mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat
menghubungkan Islam dengan sistem politik modern.
40
Namun demikian paradigma ini dapat melahirkan tiga bentuk model negara, tergantung dari perbedaan kualitas keterikatan agama dan negara.
41
Pertama, meski agama dan negara memiliki keterikatan, namun aspek keagamaan yang
masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga akan melahirkan sebuah model negara yang lebih dekat dengan “negara sekular”. Kedua, jika determinasi agama yang
lebih tinggi, dimana 75 konstitusi negara diisi oleh hukum agama, maka akan melahirkan model negara yang lebih dekat kepada “negara agama”. Ketiga, jika
determinasi keduanya berimbang maka akan melahirkan model negara netral.
B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia.
Sejarah pemunculan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara disadari telah terjadi berbagai perdebatan panjang tentang negara. Polemik tersebut pada
dasarnya bermuara dari bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara diletakan dalam konteks ke-Indonesia-an yang akan dan telah terbentuk. Hal
semacam ini terus mewarnai dinamika historis perpolitikan Indonesia. Di Indonesia hubungan Islam dan negara sering memancing konflik, bahkan
kearah antagonistik. Salah satu butir penting dalam pergolakan tersebut adalah
40
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara…, h.14
41
Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara…, h.28
apakah negara Indonesia bercorak Islam atau nasional
42
Jika konstruk kenegaraan pertama yang dipilih, maka dengan keholistikannya Islam harus diterima sebagai
ideologi negara. Namun bila jatuh pada preferensi kedua, maka sebuah ideologi yang sudah didekonfensionalisasi yakni “Pancasila” harus didukung.
43
Asal-usul polemik tersebut, sebenarnya dapat ditelusuri jauh ke tahun-tahun pertama kemunculan pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam
perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka. Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus
berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Karena tidak kunjung ditemukan, maka diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan
berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara, terutama sepanjang dua dasawarsa pertama periode Orde Baru. Bahkan
polemik tersebut kembali mencuat pada masa-masa reformasi lewat proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme. Seokarno sebagai juru bicara kelompok nasionalis
42
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Jakarta, Paramadina, 1998, h.60
43
Dekonfensionalisasi merupakan salah satu pendekatan dalam memahami politik Islam di Indonesia. Teori ini dikembangkan oleh Van Nieuwenhuijze yang mencoba menjelaskan hubungan
politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembarunan bangsa. Teori ini dipinjam dari kecenderungan akomodasionis
kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik di negeri Belanda. Lebih jelas lihat di Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…,
h.24. Dua paradigma ini pada gilirannya melahirkan dua golongan yang tidak henti-hentinya bersitegang, yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
memandang pentingnya sebuah nasionalisme bagi landasan Indonesia merdeka. Pandangan ini ditentang oleh Agus salim dan Ahmad Hasan, yang dianggap
sebagai representasi kelompok Islam. Baik Salim maupun Hasan menganggap nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang sempit dan Chauvanistik
padahal seharusnya nasionalisme Indonesia haruslah berdasar pada Islam. Perdebatan religius-ideologis tersebut semakin panas ketika seorang murid
Ahmad Hasan yakni Mohamad Natsir—yang berlatar belakang pendidikan Barat—ikut serta dalam perdebatan tersebut.
Polemik Soekarno dan Natsir sebenarnya masih bersifat eksploratif. Ini terlihat bahwa sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan
konsep-konsep yang siap-pakai mengenai hubungan agama dan negara. Namun keduanya juga tidak bermaksud untuk menemukan titik temu diantara mereka.
Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis-politis masing-masing. Akibatnya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai
perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok politik yang berseberangan.
44
Perdebatan tersebut mereda seiring datangnya penjajahan Jepang.
Perdebatan kembali muncul dalam sebuah badan baru bernama BPUPKI Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam
berbagai pertemuan di badan tersebut, perseteruan antara kedua kubu kembali berlangsung. Kelompok Islam, yang saat itu dipelopori oleh Ki Bagus
44
Ibid., h. 81
Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno dan Wahid Hasyim berpandangan bahwa karena posisi Islam di Indonesia begitu mengakar, maka
negara harus di dasarkan kepada Islam. Di pihak lain berdiri kelompok nasionalis, yang dipelopori oleh Soekarno, Hatta dan Soepomo yang membela pandangan
bahwa untuk mempertahankan kesatuan bangsa, maka watak negara harus di- dekonfessionalisasi.
45
Ketegangan terus berlanjut, sehingga untuk mencairkan suasana maka dibentuklah sebuah tim kecil yang berfungsi untuk menjembatani berbagai
perbedaan di antara kelompok Islam dan nasionalis. Panitia kecil tersebut terdiri dari; Soekarno, Hatta, Soebarjo, M Yamin, Abikusno, Kahar Muzzakir, Agus
Salim, Wahid Hasyim dan A.A Maramis. Panitia kecil ini, lewat perdebatan yang cukup alot, akhirnya menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal sebagai
Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan pancasila sebagai dasar negara dan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi
“Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
”. Menurut Bahtiar, bagaimanapun kompromi tersebut pada dasarnya dibangun
di atas landasan yang tidak kokoh dan menandai kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan hubungan
45
Perdebatan dalam badan tersebut masuk kedalam pembahasan-pembahasan yang lebih detail baik berkaiatan ideologi dan konstitusi negara. Apakah presiden harus seorang muslim atau
tidak, apakah negara harus memiliki apparatus dan badan yang relefan untuk menerapkan hukum Islam, dan termasuk mengenai pembahasan akan kemungkinan hari Jum’at dijadikan sebagai hari
libur. Ibid., h. 85
antara Islam dan negara secara legalistik formalistik.
46
Ini terbukti, satu hari setelah kemerdekaan Piagam Jakarta kembali dipersoalankan. Sebuah kondisi
yang memaksa para elit kelompok Islam untuk mengalah dengan menghapus ketentuan menjalankan syariat bagi umat Islam demi mempertahankan dan
menjaga kemerdekaan yang baru saja diperoleh. Kekalahan tersebut, seperti tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa
diterima untuk sementara, hingga Majelis Konstituante hasil pemilihan umum terbentuk mulai bekerja menyusun undang-undang baru. Sebagaimana diketahui
bahwa pemilu tahun 1955, telah menempatkan kekuatan politik Islam Mayumi, NU, PSII dan Perti berada di atas angin dengan mengantongi 43,5 suara atau
114 dari 254 kursi di parlemen. Meski ini bukan suara mayoritas untuk menggolkan pemberlakuan Piagam Jakarta, namun suara tersebut cukup
signifikan dalam upaya tawar menawar politik nantinya. Dalam sidang majelis konstituante, perdebatan-perdebatan religius-ideologis
kembali menyeruak dan berlangsung dengan sengit dan panas. Meski bukan tanpa kesulitan, majelis akhirnya dapat menyelesiakan beberapa tugasnya. Selama dua
setengah tahun keberadaannya, majelis berhasil menyelesaikan 90 tugas- tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah hak asasi
manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara dan bentuk pemerintahan. Sayangnya perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung selancar perdebatan tentang
46
Ibid., h. 92
masalah-masalah lain di atas. Bahkan perdebatan tentang hal tersebut amat besar andilnya dalam membawa majelis konstituante ke jalan buntu. Kondisi yang
kemudian dimanfaatkan sangat baik oleh Soekarno untuk mengeluarkan dekrit yang membekukan mejalis dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit
Soekarno tersebut menandai kekalahan kedua kelompok Islam dan membawa ke arah peminggiran kekuatan Islam politik di pentas nasional secara simultan.
Harapan kelompok Islam sempat merekah ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh orde baru di bawah kepemimpinan jendral Soeharto. Namun
harapan tersebut segera pupus, ketika orde baru dengan sedemikian rupa ternyata menolak malakukan rehabilitasi terhadap Mayumi dan tokoh-tokohnya. Lewat
ideologi pembangunan, orde baru juga Memperlakukan kekuatan Islam seperti kucing kurap, dicurigai dan di pinggirkan dari pentas politik.
47
Bagi orde baru, agama Islam dikawatirkan dapat menjadi ancaman dan sumber konflik yang
dapat menggangu stabilitas kehidupan politik, sebagaimana yang diperlihatkan pada masa orde lama.
48
Dengan program
trilogi pembangunan,
beberapa kebijakan
yang meminggirkan kekuatan Islam dijalankan. Di antaranya adalah, fusi beberapa
partai Islam NU, Perti, PSII dan Parmusi kedalam satu partai politik yaitu PPP pada tahun 1973 yang kemudian diperkuat dengan UU No.3 tahun 1975. Usaha
47
Pembahasan tentang proses peminggiran Islam politik dari pentas politik nasional dapat dibaca lebih jauh dalam karya M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta,
Tiara Wacana, 1999.
48
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam Periode 1967-1987, Jakarta, Rajawali Pers, 1989, h.89, Cet ke 1
ini dipandang sebagai upaya untuk memecah belah kekuatan politik Islam, karena fusi artifisial tidak akan membawa persatuan. Sejarah telah mencatat,
bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik.
49
Usaha ini juga dipandang sebagai penggiringan umat Islam menjauh dari pentas politik dan mencoba
mendesain agama untuk ditempatkan pada peranan pengontrol moral etis, yang menjadi bagian dari peran aktif umat beragama dalam pembangunan.
50
Secara umum hubungan agama dan negara pada masa orde baru oleh M.Syafi’i Anwar digambarkan dalam tiga periode, yaitu hegemonik, resipokal
dan akomodatif.
51
Pertama , pola hubungan hegemonik sejak awal kelahirannya hingga 1970-
an. Periode ini ditandai oleh kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat, sehingga lahir kebijakan-
kebijakan sebagaimana disinggung di atas fusi partai Islam maupun pemberlakuan asas tunggal pancasila.
Kedua, periode resipokal tahun 1980-an, yakni suatu hubungan yang
mengarah pada tumbuhnya saling pengertian, timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Negara dalam periode ini mulai menyadari bahwa Islam
merupakana denominasi politik yang tak dapat dikesampingkan, juga disadari
49
Din Syamsyuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta, Logos, 2001, h.42, Cet ke 1
50
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi…h. 93
51
M Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentnag Cendekiawan Muslim Orde Baru,
Jakarta, Paramadina, 1995, h. ix-x, Cet ke 1.
bahwa upaya memarginalisasi peran Islam dalam kebijakan pembangunan merupakan tindakan kontra produktif.
Ketiga, periode akomodatif akhir dekade 1890-an. Periode ini ditandai
dengan semakin responsifnya birokrasi orde baru terhadap Islam, yang antara lain ditandai dengan lahirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodir aspirasi umat
Islam. Disahkannya
Undang-Undang Pendidikan
Nasional UUPN,
diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI, diubahnya kebijakan tentang jilbab serta penghapusan
SDSB, merupakan bukti kongkrit dari hubungan akomodatif agama dan negara pada akhir masa kekuasaan Soeharto.
BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL
A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid
Abdurrahman ad-Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari. Demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal dengan sebutan
Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan,
setidaknya dari latar belakang keluarganya.
52
Sosok yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia ini, lahir di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940.
53
Ia adalah putra dari mantan menteri Agama RI pertama, K.H Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj.
Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kiai besar di Jawa. Kakek dari Ayahnya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari seorang ulama besar pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama NU.
52
Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural, Yogyakarta, Laelathinkers, 2003, h.65
53
Menurut catatan Barton, bahwa sebenarnya tanggal lahir Abdurrahman Wahid adalah tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 bukan tanggal 4 Agustus. Greg
Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKis, 2003, h.25