yang lebih menitik beratkan pada isu-isu tentang wacana ke-Islaman, ke- Indonesian, kebudayaan, demokrasi dan sebagainya. Wacana-wacana yang
merupakan isu besar pada pergulatan pemikiran intelektualitas modern di Indonesia. Buku-buku tersebut tidak hanya diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta,
tetapi juga diterbitkan oleh penerbit lain yang berkeinginan menyebarkan gagasan-gagasan besar Abdurrahman Wahid.
Beberapa karya Wahid yang di bukukan antara lain adalah: Kyai Nyentrik Membela Pemerintah LKiS, 1997, Tabayun Gus Dur LKiS, 1998, Prisma
Pemikiran Gus Dur LKiS, 1999, Membangun Demokrasi Rosda Karya, 1999, Islam, Negara dan Demokrasi; Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur
Milinium Baru, 1999, Tuhan Tidak Perlu Dibela LKiS,1999, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman Kompas, 1999, Mengurai Hubungan Agama dan
Negara Grasindo, 1999, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan Desantara, 2001, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama
Era Lengser LKiS, 2002, dan yang mutakhir adalah sebuah buku yang berjudul
Islam Ku Islam Anda dan Islam Kita, The Wahid Institute, 2006, dan Islam Kosmopolitan The Wahid Institute, 2007.
C. Abdurrahman Wahid dan Nahdaltul Ulama.
Membicarakan Wahid sepertinya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang Nahdalatul Ulama selanjutnya ditulis NU. Wahid dan NU seperti sisi
koin mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain—meminjam bahasa
sang paman K.H.Yusuf Hasyim— NU is Gus Dur, Gus Dur is NU.
88
Oleh sebab itu, untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya gagasan-gagasan
yang dilontarkan oleh Wahid, akan lebih objektif kalau kita kaji dahulu nilai-nilai dan norma-norma apa saja yang berkembang dan dikembangkan di dalam
Jam’iyyah NU yang disinyalir melandasi pemikiran dan tindakan Wahid, serta perananya dalam organisasi tersebut.
Untuk memahami NU sebagai organisai keagamaan secara tepat belumlah cukup hanya dengan melihat dari sudut formal semenjak ia lahir, berikut
pertumbuhan maupun perkembangannya hingga dewasa ini. Sebab sejauh NU lahir dalam bentuk organisasi, ia telah lebih dulu berwujud jama’ah yang terikat
kuat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Lahirnya NU tidak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada.
Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisai keagamaan itu hanyalah sekedar penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang sepaham yang sudah
berjalan sebelum lahirnya NU.
89
Sejak kemunculannya, NU selalu menunjukan sikap fleksibel menanggapi perkembangan politik, dan puncak dari fleksibelnya itu adalah menerima
pancasila menjadi asas organisasi. Sesuai dengan sinyalemen Zamaksyari bahwa sikap NU telah sering salah dimengerti karena dinilai sangat terikat kepada ajaran
88
Zainal Arifin Toha dan M.Aman Mustofa, Membangun Budaya Kerakyatan…, h. 10
89
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdalatul Ulama, Solo, Jatayu, 1985, h .4
sufisme, sehingga ia menekankan kehidupan akhirat saja dan mengabaikan kehidupan duniawi.
90
Seolah-olah karena menekankan kehidupan akhirat ia tidak tegar dan kritis menaggapi perkembangan politik. NU sering digolongkan sebagai
kelompok tradisionalis dan NU menegaskan demikian, namun hal itu tidak membenarkan penilaian bahwa NU adalah golongan konservatif, kolot dan tidak
mampu menghadapi perkembangan zaman, seolah-olah hanya Islam modern saja yang memenuhi harapan yang mampu menghadapi suatu perkembangan.
91
Apabila kita kembalikan lembaran sejarah, segera terpampang bahwa NU adalah sebuah organisasi Islam yang telah banyak merasakan garam pergolakan
sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu mampu berdiri tegak. Walau kadang ia terhuyung tetapi ia mampu meneruskan perjalanannya. Maka tepatlah
apa yang digambarkan oleh Zamaksyari tentang NU: “perkumpulan NU, seperti yang kita kenal sekarang ini, adalah pewaris dan
penerus tradisi kyai. NU telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walaupun ia sering menghadapi
tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya adalah para kyai memiliki perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu
menghomati tradisi”.
92
Menurut Einar M Sitompul, paling tidak ada dua faktor utama yang
menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan dengan mendirikan organisasi NU pada tahun 1926.
90
Ibid., h. 2
91
Einar Martahan, NU dan Pancasila, Jakarta, Sinar Harapan, 1989, h. 30
92
Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang..., h.159-160
Pertama, kemunculan NU secara langsung atau tidak, berkaitan erat dengan
politik penjajahan Belanda terhadap Islam. Pada mulanya Belanda tidak merasa perlu bentrok langsung dengan Islam, tetapi munculnya banyak pembrontakan
selama abad XIX yang disana-sini diperkuat oleh motif keagamaan yang mendorong Belanda untuk berupaya membendung gerakan-gerakan Islam. Maka
Belanda membuat pembatasan ketat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Makah, sebab dalam pandangan Belanda, keberanian umat Islam
menentang Belanda didorong oleh kerajaan-kerajaan Islam di luar negeri. Pembatasan dilakukan Belanda menyebabkan masyarakat di desa-desa
memperkuat diri di bawah bimbingan para ulama atau para kyai. Kedua,
kemunculan NU sering dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah yang hanya menekankan
wibawa Al-Qur’an dan Hadits saja untuk memberlakukan dan menilai Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu Serikat Islam dan
Muhamadiyah. Yang pertama adalah awal gerakan modern Islam dalam bidang politik dan yang kedua dalam bidang pendidikan dan sosial.
93
Namun hal itu bukan berarti para ulama pendiri NU tidak mengenal gerakan pembaharuan.
Ketika kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dengan Timut Tengah terbuka—tercatat tiga orang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri NU;
Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bisri Samsuri pernah belajar di
93
Hary J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta, Pustaka Jaya, 1980, h. 37-38
Mekah. Para ulama bangkit membela perikehidupan keagamaan yang berlandaskan tradisi sunah.
94
Kesetiaan pada tradsi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah, yang berarti penganut tradisi nabi
Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Hal ini menegaskan bahwa NU lebih mengutamakan tradisi dari pada pertimbangan
rasional, dalam arti bahwa apa yang telah ditradisikan sejak zaman Nabi perlu diikuti dengan tidak perlu merasionalisasikannya.
95
Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah sendiri dalam pengertian yang lebih rinci
adalah faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: Pertama, dalam bidang-bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat
madzhab. Dalam praktik para kyai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i. Kedua
dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan Al- Asy’ari dan imam Abu Mansyur al-Maturidi. Ketiga dalam bidang tasawuf,
menganut dasar-dasar imam Abu Qosim al-Junaidi.
96
Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU itu juga mempengaruhi perspektifnya dalam melihat kehidupan politik kenegaraan.
97
Baginya kewajiban hidup
94
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta, LP3ES, 1989.
95
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…h.135
96
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang…h.149 lihat juga Abdurrahman Wahid, NU dan Islam Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LKiS,
1999, h. 154
97
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru..., h.56
bermasyarakat dan bernegara merupakan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar. Menaati pemerintah, dengan begitu juga merupakan suatu
kewajiban, sepanjang pemerintah tidak menganjurkan kepada kekufuran. Segala bentuk oposisi, apalagi mengarah kepada pembrontakan, dengan demikian tidak
dimiliki NU. Tidak mengherankan apabila dalam menghadapi dualisme kepemimpinan
Indonesia pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, antara presiden Soekarno dan SM Kartosuwiryo DITII, NU mendukung presiden Soekarno dan memandang
DITII sebagai pemberontak. Presiden Soekarno dianggap sebagai presiden yang sah, diberi gelar Waliy al-amri al-dharuri bi al-syaukah. Sementara itu bukan
tanpa dasar, tetapi dipertimbangkan dan diputuskan berdasarkan fiqh Ahl al- Sunnah Wal al-Jama’ah
.
98
Jika kita melihat sejarah politik Islam, latar belakang pandangan politik Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah
NU tersebut, dapat ditarik jauh dalam konstelasi pertarungan politik pada masa selepas wafatnya Rasulullah, yang kemudian
melahirkan paham itu sendiri. Paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah termasuk paham yang relatif demokratis, berwatak terbuka inklusif, moderat tawasuth,
98
Zuhairi Misrawi, Meneguhkan Komitmen KeberIslaman Bervisi Kebangsaan dan Kerakyatan
dalam Zuhairi Misrawi ed, Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Jakarta, Kompas dan P3M, 2004, h.1
I’tidal, tasamuh dan tawazun.
99
Ini tercermin dari sikap Sunni dalam menyikapi beberapa persoalan sosial politik yang berkembang saat itu.
Pandangan kaum Sunni mengenai politik ini diantaranya bisa dilihat dari pemahaman tentang berdirinya negara, khilafah atau imamah. Kaum Sunni
berpandangan bahwa berdirinya khilafah atau imamah merupakan sutu keharusan dalam suatu komunitas umat Islam.
100
Berdirinya negara tidak lain dan tidak bukan untuk mengayomi umat, melayani dan menjaga kemaslahatan bersama
maslahah musyarokah. Keharusan ini bagi kaum Sunni hanya terbatas
kewajiban yang bersifat fluktuatif fardhu kifayah, dan untuk menghindari terjadinya kekosongan atau kevakuman kekuasaan. Karenannya di kalangan
Sunni ada suatu ungkapan yang mengatakan “kepemimpinan sekalipun dzhalim, masih lebih baik dari pada negara tanpa kepemimpinan”.
101
Dalam soal bentuk negara, kaum Sunni juga tidak mempunyai patokan yang baku. Hal itu tergantung negara bersangkutan, apakah mau mengunakan model
99
Tawasuth dan I’tidal yakni sikap tengah yang berintikan tentang prinsip-prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan luruh ditengah-tengah kehidupan bersama. Tasamuh
yakni sikap toleran terhadap perbedaan-perbedan pandangan baik soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ serta dalam soal kemasyarakatan dan kebudayaan. Sementara Tawazun adalah sikap
seimbang dalam berkhidmad kepada Allah, kepada manusia dan lingkungan hidupnya; menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa depan. PBNU, Kembali ke Khittah 1926, Bandung,
Risalah, 1985, h.119
100
Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthoniah wa al-Wilayat al-Diniyah, Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1978, h.5
101
Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Rajawali Pers, 1995, h.195-201.
demokrasi, teokrasi maupun monarki.
102
Hal yang terpenting bagi Sunni adalah terpenuhinya kriteria yang mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah syura,
ditegakkannya keadilan al-adl, adanya jaminan kebebasan al-hurriah, dan adanya kesamaan derajat al-musawah. Dalam konteks ini semua warga negara
harus mendapat perlakuan yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap suatu suku atau golongan atau sekelompok masyarakat tertentu tidak dibenarkan
oleh kalangan Sunni.
103
Pandangan-pandangan Sunni yang terbilang cukup moderat ini sangat tampak dalam pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid. Baginya, hal itu
bukanlah sesuatu yang asing mengingat ia lahir dan dibesarkan di lingkungan yang sarat dengat kultur Sunni, yakni NU.
Abdurrahman Wahid adalah seorang pemimpin yang telah menunjukan kelasnya, ia mengatasi berbagai persoalan di tubuh NU selama tiga tahun
kepemimpinannya dengan kepemimpinan dan ketegaran yang luar biasa. Tegar atas oposisi yang tidak kecil dari elit NU yang lain, maupun menghadapi tekanan-
tekanan yang dilakukan oleh negara. Seorang tokoh senior NU, K.H. As’ad Syamsul Arifin dari Asembagus, Situbondo melakukan gerak pemisahan atas
kepemimpinannya. Juga kritik-kritik yang sangat tajam datang dari paman beliau
102
Ma’mun Murod,, Menyikap Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Amien Rais Tentang Negara,
Jakarta, Rajagrafindo, 1999, h.155
103
Said Aqiel Siradj, Ahlusunnah Wal Jama’ah Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, LKPSM-NU, 1997, h.74-79
sendiri, K.H.Yusuf Hasyim. Belum lagi, sikap kiai-kiai yang berafiliasi ke Idham Kholid—ketua PBNU sebelumnya—yang dikenal sebagai kelompok Cipete.
Dibanding Muhamadiyah, dilihat dari aspek sumber dana maupun sumber daya masyarakatnya, NU jauh tertinggal di belakang Muhamadiyah Namun di
bawah kepeimpinan Wahid yang relatif singkat, ia berhasil mengubah citra NU yang tadinya tradisional, konservatif dan ekslusif, menjadi modernis, liberal,
inklusif dan moderat. Wahid bukan saja berhasil membuka kominikasi komunitas NU dengan masyarakat non-muslim di tanah air dan internasional, tapi juga
berhasil mengorbitkan tokoh-tokoh muda NU menjadi tokoh nasional.
104
Dengan memegang teguh komitmen kembali ke khitah 1926 sejak tahun 1984—terlepas dari berbagai tafsirnya—Wahid mampu memberi ruang bagi
lapisan baru yang lebih berorientasi pengembangan intelektual.
105
Dengan kekuatan darah birunya ia melindungi beberapa anak-anak muda NU yang
memiliki fikiran liar dan progresif. Tak heran, jika kemudian para intelektual muda NU tersebut mengafiliasikan diri pada sosok Wahid. Pada akhirnya dapat
disebut bahwa Wahidlah lokomotif utama bangkitnya gairah intelektualisme di tubuh NU.
106
104
Ahmad Suady dan Ulil Absarabdallah ed, Gila Gus Dur, Yogyakarta, LkiS, 2000, h. 10
105
Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara; Pencarian, Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999, h. 194
106
Rumadi, Post Tradisionalime Islam; Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Disertadi doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 171
BAB IV ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA E.
Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid.
Salah satu masalah yang di hadapi oleh negeri-negeri Islam pada masa-masa awal pembentukan negara adalah, bagaimana menempatkan agama dalam
kehidupan bernegara. Sebagaimana disinggung oleh Deliar Noor, bahwa Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yakni agama dan masyarakat atau politik.
Akan tetapi, menurut Deliar Noor, untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan ternyata masih menjadi suatu problem tersendiri.
107
Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen ilahiyah untuk memahami dua dunia,
seringkali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.
108
Tetapi pemahaman ini ketika diartikulasikan pada tingkat praktis berhadapan dengan sesuatu yang problematis. Di samping karena memang ciri umum
107
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta, LP3ES, 1996, h.1
108
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante,
Jakarta, LP3ES, 1996, h.15