Data Identitas Informan. Hasil Wawancara.

BAB V ANALISIS DATA

5.1. Data Identitas Informan.

Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang dan merupakan informan kunci. Penentuan informan dibantu dengan informasi yang diberikan oleh kepala lingkungan. Dari empat orang tersebut dua orang merupakan penduduk asli lingkungan I, yaitu Pak Parmin dan Bang Ujang. Sedangkan dua lainnya adalah pendatang, yaitu Pak Amiruddin dan Pak Dirman. Namun mereka berdua sudah tinggal lebih dari 20 tahun. Waktu yang cukup lama untuk pendatang. Pak Amiruddin sudah tinggal selama 36 tahun. Dan Pak Dirman selama 23 tahun. Tidak ada unsur kesengajaan apakah informan adalah penduduk asli atau pandatang. Hal tersebut diketahui setelah wawancara dilakukan. Data lengkap informan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Nama : Amiruddin. Usia : 63 tahun. Suku : Pakistan. Agama : Islam. Jumlah anak : 4 orang. Pendidikan terakhir : S1 Keperawatan. Pekerjaan : Pensiunan PNS. Lama Tinggal : 36 tahun. 2. Nama : Kadirman. Usia : 49 tahun. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Suku : Batak Mandailing. Agama : Islam. Jumlah anak : 6 orang. Pendidikan terakhir : SD Pekerjaan : Pedagang. Lama Tinggal : 23 tahun 3. Nama : Suparmin. Usia : 49 tahun. Suku : Jawa. Agama : Islam. Jumlah anak : 3 orang. Pendidikan terakhir : S1 Ekonomi. Pekerjaan : Pengurus Yayasan dan Travel Guide. 4. Nama : Wido Darmawanto. Usia : 41 tahun. Suku : Jawa. Agama : Islam. Jumlah anak : 2 orang. Pendidikan terakhir : S1 Pertanian Teknologi Pertanian. Pekerjaan : Teknisi lisktrik di perusahaan kontruksi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.2. Hasil Wawancara.

5.2.1. Informan Kunci Pertama Amiruddin. Wawancara dengan Pak Amiruddin dilakukan di rumahnya di Jl. Dipanegara Kelurahan Padang Bulan pada hari Minggu malam tanggal 16 Desember 2012 dari pukul 19:45 sampai dengan pukul 21:53 wib. Pak Amiruddin adalah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil PNS dari Dinas Kesehatan Kota Medan. Beliau tergolong pria lanjut usia dengan usia 63 tahun, namun masih produktif. Beliau pensiun sejak tahun 2006. Saat ini aktivitasnya di masa pensiun adalah membuka praktek mantri kecil-kecilan di depan rumahnya. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana Ilmu Keperawatan. Pak Amiruddin memiliki seorang istri dan 4 orang anak serta 7 orang cucu. Beliau tinggal dirumah gedong permanen dua tingkat milik sendiri bersama istrinya. Namun 1 orang anak dan 1 orang cucunya masih ikut tinggal bersamanya. Tinggal di lingkungan I sejak tahun 1976, artinya sudah 36 tahun dia dan keluarga tinggal di lingkungan tersebut. Jarak rumah Pak Amiruddin dengan sungai Babura cukup dekat, yaitu sekitar 20 meter. Ketika ditanya apakah keadaan tersebut dapat menimbulkan resiko dan seperti apa resikonya, beliau menjawab sebagai berikut : “Resiko itu pasti ada, namanya juga tinggal dekat sungai. Banjir tiap waktu mengancam. Di tambah lagi rumah kami ini tergolong dibawah. Bisa dibilang sejajar sama bibir sungai. Jadi kalau air sungai meluap, yang dibawah-bawah ini duluan kenak, kalau yang di atas, tergantung luapannya. Kalau besar mereka kenak, tapi kalau enggak, ya enggak.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Memang benar, kontur tanah Lingkungan I bisa dibilang terbagi dua. Yang pertama yang sejajar dengan bibir sungai, dan ini sebenarnya merupakan bagian dari bantaran sungai yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan apapun, kecuali untuk kepentingan tata ruang. Yang kedua kontur tanah agak naik. Tapi tetap saja beresiko terkena banjir, kecuali yang dekat dengan jalan raya yang konturnya jauh lebih tinggi. Pak Amiruddin menyadari dan memahami rumahnya berada di kontur bawah dan rentan dengan resiko atau ancaman banjir. Karenanya beliau membangun rumahnya dua tingkat, sehingga ketika terjadi banjir, dia bisa mengevakuasi keluarga dan barang-barangnya ke lantai atas. Tapi kebanyakan masyarakat lingkungan I yang lain tidak seberuntung Pak Amiruddin yang mampu membangun rumah dua tingkat. Mereka tidak memiliki uang lebih, bahkan karena memang mengontrak. Tidak hanya menyadari banjir menjadi resiko dari keberadaan rumahnnya yang dekat dengan sungai, Pak Amiruddin juga mengetahui dampak dari banjir tersebut, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalau saya melihat ada tiga dampak utama dari banjir. Yang pertama, merusak dan bahkan menghancurkan fisik bangunan rumah. Yang kedua, melumpuhkan aktifitas ekonomi, karena pas banjir kita ga bisa kerja apa-apa, habis banjir surutpun kita masih harus membersihkan rumah dan membereskan barang-barang. Yang ketiga, kesehatan, karena pasti banyak penyakit yang datang kalau banjir. Macamlah, setidaknya penyakit kulit.” Dari penuturannya di atas, terdapat tiga garis besar dampak utama dari banjir. Pertama, rumah. Kedua, pekerjaan. Dan yang ketiga, kesehatan. Rumah, sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai tempat tinggal, berlindung, ruang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berinteraksi keluarga, serta membangun keberlangsungan hidup, dinilai Pak Amiruddin menjadi hal utama dampak dari banjir. Ketika rumah dihantam banjir, maka setidaknya penghuni telah kehilangan empat hal dari rumah mereka. Mulai dari kehilangan tempat tinggal, sehingga tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Tidak bisa berlindung, baik itu dari cuaca seperti panas dan hujan, ancaman tindak kejahatan seperti pencurian dan pembunuhan, atau mungkin ancaman serangan binatang berbisa seperti ular. Kemudian terganggunya proses interaksi dalam keluarga. Karena sangat kecil kemungkinan interaksi keluarga dapat terbangun maksimal dalam keadaan rumah sedang tidak bisa ditempati. Terakhir adalah terganggunya proses keberlangsungan hidup mereka. Ketika pekerjaan menjadi tertinggalkan untuk beberapa hari karena mengungsi dan mungkin memberes- bereskan rumah, maka ketika itu pula penghasilan harian menjadi hilang. Ketika makan, minum, tidur, serta MCK mandi, cuci dan kakus menjadi sangat sulit dan berada pada ketidakjelasan, besertanya pula beragam jenis penyakit menguntit dan mulai menjangkiti. Sejauh ini berdasarkan ingatannya, rumah Pak Amiruddin telah dua kali dilanda banjir besar. Sedangkan banjir kecil tidak terhingga jumlah kejadiannya. Sebagaimana diungkapkannya sebagai berikut : “Seingat saya, kita terkena banjir paling besar tu dua kali, tahun 2011 sama 2001. Waktu itu lantai satu terendam habis, kita ngungsi ke lantai dua semua. Tapi kalau banjir kecilnya nggak terhitung berapa kali.” Sejak tinggal di Lingkungan I pada tahun 1976, rumah Pak Amiruddin memang sudah dilanda banjir. Bahkan sebelum ia tinggal di lingkungan tersebutpun banjir memang sudah sering kali terjadi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setiap kali terjadi banjir, Pak Amiruddin selalu dalam keadaan sadar atau tidak sedang tidur. Hal ini dikarenakan memang beliau melihat tanda-tanda banjir akan datang. Oleh karenanya beliau bisa mengevakuasi keluarga dan barang- barangnya terlebih dahulu sebelum banjir benar-benar datang. Seperti penuturannya : “Kalau mau banjir tu biasanya banyak sampah-sampah yang hanyut dibawa sungai, terus arusnya agak kencang, ditambah lagi debit air yang pelan- pelan naik dari debit normal. Kan kita tau tu debit normal sungai tu batasnya semana. Jadi kalau debitnya terus naik, bisa dipastikan banjir. Selain itu kalau hujan turun terus-menerus sampe dua hari lebih, biasanya pasti banjir. Apalagi kalau ada informasi di gunung juga hujan lebat. Tau bakal banjir, kita pindahkanlah barang-barang ke lantai atas. Kalau kita lihat banjir bakal besar, ngungsi ke tempat keluargalah. Tapi kalau nggak, kita bertahan dirumah aja, karena satu hari biasanya surut.” Pak Amiruddin benar-benar mengerti bagaimana banjir dari luapan sungai Babura akan datang. Dan dengan beberapa tanda banjir tersebut akan datang, beliau juga tahu harus segera bertindak seperti apa agar dapat meminimalisir dampak dari banjir tersebut, baik itu kerusakan pada barang-barang yang dimilikinya ataupun terserang macam penyakit. Menurut Pak Amiruddin permasalahan banjir luapan sungai Babura di Lingkungan I adalah permasalahan yang kompleks. Bagi beliau hujan bukanlah penyebab terjadinya banjir. Beliau mengatakan bahwa hujan merupakan kodrat alamiah yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Hanya saja bagaimana manusia bisa UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bijak dengan turunnya hujan tersebut, dan bukan menilai bahwa hujan yang turun akan menyebabkan banjir. Ada beberapa faktor menurut beliau yang menjadi satu kesatuan yang menyebabkan banjir, yaitu penebangan hutan di hulu, penyempitan sungai karena pemukiman, pembuangan sampah ke sungai, dan tidak ada atau tidak teraturnya pohon penyangga di bantaran sungai. Berikut penuturannya : “Saya melihat ada empat faktor yang menyebabkannya. Satu, aliran sungai terlampau kecil. Hal ini dikarenakan pemukiman-pemukiman yang secara perlahan menjorok ke sungai. Dua, adanya penebangan hutan di atas gunung. Tiga, membuang sampah ke sungai. Dan keempat, pohon-pohon dipinggir sungai tu nggak teratur. Malah kebanyakan nggak ada pohonnya. Yang empat-empat ini kan faktor manusia semua. Kalau aliran sungai tu normal, bentuk aslinya nggak terganggu, mau hujan kayak manapun, nggak akan banjir dia. Paling meluap ke bantaran, dan itu kan wajar.” Dari penuturannya, Pak Amiruddin cukup mengerti apa yang menjadi faktor banjir itu terjadi. Pemukiman bantaran sungai, penebangan hutan di hulu, pembuangan sampah ke sungai, dan pohon-pohon penyangga di bantaran sungai, keempat faktor tersebut menjadi satu kesatuan kolektif faktor penyebab terjadinya banjir. Pemukiman bantaran sungai mengartikan bahwa tidak adanya pengelolaan tata ruang dan pengawasan yang baik oleh pemerintah terhadap bantaran sungai serta tidak adanya ketaatan hukum masyarakat dalam membangun hunian atau tempat tinggal di bantaran sungai. Hal ini mengakibatkan sungai tidak lagi memiliki bantaran sebagai ruang luapan. Ketika debit air naik, dimana sebelumnya sudah terjadi penyempitan, maka sungai tidak akan dapat lagi menampung air UNIVERSITAS SUMATERA UTARA secara maksimal. Penebangan hutan mengartikan bahwa pemeliharaan, pengawasan serta pemanfaatan hutan sebagai penyangga utama kekuatan tanah di pegunungan yang mana berpengaruh terhadap normal tidaknya aliran sungai dari hulu ke hilir, tidak dilakukan secara bertanggung jawab. Jadi ketika terjadi hujan dalam intensitas tinggi, maka hal ini mengakibatkan laju arus sungai berubah naik dari keadaan normal dan mempercepat laju arus dari hulu ke hilir. Dalam kondisi debit air tinggi, maka akan terjadi banjir kiriman dari hulu ke hilir. Pembuangan sampah ke sungai mengartikan bahwa hilangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian sungai sebagai bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan. Dan ketika keseimbangan ekologi sungai rusak, maka justru masyarakat sekitarnya yang akan mendapat imbas negatif. Pohon-pohon di bantaran sungai mengartikan bahwa keberadaannya sebagai penyangga kondisi tanah di bantaran menjadi faktor penting agar badan sungai tidak amblas, sehinggga dapat membentengi banjir. Dengan apa yang dimengerti Pak Amiruddin tentang banjir, dia sama sekali tidak pernah mendapat pelatihan atau penyuluhan tentang bencana atau banjir, bahkan tidak juga di tempat kerjanya sebelum pensiun. Beliau mengerti secara alamiah saja. Semua itu terjadi karena rumah Pak Amiruddin terbiasa dilanda banjir, sehingga dari waktu ke waktu beliau mengerti beragam hal tentang banjir. Beliau juga tidak memiliki buku atau modul khusus tentang bencana atau banjir untuk dibaca. Membaca berita bencana dari surat kabarpun tergolong sangat jarang. Berikut penuturan-penuturannya : “Saya nggak punya buku kayak gitu bencana, tapi saya pernah baca dari buku anak sekolah punya cucu saya. Kalau baca beritanya jarang kalipun, paling ada sekali dua kali setahun, tapi kalau lihat di TV agak sering.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Saya nggak pernah dapat penyuluhan, di kantorpun enggak.” Selain itu beliau juga tidak pernah membicarakan, mendiskusikan atau mengevaluasi banijir secara khusus sesama warga. Beliau mengungkapkan : “Nggak ada diskusi-diskusi kayak gitu disini, apalagi evaluasinya. Habis banjir surut ya uda kita beres-beres rumah masing-masing. Paling ngomong- ngomong sekedarnya aja.” Pak Amiruddin bisa saja dengan sendirinya mengerti bagaimana persoalan banjir. Tapi dengan tidak pernah adanya penyuluhan yang didapat atau pelatihan yang cukup terorganisir, membuat hal ini menjadi berbanding lurus dengan realita negatif dimana tidak adanya suatu kegiatan bersama sebagai upaya menanggulangi banjir yang dilakukan secara terorganisir. Seperti penuturan di atas, dimana beliau begitu juga warga yang lain hanya mengurusi urusan masing-masing. Mereka tidak melihat bahwasanya banjir atau bencana adalah suatu musibah yang harus ditangani bersama atau secara kolektif. Kemudian terdapat suatu keadaan yang bertolak belakang dimana Pak Amiruddin melihat bahwasanya membuang sampah ke sungai merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banjir. Namun ternyata dalam tindakannya, tidak ada satu upayapun yang dilakukan beliau yang dimaksudkan menjaga ekologi sungai agar dapat menekan resiko banjir. Malah sebaliknya, melakukan tindakan yang memperbesar resiko banjir tersebut. Sampah rumah tangganya setiap harinya dibuang ke sungai. Berikut pernyataan beliau : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Secara jujur saya katakan sampah kami selalu kami buang ke sungai.” Beliau beralasan : “Yang pertama mudah, terus membuangnya dekat, nggak jauh-jauh, nggak ngotori rumah, karena langsung dibawa arus. Baru karena fasilitas tong sampah sama pengutipan rutin nggak ada.” Perihal di atas menggambarkan suatu keadaan yang ironis dan sangat disayangkan terjadi. Pak Amiruddin yang cukup paham tentang banjir dan telah menyadari dampak dan resikonya bukan melakukan upaya untuk menekan resiko melainkan malah memperbesar resiko banjir tersebut. Melihat latar belakang pendidikannya yang cukup baik, ditambah lagi beliau adalah seorang pensiunan pegawai pemerintahan, ternyata tidak berpengaruh kepada terbentuknya mental dan perilaku sadar bencana pada dirinya. Untuk tindakan pencegahan yang kecil saja Pak Amiruddin tidak dapat melakukannya, apalagi kepada suatu tindakan yang sifatnya teroganisir, dapat diperkirakan akan semakin sulit untuk terwujud. Hal ini tentu menjadi sulit dipercaya dan cukup mengelabui logika. Sebuah potret realita bencana di dalam sudut pandang masyarakat. Menginginkan sebuah harapan, di dukung pengetahuan yang cukup, namun entah karena keluguan berpikir, justru membangun tindakan-tindakan yang menjauhkan harapannya sendiri. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5.2.2. Informan Kunci Kedua Kadirman. Wawancara dengan Pak Dirman dilakukan di rumahnya di Jl. Dipanegara Kelurahan Padang Bulan pada hari Senin malam tanggal 17 Desember 2012 dari pukul 20:07 sampai dengan pukul 21:50 wib. Pak Dirman, begitu dia disebut, adalah seorang pedagang jajanan sekolah Dia berjualan di sekolah Harapan. Pekerjaannya itu ia lakoni sejak pertama kali merantau ke Medan pada tahun 1984, dan pada saat itu ia masih lajang. Usianya saat ini adalah 49 tahun. Dia memiliki satu orang istri dan 6 orang anak. Istrinya sendiri adalah seorang ibu rumah tangga. Walaupun hanya seorang pedagang, Pak Dirman bisa dibilang sangat gigih dalam menyekolahkan anak-anaknya. 2 orang anaknya duduk di bangku kuliah, 1 orang di SMU, dan 2 orang di SMP, dan 1 orang SD. Pak Dirman tinggal di Lingkungan I sejak tahun 1989. Rumahnya benar- benar berada di bantaran sungai Babura. Untuk mensiasati hal itu, Pak Dirman membangun rumah jenis rumah panggung yang memiliki banyak pasak. Sebenarnya Pak Dirman menyadari resiko tinggal dekat sungai. Dia mengungkapkan : “Karna persoalan duit ajanya ini dek. Sadar kali lah kita, bahaya kalau tinggal di pinggir sungai. Tau lah kalau udah banjir ini, habis semua barang- barang kita. Sebenarnya saya juga lagi ngumpul uang, Cuma sementara ni untuk sekolah anak-anak dulu lah.” Pak Dirman tidak memungkiri tinggal di pinggir sungai dapat membahayakan diri dan keluarganya. Ia pun sebenarnya berpikir suatu saat harus pindah rumah. Tapi karena demi memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terlebih dulu, untuk sementara dia mengurungkan niatnya itu. Banyak biaya yang harus disiapkannya jika harus pindah rumah. Sedangkan dengan rumah yang ia dan keluarga tempati saat ini, ia tidak perlu mengeluarkan biaya besar, karena memang rumah tersebut adalah miliknya sendiri dengan sertifikat SK Camat. Meski sampai saat ini ia dan keluarga masih tinggal di bantaran sungai Babura, tidak berarti pula mereka pasrah terhadap banjir yang setiap saat bisa melanda. Setelah kurang lebih 23 tahun tinggal di Lingkungan I, Pak Dirman cukup mengenali banjir yang bisa menerpanya. Misalnya tanda-tanda banjir akan datang. Ia menuturkan : “Tanda banjir mau datang tu mendung di arah gunung sana. Terus hujan nggak berhenti sampai empat jam lebih. Debit air sungai naik, terus airnya betul- betul keruh.” Selama 23 tahun bertempat tinggal, tidak terhitung berapa kali rumah Pak Dirman dihantam banjir. Dia mengingat ada tiga kali terjadi banjir besar. “Udah nggak terhitung lagi berapa kali banjir di sini, tapi yang saya ingat banjir besarnya ada tiga kali.” Hal ini menjelaskan bahwa Lingkungan I benar-benar daerah langganan banjir. Ketika di tanya apa yang menyebabkan banjir tersebut, Pak dirman mengatakan : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Ada bebera penyebabnya menurut saya. Hujan deras nggak berhenti- berhenti. Terus membuang sampah ke sungai, lama-lama kan sungai tu jadi dangkal dan sempit. Alhasil daya tampungnya jadi kecil, jadi gampang meluap dia. Terus lagi banyak penebangan hutan di atas. Di sini tu banjirnya banjir kiriman dari gunung. Jadi penebangan hutan di atas betul-betul berdampak ke sini.” Pak dirman melihat ada tiga faktor penyebab banjir. Satu faktor alam, yaitu hujan yang berkepanjangan. Dan dua faktor manusia, yaitu aktivitas membuang sampah ke sungai dan penebangan hutan di daerah dataran tinggi. Dalam kasus ini berarti penebangan hutan di dataran tinggi Karo. Penjelasan lebih dalam dari tiga faktor ini, Pak Dirman menuturkan : “Hujan tu kan udah kodrat alam, nggak bisa kita nentukan kapan hujan kapan enggak, cuma nggak pasrah juga. Hujan turun, airnya ngalir, ya kita kasih lah jalan untuk air tu ngalir lancar, kayak di sungai. Sungai kan sebetulnya kalau bentuk aslinya nggak berubah, nggak adanya kendala airnya ngalir dari gunung sampe ke laut sana. Tapi karena beragam ulah manusia ni, kayak buang sampah kesungai. Sungai tu lama-lama dangkal, karena sampahnya mengendap. Terus jadi sempit juga, karena banyak sampah-sampah yang menyangkut di pohon-pohon di pinggir sungai, nggak semuanya terbawa arus. Baru ditambah lagi penebangan hutan di gunung. Karena pohon-pohonnya tinggal sikit, jadi kalau hujan, cepat kali air dari gunung tu sampe ke sini.” Setelah bertahun-tahun tinggal di bantaran sungai dan terus dilanda banjir, membuat Pak Dirman begitu mengenali banjir yang biasa datang. Tiga faktor, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA hujan deras, membuang sampah ke sungai, dan penebangan hutan di gunung, dinilainya menjadi faktor utama yang menyebabkan banjir di Lingkungan I. Apalagi menurutnya banjir yang biasa terjadi di Lingkungan I adalah banjir kiriman dari daerah gunung. Sehingga penebangan hutan yang terjadi di daerah gunung, serta pendangkalan dan penyempitan sungai, akan mudah terakumulasi menjadi banjir ketika hujan di daerah hulu turun dengan intensitas tingggi. Apa yang disampaikan Pak Dirman di atas baiknya adalah fakta dimana ia membangun budaya yang mendidik bagi keluarganya, yaitu tidak membuang sampah ke sungai, melainkan membakarnya. Hal ini tentu sejalan dengan upaya menekan resiko terjadinya banjir jika melihat tiga faktor yang menurutnya menjadi penyebab banjir tersebut. Berikut pernyataannya : “Sampah nggak kita buang ke sungai. Semua kita bakar. Kalaupun ada sampah basah dan nggak bisa dibakar, kita buang ke depan. Dibawa pas saya mau pergi jualan.” Tidak hanya itu, Pak Dirman juga pernah menanam beberapa pohon seperti bambu dan pisang agar bantaran sungai tidak amblas dan kemudian membahayakan rumahnya. “Kita nanam pohon-pohon juga di sekitar pinggir sungai ini, kayak bambu sama pisang. Ini supaya tanah pinggir sungai nggak gampang roboh. Kalau roboh, pelan-pelan habis rumah kita nanti.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penuturan di atas menunjukkan bahwa pak Dirman benar-benar tidak menganggap remeh persoalan banjir. Mengetahui faktor-faktor penyebab banjir, selanjutnya iapun berpikir untuk melakukan sesuatu yang mungkin dapat mengatasi penyebab-penyebab banjir tersebut. Ia membangun budaya tidak membuang sampah ke sungai kepada keluarganya, begitu juga menanam beberapa pohon yang berfungsi menahan bantaran. Hendaknya apa yang dimengerti dan apa yang telah dilakukan oleh Pak Dirman dapat menjadi modal bagi pemerintah dalam membangun serta meningkatkan paradigma dan wawasan kebencanaan yang lebih baik di masyrakat. Wawasan masyarakat tentang bencana tidak menjamin masyarakat tersebut benar- benar siap menghadapai bencana. Sehingga perlu suatu konsep yang teroganisir dengan baik untuk memajukan pola pikir masyarakat akan bencana, khususnya banjir. Seperti halnya masyarakat Lingkungan I yang tinggal di bantaran Sungai Babura. Apalagi mereka tidak pernah mendapatkan suatu pendidikan atau penyuluhan yang berhubungan dengan bencana. Sebagaimana Pak Dirman menuturkan : “Sejak saya tinggal di sini, seingat saya nggak pernah ada penyuluhan- penyuluhan ataupun sejenisnya. Pejabatnyapun nggak ada datang. Paling pas banjir aja.” Bahkan lembaga negara yang menangani banjir seperti Badan Nasional Penanggulangan Banjir BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD, atau lembaga penyelamatan Badan Search and Rescue Nasional BASARNAS dia juga tidak tahu. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Nggak tau saya lembaga itu. Lembaga apa rupanya itu.” Ia juga menambahkan : “Nggak pernah ada yang ngasih tau kita soal lembaga itu. Mungkinpun orang-orang di sini nggak ada yang tau. Kalaupun ada paling satu- dua orang.” Selain tidak adanya suatu pendidikan atau penyuluhan yang di dapat, dan walaupun dengan apa yang telah dilakukannya yang menunjukkan ia cukup mengerti persoalan banjir, Pak Dirman sama sekali tidak pernah mempelajari apapun yang berkaitan dengan banjir dari sumber bacaan tertentu, baik itu dari buku, majalah ataupun artikel . Ini berarti apa yang dimengertinya hanyalah karena proses alamiah yang berulang-ulang dimana ia dan keluarganya terus menerus dilanda banjir, sehingga akhirnya secara tidak langsung iapun menjadi cukup mengerti dan mengenali banjir tersebut. Sebagaimana diungkapkannya : Saya nggak pernah baca buku bencana gitu. Memang nggak ada tepikirkan ke situ. Selama ini ya ngerti-ngerti gitu aja” Sungguh suatu hal yang sangat disayangkan. Tidak pernah ada sekalipun penyuluhan atau apapun itu yang sifatnya memberi pemahaman tentang bencana khusunya banjir di lingkungan I sehingga menjadikannya terorganisir. Pantas saja Pak Dirman atau mungkin juga masyarakat Lingkungan I lainnya tidak pernah terlibat secara kolektif dalam kegiatan terkonsep dalam menanggulangi banjir, ataupun mengetahui lembaga BNPB, BPBD, atau BASARNAS. Lembaganya saja ia tidak tahu, konon lagi bicara tentang sistem manajemen bencana yang dibangun UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lembaga tersebut. Setidak-tidaknya pada tahap pra bencana yang terdiri dari kesiagaan, peringatan dini, dan mitigasi atau pencegahan masyarakat bisa memahami sehingga akhirnya bisa memberi peran. Sepertinya pemerintah menutup mata akan hal ini dan memungkiri bahwa bencana adalah permasalahan kompleks yang tidak bisa lepas dari perlunya peran besar masyarakat. Secara ideal dalam menanggulangi banjir, haruslah terbangun suatu sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat. Dalam pengorganisirannya, semua bermulai dari pemerintah. Pemerintah harus peka melihat daerah-daerah potensi banjir, berikut membangun pemahaman atau pola pikir masyarakatnya terhadap banjir tersebut. 5.2.3. Informan Kunci Ketiga Suparmin. Wawancara dengan pak Parmin dilakukan di rumahnya di Jl. Dipanegara Kelurahan Padang Bulan pada hari Rabu malam tanggal 19 Desember 2012 dari pukul 20:37 sampai dengan pukul 23:05 wib. Pak Parmin adalah seorang kepala keluarga dari satu orang istri dan tiga orang anak. Dia berusia 49 tahun dan saat ini bekerja sebagai pengurus yayasan di Sekolah Nurhasanah di Kelurahan Padang Bulan. Cukup berpendidikan dengan pendidikan terakhir Strata 1 Ekonomi. Selain bekerja sebagai pengurus yayasan, Pak Parmin juga memiliki pekerjaan sampingan, yaitu biro jasa perjalanan atau biasa juga disebut agen travel. Pak Parmin merupakan penduduk asli Lingkungan I. Dia tumbuh besar di lingkungan tersebut. Namun pada masa SMA ia merantau ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di sana sampai pada tingkat perguruan tinggi. Pada tahun 1992 ia kembali ke Medan, selanjutnya berkeluarga dan menetap sampai sekarang. Ia dan keluarga tinggal di rumah milik sendiri, warisan dari orang tuanya. Rumah Pak Parmin berada tepat di depan rumah Pak Amiruddin, artinya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA jarak rumahnya dengan Sungai Babura kurang lebih sama, yaitu sekitar 20 meter. Hanya saja jika rumah Pak Amiruddin berada pada kontur bawah, sedangkan rumah Pak Parmin berada pada kontur atas. Dengan bergitu resiko rumah Pak Parmin diterpa banjir akan relatif lebih kecil dibandingkan rumah Pak Amiruddin. Namun hal tersebut tidaklah begitu signifikan karena selisih ketinggian konturnya hanya sekitar setengah meter saja. Kecuali jika banjir yang datang tergolong besar, maka rumah Pak Parmin juga akan kena. Dia mengungkapkan : “Kalau posisi kita ni, banjirnya jarang, cemana ya, artinya kita jarang kenak. Cuma sampe depan teras aja. Kita kenaknya bisa lima tahun sekali. Banjir besar tu dia siklus 10 tahunan sekali. Posisi kita bisa dibilang termasuk tinggi. Resiko tu ada, tapi kecil. Karena posisi tapak rumah kita lebih tinggi seperti ini, resiko nggak begitu jadi ganjalan.” Pak Parmin berpikir rumahnya beresiko diterpa banjir tergantung pada besar kecilnya banjir yang datang. Banjir kecil atau sedang hanya menggenangi teras rumahnya saja. Hanya jika banjir besar barulah rumahnya tenggelam setinggi satu sampai dua meter. Seperti yang disampaikannya di atas, hanya dalam kurun waktu lima tahun sekali rumahnya akan benar-benar dihantam banjir. Sejauh ini rumah Pak Parmin telah dua kali dihantam banjir besar. “Ada dua kalilah kami kenak banjir besar, yang paling saya ingat tahun 2011 lalu. Waktu itu air hampir dua meteran kalau dari lantai rumah saya. Selebihnya banjir sedang aja.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dari beberapa kali terjadinya banjir tersebut, cukup banyak kerugian yang dialami oleh Pak Parmin dan keluarga. Kerugian yang dialami tidak hanya dalam bentuk materi, namun juga kerugian non-materi. “Kalau kerugian, kalau saya yang banyak tu buku. Kalau non materi nya, waktu kita habis untuk menjaga air turun, kemudian juga bersih-bersihkan rumah, sehingga aktivitas yang seharusnya kita lakukan pada hari itu jadi nggak terkerjakan. Ya mungkin kalau dirupiahkan jadi rugi berapa hari kerja gitu.” Melihat kerugian yang dipaparkan oleh Pak Parmin di atas, maka akan menjadi suatu hal yang wajar dilakukannya tindakan antisipasi atau upaya mengurangi resiko banjir. Dalam hal ini Pak Parmin berpendapat bahwa dia atau masyarakat lainnya hanya mampu bergerak pada tataran mengantisipasi saja. Sedangkan upaya menekan atau mengurangi resiko banjir adalah merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah dan harusnya ditelurkan ke dalam program- program. “Kalau mengurangi resiko banjir nggak bisa, paling hanya berbicara mengantisipasilah, kalau dia banjir datang kita harus siap-siap aja. Kalau mengurangi resiko tu, malah masyarakat yang bertanya sama pemerintah, bukan masyarakat yang ditanya, kok diam-diam saja, apa dibiarkan saja, atau tidak masuk dalam program pemerintah.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dalam mengantisipasi banjir biasanya Pak Parmin melakukan beberapa tindakan teknis. Hal ini dimaksudkan agar kerugian-kerugian yang akan dialaminya tidak begitu besar. Berikut penuturannya : “Waktu banjir belum datang, kita evakuasi barang-barang dulu. Biasanya barang-barang elektronik aja. Barang-barang lain kita susun dibuat tinggi di dalam rumah. Setelah itu kita kunci semua pintu, biar amanlah. Sesekali ngecek rumah. Kalau keluarga, karena memang udah biasa, jadi masing-masing udah ngerti. Anak-anak saya juga udah besar semua. Pas banjir datang, kita ya nunggu air sampe surut lah.” Tindakan-tindakan tersebut di atas akan dilakukan jika Pak Parmin melihat tanda-tanda banjir akan terjadi, misal dari pergerakan air sungai. Dia akan mengukur debit air sungai untuk melihat apakah berpotensi banjir besar atau tidak. Pada dasarnya banjir tidak pernah datang secara tiba-tiba. Selalu saja ada tanda- tanda yang seolah menjadi sinyal alami peringatan dini bahwa banjir akan datang. Pak Parmin sendiri mengetahui beberapa tanda-tanda tersebut. Sebagaimana dikatakannya : “Tanda-tandanya tu bisa sampah dalam jumlah yang cukup besar yang duluan datang dibawa arus sungai. Kedua, ada hujan di gunung sampe satu harian, kalau udah kaya gitu banjir lah dsini. Jarak waktu hujan disana dengan banjir disini sekitar 4 jam, dan informasi kita dapat dari tetangga yang punya saudara di gunung. Terus kita yang disini, datang air tu kita ukur-ukur, sampe nggak ni ke rumah kira-kira.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Berdasarkan pengalaman, banjir tu walau kita nggak berharap, tapi kita sudah siap. Misalnya gini, kita bisa ngukur dari pergerakakan air, cemana naiknya per berapa menit, katakan 15 menit dia naik 5 cm tu berarti tinggi, kalo 20 menit naik 2 cm kemungkinan akan berhenti tidak berpotensi banjir. Datang air tu kita tunggu, kita tandai.” Setelah banjir mereda, Pak Parmin akan kembali ke aktifitasnya sedia kala. Di lingkungannya tidak ada yang namanya evaluasi atau apapun yang bertujuan untuk mentabulasi masalah banjir tersebut, sehingga dapat dijadikan pelajaran untuk kalangan masyarakat sendiri jika di kemudian hari terjadi banjir lagi. Memang terkesan tidak lazim ketika masyarakat juga melakukan evaluasi. Akan tetapi hal ini justru akan menunjukkan bahwa masyarakat cukup mandiri terhadap lingkungan atau daerahnya. Ada unsur tanggung jawab yang dipegang masyarakat. Apalagi terjadinya banjir tidak lepas dari bagaimana juga masyarakat yang bersangkutan menjaga lingkungan atau daerahnya. “Nggak ada kita ngevaluasi-evaluasi banjir. Habis banjir ya ngurus rumah masing-masing”. Banjir di Lingkungan I adalah banjir dari luapan Sungai Babura dan pada umumnya merupakan banjir kiriman dari daerah dataran tinggi Karo. Karena berasal dari luapan sungai, naik turunnya debit air menjadi sebuah tolak ukur pasti apakah berpotensi banjir atau tidak. Itulah mengapa Pak Parmin begitu memperhatikan pergerakan naik turun debit air Sungai Babura. Di Lingkungan I memang tidak ada patok-patok angka layaknya pintu air atau bendungan sebagai UNIVERSITAS SUMATERA UTARA petunjuk naik turunnya debit air Sungai Babura. Pengukurannya hanya mengandalkan batas air normal yang berbekas yang biasanya tampak pada dinding sungai. Jika air di atas batas normal maka akan dilihat berapa kenaikan dalam setiap menitnya, berpotensi banjir atau tidak. Jika air di bawah batas normal, justru hal ini lebih harus diwaspadai, karena bisa saja terjadi penumpukan balok-balok kayu hanyut hasil pembalakan liar dan akhirnya membendung atau menahan aliran air sungai. Selanjutnya masalah baru akan datang. Setelah sekian lama menahan air, maka tumpukan balok-balok kayu tersebut perlahan akan roboh dan inilah yang menjadi banjir bandang. Contoh kejadiannya adalah banjir bandang Bahorok. Namun berbeda dengan informan lain, dalam pandangan Pak Parmin, terjadinya banjir di Lingkungan I adalah lebih dikarenakan siklus alam, artinya faktor alam. Menurutnya faktor manusia tidaklah berpengaruh besar kepada terjadinya banjir. Dia menuturkan : “Yang pertama tu karena memang siklusnya, siklus banjir. Dulu tu per 10 tahun tu. Umpama 72, terus 82, 92, gitu-gitu dia. Tapi mungkin karena sudah banyak penebangan hutan, jadi sudah berubah, jadi udah nggak siklus lagi. Membuang sampah ke sungai iya juga tapi menurut saya tidak begitu punya pengaruh besar.” Apa yang disampaikan Pak Parmin di atas sangat berbeda dengan dua informan sebelumnya. Dia kurang begitu melihat faktor manusia menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir dan lebih kuat melihat faktor alamnya. Jadi seperti membuang sampah kesungai, penebangan hutan atau pemukiman liar hanyalah merupakan faktor pelengkap saja. Padahal banjir di Lingkungan I adalah UNIVERSITAS SUMATERA UTARA merupakan banjir kiriman dari gunung, yang mana penebangan hutan di sana memiliki pengaruh besar. Kemudian aktifitas membuang sampah di lingkungan tersebut sangat berdampak terhadap kondisi fisik Sungai Babura sehingga dapat memicu terjadinya banjir. Dan kebiasaan tersebut sudah menjadi suatu hal yang lumrah di sana. Hal ini diungkapkan Pak Parmin sebagai berikut : “Kalau disini rata-rata buang ke sungai. Karena tidak ada petugas sampah yang rutin ngutip sampah kemari. Dulu pernah ada, tapi datangnya tu jarang, 4 atau 5 hari sekali, sampahnya kan otomatis busuk dan bauk.” Dengan dalih tidak adanya petugas atau fasilitas kebersihan dari kelurahan, tidak menjadi beban bagi Pak Parmin untuk membuang sampah ke sungai yang padahal sebenarnya akan merugikan dirinya serta masyarakat Lingkungan I lainnya. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya di atas bahwa membuang sampah ke sungai di Lingkungan I sudah menjadi kebiasaan yang tidak asing dan berdampak terhadap kondisi fisik sungai yang nantinya akan menyebabkan terjadinya banjir. Pak Parmin sendiri menyadari hal tersebut. Dia mengungkapkan : “Dampaknya ya jelas ada. Secara umum, ya namanya kita buang sampah kesungai, itu kan sudah membuat terjadinya pendangkalan sungai. Karena banyak sampah di dasar, air kan semakin tinggi. Jadi gampang ngeluap dia . Satu lagi tambah nggak ada pengerukan.” Dapat diihat di atas, Pak Parmin pada hakikatnya mengerti dan menyadari bahwa aktifitas membuang sampah ke Sungai Babura yang dilakukannya akan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berdampak kepada terjadinya banjir. Bahkan dia cukup menjelaskan rentetan prosesnya, sampah dibuang ke sungai, sampah mengendap di dasar, sungai menjadi dangkal, diperparah lagi dengan tidak adanya pengerukan oleh pemerintah, daya tampung sungai terhadap air menjadi rendah, akhirnya air sungai menjadi lebih gampang meluap, dan ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, apalagi di daerah gunung, maka sangat dimungkinkan luapan air sungai akan membanjiri daerah sekitarnya. Ketika dimintai pendapat apakah jika tidak lagi membuang sampah ke sungai maka akan memberi pengaruh dalam mengurangi resiko banjir, Pak Parmin menjelaskan : “Persoalannya kan nggak sepotong-potong ni. Iya benar, tidak lagi membuang sampah kesungai tu bentuk mengurangi resiko, tapi membuang sampah kesungai menjadi faktor banjir, persentase pengaruhnya tu cuma sekian persen aja, kecillah dibanding penebangan-penebangan pohon di gunung. Jadi pemerintahlah yang punya peran besar.” Pak Parmin pada dasarnya tidak memungkiri jika aktifitas membuang sampah ke sungai bisa ditekan maka akan memberi pengaruh dalam upaya mengurangi resiko banjir. Akan tetapi dia tidak sepakat hal tersebut menjadi faktor utama dalam upaya yang dimaksudkan. Ia menilai masalah membuang sampah ke sungai adalah masalah kecil dan tidak sebanding dengan pembalakan hutan secara illegal. Itulah mengapa ia berpikir pemerintahlah yang harus berperan besar, karena pembalakan tersebut merupakan masalah yang besar. Pada hakikatnya persoalan banjir adalah permasalahan yang kompleks. Masyarakat dan pemerintah memiliki UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tanggung jawab yang sebenarnya sama. Hanya wilayah dan porsi tanggung jawabnya saja yang berbeda. Namun memang pemerintahlah yang harus menjadi garis terdepannya. Bahkan memiliki tanggung jawab untuk mengorganisir masyarakat. Dalam konteks banjir sebagai sebuah bencana, pemerintah pada dasarnya telah memiliki sebuah lembaga khusus yang diberi wewenang khusus dan penuh pula dalam menangani persolan banjir, baik itu pada tingkat nasional maupun lokal atau daerah. Lembaga tersebut adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB. Lembaga ini telah membentuk lembaga-lembaga serupa untuk tingkat provinsi, kotamadya, atau kabupaten yang disebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD. Dalam upaya menjalankna sistem penanggulangan bencana, lembaga ini selayaknyalah mengenalkan diri secara organisasi kepada masyarakat baik itu di tingkat nasional ataupun daerah. Karena hal tersebut pastinya akan membantu dalam mengorganisir masyarakat dalam wacana kebencanaan yang tujuannya memudahkan atau melancarkan segala operasi penanggulangan bencana. Namun melihat kondisi bencana disekitar kita, tidak sedikit masyarakat yang ternyata tidak atau kurang begitu mengenal lembaga ini. Tidak terkecuali Pak Parmin. Dia mengungkapkan : “Badan Nasional Penanggulangan Bencana ada dengar, tapi aktivitasnya nggak tau. Kalau yang di daerah kurang tau. Yang sering kita dengar yang nasional aja. Tapi ya apa tanggung jawabnya sama persis kerjanya kita nggak tau. BNPB ni lembaga kayak mana terus terang saya nggak ngikutin lah.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Manajemen bencana yang di pegang BNPB nggak ngerti kita. Tapi pasti mereka punya aturan main sendiri.” Meskipun begitu Pak Parmin memiliki penafsiran sendiri tentang manajemen bencana. Berikut penafsirannya : “Menurut saya manajemen bencana tu ya mungkin pemerintah tu mendisen sebuah upaya bagaimana meminimalisir kerugian yang disebabkan bencana dan mengurangi angka kejadian bencana. Misal pembuatan tanggul sungai. Jadi karena ada tanggul, pas debit air sungai naik, masyarakat nggak kenak.” Wawasan pak Parmin seputar bencana atau banjir sebagaimana yang dapat dilihat dari penuturan-penuturannya dari awal ternyata tidak terbangun dari suatu pendidikan atau pelajaran khusus, dan tidak sedikit juga yang dia tidak tahu. Dia tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal formal atau non-formal seperti itu. Sederhananya dia tidak pernah terlibat kegiatan terorganisir seputar bencana. Dia mengatakan sebagai berikut : “Buku atau modul tentang bencana saya nggak punya. Baca beritanya ada, tapi selintas aja. Kalau penyuluhan nggak pernah ada di sini. Kalau ada ya mungkin saja saya akan ikut, tergantung pemerintahnya saja ini.” Banjir menjadi bahan cerita atau mungkin diskusi sehari-hari juga sangat jarang. Dia atau masyarakat lainnya seolah-olah melihat musibah tersebut seperti masalah biasa saja dan tidak membekas sedikitpun. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Diskusi ada, tapi ya nggak formal, dan nggak ada hasil akhirnya juga. Ya sebenarnya lebih tepat dibilang ngobrol-ngobrol biasa aja. Lagi ngobrol umum, tiba-tiba nggak sengaja masuk ke topik itu. Dan pembicaraan tentang itu sangat jarang. Ya namanya juga nggak sengaja. Kita sudah disibukkan dengan aktivitas masing-masing, jadi nggak tepikirkan kesana.” “Kalau kita, karena sudah biasa, secara psikologis nggak kuatitr, trauma dengan kondisi, itu enggak, nol, dah siap kita soalnya. Secara psikologis tu kita nggak ada terganggu.” Ada yang dimengerti dan ada pula yang tidak dimengerti oleh Pak Parmin sehubungan dengan persoalan bencana atau banjir. Apa yang dimengertinya tentu saja akan menjadi modal dan merupakan langkah awal dalam konsep besar manajemen bencana. Karena persoalan bencana tidak hanya bicara bagaimana pemerintah sebagai pemangku kebijakan mampu menjalankan program- programnya, namun bagaimana juga masyarakat bisa turut serta terlibat di dalamnya. 5.2.4. Informan Kunci Keempat Wido Darmawanto alias bang Ujang. Wawancara dengan Bang Ujang dilakukan di rumahnya di Jl. Dipanegara Kelurahan Padang Bulan pada hari Jumat malam tanggal 21 Desember 2012 dari pukul 21:39 sampai dengan pukul 23:30 wib. Bang Ujang adalah seorang pria 41 tahun. Meiliki seorang istri dan 2 orang anak yang masing-masing berumur 12 dan 8 tahun. Pekerjaannya sekarang adalah sebagai teknisi lisktrik di perusahaan kontruksi. Sebelumnya ia juga pernah bekerja UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di sebuah radio swasta di kota Medan. Pendidikan terakhirnya adalah Sarjana Pertanian untuk Jurusan Teknologi Pertanian dari Universitas Islam Sumatera Utara. Bang Ujang sendiri merupakan warga asli Lingkungan I. Dari lahir sampai berumah tangga dia tinggal di lingkungan tersebut. Sehingga bisa dibilang segala sesuatu yang pernah terjadi di Lingkungan I, disaksikan atau setidaknya diketahui olehnya, termasuk banjir. Saat ini dia dan keluarga tinggal di rumah sederhana bersertifikat Camat milik sendiri yang merupakan warisan dari orang tuanya. Keberadaan rumah yang ditempati Bang Ujang serta anak dan istrinya benar-benar tidak berbatasan dengan bantaran sungai Babura. Bahkan menurut pengamatan peneliti, rumah Bang Ujang berada di atas areal bantaran Sungai Babura. Kurang lebih sama seperti rumah Pak Dirman. Kondisi seperti ini tentu sangat beresiko terhadap terjangan banjir. Bang Ujang pada dasarnya juga berpikir bahwa keberadaan rumahnya tergolong tidak aman mengingat benar-benar bersebelahan dengan sungai. Jadi dia tidak memungkiri resiko dari terjangan banjir. Sebagaimana diungkapkannya : “Tentulah, besar resikonya kalau rumah dekat sungai. Yang pertama dari segi stabilitas tanah. Tanahnya tu udah jelas nggak stabil. Kapan aja dia bisa longsor, kapanpun itu. Kemudian dari segi kesehatan. Dengan kondisi sungai yang seperti ini ya, jangan kita cerita sungai yang bagus. Jadi resikonya menimbulkan penyakit, penyakit kulit terutama. Terus dari segi kenyamanan dan keamanan. Bisa dibilang kan merasa nggak aman kita, akhirnya kita ada rasa waswas kan. Kalau suatu saat banjir, sementara kita punya barang-barang. Itulah saya rasa yang pokok-pokok.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bang Ujang menilai ada beberapa resiko yang harus ditanggung jika memiliki rumah yang berada di bantaran sungai. Yang pertama adalah rawan terjadi longsor, karena stabilitas tanahnya rendah. Selanjutnya masalah kesehatan. Kemudian resiko yang paling besar yaitu banjir. Bantaran sungai pada dasarnya adalah bukan diperuntukkan sebagai areal pemukiman penduduk. Selain karena untuk menjaga keseimbangan ekologi sungai, juga karena faktor keamanan bagi masyarakatnya sendiri. Stabilitas tanah pada bantaran sungai sangatlah membahayakan jika terdapat bangunan-bangunan di atasnya. Longsor atau amblasnya tanah tidak jarang terjadi akibat dihantam oleh arus, apalagi jika kecepatan arus benar-benar tinggi. Dari segi kesehatan, Sungai Babura merupakan sungai dalam kota. Seperti halnya sungai-sungai dalam kota lainnya di Indonesia, wujudnya tidak menunjukkan sebuah keadaan sungai yang terjaga, terawat kelestariannya. Terjangan sampah-sampah, pemukiman-pemukiman, bahkan pemukiman kumuh, membuat lingkungan bantaran sungai menjadi tidak sehat. Tentu hal ini akan berpengaruh kepada masyarakat. Semisal sampah, yang mana merupakan sumber bibit sejumlah penyakit, kemudian menjangkiti masyarakat, dan akhirnya akan menciptakan masalah-masalah atau persoalan sosial. Banjir adalah resiko yang paling besar dari bertempat tinggal di areal bantaran sungai atau sekitarnya. Musibah tersebut bagaikan sesuatu yang tidak terpisahkan dari sungai, oleh karenanya masyarakat terkait harus benar-benar siap jika tidak ingin banjir menghantam rumah, melenyapkan harta benda, melumpuhkan aktivitas kerja, atau mungkin menghilangkan nyawa mereka. Bicara soal resiko maka tidak lepas pula dengan persoalan bagaimana menghindari, mengurangi, mengendalikan ataupun mengantisipasinya resiko tersebut. Bertolak dari apa yang disampaikan Bang Ujang bahwa bertempat tinggal UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di dekat sungai beresiko dihantam banjir. Dan idealnya pemikiran manusia, agar banjir yang terjadi tidak begitu mengakibatkan kerusakan parah, sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat, maka masyarakatpun akan memiliki sikap apakah menghindari, mengurangi, mengendalikan ataupun mengantisipasi jika mereka sudah melihat resiko yang ada. Bang Ujang mempunyai pandangan sendiri akan hal ini. “Kalau mengurangi resiko banjir tu nggak bisa, nggak ada. Yang pertama, populasi penduduk makin padat. Dampaknya limbah rumah tangga makin banyak. Akhirnya jadi pendangkalan sungai karena limbahsampah dibuang ke sungai. Kalau kita pribadi nggak bisa, tapi kalau pemerintah mau bertindak itu bisa, itu dikeruk, dibuat bantarannya lebih tinggi. Tapi kalau antisipasi supaya tanah ini nggak menjadi labil bisa, itu ditanami pohon. Kayak pohon Mahoni, terutama bambu, sebagai penahan tanah dia supaya nggak longsor. Kalau dari segi bangunan rumah, antisipasinya bangunan rumah di tinggikan, sama membuat tempat semacam gudang kecil di atas asbes lah.” Bang Ujang berpandangan resiko banjir hanya dapat diminimalisir oleh pemerintah. Sedangkan masyarakat hanya bisa mengantisipasinya. Sebenarnya dari apa yang disampaikannya di atas, Bang Ujang seolah membagi dua porsi dalam menyikapi banjir tersebut. Yang pertama porsi besar, seperti mengendalikan pemukiman di pinggir sungai, dan melakukan pengerukan sampah sebagai bentuk perawatan sungai. Dia menilai tindakan-tindakan seperti ini hanya diwenangi oleh pemerintah saja, sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah. Yang kedua porsi kecil, seperti menanam pohon di sepanjang bantaran sungai agar tanah tidak UNIVERSITAS SUMATERA UTARA amblas, dan ini merupakan perlakuan terhadap sungai. Kemudian meninggikan rumah dan membuat gudang penyimpanan barang di atas asbes untuk perlakuan terhadap rumah. Dalam mengantisipasi atau meminimalisir musibah banjir, maka akan bermula dengan faktor-faktor yang menyebabkan banjir tersebut. Nantinya faktor- faktor penyebab banjir akan menjadi titik bertolak untuk langkah-langkah atau tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor alam dan non-alam atau faktor manusia. Sebagai penduduk asli dari Lingkungan I, Bang Ujang melihat beberapa faktor yang menyebabkan banjir tersebut. “Pertama ya pendangkalan sungai karena sampah itu tadi. Terus nggak cuma itu, dia juga terjadi penyempitan. Penyebabnya populasi tadi. Buang sampah di pinggir sungai, lama-lama jadi daratan. Dulu di sini tangkahan pasir. Atok kami yang yang ngelolanya. Dulu panglong-panglong ngambil pasir dari sini. Sekarang bukan pasir lagi, lumpur yang ada.” Bang Ujang juga menambahkan tentang karakter banjir yang biasa melanda Lingkungan I. “Di sini banjirnya disebabkan oleh kiriman, bukan banjir lokal. Kalau banjir lokal mudah-mudahan nggak ada masalah. Beda dia. Kalau disini hujan, itu belum tentu banjir. Tapi kalau Tanah Karo hujan, disini udah pasti banjir. Tapi juga, kalau kita banjir besar aja baru kenak, banjir kecil jarang kita kenak.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dari penuturannya di atas, Bang Ujang menjelaskan terdapat tiga faktor yang menyebabkan banjir, yaitu pendangkalan dan penyempitan sungai, serta intensitas hujan yang tinggi yang terjadi di daerah dataran tinggi. Kedua faktor yang pertama terjadi karena aktifitas membuang sampah kesungai yang dilakukan oleh masyarkat sekitar yang berarti merupakan faktor manusia. Sedangkan faktor lainnya merupakan faktor alam. Dari faktor pendangkalan dan penyempitan sungai, cukup beralasan Bang Ujang mengatakannya, mengingat kebiasaan membuang sampah ke sungai yang dilakukan masyarakat Lingkungan I. Dia menuturkan : “Kami pasti buang sampah ke sungai, semua masyarakat disini. Sebenarnya bukan ke sungainya kita buang, ke bantarannya. Sebenarnya ini bantaran halaman kita juga. Kalau kita mau buang ke sini nggak ada masalah, lang kita punya lobang sampah di sini. Nah masyarakat yang lain yang ikut-ikutan buang di sini. Kebetulan tanah kita ni berdampingan dengan lahan kosong.” Penuturan di atas menjelaskan bahwa Bang Ujang dan masyarakat Lingkunga I lainnya sudah terbiasa membuang sampah ke sungai dari waktu ke waktu dan belum berhenti sampai sekarang. Sudah dapat dipastikan dalam kurun waktu yang panjang, sampah-sampah tersebut akan mengendap di dasar dan sungai menjadi dangkal. Sampah-sampah yang dibuang di bantaran dalam waktu lama juga akan menjadi daratan baru di pinggir sungai sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan pada sungai. Sampah-sampah tersebut juga menyebabkan aliran air sungai menjadi terhambat. Kedua hal ini pastilah membuat sungai tidak dapat menampung volume air sebagaimana pada kondisi yang masih alami. Dan selanjutnya menyebabkan terjadinya luapan yang akan membanjiri daerah UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sekitarnya. Jadi walaupun Bang Ujang mengatakan banjir di Lingkunga I adalah banjir kiriman dari gunung, pada dasarnya ke semua hal tadi merupakan satu kesatuan. Hujan di dataran tinggi turun dengan intensitas tinggi. Kemudian mengalir ke sungai dan pastinya membuat debit air menjadi naik. Sedangkan di daerah hilir, kondisi fisik sungai benar-benar sudah jauh berubah dari kondisi alaminya. Air yang mengalir dari hulu dengan debit dan kecepatan yang tinggi tidak akan dapat tertampung dan banjir akan terjadi. Kebiasaan membuang sampah ke sungai sebenarnya bukan tidak disadari Bang Ujang akan berdampak negatif terhadap Lingkungan I dan dapat memicu terjadinya banjir. Dia mengungkapkan : “Oh jelaslah. Jelas berdampak sama lingkungan. Yang pertama menimbulkan penyakit. Itu dampaknya langsung tu. Kemudian yang jelas ya kita nggak nyaman kan kalau sampah di sekeliling kita, ya pasti nggak nyaman. Terus membuat sungainya jadi kotor. Ini sungainya bersih luar biasa dulu. Saya masih ingat waktu saya SMP masih nampak ikan berenang di dalamnya. Baru ya pendangkalan sama penyempitan itu tadi. Jadi gampang meluap dia.” Hal ini tentu kontra produktif dengan kebiasaan membuang sampah ke sungai yang dilakukan olehnya. Di satu sisi Bang Ujang menyadari bahwa apa yang dilakukannya akan berdampak kepada banjir, tetapi di sisi lain dia malah melakukan tindakan yang akan berdampak kepada banjir tersebut. Sungai Babura yang merupakan salah satu sungai besar yang melintasi kota Medan adalah sungai yang tidak jarang meluap dan membanjiri pemukiman masyarakat Lingkungan I. Bang Ujang menyatakan : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Daerah kami ini bisa dibilang langganan banjir. Nggak terhitung lagi jumlahnya. Sejak saya lahir sampai sekarang saya ingat ada tiga kali banjir besar, 1970an, 2002, sama 2011 kemaren.” Banjir-banjir yang terjadi cukup menguji mental dan pikiran Bang Ujang. Telah banyak kerugian yang timbul baik materi maupun non-materi karenanya. “Kalau kerugian yang jelas barang-barang kita tu rusak semua. Bangunan rumah jebol jendelanya, dihantam air itu tadi. Tapi memang nggak sampe rubuh. Kalau non-materi, dari segi kesehatan. Terus psikologis, terganggu kita kan. Ada rasa ketakutan, kayak trauma kita. Kalau udah hujan, takut, ni bakal banjir nggak. Habis tu jelas nggak bisa kerja, empat hari sampai seminggu gitu beres-beresin rumahlah kita. Anak-anak juga pasti nggak bisa sekolah untuk sementara, nunggu semua pulih dulu. Kalau udah kayak gini mental sama sabar ajalah yang dipegang.” Pada kerugian yang dialaminya, Bang Ujang menjelaskan kerugian dari segi materi dan non-materi. Kerugian dari segi materi adalah rumah dan harta benda. Sedangkan kerugian non-materi adalah kesehatan, psikologis, pendidikan, dan ekonomi. Bang Ujang mengatakan banjir pernah menjebol jendela rumahnya. Ia cukup beruntung banjir tidak merubuhkan rumahnya. Tapi tentu saja keberuntungan itu tidak selalu ada. Bisa saja banjir selanjutnya tidak hanya jendela yang jebol, rumahpun mungkin hanyut. Dari segi materi dia menyadari banjir sangat berpotensi mendatangkan penyakit, akan menyebabkan trauma khususnya pada anak-anak atau kaum ibu, melumpuhkan kegiatan belajar mengajar di sekolah, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA serta membuat orang-orang tidak bisa bekerja. Lebih dari itu secara umum banjir dapat menyebabkan tidak berfungsinya atau juga demi keamanan terpaksa tidak diberfungsikannya fasilitas-fasilitas umum seperti listrik, jaringan komunikasi, distribusi logistik dan obat-obatan, serta air besih. Bagi Bang Ujang kerugian akibat banjir tidak hanya persoalan materi saja, tetapi juga bicara dari segi non-materinya. Bahkan kerugian non-materi tersebut merupakan kerugian-kerugian yang mendasar, sebagaimana kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang telah dijelaskan sebelumnya. Seperti yang telah disampaikan Bang Ujang di atas bahwa banjir di Lingkungan I adalah banjir kiriman dari daerah dataran tinggi. Kemudian juga dia menjelaskan bahwa jika daerah dataran tinggi atau daerah gunung hujan dengan intensitas tinggi, maka sangat besar kemungkinan akan terjadi banjir. Bang Ujang mengatakan banjir tidak datang tiba-tiba, akan ada tanda-tanda yang seolah memberi tahu kepada warga bahwa akan terjadi banjir. Berikut penuturannya : “Yang pertama suhu udara makin dingin. Dingin nggak seperti biasa dia. Dingin disini pada saat biasa dengan dingin mau banjir beda dia. Orang disini rata-rata tau itu. Kemudian debit air itu meningkat. Terus air sungai keruh, dan bawa sampah dia. Kalau sampah udah beserakan dibawa sungai, dah dia lah itu. Terus juga hujan berhari-hari di gunung. Disinikan banjirnya kiriman dari atas.” Dari tanda-tanda yang dilihatnya dan ketika akan berpotensi banjir, Bang Ujang segera tahu apa yang harus dilakukannya, yaitu mengevakuasi keluarga dan harta benda. Dia menuturkan : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Menyelamatkan anak-anak dulu ke tempat kakeknya. Baru habis itu ngangkatin barang-barang ini ke tempat yang lebih tinggi. Memang ada kita siapkan tempat di atas asbes. Habis tu keluar ninggalkan rumah. Rumah dikuncilah. Karena kita udah selesai, ya bantu-bantu tetangga yang mungkin suaminya nggak ada dirumah. Habis itu ya nunggu banjirnya surut. Kalau waktunya nggak bisa kita bilang berapa lama, dia bervariasi. Satu hari belum tentu surut. Kalau hujan lagi di gunung, makin lama lah.” Dari penuturannya bisa dilihat bahwa Bang Ujang benar-benar merespon tanda-tanda banjir yang ada. Evakuasi anak-anak dan harta bendanya yang dilakukannya pada dasarnya adalah merupakan bagian dari tanggap bencana yang tidak lain adalah bagian dari konsep manajemen bencana. Akan tetapi sebenarnya Bang Ujang tidak tahu menahu tentang manajemen bencana. Apa yang dilakukannya hanyalah bersifat pribadi dan tiak ada hubungannya dengan manajemen bencana. Dia mengungkapkannya sebagai berikut : “Manajemen bencana nggak pernah abang dengar. Di media tu kan cuma nunjukkan kejadiannya aja dia. Nggak ada ngasih tau gimana sistem atau manajemennya.” Manajemen bencana yang dimaksud di sini adalah yang konsepnya disusun oleh lembaga resmi negara yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB. Lembaga tersebut adalah lembaga yang diberi wewenang penuh oleh presiden untuk menangani banjir. Lembaga ini juga memiliki sub-lembaga di tingkat daerah, yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD. Berbeda UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan bagaimana Bang Ujang melihat manajemen bencana, ia tahu lembaga BNPB tetapi tidak tahu seperti apa organisasinya. “Tau, Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Tau dari televisi, dari media. Dia BNPB hanya menaggulangi bencana-bencana besar. Tapi kalau BPBD nggak tau saya. Setau abang belum pernah masuk BNPB kemari. Yang ada tu BRIMOB, anak mahasiswa USU, apa KOMPAS-USU atau apa namanya, itu yang saya tau. Mereka jumpain saya juga waktu banjir kemarin itu. Cerita-cerita juga, makanya saya tau. Sebenarnya kita tau nggaknya BNPB atau BPBD bukan karena media juga. Kalau mereka lembaga terkait mau lebih “action” terjun ke lapangan, itu lebih bagus. Lebih eksis dia di ingatan masyarakat.” Selama tinggal di Lingkungan I, sekalipun Bang Ujang tidak pernah terlibat atau mengikuti suatu kegiatan apapun yang cukup teroganisir yang bertemakan bencana. Segala tindakan yang dilakukannya ketika akan dan saat terjadi banjir hanya merupakan sebuah bentuk reaksi alamiah saja. Tidak ada pelajaran khusus yang di dapat dari sumber apa atau manapun, semisal sumber tertulis atau dalam bentuk pelatihan. Berikut penuturan-penuturannya. “Penyuluhan nggak ada, nggak ada itu. Orang di sini kalau udah terjadi, kekmana ngatasinya, bukan sebelum terjadi bagaimana mengurangi resiko itu, nggak ada itu.” “Diskusi juga nggak ada. Pas kejadian banjirpun nggak ada, ya nyelamatkan diri, keluarga dan barang-barang masing-masing, nggak ada itu UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bahas-bahas lagi. Kalau setelah banjir ya nggak juga. Ya udah balik kerumah dan urusan masing-masing.” “Evaluasi ya sama aja, nggak ada. Singgah lalu aja. Sekedar dapat bantuan kalaupun ada bantuan. Kalau nggak ya uda.” “Modul atau bukupun kita nggak punya. Tapi kalau baca beritanya pernah. Dari internet kita bacanya. Kalau belakangan ini bacanya tiap hari. Tapi orang- orang pada umumnya mungkin udah apatis. Karena beritanya terus ada, tapi aksi nyata pemerintahnya nggak ada.” Keberhasilan dalam membangun sesuatu adalah sangat ditentukan oleh bagaimana konsep dan sistemnya, serta bagaimana segala proses-prosesnya berjalan secara teroganisir. Begitu pula dengan upaya membangun wawasan kebencanaan pada masyarakat. Perlu suatu konsep yang baik dan teroganisir agar tujuan dari upaya tersebut akan dapat dicapai dengan lebih mudah. Sebagaimana penuturan-penuturan Bang Ujang di atas, telah memperlihatkan suatu gambaran konkrit dimana dia tidak pernah bersinggungan dengan sesuatu hal yang sifatnya terkonsep dan teroganisir seputar manajemen bencana. Tentu akhirnya keadaan Bang Ujang tersebut menjadi suatu kewajaran dalam realita hubungan masyarakat dan bencana. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Harta Benda Bagi Masyarakat Pinggiran Sungai (Kajian Antropologi terhadap Masyarakat Pemukiman Pinggiran Sungai Babura Medan sebagai Pemukiman Kumuh terkait Pandangan akan Harta Benda)

0 52 161

SIKAP MASYARAKAT TANGGAP BENCANA BANJIR PADA BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO DI KELURAHAN Sikap Masyarakat Tanggap Bencana Banjir Pada Bantaran Sungai Bengawan Solo Di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta.

0 1 13

PENDAHULUAN Sikap Masyarakat Tanggap Bencana Banjir Pada Bantaran Sungai Bengawan Solo Di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta.

0 3 7

SIKAP MASYARAKAT TANGGAP BENCANA BANJIR PADA BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO Sikap Masyarakat Tanggap Bencana Banjir Pada Bantaran Sungai Bengawan Solo Di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta.

0 2 13

PENGRES Pengetahuan Masyarakat Dalam Mengurangi Resiko Bencana Banjir Di Bantaran Sungai Bengawan Solo Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasarkliwon Kota Surakarta.

0 3 15

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Bantaran Sungai Bengawan Solo Kampung Sewu Kecamatan Jebres Surakarta.

0 1 15

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Di Bantaran Sungai Bengawan Solo Kampung Sewu Kecamatan Jebres Surakarta.

0 2 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Pemahaman. - Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir

0 1 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. - Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir

0 1 6

PEMAHAMAN MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI BABURA DI LINGKUNGAN I KELURAHAN PADANG BULAN MEDAN TENTANG MANAJEMEN BENCANA BANJIR SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

0 0 9