BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Indonesia memang tidak ada habis-habisnya diterpa banjir. Hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang tidak pernah mengalaminya. Mulai dari banjir Aceh Tenggara, Aceh
Utara, dan Aceh Tamiang untuk wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, banjir Ibu Kota Jakarta untuk wilayah pulau Jawa, sampai kepada banjir Wasior dan Kota Sarmi
Papua. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB tahun 2010, dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1979 – 2009 tercatat sebanyak 2.509 kejadian banjir
melanda Indonesia. Dari angka ini berarti rata-rata kejadian pertahun adalah sebanyak 83,6 kejadian, atau 6,9 kejadian perbulan, atau 1,7 kejadian setiap minggunya. Sungguh
merupakan fakta yang memprihatinkan. Bayangkan saja dalam setiap minggunya selama 30 tahun setidaknya satu kali terjadi banjir di Indonesia. Waktu 30 tahun bukanlah
merupakan waktu yang singkat. Bahkan lebih lama dari penjajahan Jepang di Indonesia. Lalu akan seperti apa nantinya cerita banjir di negeri ini untuk 30 tahun kedepan.
Akan lebih baik atau malah lebih parah dari 30 tahun sebelumnya. Siapapun tidak menginginkan dalam setiap minggunya harus berhadapan dengan banjir. Apalagi kekuatan
banjir yang terjadi mampu merenggut korban jiwa. Pemerintah 1979-2009 mungkin sudah mengupayakan segala cara untuk menangani banjir yang terjadi. Tetapi sampai saat
ini penanganan banjir di negara ini masih saja tergolong lamban, dan sistem yang dipakai di daerah-daerah secara nasional juga belum seragam. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia belum satu pemahaman memandang bencana banjir. Sebenarnya sejak tahun 2005, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum yang
mengatur penanggulangan bencana, yaitu Peraturan Presiden No. 83 2005. Peraturan ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dikeluarkan pada tanggal 29 Desember 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Dan lembaga yang ditunjuk dalam peraturan ini adalah Badan Kordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana BAKORNAS-PB. Kemudian berselang dua tahun, yaitu pada tahun 2007, di keluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, tepatnya tanggal 26 April 2007, dari Undang-Undang ini BAKORNAS-PB berubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB. Segenap perangkat
hukum ini menjadi sebuah sandaran harapan demi tercapainya bangunan sistem penanganan banjir yang baik dan mendidik. Tapi perlu menjadi catatan adalah peraturan
perundang-undangan yang dibuat haruslah dipahami oleh seluruh elemen negara, termasuk masyarakat sipil agar peraturan perundang-undangan yang ada tidak hanya menjadi simbol
hukum semata. Selanjutnya bagaimana membangun dan melibatkan peran serta masyarakat, terutama
yang berpotensi menjadi korban banjir, sehingga nantinya akan membantu dalam proses penanggulangan banjir yang terjadi. Dalam upaya membangun dan melibatkan peran serta
masyarakat tersebut, maka pemerintah seyogyanya terlebih dahulu mengenal masyarakatnya. Seperti apa pandangan masyarakat terhadap banjir. Apakah mereka
mengetahui dan memahami proses penanggulangan banjir, atau ternyata masyarakat Indonesia tergolong masyarakat yang pasrah terhadap banjir. Jika seperti ini, maka
lengkaplah penderitaan negara. Masyarakat pasrah, pemerintahpun tidak berdaya. Jadi perlulah dibangun kesinambungan antara pemerinatah dan masyarakat dalam penanganan
banjir, baik di daerah maupun pusat. Kesinambungan ini pastinya akan menjadi sebuah kekuatan kolektif negara dalam penanganan banjir secara nasional, sehingga dapat
menekan kerugian materil ataupun non-materil dan bahkan angka korban jiwa. Begitu kompleks kerugian yang disebabkan oleh banjir. Dari aspek ekonomi, banjir
menyebabkan hilangnya harta benda. Aspek sosial, banjir menyebabkan hilangnya mata
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pencaharian. Aspek kesehatan, banjir menyebabkan datangnya banyak penyakit. Aspek pendidikan, banjir menyebabkan terganggunya aktivitas sekolah. Aspek lingkungan, banjir
menyebabkan rusaknya tata guna lahan. Aspek psikologis, banjir menimbulkan trauma bagi para korbannya. Dan aspek kemanusiaan, dimana banjir mampu menimbulkan korban
jiwa. Seperti telah disampaikan di atas, hampir seluruh daerah atau wilayah di Indonesia
pernah dilanda banjir. Salah satu dari daerah tersebut adalah Kota Medan. Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Kota yang berpenduduk 2.121.053 jiwa
dengan kepadatan penduduk 8.001 jiwakm
2
dan luas 26.510 Ha ini dilalui oleh empat sungai besar, yaitu Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, dan Sei Denai BPS Kota Medan,
2009. Melihat kepadatan penduduk di Kota Medan, sangat memungkinkan terjadinya penggunaan dan penyerobotan lahan-lahan kosong untuk membangun tempat tinggal atau
pemukiman liar atau tidak berizin. Lahan-lahan kosong tersebut pada hakikatnya adalah zona bebas bangunan, atau dengan kata lain zona yang diatasnya dilarang mendirikan
bangunan. Di antara zona tersebut adalah bantaran sungai dan bantaran rel kereta api. Dalam kaitannya dengan banjir adalah bantaran sungai. Salah satu bantaran sungai yang
telah berubah fungsi, yaitu dari zona Daerah Aliran Sungai DAS menjadi pemukiman adalah sungai Babura. Dikarenakan perubahan fungsi lahan tersebut, yang mana
mengakibatkan rusaknya Daerah Aliran Sungai DAS, Sungai Babura menjadi langganan banjir pada saat curah hujan tinggi.
Salah satu wilayah yang dilalui Sungai Babura dan merupakan langganan banjir adalah Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Medan.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Lingkungan tersebut pada pra penelitian, masyarakat yang tinggal di lingkungan ini pada umumnya tergolong kelas sosial
menengah kebawah. Banjir bagi masyarakat tersebut bukanlah hal baru. Banjir tidak bisa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dipisahkan dari kehidupan mereka, karena memang daerah tempat tinggal mereka merupakan daerah rawan banjir dari luapan Sungai Babura. Mereka mengetahui hujan
lebat akan memungkinkan terjadinya banjir. Tapi tidak ada hal-hal yang dipersiapkan masyarakat berkenaan dengan hal itu. Ketika terjadi banjir, penanganan yang dilakukan
masyarakat tersebut bisa dibilang tidak beraturan dan terkesan dadakan. Misalnya tidak ada koordinasi sesama masyarakat. Semua dilakukan secara alamiah saja.
Setiap manusia secara alamiah pasti akan berusaha mempertahankan diri dari ancaman bahaya apapun. Begitu juga dengan masyarakat bantaran Sungai Babura
Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan terhadap banjir. Mereka secara alamiah dan naluri bertahan hidup pasti akan berusaha menyelamatkan diri, keluarga dan harta benda
ketika banjir datang menghampiri. Namun tindakan masyarakat yang bersifat alamiah ini tentu tidak bisa menjamin dapat mengurangi dampak banjir, karena bersifat spontan.
Tindakan yang berdasarkan pemahaman yang baik akan lebih berpengaruh terhadap pengurangan dampak banjir, karena ada proses pendidikan yang terkandung di dalamnya.
Sistem penanggulangan banjir tidak akan berarti apa-apa jika pemahaman dan kesadaran masyarakat akan banjir tidak terbangun. Oleh karenanya sebagai langkah awal untuk
membangun pola pikir yang baik tentang penanganan banjir di masyarakat tersebut, maka perlu untuk diketahui dan didalami terlebih dahulu pemahaman masyarakat akan banjir.
1.2. Perumusan Masalah.