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU,
Yogyakarta, Titian Ilahi Pres, 1997, Cet 1, h.10
80
Laode Ida dan A Thantawi Jauhari. Gus Dur Di Antara…, h. 69
yang tidak demokratis. Lewat Fordem ia bersuara lantang menentang dan memerangi intoleransi keagamaan dan kesukuan.
81
3. Karya-karya dan Pembagian pemikiran Abdurrahman Wahid.