mengabaikan penyempitan ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan arti manusia sebagai subjek kehidupan.
G. Pribumisasi Islam Sebagai Model.
Sejak semula Abdurrahman Wahid tidak menjadikan Islam sebagai alternatif, begitu juga ia tidak begitu yakin dengan formalisme Islam.
139
Konsekwensinya, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan
dalam bingkai lokalitas. Model ini disebut oleh Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam” yaitu mengokohkan kembali akar budaya kita dengan tetap
berusaha menciptakan masyarakat taat beragama.
140
Dengan gagasan ini rupanya Abdurrahman Wahid ingin mengingatkan kepada umat muslim tentang perlunya
untuk mempertimbangkan situasi-situasi lokal dalam rangka penerapan ajaran- ajaran Islam. Pertimbangan Abdurrahman Wahid agar Islam Indonesia tidak
tercabut dari konteks lokalnya sendiri, semacam kebudayaan, tradisi dan lainnya. Agenda ini mengharuskan di pahaminya ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa
sehingga faktor-faktor konteks lokal dipertimbangkan sungguh-sungguh.
139
Abdurrahman Wahid, NU Dan Islam di Indoensia Dewasa Ini dalam Prisma Pemikiran Gus Dur,
Yogyakarta, LKiS, 1999, h.43.
140
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh pyt, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989, h. 96.
Sebagaimana ideologi yang telah bergerak pada level bahasa, kultur, politik dan pemikiran, “pribumisasi” pun juga bergerak pada level-level tersebut. Pada
level bahasa Abdurrahman Wahid tidak setuju dengan penggantian sejumlah kosa kata dalam bahasa kita dengan bahasa Arab. Dengan bentuknya yang paling
sederhana ia memanfaatkan istilah-istilah lokal. Dalam konteks ini Abdurrahman Wahid sekaligus bertanya, mengapa harus menggunakan kata-kata “salat” kalau
kata “sembahyang” juga tak kalah benarnya. Mengapa harus di musholakan padahal dulu toh cukup dengan “langgar atau surau”. Belum lagi ulang tahun baru
sreg kalau dijadikan milad, dulu guru atau kyai sekarang harus ustadz atau syeikh baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercerabut dari lokalitas yang
semula mendukung kehadirannya dibelahan bumi.
141
Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Arabisasi budaya” “pembaharuan Islam dengan budaya” atau “formalisme ajaran Islam dalam kehidupan budaya”,
yaitu sebuah upaya menjadikan Islam sebagai tolak ukur ideal untuk menilai manifestasi budaya pada umumnya. Singkatnya dalam logika Islamisasi ini, Islam
ditampilkan sebagai “budaya ideal” yang terlepas dari akar-akar budaya lokal. Sehingga alternatifnya, Wahid mengajukan gagasan ‘keterbukaan antar budaya”.
Dari sini Abdurahman Wahid menjelaskan: “…antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung
proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekwensi logis dari
141
Abdurrahman Wahid, Salahkah Jika diPribumisasikan dalam Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela,
Yogyakarta, LKiS, 1999, h. 91. lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan,
Depok, Desantara, 2001, h. 132.
keterbukaan seperti ini adalah keharusan untuk mendudukan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dan melayani
semua budaya lokal itu akan menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahannya masing-masing”.
142
Sekalipun demikian proses saling mengambil dan saling belajar tidak boleh lepas kontrol. Karena itu senantiasa menyatakan perlunya sikap kehati-hatian.
Pandangannya dalam proses pribumisasi, percampuran antara Islam dan kebudayaan lokal harus benar-benar dikontrol sedemikian rupa sehingga yang
bersifat setempat tidak merusak citra khas Islam. Dalam hal ini beliau menulis :
“Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam…untuk menyatakan bahwa proses interaksi Islam dengan realitas-realitas historis tidak akan
mengubah Islam itu sendiri, melainkan hanya akan mengubah manifestasi agama Islam dalam kehidupan”.
143
Statment tersebut mengindikasikan bahwa Abdurrahman Wahid memiliki
kepedulian bukan hanya pada pengembangan Islam, melainkan juga pada budaya setempat. Dengan cara itu, Islam dapat tumbuh berkembang tanpa memarginalkan
dan berkonfrontasi dengan nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya bersifat positif. Sementara budaya lokal tetap dapat survive tanpa merusak pilar-pilar
ajaran Islam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering memberikan gambaran tentang
masjid Demak. Pada awalnya masjid Demak memiliki tangga atau tutup yang
142
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam…, h. 92.
143
Ibid., h. 83.
terdiri dari sembilan susunan yang diambil dari konsep “meru”yang berasal dari pra Islam Hindu-Budha. Kemudian dipotong oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga
susunan yang melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, iman, islam dan ihsan.
Pada tahap berikutnya, datanglah proses Arabisasi yang membawa bentuk masjid gaya Timur Tengah lengkap dengan kubah dan segala
ornamennya. Begitu juga dalam seni agama, seni rupa, sastra, musik, Islam terserap dalam budaya lokal dalam berbagai bentuk seperti jipun dan rebana.
144
Rupanya dengan pribumisasi, Abdurrahman Wahid mampu meminimalisir ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya dan tidak mencari sisi-
sisi yang islami dalam kultur lokal. Namun Abdurrahman Wahid tidak setuju dengan adanya supremasi budaya atas agama atau sebaliknya. Menurutnya:
“…pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di
dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar
norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash,
dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qoidah fiqh”.
145
Atas konsep tersebut Abdurrahman Wahid menjelaskan secara ilustratif. Ia menggambarkan Islam sebagai suatu sungai besar dan kekhasan sosio kultural
Indonesia sebagai anak sungai itu. Keduanya harus bertemu untuk membentuk sungai yang lebih besar lagi. Masuknya anak sungai mau tidak mau akan
144
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok, Desantara, 2001, h. 118.
145
Ibid., h. 119.
membawa air baru yang pada saatnya akan mengubah atau juga mungkin akan mencemarkan warna air aslinya. Terlepas dari itu, sungai itu bagaimanapun
tetaplah sungai yang sama dan dengan air lama yang sama. Dengan memahaminya, logis manakala Abdurrahman Wahid tidak setuju dikubahkannya
masjid. Baginya masjid beratap genteng yang sarat dengan simbolisasi lokal sendiri tidak kalah menariknya di negeri ini. Budaya walisongo yang serba Jawa,
Saudati Aceh, Talbut Pariaman, didesak dipinggirkan oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ. Bahkan ia juga menolak ikat kepala lokal udeng harus
mengalah kepada sorban “merah putih” ala Yaser Arafat.
146
Abdurrahman Wahid tampaknya memiliki kepentingan dalam hal ini, yakni agar nash tidak hanya dipahami secara literal, sebab rekonsiliasi antara Islam dan
budaya berarti mengupayakan agar wahyu dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan, jadi
bukan “pembaruan Islam dan budaya” jika istilah pembaruan yang digunakan, maka konsekwensinya “berbaur’ berarti hilangnya sifat-sifat asli. Ini tidak
dibenarkan mengingat Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Untuk menghindari kesalahpahaman, Abdurrahman Wahid mendasarkan kembali:
“Yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut keimanan dan peribadatan formal. Tidak diperlukan Qur’an
Batak dan Hadits Jawa, Islam tetap Islam, dimana juga berada. Namun tidak berarti sama harus disamakan ‘bentuk luarnya” salahkah kalau tetap
“dipribumikan sebagai manifestasi kehidupan”.
147
146
Abdurrahman Wahid, Salahkah Jika di Pribumikan… , h. 90. Lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama…,
h.120.
147
Ibid., h. 92.
Jadi lewat pribumisasi, Islam terlihat sebagai agama yang apresiatif terhadap
konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Abdurrahman Wahid tidak berkenan dengan wajah-wajah mono Islam dalam
ekspresi kehidupan. Misalnya semua simbol harus mengunakan ekspresi kebudayaan Arab atau bahasa Arab tempat Islam lahir. Penyeragaman ini bukan
hanya akan mematikan kreatifitas kebudayaan umat, tetapi juga mempersempit ruang gerak Islam. Karena Islam akan teralinasi dari arus utama kebudayaan
nasional yang disitu Islam menjadi sub sistem keagamaan. Bagi Abdurrahman Wahid, Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri
dengan budaya Timur Tengah hanya akan menyebabkan tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Disamping itu Arabisasi belum tentu cocok dengan
kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar agama itu tidak hilang.
Jadi pribimisasi adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak dapat terelakkan.
148
Lebih dari itu, menutup rapat-rapat Islam dari berbagai budaya luar, menurut Wahid
justru pengakuan terselubung atas kelemahan Islam. Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam
keterbukaan. Bukankah isolasi justru menjadi petunjuk kelemahan pada
148
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam…, h. 82. Lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama…,
h. 119
pergaulan.
149
Pandangan semacam ini mencerminkan semangat optimisme Wahid dalam mengkaji setiap persoalan.
Sekalipun demikian, antara agama dan budaya memiliki logika sendiri, walau tidak menutup kemungkinan untuk bersinggungan. Agama dan budaya memiliki
independensi masing-masing, tetapi disinilah keduanya mempunyai wilayah berkelindan. Manusia tidak bisa beragama tanpa budaya, karena kebudayaan
merupakan kreatifitas manusia yang bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagamaan. Namun demikian, Wahid tidak sampai berkesimpulan bahwa
agama adalah kebudayaan. Ia meyakini antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi, namun tetap memiliki sisi perbedayaan. Agama bersumber
dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma agama bersifat normatif, karena ia cenderung menjadi permanen. Sementara budaya adalah kreatifitas
manusia, karenannya berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk berubah.
150
Tetapi Wahid berkeyakinan bahwa fakta perbedaan tidak menghalangi kemungkinan memanifestasikan kehidupan beragama dalam
bentuk budaya. Berkelindannya agama dan budaya akan terjadi terus menerus bagi suatu
proses yang akan memperkaya kehidupan. Variasi-variasi budaya akan memungkinkan adanya perimbangan antara berbagai kelompok atas dasar
149
Abdurrahman Wahid, Salahkah Jika di Pribumikan …, h. 98
150
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam…, h. 81. Lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama…,
h.117
persaman-persamaan baik agama maupun budaya, jika tidak demikian dengan sendirinya manusia akan mengalami kekeringan batin. Bukankah terpisahnya
salah satu kebutuhan hanya akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan, karena merasa ada semacam sesuatu yang hilang pada dirinya. Jika demikian, akibatnya
akan mereduksi keberagamaan sesorang. Sejak awal kelahirannya, Islam telah membuktikan sikap bersahabat dengan
budaya setempat. Ia tidak serta merta menolak semua tradisi Arab pra Islam. Beberapa tradisi yang telah mengakar dan memiliki makna positif bahkan di
internalisasikan menjadi bagian dari ajaran Islam. Sebab dari itu sebagian dari tradisi pra-Islam menjadi sumber-sumber “material” hukum Islam dengan
demikian tradisi dan adat setempat yang tidak bertentangan secara diametrial dengan Islam dapat di lestarikan.
Pola-pola pemahaman seperti itu telah dilakukan oleh intelektual masa lalu dimana pemikiran mereka selalu bernuansa antropologis dan sangat dijiwai nilai-
nilai budaya setempat. Karaya-karya ulama Islam menunjukan adanya kecenderungan kuat untuk melakukan proses penyesuaian dengan budaya
setempat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip umum dari hukum agama itu sendiri.
H. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Terhadap Kehidupan Berbangsa