d Pengawasan dari Masyarakat.
Yang tidak kalah penting dalam pengawasan penyampingan perkara pidana ini adalah pengawasan dari masyarakat luas. Masyarakat disini sebagai
kontrol terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh jaksa. Masyarakat dapat dengan segera mengetahui cara kerja jaksa. Apabila masyarakat mengetahui adanya
ketidakberesan dalam kinerja kejaksaan, masyarakat dapat segera melaporkan hal tersebut langsung ke kejaksaan. Beberapa waktu lalu pemerintah memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk melaporkan tindakan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, KKN dan perbuatan pidana kepada institusi yang
berwenang. Sikap terbuka juga dilakukan oleh kejaksaan yang memberikan kesempatan masyarakat untuk melaporkan setiap tindakan yang dirasa tidak baik
yang dilakukan oleh Warga Kejaksaan kepada Kejaksaan, dan segala bentuk laporan akan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan.
B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyampingan Perkara Pidana
Oleh Jaksa.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak dapat dilakukannya penyampingan perkara pidana oleh jaksa, yaitu :
1. Faktor Hukum.
Belum adanya undang-undang yang mengatur tentang penyampingan perkara pidana oleh jaksa menjadikan jaksa tidak dapat melakukan penyampingan
perkara pidana. Saat ini ketentuan yang mengatur tentang penyampingan perkara pidana hanya diperuntukkan bagi Jaksa Agung. Baik Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, penjelasan pasal 77 KUHAP dan peraturan
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan yang ada semua memberikan kewenangan penyampingan perkara bagi Jaksa Agung. Menjadi sulit lagi dengan memunculkan kepentingan
umum sebagai landasan digunakannya penyampingan perkara menyebabkan pemahaman dan pengertian jaksa tentang alasan untuk menyampingkan perkara
pidana ini menjadi terbatas. Apabila kita perhatikan tidak adanya peraturan yang mengatur
penyampingan perkara pidana oleh jaksa hal ini terkait dengan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintahan yang berkuasa. Pada masa HIR dulu, polisi
merupakan pembantu jaksa. Apabila ada suatu kasus yang diduga merupakan tindak pidana maka pemeriksaan permulaan vooronderzoek di bawah pimpinan
jaksa sebagai penuntut umum. Untuk itu jaksa harus mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber. Tindakan jaksa yang mendahului penuntutan dinamakan
masuk dalam pengertian pengusut perkara opsporing.
66
Jadi pengusutan suatu kasus dilakukan sendiri oleh jaksa atau oleh pejabat yang ditunjuk. Pejabat yang
ditunjuk ini disebut sebagai jaksa pembantu yang salah satunya adalah pegawai polisi.
Melihat hal tersebut diatas maka pada masa HIR dahulu sudah sewajarnya apabila jaksa dapat menghentikan penuntutannya menyampingkan
penuntutannya karena sebagai penuntut umum secara objektif dengan mengingat kepentingan masyarakat dan berdasarkan kebenaran sejati, maka jaksa tidak hanya
berkuasa melainkan berwajib untuk menghentikan pengusutan perkara dan tidak melakukan penuntutan.
67
Pada masa itulah dengan dasar asas oportunitas dan kewenangan jaksa melakukan pengusutan dari awal hingga akhir terhadap tindak
66
R Wiryono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 41.
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
pidana yang terjadi, jaksa dapat menggunakan kewenangan menyampingkan perkara pidana secara mandiri.
Praktek yang berlangsung kemudian, ada oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan tersebut dan adanya desakan untuk tidak lagi
menggunakan HIR karena dianggap banyak sekali aturan dalam HIR sudah tidak memadai lagi untuk digunakan mengingat banyak kelemahan-kelemahannya.
Pada akhirnya kebijakan pemerintah yang berkuasa pada masa itu yang akhirnya mengurangi atau mempersempit tugas dan wewenang jaksa selanjutnya. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena pada kenyataannya hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakangi. Dengan kata lain kalimat-kalimat
yang ada di dalam aturan hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang bersaing.
68
2. Faktor Penegak Hukum.