Paradigma Sekularistik Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia.

muslim yang zalim sekalipun tidak berhak untuk dibrontak. Ini menegaskan betapa kuatnya posisi negara yang bersembunyi di balik slogan-slogan agama. Absolutisme agama sebagai sistem dunia—sebagaimana disinggung di atas— dimana agama dan simbol-simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh individu untuk keselamatannya di dunia dan di akhirat. Agama itu politis dan politis itu relegius, maka tak satupun gerak gerik individu dapat luput dari kontrol kekuasaan. Jika agama melebur dalam negara, norma-norma hukumnya disakralisasi, dan negara pun menjadi aparatur yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilih rakyatnya. Kebebasan individu di pasung dan pemakain rasio pun dicurigai sebagai racun bagi iman. 31 Akhirnya, atas nama Tuhan, suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi fikiran, keinginan, perasaan dan iman individu. Secara amat ganjil, kehawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun menjelma menjadi teror atas masyarakat, sebab negara merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral-religius warganya.

2. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Paradigma ini berpendirian bahwa agama mutlak urusan individu dengan Tuhan. Kehadiran 31 Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik, Menimbang Kembali Sekularisme, Kompas edisi 5 April 2007, h.42 Muhammad adalah semata-mata sebagai seorang rasul dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Kehadiran Muhammad tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. 32 Salah satu pemrakarsa gagasan ini adalah Ali Abdul Ar-Raziq 1887-1966, seorang cendekiawan Mesir. Abd. Ar-Raziq berpendapat bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kehalifahan. Kehalifahan, termasuk kehalifahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin, bukanlah suatu sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. 33 Pemikiran jenis kedua ini cenderung menekankan terbentuknya sebuah negara yang sekular, dimana urusan agama dipisahkan dari urusan negara. Namun demikian menurut Yudi Latif, setidaknya terdapat empat karakteristik sekularisasi. 34 Pertama, Polity-Separation Secularization, yakni pemisahan jagad politik polity dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan. Kedua, Polity- Expansion Secularization, yakni perluasan otoritas politik untuk menjalankan fungsi pengaturan dalam wilayah sosial-ekonomi yang sebelumnya berada dalam 32 Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta, UII Press, 2006, h.1 33 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 29 34 Yudi latif, Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF ed, Islam Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta, Paramadina,2005, h.120 yuridiksi agama. Ketiga, Polity-Transvaluation Secularization, yakni demistifikasi budaya politik untuk menekankan sasaran-sasaran temporal non- transedental serta cara-cara yang rasional dan pragmatis, yaitu nilai-nilai politik sekular. Keempat, Polity-Dominance Secularization, yakni dominasi polity atas keyakinan, praktik serta organisasi keagamaan. Paradigma ini juga tidak kurang memiliki implikasi yang oleh Budi Hardiman di sebut sebagai Patologi Sekularisme. Yakni dialektika sekularisasi yang sama sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan iman relegius dan alasan relegius dalam kehidupan bersama secara politis. Agama dianggap irasional, maka tidak berhak bersuara dalam ruang publik. 35 Di sini sekularisme yang ingin membangun ruang publik yang pro-pluralisme malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan relegius. Negara liberal sekular ingin mempertahankan netralitas di hadapan berbagai orientasi nilai yang majemuk dalam masyarakat, tetapi ini dilakukan sering dengan ongkos memblokade alasan-alasan relegius sebagai privat dan mengancam kepentingan keseluruhan, dalam konteks eksesif, negara hukum liberal ingin menjadi semacam mesin legal-politis yang bergerak sendiri lepas dari suber-sumber relegius, tetapi ia lupa bahwa warga negara memiliki motivasi mematuhi hukum lewat orientasi- orientasi nilai yang antara lain bersumber dari nilai-nilai relegius. 36 35 Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik…, h. 42 36 Ibid., h. 42

3. Paradigma Simbiotik