pidana yang terjadi, jaksa dapat menggunakan kewenangan menyampingkan perkara pidana secara mandiri.
Praktek yang berlangsung kemudian, ada oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan tersebut dan adanya desakan untuk tidak lagi
menggunakan HIR karena dianggap banyak sekali aturan dalam HIR sudah tidak memadai lagi untuk digunakan mengingat banyak kelemahan-kelemahannya.
Pada akhirnya kebijakan pemerintah yang berkuasa pada masa itu yang akhirnya mengurangi atau mempersempit tugas dan wewenang jaksa selanjutnya. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena pada kenyataannya hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakangi. Dengan kata lain kalimat-kalimat
yang ada di dalam aturan hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang bersaing.
68
2. Faktor Penegak Hukum.
Penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Yang dimaksud di sini ialah jaksa selaku penuntut umum yang
mempunyai kewenangan terhadap perkara yang ditanganinya ternyata memiliki kelemahan antara lain :
a Kurangnya sosialisasi asas oportunitas.
Banyak jaksa yang hanya mengetahui penyampingan perkara itu adalah kewenangan Jaksa Agung. Sedangkan mengenai arti dari asas oportunitas itu
sendiri mereka tidak mengetahui secara baik dan benar. Hal ini berdampak terhadap perkara yang ditanganinya yaitu apabila dalam satu perkara pidana
68
Moh Mahmud MD, Op.Cit, hal. 70-71.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
terdapat hal-hal yang menyebabkan dapat untuk tidak melakukan penuntutan, akan tetapi karena pengetahuan yang terbatas maka jaksa selalu melakukan
penuntutan walaupun dalam prakteknya mereka sering sekali menemui hal-hal yang sepatutnya tidak perlu untuk menyampingkan perkara pidana tersebut.
Kurangnya sosialisasi asas oportunitas ini juga terlihat dari tidak pernah ada usaha untuk memperkenalkan asas oportunitas ini bagi para jaksa terutama di forum
ilmiah yaitu dalam pendidikan-pendidikan pembentukan jaksa atau dalam pendidikan teknis kejaksaan.
b Adanya pandangan keliru tentang asas pelaksanaan tugas dan wewenang
di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang penuntutan,
kejaksaan berpegang pada asas KEJAKSAAN ADALAH SATU DAN TIDAK TERPISAH-PISAHKAN, maksud dari asas ini agar terpelihara kesatuan
kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat ditampilkan cirri khas dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak aparatur kejaksaan dalam menangani perkara.
Oleh karenanya kegiatan penuntutan, tidak berhenti hanya karena jaksa berhalangan tugas. Artinya tugas penuntutan itu dapat digantikan kepada jaksa
yang lain. Akan tetapi kenyataannya asas ini dijadikan ketidak independennya jaksa dalam melakukan tugas penuntutan. Asas ini selalu dijadikan dasar bahwa
penuntutan yang dilakukan oleh jaksa haruslah meminta pendapat kepada atasannya secara hierarkis. Misalnya jaksa di Kejaksaan Negeri dalam melakukan
penuntutan harus membuat rencana penuntutan dengan meminta pendapat kepada Kejaksaan Tinggi, sementara Kejaksaan Tinggi masih meminta pendapat kepada
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Kejaksaan Agung. Sehingga jaksa tidak sepenuhnya otonom dan independen dalam melaksanakan tugasnya.
c Tidak independennya institusi kejaksaan.
Tidak independennya institusi Kejaksaan RI ini menyangkut independensi institusional dan independent individual. Tidak independensi secara institusional
ini menyangkut masih adanya campur tangan eksekutif dalam kejaksaan, yaitu misalnya saja karena pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan
oleh Presiden sehingga segala bentuk pekerjaan judisial Jaksa Agung selalu harus dikonsultasi kepada presiden. Hal ini berdampak tidak bebasnya Jaksa Agung
dalam melakukan pekerjaanya. Ketidakmandirian Jaksa Agung itu juga berlanjut terus secara hierarkis
kepada jaksa-jaksa di bawahnya. Hal ini terlihat dari tidak adanya independensi individual jaksa dalam melakukan proses penyidikan dan penuntutan. Penyidikan
dan penuntutan ini selalu tergantung kepada atasan.
d Kurang adanya koordinasi antar pejabat peradilan.
Saat ini masih kurang adanya koordinasi antara para aparatur penyelenggara peradilan khususnya antara kepolisian sebagai lembaga penyidik
dan kejaksaan sebagai lembaga penuntutan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penuntutan ialah keberhasilan penyidikan. Lebih lanjut kegagalan
dalam penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan.
69
69
http:www.mahkamahkonstitusi.go.idputusan sidang.php . diakses tanggal 9 Agustus
2010.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Dalam prakteknya apabila penyidik memberitahukan kepada jaksa adanya SPDP sampai penyerahan berkas perkara kepada jaksa untuk diteliti, apabila ada
kekurangan dalam berkas perkara, maka jaksa akan memberikan petunjuk dan mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik untuk dilengkapi.
70
Seringkali penyidik tidak melengkapi dan tidak mengembalikan berkas perkara tersebut
kepada jaksa. Hal inilah yang menghambat jaksa untuk melakukan penyampingan perkara. Praktek yang berlangsung selama ini jaksa tidak mengetahui keberadaan
perkara yang tengah ditangainya karena tidak adanya laporan yang masuk ke Kejaksaan. Hal ini terus berlangsung walaupun jaksa sudah mengirimkan surat
peringatan untuk segera melengkapi petunjuk tersebut. Seharusnya setelah diberikan surat panggilan kedua untuk melengkapi petunjuk tersebut, penyidik
segera memberitahukan perkembangan kasusnya kepada jaksa. Sehingga apabila ternyata perkara tersebut patut dilakukan penyampingan perkara maka jaksa dapat
melakukannya. Sebagai contoh, dahulu di Kejaksaan Negeri Semarang pernah dibentuk
forum kerjasama antara jaksa dan polisi. Dari forum tersebut lahirlah lembaga yang disebut lembaga konsultasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jaksa
Konsultasi. Dengan ketentuan sebagai berikut; juridiksi Kejaksaan Negeri Semarang terbagi menjadi wilayah Semarang Selatan, Barat, Tengah, Utara. Jaksa
Konsultasi ini dipilih oleh Kepala Kejaksaan Negeri untuk menyelesaikan kasus di wilayah tersebut yaitu dengan bekerjasama dengan Polsekta masing-masing
wilayah polisi sebagai penyidik.
71
Sebelum dikeluarkannya SPDP, penyidik
70
KUHAP, Op.Cit, Pasal 138 ayat 1 dan 2.
71
Neva Sari Susanti, 2001, Penyampingan Perkara Pidana Oleh Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis, Program Magister Hukum UNDIP, Semarang, hal. 162. Hal ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan beliau di Kejaksaan Negeri Semarang.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
selalu mengkonsultasikan perkara yang sedang ditanganinya kepada Jaksa Konsultasi. Manfaat dari adanya forum konsultasi jaksa tersebut selain dapat
menyelesaikan kasus-kasus yang tertunggak juga menetapkan layak atau tidaknya perkara ini diteruskan menjadi suatu tindak pidana.
72
Dalam prakteknya saat itu seringkali perkara pidana khususnya perkara yang menyangkut pasal 359 KUHP,
73
umumnya dapat diselesaikan tanpa harus dilakukan penuntutan. Penyelesaian kasus tersebut biasanya dilakukan apabila
kerugian telah terbayar, pelaku mengakui kesalahannya dan bersedia menanggung biaya pengobatan maupun biaya yang ditimbulkan dari perbuatannya itu.
Sedangkan pihak korban sendiri sudah memaafkan dan tidak mempermasalahkan lagi. Jadi penyampingan disini dilakukan oleh polisi penyidik dan jaksa. Akan
tetapi karena pengawasan dan pertanggungjawaban penyelesaian kasus tersebut tidak jelas ditambah dengan adanya oknum yang memanfaatkan bentuk kerja
sama itu, penyelesaian kasus dengan cara konsultasi koordinasi tidak lagi dilakukan seiring dengan bergantinya pimpinan pada masing-masing instansi.
74
C. Upaya-upaya yang Dilakukan dalam Rangka Penyampingan Perkara