Paradigma Integralistik. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia.

para pemikir politik muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa modern. 24 Menurut Munawir Sjadzali, secara umum pemikiran politik Islam dewasa ini terbagi dalam tiga kelompok besar yakni paradigma holistik, sekularistik dan simbiotik-mutualistik. Hal senada juga diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dengan bahasa yang sedikit berbeda yakni: intergalistik, sekularistik dan simbiotik. 25

1. Paradigma Integralistik.

Paradigma pertama adalah paradigma integralistik yang memahami Islam sebagai agama holistik. Paradigma ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. 26 24 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik…h.1 25 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Pres, 1993, h.2. Hal senada diungkapkan juga oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara; Politik Hukum Islam Masa Orde Baru, Yogyakarta, LKiS, 2000, h.23. Sementara itu Din Syamsyudin dengan rumusan yang tidak jauh berbeda mengungkapkan tiga paradigma, yakni: paradigma integratif, simbiotis dan Instrumental. Din Syamsyuddin, Islam dan Politik; Masa Orde Baru, Jakarta, Logos, 2000. Sementara itu bagi sebagian kalangan, pembagian itu terkesan apologetis dan menunjukan stagnannya kajian politik Islam yang berkaitan dengan hal tersebut. Menurut Bahtiar, kajian politik Islam memang sulit beranjak pada tuntutan atau artikulasi yang baru. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan disiplin ilmu filsafat politik Barat, Pemikiran Politik Islam mengalami situasi stagnan, decasy, disartikuklatif bahkan mati. Bahtiar Effendy, Disartikulasi Pemikiran Politik Islam? Kata pengantar dalam buku Olivier Roy, Gagalnya Politik Islam, Jakarta, Serambi, 1996, h.vi Penggunaan istilah dalam tulisan ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi. 26 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara...., h.1 Paradigma integralistik ini kemudian melahirkan paham negara-agama, dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam Din wa Dawlah Islam agama dan sekaligus negara. 27 Paradigma ini beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara-bangsa nation-state bertentangan dengan konsep ummah komunitas Islam yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan. 28 Paradigma sebagaimana di ungkap di atas, mempunyai beberapa implikasi. Satu sisi pandangan tersebut telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang “literal” yang hanya mementingkan dimensi “luar”nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dan “dalam” dari prinsip-prinsip Islam. 29 Di sisi yang lain, pandangan ini juga akan melahirkan sebuah model negara yang otoriter dan sewenang-wenang, karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung di balik agama. 30 Bahkan beberapa pemikir Islam seperti Ibnu Taimiyah, menegaskan bahwa seorang pemimpin 27 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 25 28 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998, h.12 29 Ibid., h. 9 30 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 25 muslim yang zalim sekalipun tidak berhak untuk dibrontak. Ini menegaskan betapa kuatnya posisi negara yang bersembunyi di balik slogan-slogan agama. Absolutisme agama sebagai sistem dunia—sebagaimana disinggung di atas— dimana agama dan simbol-simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh individu untuk keselamatannya di dunia dan di akhirat. Agama itu politis dan politis itu relegius, maka tak satupun gerak gerik individu dapat luput dari kontrol kekuasaan. Jika agama melebur dalam negara, norma-norma hukumnya disakralisasi, dan negara pun menjadi aparatur yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilih rakyatnya. Kebebasan individu di pasung dan pemakain rasio pun dicurigai sebagai racun bagi iman. 31 Akhirnya, atas nama Tuhan, suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi fikiran, keinginan, perasaan dan iman individu. Secara amat ganjil, kehawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun menjelma menjadi teror atas masyarakat, sebab negara merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral-religius warganya.

2. Paradigma Sekularistik