Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid

BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL

A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid

Abdurrahman ad-Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari. Demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya. 52 Sosok yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia ini, lahir di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. 53 Ia adalah putra dari mantan menteri Agama RI pertama, K.H Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kiai besar di Jawa. Kakek dari Ayahnya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari seorang ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama NU. 52 Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural, Yogyakarta, Laelathinkers, 2003, h.65 53 Menurut catatan Barton, bahwa sebenarnya tanggal lahir Abdurrahman Wahid adalah tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 bukan tanggal 4 Agustus. Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKis, 2003, h.25 Sementara itu, kakek dari pihak ibu, adalah K.H Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama PBNU. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh cikal bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama NU, di samping K.H.A.Wahab Hasbullah. 54 Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul Ulama, sebagai pewaris cita-cita ayah dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikan kepadanya; Abdurrahman ad-Dakhil. Secara leksikal ad-Dakhil berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil K.H Wahid Hasyim dari seorang perintis dinasti Bani Umayah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam. 55 Sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Diambang usianya yang masih sangat muda 12 Tahun, 56 perasaan tanggung jawab ini 54 Ibid., h. 27. Untuk mengetahui silsilah keluarga Abdurrahman Wahid dapat di lihat di buku Beyond The Symbols; Jejak Antropologis, Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung, Rosdakarya dan INCReS, 2000, h. 29 55 A. Gafar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama, Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1998, h.95 56 Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas Reformasi Kultural, Yogyakarta, LKiS, 1998, h.152. Hal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Barton, yang menyebut usia Wahid saat itu adalah 13 tahun. Greg Fealy dan Greg Barton ed, Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997, h.163 secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam sebuah kecelakaan mobil. Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial sudah diterapkan oleh kedua orang tuanya, baik sebelum maupun sesudah kematian ayahnya. Secara periodik, Abdurrahman Wahid kecil dititipkan dalam asuhan seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam. Pada waktu itulah, ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang kemudian menjadi kegemarannya. 57 Setamat Sekolah Dasar di Jakarta pada tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama SMEP di Yogyakarta dan lulus pada tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis K.H Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majlis Tarjih Muhamadiyah. 58 Pendidikan keagamaan Abdurrahman Wahid selanjutnya diasah di beberapa Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama terkemuka, antara lain di Pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajar kurang dari separo waktu santri pada umumnya 1957-1959. Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allima Bahrul Ulum, Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa 57 Ibid., h. 46 58 Ibid., h.164 Timur, kepada K.H Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di Pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul Ulama terkemuka K.H Ali Ma’shum. 59 Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. 60 Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai seorang “pemberontak”, 61 ketidakpuasannya dengan sistem pendidikan di Universiatas Al-Azhar Kairo, ia salurkan dengan melakukan kegiatan lain yang lebih mencerahkan. Berbagai kajian ia ikuti, dan waktunya banyak dihabiskan untuk membaca di perpustakaan nasional Mesir Dar al-Kutub, serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Prancis. Ia juga mengadakan kontak dengan Syaikh dan cendekiawan terkemuka Mesir, seperti Zaki Nuqaib Mahmoud, Sohier al-Qalamawi dan Syauqi Deif. 62 Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak sampai dengan tahun 1970, saat ia dipanggil pulang ke Jombang dan memulai 59 Ibid., h.164 60 Dalam pendidikannya di luar negeri tersebut, tidak jelas apakah Abdurrahman Wahid selesai dan mempunyai gelar atau tidak. Ada yang mengungkapkan bahwa Abdurrahman Wahid lulus dan memperoleh gelar L.C. dari Universitas Baghdad, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia tidak sampai lulus dalam pendidikannya. Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Pres, 1999, h.67 61 Pembrontakan Wahid terhadap institusi Al-Azhar dimulai ketika, perguruan tersebut memasukkan ia dalam kelas pemula. Sebuah kelas kusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Padahal studinya di Jombang pada tahun 1960-an telah membuatnya mendapat sertifikat yang menunjukan bahwa ia telah lulus studi yurisprudensi Islam, Teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait yang kesemuannya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang tinggi. Pembrotakan terus berlanjut seiring dengan tidak cocoknya Wahid dengan pendekatan pendidikan yang digunakan universitas tersebut yang lebih menekankan pada penghafalan. Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 84 62 A. Gafar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama…, h.96 kehidupan barunya sebagai seorang putra kyai, yaitu dengan mengajar di pesantren Tebuireng yang didirikan oleh kakeknya sendiri. 63

B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid