b. Sumber Daya Manusia Kejaksaan
Berbicara mengenai sumber daya manusia Kejaksaan, maka seyogyanya pemilihan terhadap SDM Kejaksaan yang baik seharusnya dilakukan sejak awal
penerimaaan perekrutan pegawai. Penerimaan pegawai yang selektif, objektif dan transparan pada setiap keseluruhan tahap penyeleksian pegawai akan
menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal tersebut penting karena untuk memperoleh jaksa yang berkualitas dan bermoral tinggi harus dimulai dari awal
penerimaaan pegawai. Dengan SDM yang berkualitas dan bermoral tinggi diharapkan nantinya apabila calon pegawai tersebut menjadi jaksa maka mereka
akan memiliki integritas yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Kiranya dapat dicatat bahwa menegakkan kebenaran dan keadilan bukan
sekedar menegakkan hukum positif, tetapi harus mempertimbangkan dan senantiasa berorientasi pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan hak
asasi manusia. Untuk itu jaksa selaku penuntut umum dan pengacara negara ditantang untuk tidak hanya memahami dan menerapkan hukum, namun juga
harus trampil mendeteksi dan menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta selalu senantiasa berpegang teguh pada hak asasi manusia.
Yang terpenting lagi ialah diberikannya pelatihan maupun pendidikan bagi para jaksa yang dapat menunjang keprofesionalannya. Bila perlu memberikan
kesempatan bagi jaksa untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, diharapkan dapat merubah cara pandang jaksa dalam menghadapi
permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Sosialisasi asas oportunitas juga dibutuhkan guna meningkatkan
pengetahuan jaksa di bidang penuntutan khususnya untuk diterapkan dalam
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
praktek sehari-hari. Dengan pengetahuan dan pemahaman tentang asas oportunitas ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran jaksa untuk tidak selalu
memaksakan perkara yang ditanganinya untuk dilakukan penuntutan. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan jaksa berlomba membuat angka kridit dari
banyaknya perkara yang dituntut ke pengadilan. Berkaitan dengan peningkatan SDM Kejaksaan maka tidak salah bila kita
mengacu pada Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Peranan Jaksa dalam Kongres PBB ke 6 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para
Pelaku Tindak Pidana tahun 1990, mengenai persyaratan, seleksi dan penataran bagi jaksa, yaitu :
77
Butir 1 : Mereka yang terpilih menjadi jaksa hendaknya mereka yang cakap, dengan memperoleh latihan yang tepat dan persyaratan yang tepat.
Butir 2 : Negara-negara hendaknya menjamin bahwa : a
Kriteria penyaringan untuk jaksa merupakan pencegahan atas pengangkatan yang didasarkan pada sikap berat sebelah dan berprasangka,
dengan mengesampingkan segala diskriminasi atas perseorangan karena alasan-alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
etnis, kekayaan, keturunan, ekonomi atau status lain, tetapi jangan dianggap suatu diskriminasi apabila kewarganegaraan Negara yang
bersangkutan menjadi syarat seorang calon untuk jabatan penuntutan itu; b
Para jaksa mendapatkan pendidikan dan latihan yang tepat dan harus diberikan kesadaran atas tugas-tugas ideal dan etika jabatannya, kesadaran
atas perlindungan hak tersangka dan korban berdasarkan kontitusi maupun
77
RM Surachman dan Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan serta kesadaran atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional maupun hukum
internasional.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai suatu
kewenangan Jaksa Agung untuk meniadakan penuntutan atau tidak menuntut ke muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti
untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong suatu mata rantai
dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatan masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum yang
cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk
melindungi dan membimbing serta turut memberikan bentuk dalam kehidupan masyarakat. Apabila pada saat sekarang ini pranata hukum
yang tumbuh diakui sudah tidak mampu lagi memelihara dan memanifestasikan wujud hakiki hukum, yakni keadilan, kebenaran dan
ketertiban, maka secara sadar pula pranata tersebut dengan sendirinya perlu ditinjau. Jadi secara umum dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tujuan
dari penyampingan perkara deponering pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna
melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar. 2.
Dalam praktek penyampingan perkara pidana di Indonesia ada dua macam yaitu pertama, penghentian penuntutan karena alasan teknis, yang
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara