BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Pemahaman.
Pemahaman adalah bagian dari tingkatan pengetahuan. Pengetahuan sendiri merupakan proses hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang Notoatmodjo, 2003. Terdapat enam tingkatan pengetahuan, yaitu:
a. Tahu.
Yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari suatu
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima untuk mengukur tentang apa yang dipelajari dengan menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,
menyatakan dan sebagainya. b.
Memahami. Yaitu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan objek tersebut secara benar. c.
Aplikasi. Yaitu kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan materi yang telah
dipelajari dan dipahami sebelumnya. d.
Analisis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tertentu, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut
dan masih terkait satu sama lain. e.
Sintesis. Yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. f.
Evaluasi. Berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian tersebut berdasarkan suatu kriteria yang ditentikan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada
Notoatmodjo, 2003.
2.2. Masyarakat. 2.2.1. Pengertian Masyarakat.
Koentjaraningrat 2003 merumuskan pengertian masyarakat berdasarkan empat ciri berikut :
a. Interaksi.
b. Adat-istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan.
c. Bersifat terus-menerus.
d. Rasa identitas.
Berdasarkan empat ciri di atas, masyarakat diartikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya
berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sihotang 1992 menjelaskan masyarakat dalam dua defenisi, yaitu defenisi analitik dan defenisi fungsional. Dalam definisi analitik, masyarakat adalah sejumlah orang yang
berdiri sendiri atau swasembada yang mempunyai cirri-ciri adanya organisasi sendiri, wilayah tempat tinggal, kebudayaan sendiri, dan keturunan yang akan meneruskan
masyarakatnya. Sedangkan dalam defenisi fungsional, masyarakat adalah sejumlah manusia yang mempunyai sistem tidakan bersama, yang mampu terus ada lebih lama dari
masa hidup seorang individu, dan para anggotanya bertambah sebagian melalui keturunan pada anggota.
Ciri-ciri masyarakat Sihotang, 1992: 13: a.
Mampu berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan sendiri, b.
Mampu mempertahankan keberadaanya melalui pergantian atau pertambahan anggota dengan adanya keturunannya.
c. Mampu mempertahankan keberadaannya bergenerasi-generasi.
d. Ada wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal.
e. Mempunyai kebudayaan sendiri yang menjadi sumber nilai dan norma, pola
tindakan, dan alat memenuhi keperluan hidup. f.
Mempunyai sistem dan struktur. Berdasarkan ciri-ciri di atas, definisi masyarakat adalah sejumlah orang yang bertempat
tinggal di wilayah tertentu yang tersusun oleh sistem dan mempunyai struktur, mempunyai kebudayaan sendiri, dan dapat mempersiapkan penerusan adanya anggota untuk
bergenerasi Sihotang, 1992: 13.
2.2.2. Masyarakat Perkotaan.
Sihotang 1992 menilai bahwa masyarakat baik perkotaan ataupun pedesaan secara pasti akan menghadapi berbagai masalah sosial yang terwujud sebagai hasil dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebudayaanya, sebagai akibat dari hubungan antar sesamanya dan juga sebagai akibat dari tingkah laku mereka. Berkembangnya kebudayaan nasional cenderung terjadi di kota.
Masyarakat kota sendiri cenderung untuk lebih banyak terlihat dalam berbagai kegiatan sosial yang tergolong dalam lingkungan nasional.
Masyarakat perkotaan bersifat heterogen. Heterogenitas yang mewarnai kehidupan di perkotaan berlaku juga untuk keanekaragaman lapangan mata pencaharian, karena
adanya keanekaragaman sektor-sektor ekonomi. Perkembangan industri erat hubungannya dengan laju perkembangan kota, karena perkembangan industri merupakan salah satu
terjadinya dinamika kota. Pada waktunya, kota-kota akan mengalami kesulitan untuk menyediakan pekerjaan, dan syarat-syarat minimal kehidupan yang pantas untuk jumlah
yang besar secara terus menerus semakin meningkatkan laju pertumbuhan jumlah penduduk kota sedangkan mereka adalah orang baru yang memasuki ekonomi kota
Sihotang, 1992: 171.
2.3. Pemukiman.
Industrialisasi yang akan terjadi di Indonesia akan mendorong pertumbuhan penduduk kota lebih cepat dari sebelumnya. Jumlah penduduk perkotaan pada tahun 1990
mencapai 28,8 dari 180 juta jiwa. Dan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 49,5 dari 257 juta jiwa. Dengan demikian pemukiman perkotaan yang lebih memerlukan
kemampuan teknologi akan menjadi tantangan pembangunan dan pengelolaan pemukiman di masa mendatang Kodoatie dan Sugiyanto, 2002: 257.
2.3.1. Strategi Pengembangan Pemukiman.
Lindungan bagi semua orang shelter for all adalah tujuan universal pengemba- ngan pemukiman. Tantangan di masa akan datang dengan keterbatasan sumber daya yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tersedia sebagai prasyarat pembangunan yang terorganisasikan, konsep pengembangan pemukiman yang dipilih perlu diprioritaskan pada tiga hal berikut:
a. Pengembangan pemukiman yang menunjang aktivitas ekonomi dalam suatu sistem
yang terpadu dengan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam. b.
Pengembangan pemukiman untuk kebutuhan masyarakat atas prakarsa dan diorganisasikan oleh masyarakat harus didorong dan difasilitasi.
c. Pengelolaan pemukiman perlu lebih ditujukan untuk mewadahi dan mendorong
integrasi sosial melalui penyediaan fasilitas umum yang memadai, memenuhi kebutuhan dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat Kodoatie dan Sugiyanto,
2002: 258.
2.3.2. Pengembangan Pengelolaan Pemukiman.
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto 2002, gejala urbanisasi di Indonesia tergambar pada tiga hal berikut:
a. Menyatunya kota besar dengan daerah atau kota-kota kecil di sekitarnya.
b. Perubahan fisik daerah agrarispedesaan menjadi fisik perkotaan yang diikuti
peningkatan jumlah penduduk. c.
Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seiring dengan perkembangan kota. Bila dilihat dari peningkatan jumlah penduduk, sejumlah kota-kota di Indonesia
berpotensi tumbuh menjadi kota-kota besar. Karena pertumbuhan fisik kota-kota ini tidak diimbangi dengan peningkatan sosio ekonomi dan budaya, maka kota tersebut masuk
dalam kategori semi-urban. Masalah terberat dalam pengelolaan pemukiman adalah mengatasi ketimpangan penggunaan ruang dan penguasaan sumber daya, baik sebagai
dampak pemangunan ruang, maupun kemampuan sektor swasta besar mengatasi peluang kedepan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kunci keberhasilan pengelolaan pemukiman berkelanjutan terletak pada dua hal berikut:
a. Kemampuan untuk menyerasikan, memadukan, dan memanfaatkan potensi dan
kepentingan sektor swasta dengan kepentingan ruang masyarakat berpendapatan rendah, dengan kepentingan ekologis.
b. Kemampuan untuk menyetarakan pemukiman dari berbagai kondisi dan percepatan
petumbuhan.
2.4. Kependudukan.
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto 2002, gambaran keadaan kependudukan di Indonesia di masa mendatang adalah sebagai berikut:
a. Persentase penduduk perkotaan semakin besar, hal ini disebabkan oleh adanya
urbanisasi dan perubahan wilayah dari desa ke kota. b.
Laju pertumbuhan penduduk menanjak seiring perkembangan global.. c.
Permintaan barang non-pangan akan meningkat dengan pesat. Hal ini akan berimplikasi pada pengurasan sumber daya alam untuk kepentingan non-pangan
tersebut. Pembangunan berkelanjutan baik di desa maupun di kota sangat terkait dengan aspek
lingkungan. Strategi yang dibutuhkan dalam kaitan ini adalah sebagai berikut: a.
Pengembangan keterkaitan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam perumusanpenjabaran konsep ke dalam suatu perencanaan strategis, diperlukan dua hal, yaitu:
1 Pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan antara lingkungan dan
pemangunan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2 Data dan informasi yang akurat tentang ketrkaitan antara variabel kependudukan
dan lingkungan. b.
Perumusan integrasi kebijakan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional, regional, dan lokal.
Persebaran dan kepadatan penduduk yang tidak merata akan menimbulkan berbagai permasalahan yang berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Oleh
karenanya kebijakan kependudukan dalam pola mobilitas dan persebarannya harus diselaraskan dengan rencana umum tata ruang nasional yang disesuaikan dengan daya
dukung wilayah. Dari uraian di atas, perlu empat hal yang menjadi cerminan dalam membuat kebijakan
kependudukan, yaitu: 1
Kebijakan dirumuskan secara integral. 2
Kebijakan didukung data dan informasi yang akurat. 3
Kebijakan didukung oleh kelembagaan yang dapat mengintegrasikan berbagai aspek keterkaitan dalam pembangunan berkelanjutan.
4 Kebijakan dapat dilaksanakan secara operasional.
c. Pelaksanaan program integrasi kebijakan kependudukan, lingkungan hidup, dan
pembangunan berkelanjutan pada masyarakat Kodoatie dan Sugiyanto, 2002.
2.5. Sungai. 2.5.1. Pengertian Sungai.