suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat Abidin, 2002.
2.3. Kebijakan Kesehatan sebagai Tanggung Jawab Pemerintah
Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 5 disebutkan bahwa setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan. Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan bahwa
pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
2.4. Kebijakan Kesehatan dalam Program Pemberantasan DBD
Depkes telah melewati pengalaman yang cukup panjang dalam penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD
adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke TPA Tempat
Penampungan Air. Kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah
wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada maka cara yang paling efektiv untuk mencegah penyakit DBD
Universitas Sumatera Utara
ialah dengan PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk yang dilaksanakan oleh masyarakat atau keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Oleh karena itu saat
ini Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Ditjen PP PL, 2004.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada Bagian PMK Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Tebing Tinggi tentang kebijakan
pemberantasan DBD di Tebing Tinggi dipaparkan sebagai berikut : a. Untuk pencegahan penyakit DBD dilaksanakan PSN Pemberantasan Sarang
Nyamuk melalui 3M Plus dengan melibatkan masyarakat yaitu 3M yakni menguras dan menyikat tempat penampungan air, menutup rapat tempat
penampungan air, mengubur barang bekas yang dapat menampung air. Kegiatan lainnya yang melibatkan masyarakat yaitu gotong royong dan ini dilakukan 1x
1minggu. Plus yakni memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, mengatur ventilasi dan pencahayaan dalam ruangan, mengganti air vas bunga atau
tempat minum burung, menghindari menggantung pakaian dalam kamar, menggunakan obat anti nyamuk, menaburkan larvasida di tempat penampungan
air, dan lainnya. Sosialiasi dibuat dalam bentuk leaflet, spanduk, baliho. Selain kegiatan tersebut pemerintah juga melakukan fogging massal dan abatesasi.
b. Kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat diwujudkan kembali dalam kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala PJB yang dilaksanakan 1 bulan 1 kali oleh
kader Jumantik ditiap puskesmas. Saat ini di Tebing Tinggi terdapat 356 kader
Universitas Sumatera Utara
Jumantik 2 orang kader per lingkungan dengan penggajian Rp. 25.000 per bulan untuk setiap jumantik.
c. Survailens Penyelidikan Epidemiologi di Tebing Tinggi dilakukan pada setiap kasus yang dimiliki dengan radius 200 meter dari rumah penderita. Bila
ditemukan bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya ataupun ditemukan faktor resiko jentik maka dilakukan fogging fokus dengan siklus 2
kali dan fogging massal bila diperlukan. d. Setiap RS di Tebing Tinggi memiliki Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit
KD-RS DBD yang dikirim dalam 24jam setelah penegakan diagnosis sebagai laporan ke Dinas Kesehatan bahwa ada ditemukan penderita baru untuk segera
dilaksanakan surveilans epidemiologi. Kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB Kejadian Luar Biasa sesuai
dengan Peraturan Menkes RI No.1501MenkesPerX2010 yaitu : a. Timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Jumlah kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya.
c. Angka kematian CFR dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50 atau lebih dibandingkan angka kematian periode seelumnya dalam kurun
waktu yang sama Ditjen PP PL 2011. Sebagai pedoman dalam upaya untuk memberantas penyakit DBD maka telah
dikeluarkan beberapa ketentuan melalui aspek hukum, antara lain : a. UU RI No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
Universitas Sumatera Utara
b. Kepmenkes No.581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit DBD. c. PP No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah kewenangan provinsi
sebagai daerah otonom. d. Kepmenkes
No.004MenkesSKI2003 tentang kebijakan strategi desentralisasi bidang kesehatan .
e. Permenkes No.741 tahun 2008 tentang SPM bidang kesehatan di kabupatenkota dengan target 100 kejadian DBD ditangani sesuai standar.
f. Permenkes No.1501MenkesPerX2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya hasil revisi dari
Permenkes No.560 tahun 1989 karena dipandang tidak memadai lagi dalam penanggulangan berbagai penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah.
Dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU No.22 tahun 1999 tantang pemerintahan daerah serta PP No.25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah kewenangan provinsi sebagai daerah otonom telah terjadi pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya kewenangan
dalam bidang kesehatan. Namun lambatnya penanganan penyakit demam berdarah itu tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara pemerintah pusat
pemerintah kabupaten atau kota sebagai pelaksana program Hidayat, 2008. Melalui Kepmenkes No. 581 tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional
Penanggulangan DBD yang terdiri dari beberapa pokok program yaitu : a. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Untuk setiap kasus DBD
harus dilakukan penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100 meter dari rumah
Universitas Sumatera Utara
penderita. Apabila ditemukan bukti-bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya, ada 3 penderita demam atau ada faktor resiko yaitu ditemukan jentik,
maka dilakukan penyemprotan Fogging Fokus dengan siklus 2 kali disertai larvasidasi, dan gerakan PSN.
b. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala PJB setahun 4 kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.
c. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui 3M Plus, dengan melibatkan
masyarakat. d. Memfasilitasi terbentuknya tenaga Jumantik Juru Pemantau Jentik
e. Kemitraan melalui wadah Pokjanal Kelompok Kerja Operasional, bersama Depdagri dan lintas sektor lainnya terutama Depdiknas.
f. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada Ditjen PP PL, 2011.
Adapun beberapa pengembangan program pencegahan DBD dari program- program yang ada yaitu :
a. Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional Pokjanal di berbagai tingkat administrasi.
b. Pengendalian DBD masuk dalam SPM bidang kesehatan kabupaten atau kota sehingga upaya pengendalian operasional dan non operasional menjadi
tanggung jawab kabupaten atau kota Permenkes 741 tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
c. Kegiatan pengendalian DBD telah dimasukkan dalam petunjuk teknis BOK tahun 2011 berupa : surveilans, pelacakan dan penemuan kasus, serta pengendalian dan
pemberantasan vektor. d. Advokasi kepada bupati atau walikota didaerah agar meningkatkan komitmen
terhadap pengendalian DBD seperti meningatkan pendanaan untuk kegiatan juru pemantau jentik Jumantik contoh DKI Jakarta, Mojokerto Jawa Tengah,
Denpasar Bali. e. Adanya regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD contoh beberapa
daerah yang telah memiliki perda tentang pengendalian DBD antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, NTT.
f. Meningkatkan kerjasama dengan sektor terkait : 1. Kementrian Pendidikan Nasional Kementrian Agama :untuk mengaktifkan
UKS. 2. Kementrian Dalam Negeri : untuk pemberdayaan masyarakat melalui PKK.
3. Kementrian Lingkungan Hidup : pengembangan surveilans berdasarkan iklim. g. Menggalang kemitraan dibidang kesehatan dengan mitra kerja masing-masing
daerah misalnya : perguruan tinggi, media massa, organisasi dan komponen masyarakat lainnya dalam PSN Ditjen PP PL, 2011.
Pada tanggal 14 – 15 Juni 2011 yang lalu Indonesia berhasil menyelenggarakan Asean Dengue Conference untuk pertama kalinya di Jakarta yang
dihadiri oleh Negara yang tergabung dalam Asean dan menetapkan tanggal 15 Juni sebagai Hari Dengue se-Asean. Bersamaan dengan itu telah dilaksanakan pula dialog
Universitas Sumatera Utara
nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta dihadiri oleh perwakilan daerah se-Indonesia dan perwakilan WHO yang
menghasilkan Deklarasi Nasional tahun 2011 yaitu : a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk lebih mampu mengatasi
permasalahan demam berdarah. b. Meningkatkan upaya promosi kesehatan pencegahan demam berdarah.
c. Meningkatkan mutu sistem pengamatan penyakit secara terus menerus surveilans.
d. Menyiapkan logistik serta pendanaan operasional yang memadai. e. Meningkatkan kerjasama antar lintas sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.
f. Mengembangkan wilayah bebas jentik baik di institusi pemerintah , swasta, dan masyarakat, terutama di lingkungan sekolah dan tempat-tempat umum lainnya.
g. Menggerakkan peran serta masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, karang taruna, pramuka, PKK untuk lebih aktif dan tanggap terhadap demam berdarah.
h. Meningkatkan peran pemerintah pusat dalam pengendalian demam berdarah. i. Melakukan revitalisasi Pokjanal, demam berdarah di berbagai tingkatan baik
pusat, provinsi, kabupaten atau kota. j. Membuat regulasi daerah untuk pencegahan dan pengendalian demam berdarah
Ditjen PP PL, 2011. Guru Besar Penyakit Dalam FK UI Prof. Nelwan mengatakan sejak 1975
Malaysia telah menerapkan undang-undang yang tidak memperkenankan adanya jentik nyamuk di rumah. Begitu juga dengan Singapura sejak 1996 memberlakukan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan serupa yang disebut Destruction of Disease Bearing Insect untuk mengendalikan penularan demam berdarah melalui pengontrolan jentik di negaranya.
Lewat aturan tersebut tiap pemilik rumah didenda bila dijumpai jentik nyamuk di rumah. Bagi Malaysia dan Singapura aturan khusus itu juga bisa menjadi sumber
pendapatan negara. Singapura mengumpulkan uang penalti hingga 317 ribu dolar Singapura. Sedangkan Malaysia mencapai 2,4 juta ringgit Malaysia. Rita Kusriastuti
berpendapat kalau pemerintah Indonesia berniat mengeluarkan aturan seperti itu harus dilaksanakan konsekuen sehingga tidak menjadi sia-sia. Beliau setuju terhadap
aturan tersebut mengingat Indonesia belum ada regulasi seperti halnya Singapura atau Malaysia. Di Indonesia perkara mengeluarkan sebuah aturan memang bukan
gampang setidaknya butuh waktu dan biaya apalagi pembuatan regulasi setingkat UU harus mengikutsertakan parlemen Bantors, 2007.
Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin Nasional GDN, Gerakan Jumat Bersih GJB, Adipura, Kota Sehat dan gerakan lain
serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih Sehat PHBS. Negara Sri Lanka menggunakan Green Home Movement yaitu
menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti dan menempelkan stiker
hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk
membersihkan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang tersebut didenda BPPN, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN DBD maka pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu
Komunikasi Perubahan Perilaku KPP Communications for Behavioral Impact COMBI , tetapi beberapa Negara di dunia seperti Negara Asean Malaysia, Laos,
Vietnam, Amerika Latin telah menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang baik. Di Indonesia sudah diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta Timur dan
memberikan hasil yang baik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada kekompakan kerja tim, yang disebut sebagai tim kerja dinamis dan penyampaian pesan, materi dan
media komunikasi direncanakan berdasarkan masalah yang ditemukan oleh masyarakat dengan cara pemecahan masalah yang disetujui bersama. Diharapkan
dengan pendekatan KPP Combi ini, perubahan perilaku masyarakat kearah pemberdayaan PSN dapat tercapai secara optimal Ditjen PP PL,2008.
DKI Jakarta telah memiliki Perda No.6 Tahun 2007 tentang pengendalian penyakit DBD dimana dalam pasal 21 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar
ketentuan dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Teguran tertulis. b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan
stiker di pintu rumah. c. Denda paling banyak Rp. 50.000.000,- Lima Puluh Juta Rupiah atau pidana
kurungan paling lama 2 dua bulan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 22 menyebutkan bahwa setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap
urusan kerumahtanggaan dan atau kebersihan lingkungan masyarakat yang melanggar ketentuan dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk Aedes
albopictus pada lingkungan masyarakat yang menjadi lingkup tanggung jawabnya dikenakan sanksi sebagai berikut :
a. Teguran tertulis b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada masyarakat melalui penempelan
stiker di lobbi atau pintu masuk kantor c. Denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah atau pidana kurungan paling lama 3 tiga bulan.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3 pada tahun 1968
menjadi 0,87 pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang
tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian CFR: 0,80 .
Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus 2011 tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target
nasional Ditjen PP PL, 2011.
Universitas Sumatera Utara
DBD sangat endemis di Indonesia, penyebab meluasnya penyakit DBD di Indonesia multi faktorial antara lain:
a. Faktor Manusia dan Sosial Budaya 1. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus
DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini karena berkaitan dengan penyediaan infrastruktur yang kurang memadai seperti
penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul barang-barang bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat
perkembang biakan nyamuk Aedes, penular DBD. 2. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain
mempengaruhi penyebaran penyakit DBD. 3. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari
seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam bak mandi, membuat bak mandi atau drumtempayan sebagai tempat perkembangbiakan
nyamuk . 4. Kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan
terhadap adanya air-air yang tertampung didalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus menguras, menutup dan mengubur,
serta Plus yaitu menaburkan larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. b. Faktor Agen dan Lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor agen virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, dipertahankan siklusnya didalam
tubuh nyamuk. 2. Faktor nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok
tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan. 3. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di
Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak-bak
airdrum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun. c. Standar Operasional Prosedur
1. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit,
Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi over diagnosis.
2. Belum semua rumah sakit menggunakan form KD-RS Kewaspadaan Dini Rumah Sakit DBD dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah
sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar
dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.
d. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program
pengendalian DBD. 2. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena
keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB Pemeriksaan Jentik Berkala dimana kader-kader jumantik melaksanakan pemeriksaan jentik
seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana operasional maupun biaya pengganti transport bagi para kader jumantik sehingga
kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan, Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui
peran serta masyarakat dan Jumantik. e. Kondisi Sarana Pendukung
Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau Puskesmas jumlahnya bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya pemeliharaan. Oleh karena itu
mesin-mesin yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali diambil dari mesin-mesin yang ada, sehingga banyak mesin fogging yang rusak.
f. SumberPembiayaan 1. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di beberapa wilayah
sehingga alokasi dana APBD untuk penanggulangan DBD masih tergolong kecil di masing-masing wilayah endemis.
2. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter 1 HA , estimasi hanya untuk 20-40 rumah dibutuhkan biaya Rp.300.000 - 500.000 2 siklus. Area
Universitas Sumatera Utara
yang disemprot harus memenuhi kriteria PE tersebut, dengan tujuan membunuh nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta
penyemprotan yang tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung biaya itu sendiri. Penyemprotan liar ini biasanya dilakukan oleh perusahaan
penyemprot pihak swasta yang hanya mengutamakan aspek keuntungan saja. 3. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga Maret dimana
pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum turun dari APBD, ini membuat hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus di lapangan.
g. Faktor kerjasama atau peran serta lintas sektor Ditjen PP PL, 2011.
2.5. Demam Berdarah Dengue