Karakteristik dan Elemen Kerja

9 CCCA : Coordinating Committee on the Implementation on the CEPT Scheme for AFTA; 10 CCI : Coordinating Committee on Investment; 11 CCS : Coordinating Committee on Services; 12 COST : ASEAN Committee on Science and Technology; 13 DG of Customs : ASEAN Directors General of Customs Meeting; 14 IAI Task Force : Initiative for ASEAN Integration Task Force; 15 NTOs : National Tourism Organizations; 16 SLOM : Senior Labour Officials Meeting; 17 SMEWG : ASEAN SME Working Group; 18 SOM AMAF : Senior Official Meeting-ASEAN Ministries on Agriculture and Forestry ; 19 SOME : Senior Officials Meeting on Energy; 20 STOM : Senior Transport Officials Meeting; 21 TELSOM : Telecommunications and IT Senior Officials Meeting; 22 WGIPC :Working Group on Intellectual Property Cooperation.

H. Karakteristik dan Elemen Kerja

26 Untuk mewujudkan AEC pada tahun 2015, seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja 26 Ibid, h. 18-48. terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas, sebagaimana digariskan dalam AEC Blueprint. a. Arus Bebas Barang Arus bebas barang merupakan salah satu elemen utama AEC Blueprint dalam mewujudkan AEC dengan kekuatan pasar tunggal dan berbasis produksi. Dengan mekanisme arus barang yang bebas di kawasan ASEAN diharapkan jaringan produksi regional ASEAN akan terbentuk dengan sendirinya. AEC merupakan langkah lebih maju dan komprehensif dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN ASEAN Free Trade Area AFTA. AEC Blueprint mengamanatkan liberalisasi perdagangan barang yang lebih meaningful dari CEPTAFTA. Komponen arus perdagangan bebas barang tersebut meliputi penurunan dan penghapusan tarif secara signifikan maupun penghapusan hambatan non-tarif sesuai skema AFTA. Disamping itu, perlu dilakukan peningkatan fasilitas perdagangan yang diharapkan dapat memperlancar arus perdagangan ASEAN seperti prosedur kepabeanan, melalui pembentukan dan penerapan ASEAN Single Window ASW, serta mengevaluasi skema Common Effective Preferential Tariff CEPT Rules of Origin ROO, maupun melakukan harmonisasi standar dan kesesuaian standard and conformance. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati ASEAN Trade in Goods Agreement ATIGA pada pertemuan KTT ASEAN ke-14 tanggal 27 Februari 2009 di Chaam, Thailand. ASEAN Trade in Goods Agreement ATIGA merupakan kodifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang trade in goods. Dengan demikian, ATIGA merupakan pengganti CEPT Agreement serta penyempurnaan perjanjian ASEAN dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif yang disesuaikan dengan kesepakatan ASEAN Economic Community AEC Blueprint terkait dengan pergerakan arus barang free flow of goods sebagai salah satu elemen pembentuk pasar tunggal dan basis produksi regional. ATIGA terdiri dari 11 Bab, 98 Pasal dan 10 Lampiran, yang antara lain mencakup prinsip-prinsip umum perdagangan internasional non- discrimination, Most Favoured Nations- MFN treatment, national treatment , liberalisasi tarif, pengaturan non-tarif tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, kepabeanan, standar, regulasi teknis dan prosedur pemeriksaan penyesuaian, SPS Sanitary and Phytosanitary Measures , dan kebijakan pemulihan perdagangan safeguards, anti- dumping, countervailing measures . ATIGA yang diharapkan mulai berlaku efektif 180 hari setelah penandatanganannya pada tanggal 27 Februari 2009 bertujuan untuk: 1 Mewujudkan kawasan arus barang yang bebas sebagai salah satu prinsip untuk membentuk pasar tunggal dan basis produksi dalam ASEAN Economic Community AEC tahun 2015 yang dituangkan dalam AEC Blueprint; 2 Meminimalkan hambatan dan memperkuat kerjasama diantara Negara-negara Anggota ASEAN; 3 Menurunkan biaya usaha; 4 Meningkatkan perdagangan dan investasi dan efisiensi ekonomi; 5 Menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi yang lebih besar untuk para pengusaha di Negara-negara Anggota ASEAN; dan 6 Menciptakan kawasan investasi yang kompetitif. b. Arus Bebas Jasa Arus bebas jasa juga merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Liberalisasi jasa bertujuan untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa di antara negara-negara ASEAN yang dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam ASEAN Framework Agreement on Service AFAS. AFAS merupakan persetujuan di antara Negara-negara ASEAN di bidang jasa yang bertujuan untuk: 1 Meningkatkan kerjasama diantara Negara Anggota di bidang jasa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi dan pasokan serta distribusi jasa dari para pemasok jasa masing-masing Negara Anggota baik di dalam ASEAN maupun di luar ASEAN; 2 Menghapuskan secara signifikan hambatan-hambatan perdagangan jasa diantara negara anggota; dan 3 Meliberalisasikan perdagangan jasa dengan memperdalam tingkat dan cakupan liberalisasi melebihi liberalisasi jasa dalam GATS dalam mewujudkan perdagangan bebas di bidang jasa. Sejak disepakatinya AFAS pada tahun 1995, liberalisasi jasa dilakukan melalui negosiasi ditingkat Coordinating Committee on Services CCS dalam bentuk paket-paket komitmen. Hingga saat ini telah disepakati 7 tujuh paket komitmen AFAS. Khusus untuk jasa keuangan dan transportasi udara negosiasinya dilakukan oleh di tingkat menteri terkait lainnya. Dalam liberalisasi jasa tidak diperkenankan adanya tindakan mundur dari suatu komitmen yang telah disepakati. Liberalisasi jasa dilakukan dengan pengurangan atau penghapusan hambatan dalam 4 empat mode of supply, baik untuk Horizontal Commitment maupun National Treatment sebagai berikut: 1 Mode 1 cross-border supply: jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada pengguna jasa dalam negeri; 2 Mode 2 consumption abroad: jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada konsumen domestik yang sedang berada di negara penyedia jasa; 3 Mode 3 commercial presence: jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada konsumen di negara konsumen; 4 Mode 4 movement of individual service providers: tenaga kerja asing yang menyediakan keahlian tertentu dan datang ke negara konsumen. Liberalisasi jasa pada dasarnya adalah menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa yang terkait dengan pembukaan akses pasar market access dan penerapan perlakuan nasional national treatment untuk setiap mode of supply diatas. Hambatan yang mempengaruhi akses pasar adalah pembatasan dalam jumlah penyedia jasa, volume transaksi, jumlah operator, jumlah tenaga kerja, bentuk hukum dan kepemilikan modal asing. Sedangkan hambatan dalam perlakuan nasional dapat berbentuk peraturan yang dianggap diskriminatif untuk persyaratan pajak, kewarganegaraan, jangka waktu menetap, perizinan, standarisasi dan kualifikasi, kewajiban pendaftaran serta batasan kepemilikan properti dan lahan. c. Arus Bebas Investasi negara-negara ASEAN sepakat menempatkan investasi sebagai komponen utama dalam pembangunan ekonomi ASEAN, dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan pokok ASEAN dalam upaya mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN AEC pada tahun 2015. Prinsip utama dalam meningkatkan daya saing ASEAN menarik PMA adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif di ASEAN. Oleh karenanya, arus investasi yang bebas dan terbuka dipastikan akan meningkatkan penanaman modal asing PMA baik dari penanaman modal yang bersumber dari intra-ASEAN maupun dari negara non ASEAN. Dengan meningkatnya investasi asing, pembangunan ekonomi ASEAN akan terus meningkat dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat ASEAN. Sebagaimana diatur dalam GATT-WTO, prinsip-prinsip perdagangan internasional yang telah menjadi prinsip penanaman modal asing dan wajib dijabarkan didalam pengaturan penanaman modal di host country adalah Non Discriminatory Principle. Non Discriminatory Principle prinsip kesetaraan didasarkan pada alasan bahwa negara penerima investasi modal asing dengan menggunakan argumen-argumen tertentu, sering memberikan perlakuan yang berbeda diskriminatif kepada investor asing dengan berbagai cara. Prinsip Non Discriminatory tersebut kemudian dipecah menjadi dua prinsip utama, yaitu : 1 The Most Favoured Nation MFN Principle: Prinsip MFN merupakan prinsip kesetaraan, yaitu adanya perlakuan yang sama terhadap semua PMA yang masuk ke wilayah suatu negara tertentu, baik yang berkaitan dengan perjanjian bilateral dan maupun multilateral yang dituangkan dalam undang undang PMA. 2 National Treatment Principle NTP: National Treatment Principle NTP, yaitu tentang perlakuan yang sama oleh host country terhadap PMA dan PMDN. PMA yang masuk ke suatu Negara tertentu untuk mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan NTP, dalam hal ini PMA tersebut harus didirikan dan tunduk pada hukum yang berlaku di host country. Jika sebelumnya ASEAN sudah memiliki the Framework on the ASEAN Investment Area AIA pada tahun 1998 sebagai inisiatif investasi yang bertujuan untuk menarik dan meningkatkan arus PMA dari luar maupun dalam kawasan sebagaimana digariskan dalam AEC Blueprint, maka dibentuk ASEAN Comprehensive Investment Agreement ACIA yang ditandatangani pada tanggal 26 Pebruari 2009 di Cha-am, Thailand. ACIA pada dasarnya merupakan peleburan ASEAN Investment Agreement AIA dan ASEAN Investment Guarantee Agreement IGA sehingga ASEAN memiliki persetujuan bidang investasi yang lebih komprehensif dan forward looking, dengan 4 empat pilar pembaharuan sebagaimana tertuang dalam AEC Blueprint, yaitu: 1 Perlindungan investasi, bertujuan untuk menyediakan perlindungan kepada semua investor dan investasi yang dicakup dalam perjanjian tersebut. Tindakan yang dilakukan antara lain untuk memperkuat: a Aturan mekanisme penyelesaian sengketa investor-state; b Aturan transfer dan repatriasi modal, keuntungan, dividends dan lain-lain; c Cakupan ekspropriasi dan kompensasi yang transparan; d Perlindungan dan keamanan penuh; dan e Perlakuan kompensasi atas kerugian akibat sengketa. 2 Fasilitasi dan kerjasama, bertujuan untuk menyediakan peraturan, ketentuan, kebijakan,dan prosedur investasi yang transparan, konsisten dan dapat diprediksi. Tindakan yang dilakukan antara lain: a Mengharmonisasikan kebijakan investasi; b Mengefektifkan dan menyederhanakan prosedur aplikasi dan persetujuan investasi; c Mempromosikan disseminasi informasi penanaman modal: aturan, peraturan, kebijakan dan prosedur, termasuk melalui one-stop investment centre atau investment promotion board; d Memperkuat database dalam semua bentuk investasi yang mencakup barang dan jasa untuk fasiltasi formulasi kebijakan; e Melakukan koordinasi dengan kementerian dan instansi terkait; f Melakukan konsultasi dengan sektor swasta ASEAN untuk memfasilitasi investasi; dan g Mengidentifikasi dan menyelesaikan kerjasama implementasi integrasi ekonomi ASEAN-wide maupun bilateral. 3 Promosi dan awareness, bertujuan untuk mempromosikan ASEAN sebagai kawasan investasi terpadu dan jejaring produksi. Tindakan yang dilakukan antara lain : a Menciptakan iklim yang perlu untuk mempromosikan semua bentuk investasi dan wilayah-wilayah pertumbuhan baru di ASEAN; b Mempromosikan investasi intra-ASEAN, khususnya investasi dari ASEAN-6 ke CLMV; c Mendorong dan mempromosikan pertumbuhan dan pembangunan UKM dan Multinasional Enterprises MNEs; d Mempromosikan misi-misi joint investment yang fokus pada kluster regional dan jaringan kerja produksi; e Memperluas manfaat inisiatif kerjasama industri ASEAN disamping AICO Scheme untuk mendorong pengembangan kluster regional dan jaringan kerja produksi; dan f Membangun jaringan efektif perjanjian bilateral tentang pencegahan pajak ganda diantara negara-negara ASEAN. 4 Liberalisasi, bertujuan untuk mendorong liberalisasi investasi secara progessif. Tindakan yang dilakukan antara lain : a Menerapkan perlakuan non-diskriminasi, termasuk perlakuan nasional national treatment dan perlakuan MFN most- favoured nation kepada investor di ASEAN dengan pengecualian terbatas; meminimalkan apabila perlu menghapus pengecualian tersebut; b Mengurangi dan apabila memungkinkan menghapus peraturan masuk investasi untuk produk yang masuk dalam Priority Integration Sectors PIS; dan c Mengurangi dan apabila memungkinkan, menghapus peraturan investasi yang bersifat menghambat dan hambatan lainnya. Dalam rangka mengamankan sensitifitasnya terhadap arus bebas investasi, negara anggota ASEAN sepakat mengidentifikasi dan menetapkan daftar reservasinya reservation list masing-masing dengan mengacu pada Temporary Exclusion List TEL dan Sensitive List SL yang disepakati dalam Framework Agreement on AIA. Dengan adanya reservation List ini, maka masing-masing Negara Anggota ASEAN dapat melakukan reservasi terhadap ketentuan-ketentuan measures domestik terkait penanaman modal, yang tidak sesuai inconsistent dengan Artikel 5 National Treatment dan Artikel 8 Senior Management and Board of Directors . d. Arus Modal yang Lebih Bebas Arus modal mempunyai karakteristik yang berbeda apabila dikaitkan dengan proses liberalisasi. Keterbukaan yang sangat bebas atas arus modal, akan berpotensi menimbulkan risiko yang mengancam kestabilan kondisi perekonomian suatu negara. Pada sisi yang berbeda, pembatasan atas aliran modal, akan membuat suatu negara mengalami keterbatasan ketersedian kapital yang diperlukan untuk mendorong peningkatan arus perdagangan dan pengembangan pasar uang. Dengan mempertimbangkan, antara lain hal-hal tersebut, maka ASEAN memutuskan hanya akan membuat arus modal menjadi lebih bebas freer. Konteks ‘lebih bebas’ dalam hal ini secara umum dapat diterjemahkan dengan pengurangan relaxing atas restriksi-restriksi dalam arus modal misalnya relaxing on capital control. Arus modal yang lebih bebas dalam mencapai AEC 2015 adalah untuk mendukung transaksi keuangan yang lebih efisien, sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, memfasilitasi perdagangan internasional, mendukung pengembangan sektor keuangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Arus modal yang lebih bebas ini ini harus memperhatian keseimbangan antara pentingnya arus modal dan kepentingan safeguard measures untuk menghindari terjadinya gejolak yang berkaitan dengan lalu lintas modal tersebut. Arus modal antar Negara merupakan salah satu indikator adanya transaksi perdagangan asset yang dilakukan penduduk antar Negara. Liberalisasi arus modal yang dimaksud dalam konteks ASEAN adalah suatu proses menghilangkan peraturan yang bersifat menghambat arus modal kontrol modal dalam berbagai bentuk. Terkait dengan arus modal yang lebih bebas, AEC Blueprint mengelompokkan dua inisiatif utama bagi negara ASEAN, yaitu: 1 Memperkuat pengembangan dan integrasi pasar modal ASEAN, dan 2 Meningkatkan arus modal di kawasan melalui proses liberalisasi. Lebih lanjut, untuk mengembangkan dan meningkatkan integrasi pasar modal ASEAN maka ditetapkan lima program utama yaitu: 1 Harmonisasi berbagai standar di pasar modal ASEAN, khususnya dalam hal ketentuan penawaran harga initial public offering; 2 Memfasilitasi adanya untuk pekerja professional di pasar modal; 3 Adanya fleksibilitas dalam ketentuan hukum untuk penerbitan sekuritas; 4 Memfasilitasi berbagai usaha yang bersifat market driven untuk membentuk hubungan antar pasar saham dan pasar obligasi; 5 Memperkuat struktur mekanisme pemungutan pajak penghasilan pph, untuk memperkuat basis investasi bagi penerbitan surat utang di ASEAN. Dalam upaya memfasilitasi pergerakan modal yang lebih besar, liberalisasi pergerakan modal mengacu pada prinsip berikut: 1 Memastikan suatu liberalisasi capital account yang konsisten denganagenda nasional kesiapan ekonomi negara anggota; 2 Memperbolehkan penggunaan instrumen pengamanan terhadap potensi resiko instabilitas dan sistemik makroekonomi yang mungkin muncul dari proses liberalisasi, termasuk hak memberlakukan kebijakan yang dirasa perlu untuk stabilitas makroekonomi; 3 Memastikan manfaat liberalisasi yang akan diperoleh oleh seluruh Negara ASEAN. e. Arus Bebas Tenaga Kerja Terampil Apabila AEC terwujud pada tahun 2015, maka dipastikan akan terbuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi warga negara ASEAN. Para warga negara dapat keluar dan masuk dari satu negara ke negara lain mendapatkan pekerjaan tanpa adanya hambatan di negara yang dituju. Pembahasan tenaga kerja dalam AEC Blueprint tersebut dibatasi pada pengaturan khusus tenaga kerja terampil skilled labour dan tidak terdapat pembahasan mengenai tenaga kerja tidak terampil unskilled labour . Walaupun definisi skilled labor tidak terdapat secara jelas pada AEC Blueprint, namun secara umumskilled labor dapat diartikan sebagai pekerja yang mempunyai ketrampilan atau keahlian khusus, pengetahuan, atau kemampuan di bidangnya, yang bisa berasal dari lulusan perguruan tinggi, akademisi atau sekolah teknik ataupun dari pengalaman kerja. Dalam perkembangannya, arus bebas tenaga kerja sebenarnya juga bisa masuk dalam kerangka kerjasama AFAS dalam mode 4 seperti yang dijelaskan di atas. Kerjasama dalam mode 4 tersebut diarahkan untuk memfasilitasi pergerakan tenaga kerja yang didasarkan pada suatu kontrakperjanjian untuk mendukung kegiatan perdagangan dan investasi di sektor jasa. Salah satu upaya untuk mendukung hal tersebut adalah dengan disusunnya Mutual Recognition Arrangement MRA. MRA dapat diartikan sebagai kesepakatan yang diakui bersama oleh seluruh negara ASEAN untuk saling mengakui atau menerima beberapa atau semua aspek hasil penilaian seperti hasil tes atau berupa sertifikat. Adapun tujuan dari pembentukan MRA imi adalah untuk menciptakan prosedur dan mekanisme akreditasi untuk mendapatkan kesamaankesetaraan serta mengakui perbedaan antar negara untuk pendidikan, pelatihan, pengalaman dan persyaratan lisensi untuk para professional yang ingin berpraktek. Hingga tahun 2009, terdapat beberapa MRA yang telah disepakati oleh ASEAN yaitu MRA untuk jasa-jasa engineering, nursing, architectural, surveying qualification, tenaga medis dokter umum dan dokter gigi, jasa-jasa akutansi dimana semua MRA ini ditanda tangani oleh para Menteri Ekonomi ASEAN untuk Indonesia, Meneteri Perdagangan pada waktu yang berbeda-beda yaitu : 1 ASEAN MRA on Engineering Services, tanggal 9 December 2005 di Kuala Lumpur; 2 ASEAN MRA on Nursing Services, tanggal 8 Des 2006 di Cebu, Filipina; 3 ASEAN MRA on Architectural Services, 19 November 2007 di Singapura; 4 ASEAN Framework Arrangement for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications , tanggal 19 November 2007 di Singapura, ASEAN MRA on Medical Practitioners, tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand; 5 ASEAN MRA on Dental Practitioners, tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand; 6 ASEAN MRA Framework on Accountancy Services, tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand; 7 ASEAN Sectoral MRA for Good Manufacturing Practice GMP Inspection of Manufacturers of Medicinal Products , tanggal 10 April 2009 di Pattaya, Thailand. f. Sektor Prioritas Integrasi Sektor Prioritas Integrasi Priority Integration SectorsPIS adalah sektor-sektor yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. Para Menteri Ekonomi ASEAN dalam Special Informal AEM Meeting, tanggal 12-13 Juli 2003 di Jakarta menyepakati sebanyak 11 Sektor yang masuk kategori PIS. Selanjutnya, pada tanggal 8 Desember 2006 di Cebu, Filipina, para Menteri Ekonomi ASEAN menyetujui penambahan sektor Logistik sehingga jumlah PIS menjadi 12 dua belas sektor. Dalam proses meliberalisasikan seluruh sektor PIS tersebut, disepakati agar setiap negara anggota ASEAN bertindak sebagai Koordinator untuk 12 sektor PIS berikut: Tabel 1. Sektor Prioritas Integrasi Sumber: Buku Menuju ASEAN Economic Community 2015 Daftar PIS Negara Koordinator Daftar PIS Negara Koordinator 1 Agro-based product Myanmar 7 Healthcare Singapore 2 Air Travel Thailand 8 Rubber-based product Malaysia 3 Automotives Indonesia 9 Textile and Apparels Malaysia 4 e-ASEAN Singapore 10 Tourism Thailand 5 Electronics Filipina 11 Wood-based product Indonesia 6 Fisheries Myanmar 12 Logistics 2006 Vietnam Kedua belas PIS tersebut di atas berada di bawah 4 Persetujuan sebagai payung hukum PIS yaitu : 1 ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors , Vientiane, 29 November 2004 ; terdiri dari 11 sektor dengan daftar produk berjumlah 4273 Produk Phase ke-1 dimana setiap sektor dilengkapi dengan Protocol, Roadmap, Coverage Product dan Negative List ; 2 ASEAN Sectoral Integration Amendment Protocol for Priority Sectors , Cebu, Philippines, 8 December 2006 ; menambahkan sektor Logistik; 3 ASEAN Framework Amendment Agreement for the Integration of Priority Sectors , Cebu, Philippines, 8 December 2006 ; terdiri dari 12 sektor dengan daftar produk berjumlah 4514 Produk Phase ke-2.; 4 Protocol to Amend Article 3 of the ASEAN Framework Amendment Agreement for the Integration of Priority Sectors , Makati City, Philippines, 24 August 2007; disepakati dan ditandatanganinya Protocol untuk Sektor Logistik. Secara umum, PIS memiliki langkah khusus dan langkah spesifik untuk mempercepat integrasi 12 sektor dimaksud. Pada umumnya langkah- langkah tersebut merupakan langkah-langkah yang juga digariskan dalam ASEAN Trade In Goods ATIGA, antara lain: 1 Bidang Perdagangan Barang a Negara-Negara Anggota wajib menghapus seluruh Tarif Preferensial Efektif Bersama CEPT-AFTA pada seluruh produk yang sudah diidentifikasi yang dicakup oleh masing- masing Protokol Integrasi Sektoral ASEAN, kecuali yang tercantum dalam daftar negatif daftar sensitif, daftar sangat sensitif, dan daftar pengecualian umum pada Protokol-Protokol tersebut, yang jumlah keseluruhan untuk masing-masing Negara Anggota wajib tidak melebihi 15 dari daftar total produk pada 1 Januari 2007 untuk ASEAN-6; dan 1 Januari 2012 untuk CLMV; b Negara-negara Anggota wajib melaksanakan tindakan-tindakan berikut ini terkait dengan kebijakan-kebijakan non tarif selanjutnya disebut sebagai NTMs dan hambatan non tarif selanjutnya disebut sebagai NTBs, untuk memastikan transparansi, sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan: i. Menyusun basis data NTMs ASEAN pada Juni 2004 dan diperbaharui secara rutin; ii. Menyusun kriteria yang jelas untuk mengidentifikasikan NTMs yang merupakan hambatan-hambatan perdagangan, pada tanggal 27 September 2005; iii. Menyusun suatu program kerja yang jelas dan tetap untuk penilaian NTMs yang ada dan identifikasi NTBs pada tanggal 21 Agustus 2006; iv. Menghapus NTBs pada seluruh produk yang ditetapkan dalam batas waktu berikut ini: 1 Paket Pertama: pada tanggal 1 Januari 2008 untuk ASEAN-5; 1 Januari 2010 untuk Filipina; dan 1 Januari 2013 untuk CLMV; 2 Paket Kedua: pada tanggal 1 Januari 2009 untuk ASEAN-5; 1 Januari 2011 untuk Filipina; dan 1 Januari 2014 untuk CLMV; 3 Paket Ketiga: pada tanggal 1 Januari 2010 untuk ASEAN-5; 1 Januari 2012 untuk Filipina; dan 1 Januari 2015 dengan fleksibilitas sampai tahun 2018 untuk CLMV; v. Mengadakan peninjauan kembali dan penilaian secara rutin terhadap NTMs berdasarkan kriteria sebagaimana ditetapkan oleh Dewan AFTA yang dimulai tanggal 1 Januari 2008. 2 Bidang Perdagangan Jasa Negara-negara Anggota wajib mempercepat liberalisasi perdagangan di sektorsektor jasa prioritas sampai tahun 2010. Hal ini dapat dicapai melalui: a Penghapusan seluruh pembatasan di Mode 1 pasokan lintas batas dan Mode 2 konsumsi luar negeri pada tanggal 31 Desember 2008, sebaliknya dengan alasan-alasan tertentu wajib diberikan; b Mengijinkan Mode 3 kehadiran komersial target-target keikutsertaan saham asing dengan fleksibilitas, sampai tanggal 31 Desember 2010, sesuai dengan keputusan-keputusan Para Menteri Ekonomi ASEAN AEM; c Menetapkan target-target yang jelas untuk meliberalisasi pembatasan-pembatasan Mode 3 lainnya, pada tanggal 31 Desember 2007; d Memperbaiki komitmen-komitmen Mode 4 sejalan dengan hasil-hasil dari masing-masing putaran perundingan Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN bidang Jasa AFAS; e Mempercepat pengembangan dan finalisasi Pengaturan- pengaturan Saling Pengakuan selanjutnya disebut sebagai “MRAs”, sebagaimana telah ditetapkan, pada tanggal 31 Desember 2008; f Memberlakukan formula ASEAN-X; dan g Meningkatkan usaha-usaha patungan dan kerjasama, termasuk pasar-pasar negara ketiga dimulai tahun 2007. 3 Bidang Investasi Penanaman Modal a Mempercepat pembukaan sektor-sektor yang saat ini dalam Daftar Sensitif selanjutnya disebut sebagai ”SL”, dengan mengalihkan sektor-sektor tersebut ke dalam Daftar Pengecualian Sementara selanjutnya disebut sebagai ”TEL” berdasarkan Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kawasan Penanaman Modal ASEAN AIA, dengan menggunakan formula ASEAN-X; b Mengurangi kebijakan-kebijakan penanaman modal yang bersifat membatasi dalam SL. Menyelesaikan penghapusan progresif kebijakan-kebijakan penanaman modal yang bersifat membatasi dalam TEL pada tahun 2010 untuk ASEAN, tahun 2013 untuk Vietnam dan tahun 2015 untuk Kamboja, Laos, dan Myanmar; c Mengidentifikasi dan melaksanakan program-program dan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan penanaman-penanaman modal di ASEAN. 4 Bidang Ketentuan Asal Barang Negara-negara Anggota, pada tanggal 31 Desember 2006, wajib memperbaiki Ketentuan Asal Barang CEPT dengan: a Membuat ketentuan asal barang menjadi lebih transparan, dapat diprediksi, terstandarisasi dan memfasilitasi perdagangan, dengan memperhatikan kebutuhan untuk meningkatkan sumber regional dan kebiasaan-kebiasaan terbaik dari Perjanjian- perjanjian Perdagangan Regional lainnya, termasuk ketentuan asal barang WTO; b Menerima transformasi substansial sebagai kriteria alternatif untuk menentukan status asal barang. 5 Prosedur Kepabeanan Melaksanakan ASEAN Single Window pada tanggal 1 Januari 2008 untuk ASEAN-6 dan tanggal 1 Januari 2012 untuk Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam; 6 Standar dan Kesesuaian Negara-negara Anggota wajib mengambil langkah-langkah berikut untuk mempercepat pengembangan Mutual Recognition Arrangements MRAs dan menyelaraskan standar-standar produk dan peraturan-peraturan teknis, dengan: a Mempercepat pengembangan dan pelaksanaan dan apabila sesuai pengembangan sektoral mras untuk sektor-sektor prioritas dimulai pada tanggal 1 Januari 2005; b Mendorong para pengatur dalam negeri untuk mengakui hasil- hasil uji yang diterbitkan oleh laboratorium-laboratorium penguji yang telah diakreditasi oleh badan-badan akreditasi nasional di ASEAN yang merupakan penandatangan mras pada Kerja Sama Akreditasi Laboratorium Internasional ILAC dan Kerja Sama Akreditasi Laboratorium Asia Pasifik APLAC untuk produk-produk yang tidak tercakup dalam mras sektoral; dimulai tanggal 1 Januari 2007; c Menetapkan target-target dan jadwal-jadwal yang jelas untuk penyelarasan standar-standar dalam sektor-sektor prioritas apabila dipersyaratkan. Apabila standar-standar internasional tidak tersedia dan apabila diminta oleh industri, menyelaraskan standar-standar nasional diantara negara-negara anggota; pada tanggal 31 Desember 2005; d Menyelaraskan standar-standar yang telah ditetapkan diantara negara-negara anggota pada tanggal 31 Desember 2007; e Menetapkan dan menyelaraskan standar-standar tambahan, apabila dipersyaratkan, apabila standar-standar internasional tidak tersedia, dan apabila dipersyaratkan oleh industri, menyelaraskan standar-standar nasional diantara negara-negara anggota pada tanggal 31 Desember 2010; f Menyelaraskan danatau mengembangkan peraturan-peraturan teknis yang sesuai, untuk pemberlakuan nasional pada tanggal 31 Desember 2010; g Memastikan pemenuhan persyaratan-persyaratan pada persetujuan- persetujuan WTO mengenai hambatan-hambatan teknis perdagangan dan pemberlakuan kebijakan-kebijakan Sanitary dan Phyto–Sanitary; h Menjajaki pengembangan kebijakan ASEAN mengenai standar- standar dan kesesuaian untuk memfasilitasi lebih lanjut perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimulai tahun 2005. 7 Fasilitasi Perjalanan di ASEAN a Menyelaraskan prosedur-prosedur penerbitan visa bagi para pelancong internasional di ASEAN; dan b Memberikan pembebasan visa untuk perjalanan intra ASEAN untuk para warga negara ASEAN.” 8 Perpindahan Pelaku Usaha, Tenaga Ahli, Profesional, Tenaga Terampil dan Orang Berbakat Dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dalam negeri, masing-masing negara anggota wajib: a Mengembangkan suatu persetujuan ASEAN untuk memfasilitasi perpindahan para pelaku usaha, termasuk pemberlakuan suatu Kartu Perjalanan ASEAN; b Menetapkan dan mengembangkan mekanisme lain yang akan melengkapi prakarsa-prakarsa ASEAN yang telah ada untuk memfasilitasi lebih lanjut perpindahan para tenaga ahli, profesional, tenaga terampil dan orang berbakat pada tanggal 31 Desember 2007; dan c Mempercepat penyelesaian mras untuk memfasilitasi perpindahan bebas dari para tenaga ahli, profesional, tenaga terampil dan orang berbakat di ASEAN, pada tanggal 31 Desember 2008. 9 Peningkatan Perdagangan dan Penanaman Modal a Mengintensifkan upaya-upaya promosi bersama intra ASEAN dan ekstra ASEAN secara rutin; b Mengatur prakarsa-prakarsa sektor swasta secara rutin untuk melakukan kebijakan-kebijakan fasilitasi dan promosi ASEAN bersama yang lebih efisien untuk meningkatkan FDI ke ASEAN; dan c Misi-misi perdagangan dan penanaman modal bersama. 10 Statistik Perdagangan dan Penanaman Modal Intra ASEAN Negara-negara anggota wajib mengembangkan suatu sistem yang efektif untuk memantau perdagangan dan penanaman modal intra ASEAN melalui: a Penyusunan suatu basis data perdagangan dan penanaman modal yang efisien, pada tanggal 31 Desember 2009; b Penyediaan perkembangan terakhir pada Sekretariat ASEAN mengenai statistik terakhir perdagangan barang dan jasa dan penanaman modal; dan c Penyiapan gabungan profil-profil industri oleh masing-masing asosiasi yang antara lain, mencakup informasi seperti kemampuan produksi dan cakupan produk. 11 Hak Kekayaan Intelektual: Negara-negara Anggota wajib memperluas lingkup kerja sama hak kekayaan intelektual ASEAN, selain merek dagang dan paten, termasuk kerjasama pertukaran informasi dan penegakan hak cipta. 12 Penggunaan Tenaga Kerja Kontrak dan Industri Pelengkap: Negara-negara anggota wajib meningkatkan kelengkapan diantara para pengusaha fabrikasi ASEAN, apabila dapat diberlakukan, melalui: a Identifikasi dan pengembangan kawasan-kawasan spesialisasi proses-proses produksi, penelitian dan pengembangan RD, serta fasilitas-fasilitas pengujian berdasarkan keuntungan komparatif dari masing-masing negara anggota; dan b Pengembangan pedoman mengenai pengenalan pengaturan- pengaturan penggunaan tenaga kerja kontrak diantara negara- negara anggota, apabila dapat diberlakukan, pada tanggal 31 Desember 2008. BAB III ASEAN TOURISM AGREEMENT ATA 2002 DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional 1. Pengertian Perjanjian Internasional Dalam pengertian umum dan luas, perjanjian internasional yang dalam Bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi adalah 27 Mengenai pengertian perjanjian internasional ini, secara defenitif adalah sukar, sebagaimana juga yang dihadapi bila akan mencari batasan daripada hukum. Namun yang jelas mengenai batasan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional ini, di bawah ini akan diketengahkan beberapa pendapat para ahli hukum ternama, yang antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie dalam bukunya “Principles of public international Law” , yaitu: “Treaty as an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation” “kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional”. 28 27 I Wayan Phartiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian : I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 12. 28 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford University Press, 3 rd edition, 1979, h. 602. . Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional 29 Batasan yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja itu nampak jelas sekali bahwa yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional tidak hanya terbatas pada Negara sebagai subyek hukum internasional saja, melainkan pada subyek-subyek hukum internasional lainnya, seperti misalnya Organisasi Internasional, belligerent , orang perorangan, Palang Merah Internasional, dan Tachta Suci. Namun masih diragukan apakah individu dan kaum pemberontak serta pihak dalam sengketa dapat menjadi pihak dalam perjanjian internasional, sebab mereka pun subyek hukum internasional dalam arti modern . 30 29 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit , h . 84 30 A.K, Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung, 1985, h. 8-9. . Pengertian perjanjian internasional seperti dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja di atas, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh A.S. Hershey, yang hanya membatasi Negara saja sebagai subyek yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian internasional. Hal ini nampak dari defenisi yang diberikannya yang mengatakan bahwa: “International treaties or Convention are agreements or contracts between two or more states, usually negotiated for the purpose of creating, modifying or extinguishing mutual and reciprocal obligations 31 Batasan yang senada dengan apa yang telah dikutip di atas adalah dikemukakan oleh Academy of Sciences of USSR, yang berbunyi: ”suatu perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua atau lebih Negara-negara mengenai pemantapan, perubahan atau pembatasan daripada hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik ”. 32 Dari batasan-batasan diatas jelaslah bahwa hanyalah negara-negara saja yang diakui sebagai subyek yang berhak berwenang untuk mengadakan atau menjadi pihak dalam perjanjian internasional. Hal tersebut jelas dilandasi atas suatu pandangan menurut hukum internasional dalam arti konvensional yang hanya mengakui Negara sebagai satu- satunya subyek hukum internasional. Namun lain pula halnya dengan latar belakang pemikiran daripada batasan perjanjian yang diberikan oleh Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian, di mana treaty pada hakekatnya sebagai suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara di dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional.walaupun batasan itu disebutkan hanya Negara saja, namun bukanlah berarti bahwa hanya negara-negara itu saja yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian internasional melainkan konferensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-perjanjian yang diadakan ”. 31 Ibid, h. 9. 32 Ibid, h.10. oleh subyek-subyek hukum internasional lainnya secara tersendiri. Dengan perkataan lain bahwa perjanjian-perjanjian antar negara dengan subyek hukum lain daripada negara, seperti perjanjian antara negara dengan organisai internasional, perjanjian antar organisai internasional satu dengan yang lainnya atau perjanjian antar organisai internasional dengan subyek hukum internasional lain seperti wilayah perwakilan, kaum belligerent misalnya, tidak tunduk kepada Konvensi Wina tahun 1969 ini 33 Akan tetapi mengingat hukum perjanjian internasional yang mengatur perjanjian antar Negara berbeda atau diatur dalam bentuk yang berbeda dengan perjanjian antar Negara dan organisasi internasional atau perjanjian antara organisasi internasional dan organisasi internasional, akan lebih baik lagi jika pengertian perjanjian internasional tersebut dibedakan menjadi dua macam . 34 Kedua adalah perjanjian antara Negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan organisasi internasional, sebagaimana . Pertama adalah perjanjian internasional antara Negara degan Negara, yaitu sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969, yang menyatakan sebagai berikut: perjanjian artinya, suatu persetujuan internasional yang diadakan antar Negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrument tunggal atau berupa dua atau lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya 33 Ibid, h. 10-11. 34 I Wayan Phartiana, Op.cit, h. 14-15. dijelaskan dalam pasal 2 ayat1 butir a Konvensi Wina 1986, sebagai berikut: Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: i Antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau ii Sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. 2. Unsur-Unsur Perjanjian Internasional Berdasarkan pengertian tentang perjanjian internasional maka dapat dijabarkan unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu 35 a Kata sepakat : Kata sepakat adalah merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjina internasional. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian. Tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan ada perjanjian. Kata sepakat inilah yang dirumuskan atau dituangkan di dalam naskah pasal-pasal perjanjian. Pasal-pasal naskah perjanjian itulah mencerminkan kata sepakat dari para pihak. b Berbentuk tertulis 35 Ibid, 16-18. Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam Bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah Bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Ada pula perjanjian-perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih. Sedangkan tulisan atau huruf yang dipergunakan adalah huruf latin, meskipun tidak dilarang menggunakan huruf lain, misalnya huruf resmi yang dianut pihak terikat pada perjanjian tersebut, seperti huruf Thailand, huruf Arab, huruf Cina, huruf Jepang, dan lain-lain. Dengan dibentuknya yang tertulis, maka terjamin adanya ketegasan, kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak maupun juag bagi pihak ketiga yang mungkin pada waktu tersangkut perjanjian itu. c Obyek tertentu Obyek dari perjanjian internasional itu adalah obyek atau hal yang diatur didalamnya. Setiap perjanjian pasti mengandung obyek tertentu. Tidak ada perjanjian yang tanpa obyek yang pasti. Obyek itu sendiri secara langsung menjadi nama dai pejanjian tersebut misalnya Konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari perjanjian atau konvensi tersebut adalah tentang laut. Perjanjian tentang garis batas wilayah yang berarti obyeknya adalah garis batas wilayah dari para pihak, demikian pula perjanjian tentang kerjasama hokum, kerjasama ekonomi dan perdagangan, kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain. d Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional Yang dimaksudkan hukum internasional dalam hal ini adalah baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum perjanjian internasional pada khususnya. Sebagaimana secara umum sudah dipahami, bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Demikian pula dari sejak perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional maupun hukum perjanjian internasional. Hal ini menunjukan atau mencirikan, bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum internasional. Dengan terpenuhinya semua unsur perjanjian internasional, dapat disimpulkan dan dibedakan hukum internasional publik dan perjanjian atau lebih tepat kontrak-kontrak internasional yang tunduk pada hukum perdata atau hukum perdagangan atau hukum kontrak internasional yang lebih menunjukan sifat privat atau keperdataan, meskipun dewasa ini bidang hukum ini juga mengandung unsur-unsur publik atau dengan kata lain sudah menunjukan sifat dan coraknya yang sui generis. Demikian pula secara implisit dapat dibedakan antara perjanjian internasional dengan perjanjian atau lebih tepat perikatan nasional, yang tunduk pada hukum nasional masing-masing negara. 3. Ruang Lingkup Perjanjian Internasional Dari segi ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional dapat dibagi menjadi tiga, yaitu 36 a Perjanjian internasional khusus : Yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku khusus bagi negara-negara yang terikat di dalamnya tanpa memandang letak geografis dari negara-negara itu masing-masing. Obyek atau masalah yang diatur di dalamnya pun adalah masalah yang secara khusus menyangkut kepentingan mereka sendiri. Jadi, meskipun mereka berada dalam kawasan yang berlainan tetapi karena adanya kepentingan yang sama untuk mengatur suatu obyek atau masalah secara khusus dalam suatu perjanjian internasional. Negara-negara yang terikat pada suatu perjanjian internasional bisa terdiri dari negara-negara yang secara geografis saling berjauhan, misalnya satu negara di benua Afrika, sedangkan satu negara lainnya di benua Asia, di benua Eropa maupun benua Amerika. Akan tetapi karena mereka mempunyai kepentingan yang sama atas suatu obyek maka mereka sepakat untuk mengaturnya dalam suatu perjanjian yang khusus. 36 Ibid, h. 48-50. b Perjanjian internasional regional atau kawasan Adalah perjanjian internasional yang ruang lingkup berlakunya terbatas pada suatu kawasan tertentu saja. Berbeda denagan perjanjian internasional khusus, perjanjian internasional regional berlaku dan mengikat negara-negara yang berada dalam suatu kawasan yang sekaligus menunjukan ciri regionalnya. Misalnya perjanjian internasional antara negara-negara di kawasan Amerika Latin, di kawasan Afrika, di kawasan Timur Tengah, di kawasan Eropa, dan lain sebagainya. Namun demikian, suatu perjanjian internasional sudah dapat dipandang sebagai perjanjian internasional regional, meskipun tidak semua negara di kawasan yang bersangkutan menjadi pihak atau peserta di dalam perjanjian tersebut. Yang penting adalah apakah perjanjian itu sudah menampakan ciri dan corak regionalnya ataukah tidak. Misalnya Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 tentang pembentukan ASEAN sudah dapat dipandang sebagai perjanjian internasional regional meskipun tidak semua negara di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu menandatanganinya maupun menjadi anggota ASEAN. Demikian pula perjanjian tentang pembentukan pakta pertahanan dan keamanan Artlantik Utara atau yang lebih dikenal dengan NATO, justru negara anggotanya ada yang berada di benua Amerika, seperti Amerika Serikat dan Kanada, sedangkan tidak semua negara di benua Eropa menjadi anggotanya. Perjanjian inipun sudah dapat dipandang sebagai perjanjian internasional regional, karena sudah menampakan ciri dan corak regionalnya yaitu sebagai sebuah perjanjian yang ruang lingkup berlakunya adalah di kawasan Artlantik Utara. Namun patut pula diingat, bahwa hingga kini belum ada kriteria yang berlaku umum tentang kapan dan bilamanakah suatu bagian dunia tertentu disebut sebagai suatu kawasan regional. Misalnya apakah benua Eropa merupakan satu kawasan tersendiri yang terdiri dari sub-regio seperti sub-regio Eropa Timur, Eropa Barat, Eropa Selatan; demikian pula Afrika apakah merupakan satu kawasan tersendiri yang terdiri dari sub-regio Afrika Barat, Afrika Timur, Afrika Utara dan lain sebagainya. Penentuan apakah bagian dunia tertentu itu merupakan satu regio atau kawasan ataukah tidak, lebih banyak ditentukan oleh faktor politik daripada faktor yuridis. Oleh Karena itulah, maka tidak pernah ada suatu kepastian tentang kriteria dari kawasan ini. c Perjanjian internasional umum atau universal Adalah perjanjian internasional yang substansi dan ruang lingkup berlakunya diseluruh muka bumi ini. Perjanjian semacam ini merupakan perjanjian internasional yang law making treaty, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948, Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian ini, oleh para sarjana hukum internasional, disebut juga degan nama “legislative treaty”, yang tampaknya merupakan penganalogian dari suatu undang-undang dalam sistem hukum nasional. 4. Jenis-jenis Perjanjian Internasional a Perjanjian Internasional Tidak Tertulis 37 Perjanjian internasional tak tertulis pada umumnya adalah merupakan pernyataan secara bersama atau secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala Negara, kepala pemerintah atau menteri luar negeri, atas nama negaranya masing-masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak. Disamping itu, suatu perjanjian internasional tidak tertulis dapat berupa pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh pejabat-pejabat atau organ pemerintah dari negara lain yang berkepentingan sebagai tanda persetujuan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sudah ada suatu persetujuan atau perjanjian lisan atau tidak tertulis antara para pihak yang bersangkutan. Unwritten Agreement Oral Agreement Perjanjian internasional tidak tertulis mempunyai bentuk maupun sifat yang kurang formal. Tentu saja juga kurang jelas dan kurang menjamin kepastian hukum bagi para pihak, tetapi dapat mengikat sebagai hukum yang derajatnya sama dengan perjanjian internasional yang berbentuk tertulis. Sebuah contoh perjanjian internasional tidak 37 Ibid, h. 35-36. tertulis yang dikutip dalam perpustakaan hukum internasional adalah ucapan Presiden Philipina, Ferdinand E. Marcos dalam sidang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kualalumpur pada tanggal 8 Agustus 1977. Dalam pidato resminya itu Marcos menyatakan, bahwa sejak saat itu Philipina mencabut klaimnya atas Sabah dan mengakui Sabah sebagai bagian dari wilayah Malaysia yang ternyata mendapat tanggapan positif dari kepala Negara dan kepala pemerintah Negara anggota ASEAN lainnya yang hadir pada waktu itu. Ucapannya itu dapat dipandang sebagai suatu janji lisan tidak tertulis dari Philipina kepada Malaysia. Bahwa Philipina tidak lagi mempermasalahkan mengenai masuknya Sabah sebagai bagian dari wilayah Malaysia 38 b Perjanjian Internasional Tertulis Written Agreement . Perjanjian internasional tertulis mendominasi hukum internasional maupun hubungan-hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena memang perjanjian internasional yang berbentuk tertulis ini memiliki beberapa keunggulan, seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukumnya bagi para pihak. Perjanjian internasional tertulis jika ditinjau dari segi organ negara yang membuatnya, dapat dibedakan lagi dalam beberapa macamnya, antara lain 39 1 Perjanjian internasional yang berbentuk perjanjian antar negara : Perjanjian seperti ini biasanya merupakan perjanjian yang dilihat dari segi isinya tergolong amat penting, baik bagi para pihak 38 Ibid, h. 36 39 Ibid, h. 37-38. yang terikat pada perjanjian itu ataupun sebagai kaidah hukum yang berlaku umum. Jika perjanjian itu merupakan perjanjian tertutup, maka arti pentingnya tentu saja hanya terbatas kepada negara-negara yang terikat atau yang menjadi pesertanya. Sebaliknya, jika perjanjian itu merupakan perjanjian terbuka, arti pentingnya tidak saja terbatas pada para pihak yang terikat atau menjadi peserta pada perjanjian tersebut melainkan juga bagi negara lain atau negara ketiga yang rapat atau yang mungkin pada suatu waktu akan menjadi peserta pada perjanjian itu. Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian itu merupakan perjanjian antar negara, dapat dilihat dan dibaca pada kata-kata pembukaannya yang digunakannya, yaitu “the States Parties”. Misalnya, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menggunakan kata-kata: “The States Parties to the Present Convention…. ”. 2 Perjanjian internasional yang berbentuk perjanjian antar kepala Negara Perjanjian ini ditandatangani oleh kepala Negara masing- masing pihak. Dalam kata pembuka dari perjanjian semacam ini digunakan kata-kata “The High Contracting Parties….”. Misalnya, European Convention on Human Rights November 4, 1950, menggunakan kata-kata “The High Contracting Parties….”. 3 Perjanjian internasional yang berbentuk antar pemerintah Dalam perjanjian semacam ini, wakil-wakil para pihak adalah menteri-menteri dalam bidangnya masing-masing sebagai wakil dari pemerintahnya. Biasanya perjanjian semacam ini adalah perjanjian internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih bersifat teknis, dan merupakan perjanjian yang tertutup. Perjanjian semacam ini menggunakan kata-kata pembuka “The Government of……… and The Government of ………….. ”. Sebagai contoh adalah perjanjian atau persetujuan tentang garis batas landas kontinen antara Indonesia dan negara-negara tetangganya menggunakan kata pembuka seperti tersebut di atas. 5. Tahapan dalam Perjanjian Internasional Perjanjian berdasarkan atas tahap pembentukannya dapat dibedakan atas dua golongan 40 a Perjanjian yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan, yakni perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi, yang lazimnya diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan-badan perwakilan rakyat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, untuk perjanjian ini dapat digunakan kata “perjanjian internasional atau traktat”. , yaitu: 40 Ibid, h. 14. b Perjanjian yang hanya melewati dua tahap pembentukan yakni perundingan dan penandatanganan, merupakan perjanjian yang sederhana sifatnya, dan diadakan untuk hal-hal yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat, seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. Untuk golongan ini dinamakan “persetujuan”. Cara pembentukan perjanjian internasional pada umumnya masih tergantung pada kebiasaan masing-masing Negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusinya masing-masing. Namun sebagai pedoman untuk mengetahui baik secara teoritis maupun praktis, ketentuan pembentukan perjanjian internasional tetap mengacu kepada berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Menurut Ny. Mieke Komar 41 1. Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima dan mengesahkan suatu perjanjian atas nama negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan adanya full powers tersebut , rangkaian pasal-pasal mengenai masalah cara pembentukan perjanjian ini mengikuti pola yang tertentu dan bertahap disertai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yang antara lain dikatakan: 42 2. Harus melalui tahap perundingan dan perlu ditentukan tentang cara penerimaan dan pengesahan naskah perjanjian; ; 41 Ibid, h. 23. 42 Pasal 7 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. 3. Harus dinyatakan secara tegas tentang cara suatu Negara dapat menyatakan persetujuan consentnya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian, yakni dengan penandatanganan signature, pertukaran instrumen ratifikasi, pernyataan ikut serta accession misalnya; 4. Harus ditentukan perihal waktu antara penandatanganan dan mulai berlakunya perjanjian 43 Aturan-aturan konvensi mengenai hal-hal di atas tidak menimbulkan banyak permasalahan yang kontraversial karena aturan-aturan tersebut secara nyata telah diterima oleh Negara-negara, baik sebagai hukum kebiasaan internasional maupun dalam praktek negara-negara . 44 1. Penunjukan wakil-wakil yang akan mengadakan perundingan . Berikut ini adalah proses perumusan perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian: Untuk mengadakan perundingan dalam rangka merumuskan naskah perjanjian, maka para pihak terlebih dahulu menunjuk wakil- wakilnya yang akan mengadakan perundingan tersebut, yang merupakan suatu delegasi dari masing-masing pihak. Penunjukan wakil-wakil ini sepenuhnya di atur berdasarkan hukum nasional masing-masing Negara. Siapa yang ditunjuk sebagai wakil-wakilnya sepenuhnya terletak pada pemerintah Negara itu masing-masing. Pada umumnya orang yang ditunjuk tersebut adalah warga negaranya 43 Pasal 11-18 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. 44 A.K, Syahmin, Op.cit, h. 23. sendiri, seperti pejabat-pejabat negaranya, orang-orang yang menjadi warga negaranya yang bukan pejabat Negara tetapi memiliki keahlian dalam bidang yang akan diatur didalam perjanjian tersebut. Sedangkan orang asing dapat ditunjuk hanya terbatas sebagai penasehat delegasi atau sebagai konsultan ahli 45 2. Kuasa Penuh Full Powers . Kuasa penuh 46 Wakil-wakil yang telah ditunjuk oleh pemerintah negaranya masing-masing, selanjutnya dilengkapi dengan kuasa penuh full powers yang berfungsi sebagai bukti, bahwa orang atau individu yang bersangkutan secara sah mewakili negaranya dalam perundingan atau konperensi untuk merumuskan naskah perjanjian ataupun melakukan tindakan-tindakan lain yang dipandang perlu dalam kaitannya dengan perjanjian yang dirumuskannya itu. Disamping itu kuasa penuh full powers juga berfungsi untuk menunjukan ruang lingkup tugas dan berarti sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang berisi penunjukan atas seseorang atau lebih untuk mewakili Negara yang bersangkutan untuk merundingkan, mengadopsi, atau mengotentikasi suatu naskah suatu perjanjian internasional, untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional atau untuk melakukan tindakan lainnya yang berkenaan dengan perjanjian tersebut. 45 I wayan phartiana, Op.cit, h. 94-95. 46 Pasal 2 ayat 1 huruf c Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. kewenangan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah negaranya sendiri 47 Pada awal memasuki perundingan, wakil-wakil masing-masing pihak terlebih dahulu saling menunjukan atau memperlihatkan kuasa penuhnya kepada mitra berundingnya, guna saling meyakinkan bahwa mereka itu secara sah sebagai wakil-wakil yang ditunjuk oleh pemerintah negaranya masing-masing. Cara seperti ini umumnya diterapkan dalam perundingan yang bersifat bilateral maupun multilateral terbatas, misalnya perundingan multilateral yang hanya antara beberapa pihak saja, karena dalam perundingan semacam ini, saling menyerahkan atau menukarkan kuasa penuh secara teknis memang masih bisa dilakukan. Selanjutnya dilanjutkan dengan melakukan perundingan-perundingan untuk membahas substansi dari obyek yang akan dirumuskan dan diatur dalam bentuk suatu perjanjian internasional. Sedangkan perundingan yang berbentuk suatu konperensi internasional yang dihadiri demikian banyak utusan atau wakil-wakil negara-negara yang menjadi peserta partisipant ataupun menjadi peninjau observers dalam konperensi tersebut, tentu saja secara teknis tidak mungkin dilakukan pertukaran atau saling memperlihatkan kuasa penuh antara para wakil tersebut. Dalam hubungan ini maka dibentuk suatu komite, yang disebut komite kuasa penuh full powers committee. Kuasa penuh inilah yang bertugas . 47 I wayan phartiana, Op.cit, h. 95. memeriksa dan menilai keabsahan kuasa penuh dari wakil-wakil dari pelbagai negara tersebut 48 Pasal 7 dan 8 konvensi wina 1969 mengatur tentang kuasa penuh. Pasal 7 ayat 1 berkenaan dengan kewajiban menyerahkan kuasa penuh dari wakil Negara dan ayat 2 berkenaan dengan pejabat-pejabat negara yang tidak membutuhkan kuasa penuh. Pasal 7 ayat 2 mengatur tentang pejabat-pejabat negara yang karena tugas dan fungsinya dengan sendirinya dipandang sebagai mewakili negaranya dan karena itu tidak perlu memperlihatkan kuasa penuh. Pejabat-pejabat negara tersebut adalah . 49 a Kepala negara, kepala pemerintah, dan menteri luar negeri; : b Kepala misi diplomatik 50 c Kepala perwakilan yang diakreditasi oleh suatu negara pada suatu konperensi internasional atau suatu organisasi internasional atau salah satu dari organnya. ; Pasal 8 mengatur orang yang sebenarnya tidak membawa atau tidak mempunyai kuasa penuh tetapi bertindak mewakili negaranya dalam mengadakan suatu perjanjian internasional, yang membutuhkan konfirmasi belakangan dari pemerintah negaranya 51 48 Ibid, h. 95-96. 49 Ibid, h. 102-103. 50 Berdasarkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. 51 I wayan phartiana, Op.cit, h. 98. . Tindakan yang demikian in dipandang tidak menimbulkan akibat hukum apapun, kecuali tindakannya itu dibenarkan oleh pemerintah negaranya. Tindakan orang yang tidak membawa atau tidak dapat menunjukan kuasa penuh dari organ negaranya yang berwenang, dipandang sebagai tindakan yang tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Dengan kata lain, Konvensi Wina 1969 ini masih memandang kuasa penuh sebagai suatu yang utama 52 3. Penerimaan naskah perjanjian adoption of the text . Tahap ini menunjukan bahwa para phak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atau naskah perjanjian, meskipun kesepakatan itu belum merupakan kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang defenitif 53 Menurut pasal 9 ayat 1 . 54 pengadopsian naskah suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang berpartisipasi dalam perumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah perjanjian yang lahir melalui suatu konperensi internasional seperti ditentukan dalam pasal 8 ayat 2. Pasal 8 ayat 2 55 52 Ibid, h. 105. 53 Ibid, h. 106. 54 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. 55 Ibid. mengatur tentang penerimaan naskah perjanjian internasional yang lahir melalui suatu konperensi internasional. Konperensi internasional yang dihadiri wakil-wakil dari sejumlah Negara, tentu saja sebelum membahas pokok masalah yang akan dirumuskan dalam bentuk naskah suatu perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menyepakati peraturan yang merupakan prosedur rule of procedure tentang pembahasan pokok masalah tersebut. Mulai dari tahap paling awal sampai paling akhir. Di dalamnya termasuk salah satunya adalah tentang pengadopsian atau penerimaan naskah perjanjian adoption of the text . Jika dalam rule of procedure itu sudah tercantum pengaturan tentang pengadopsian naskah perjanjiannya, maka para pihak hanya tinggal mengikuti ketentuan itu saja 56 4. Pengotentikasian naskah perjanjian authentication of the text . Pengotentikasian atau pengesahan naskah suatu perjanjian internasional adalah merupakan tahap lanjutan dari penerimaan atau pengadopsian suatu naskah perjanjian. Pengotentikan atau pengesahan ini akan menigkatkan status dari naskah perjanjian yang sudah melewati tahap penerimaan, menjadi naskah yang final dan defenitif. Dengan status yang final dan defenitif ini, maka naskah perjanjian itu tidak lagi dapat diubah. Kecuali nanti setelah perjanjian itu mulai berlaku, dapat diubah melalui prosedur modifikasi ataupun amandemen sesuai dengan pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya, menurut prosedur seperti ditentukan dalam bagian IV pasal 39-41. Menurut pasal 10 butir a, naskah suatu perjanjian internasional ditetapkan sebagai naskah yang otentik dan defenitif, dengan cara atau prosedur sebagaimana di dalam naskah perjanjian itu sendiri atau dengan cara yang disetujui oleh negara-negara yang berpartisipasi 56 I wayan phartiana, Op.cit, h. 106-107. dalam perumusan naskah perjanjian itu. Jadi, jika perjanjian itu sendiri mengatur tentang pengesahannya dan tercantum di dalam salah satu atau beberapa pasalnya, maka para pihak harus mengikuti prosedur tersebut. Sebaliknya jika tidak ada pengaturannya dalam naskah perjanjian itu, maka para pihak yang berpartisipasi dalam merumuskan naskah perjanjian itu hendaknya terlebih dahulu menyepakati prosedur tersebut. Atas dasar prosedur yang mereka sepakati itulah naskah perjanjian itu harus disahkan atau diotentikasikan. Dalam kenyataannya jarang sekali ada perjanjian internasional yang mengatur sendiri di dalam salah satu atau beberapa pasalnya tentang pengotentikasian atau pengesahan naskah perjanjian ini. Selanjutnya dalam pasal 10 butir b menyatakan, jika prosedur seperti ditentukan dalam pasal 10 butir a tersebut tidak ada, maka pengotentikasian naskah perjanjian dapat dilakukan dengan penandatanganan signature, signature ad referendum atau pemarafan oleh wakil-wakil dari Negara-negara tersebut atas naskah perjanjian atau atas akte akhir final act dari konperensi yang digabungkan pada naskah perjanjian itu sendiri. tentang cara mana yang dipilih dari ketiga cara tersebut, kembali tergantung pada persetujuan para pihak 57 57 Ibid, h. 107-108. . 5. Persetujuan untuk terikat pada perjanjian consent to be bound by a treaty Setelah naskah perjanjian secara resmi di terima sebagai naskah yang otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak dan dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali jika saat pengotentikasian sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian digabungkan. Oleh karena itu, satu tahap yang harus dilalui oleh suatu negara adalah pernyataan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian. Dengan cara bagaimana persetujuan untuk terikat itu harus dilakukan, ditentukan di dalam perjanjian itu sendiri. dalam pasal 11 Konvensi Wina 1969, ditegaskan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatanganan signature, pertukaran instrument yang membentuk perjanjian exchange of instruments constituting a treaty, ratifikasi ratification, akseptasi acceptance, persetujuan atau aksesi approval or accession, atau dengan cara lain yang disepakati or by any other means if so agreed 58 58 Ibid, h. 109-110. .

B. ASEAN Tourism Agreement 2002