ASEAN Tourism Agreement 2002 Dalam Perspektif Hukum Perjanjian

C. ASEAN Tourism Agreement 2002 Dalam Perspektif Hukum Perjanjian

Internasional 1. ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 Sebagai Perjanjian Internasional ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 atau persetujuan pariwisata ASEAN merupakan salah satu perjanjian internasional yang disepakati oleh lebih dari dua Negara. Ada banyak istilah-istilah perjanjian internasional, dan untuk Persetujuan Pariwisata ASEAN menggunakan istilah Agreement. Agreement adalah 65 Jika dilihat dari ruang lingkupnya ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 merupakan perjanjian internasional regional atau kawasan, karena yang terikat dengan Agreement hanya negara-negara ASEAN atau di kawasan Asia Tenggara. Kemudian dari unsur-unsur sebuah perjanjian internasional ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 sudah sesuai, jika dilihat dari unsur pertama yaitu kata sepakat, dalam hal ini, kata sepakat di dapatkan dari sepuluh negara ASEAN yang sepakat untuk merumuskan isi dari Agreement tersebut, lalu unsur yang kedua yaitu suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. Agreement lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen, serta tidak perlu diratifikasi. Karenanya sifat Agreement tidaklah seresmi traktat atau konvensi. 65 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Jakarta, Djambatan, 2002, h.47. berbentuk tertulis, sudah terlihat dalam Agreement ini telah dibuat naskahnya dan setiap negara mendapatkan naskah dari Agreement tersebut. Untuk unsur yang ketiga yaitu obyek tertentu, dalam ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 obyek yang diatur adalah bidang pariwisata ASEAN, segala hal yang berhubungan dengan pariwisata ASEAN dan bertujuan untuk memberikan kemajuan dibidang pariwisata ASEAN. Lalu unsur terakhir yaitu tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional, mengenai hal ini ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian. 2. Ketentuan Mengikat ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternalnya adalah keterikatan negara yang bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Suatu negara yang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional berarti negara itu menyatakan kesediaannya untuk menaati dan menghormati perjanjian internasional itu. Negara itu terikat pada perjanjian internasional yang telah disetujuinya bersama-sama dengan negara lain maupun dalam hubungan antara mereka satu sama lainnya. Perjanjian itu akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik secara bersama-sama maupun secara timbal balik antara Negara-negara yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat. Semuanya itu tunduk pada prnsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional pada khususnya. Dengan demikian, aspek eksternal ini relatif lebih pasti karena adanya satu bidang hukum yang mengaturnya yaitu hukum internasional dan didalamnya termasuk hukum perjanjian internasional yang berlaku bagi semua negara di dunia. Mengenai aspek internalnya, berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan. Misalnya, organ yang manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimana mekanismenya sampai dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan negara itu pada suatu perjanjian internasional. Pengaturan tentang hal ini tentu saja berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya, yang disebabkan karena setiap negara memiliki sistem hukum, politik, maupun konstitusi yang berbeda-beda 66 Ketentuan yang diakibatkan oleh ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 terhadap Indonesia khususnya, adalah mengenai kesiapan Indonesia dalam mengelola pariwisata serta menjamin keamanan dan kenyamanan di setiap daerah wisata, hal ini ada dalam ASEAN Tourism Agreement ATA 2002, sehingga Indonesia yang sudah meratifikasi dan ikut mensukseskan program pariwisata ASEAN harus tetap konsisten . 66 I wayan phartiana, Op.cit, h. 144-145. dalam mengelola daerah-daerah wisata di Indonesia yang dapat membantu perekonomian Indonesia dan daerah-daerah wisata khususnya. 3. Ratifikasi ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 Dengan menentukan isinya perjanjian belum berarti bahwa perjanjian itu sudah mengikat. Untuk ini dibutuhkan suatu penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka ini mempunyai kesempatan untuk mempelajari dan setelah diajukan pada parlemen bila perlu. Penegasan tersebut dinamakan pengesahan atau ratifikasi. Kecuali bila ditentukan lain dalam perjanjian 67 Ratifikasi di sini merupakan tindakan suatu Negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuan untuk diikat dengan suatu perjanjian . 68 . Sehingga pada dasarnya Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian menekankan pada persetujuan yang akan meningkatkan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku mengikat bagi Negara-negara peserta 69 Ratifikasi biasanya dibuat oleh kepala-kepala negara yang berkepentingan, yang selanjutnya diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi pula, terkecuali kalau ditentukan lain dengan istimewa, misalnya perjanjian akan berlaku sejak ditandatangani. Hal tersebut telah ditekankan oleh bapak Budi Harsono M.I.L. bahwa pada . 67 Edy Suryono, Praktik ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia, Remadja Karya, Bandung, 1956, h. 24. 68 Konvensi wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. 69 Edy Suryono,Op.cit, h. 25. prinsipnya ratifikasi merupakan pernyataan yang bersifat penetapan atau pengesahan resmi dari kepala negara. Ditambahkan pula oleh beliau bahwa bila perjanjian tidak memuat ketentuan tanggal berlakunya, maka perjanjian tersebut harus diratifikasi 70 1 Pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusi atau hukum internasional . Dalam proses sebelum ratifikasi treaty, sebenarnya terdapat dua kegiatan, yaitu: 2 Pernyataan kehendak negara dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan praktik diplomasi yang berlaku 71 Dari dua kategori diatas, maka dapat dikatakan ratifikasi mempunyai dua arti, yaitu ratifikasi dalam arti internasional dan ratifikasi dalam arti konstitusional. . Ratifikasi dalam arti internasional disebut pula ratifikasi yang sebenarnya ratification proper. Ratifikasi demikian diselenggarakan oleh organ eksekutif sebagai suatu badan yang mewakili suatu negara berhadapan dengan negara lain. Pernyataan kehendak suatu negara pada umumnya tercantum dalam dokumen ratifikasi instrument of ratification yang ditandatangani oleh kepala negara atau menteri luar negeri. Kemudian dokumen tadi dipertukarkan antar negara yang satu dengan yang lainnya, dan disimpan dideposit pada suatu negara untuk perjanjian bilateral atau disekretariat suatu organisasi 70 Ibid, h. 26. 71 Ibid, h. 26-27. internasional untuk perjanjian multilateral. Sebagai akibat dari pertukaran dokumen itu maka negara yang telah meratifikasi telah terikat pada treaty itu. Jadi, yang dimaksud dengan ratifikasi dalam arti internasional di sini adalah kegiatan yang berupa pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi, karena sejak tanggal pertukaran itulah lahirnya kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek ratifikasi tersebut 72 Adapun ratifikasi dalam arti konstitusional merupakan “The International Constitutional Act ”. Dalam hal ini biasanya organ legislatif biasanya menyetujui dan mengesahkan suatu treaty dari segi hukum konstitusi dalam negeri sendiri. maksudnya ratifikasi dalam arti ini ialah persetujuan parlemen sebelum ratifikasi oleh eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing yang seharusnya dicantumkan dalam konstitusi seperti dikebanyakan negara, misalnya Amerika Serikat, Perancis, dan Belanda. Disamping itu diperhatikan pula proses pembentukan perundang-undangan legislation . 73 Tujuan ratifikasi adalah memberikan kesempatan kepada negara- negara guna mengadakan peninjauan serta pengamatan yang seksama apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian tersebut . 74 Prosedur ratifikasi suatu perjanjian internasional tergantung pada ketentuan konstitusi atau undang-undang dasar masing-masing Negara. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar . 72 Ibid, h. 27. 73 Ibid, h. 27-28. 74 Ibid, h. 28. hukum bagi Negara Republik Indonesia dalam mengikatkan diri pada perjanjian-perjanjian internasional sejak memperoleh kemerdekaannya yaitu: 1 Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 2 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pemerintah suatu negara untuk sampai pada keputusan untuk menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian internasional, melibatkan peranan parlemen, atau hanya salah satu organ pemerintah saja, bahkan cukup dengan melibatkan wakilnya yang melakukan perundingan saja. Dalam hal apa saja masing-masing atau kerjasama organ-organ pemerintah negara itu berperan, sangat tergantung pada substansi dari perjanjian internasional itu sendiri 75 Sejauh manakah wakil atau pemerintah negara tersebut telah menyetujui suatu perjanjian internasional, apakah perjanjian internasional sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan kaidah- kaidah hukum nasional, sistem politik, dann konstitusi dari negara itu sendiri . 76 75 I wayan Phartiana,Op.cit, h. 146. 76 Ibid, h. 147. . Suatu perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh suatu negara berarti perjanjian internasional itu masuk menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut. Secara intern negara itu akan menghadapi kesulitan mengenai ketentuan manakah yang harus diutamakan dalam penerapannya, apakah ketentuan perundang-undangan nasional ataukah ketentuan perjanjian internasional itu sendiri 77 Tiga sistem ratifikasi . 78 a. Sistem ratifikasi yang semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif. Dalam hal ini kepala negara sebagai badan eksekutif boleh mengikat, termasuk meratifikasi, perjanjian internasional tanpa pengawasan dari badan negara yang lainnya yaitu badan legislatif. : b. Sistem ratifikasi yang semata-mata dilakukan oleh badan legislatif. Sistem kedua ini juga tidak banyak digunakan lagi pada waktu sekarang. c. Sistem campuran dimana baik badan eksekutif dan maupun badan legislative memainkan peranan dalam proses ratifikasi perjanjian. Dalam golongan ini masih terdapat lagi pembagian ke dalam dua golongan yang dinamakan subsistem, yaitu: 1 Sistem campuran di mana badan legislatif lebih menonjol. Dalam hal ini maka persetujuan parlemen diperlukan 77 Ibid, h. 147-148. 78 Edy Suryono,Op.cit, h. 49-51. sebelum suatu perjanjian internasional diratifikasi oleh badan eksekutif. Menurut sistem ini persetujuan parlemen diperlukan jika bidang dari perjanjian internasional yang telah ditandatangani wakil-wakil berkuasa penuh termasuk wewenang biasa dari parlemen berkenaan dengan perundang-undangan dalam negeri, seperti perubahan perundang-undangan dan perubahan yang menyangkut batas wilayah negara. 2 Sistem campuran di mana badan eksekutif lebih menonjol. Namun walaupun dalam sistem ini resminya badan eksekutif yang melakukan ratifikasi, dalam kenyataannya nasehat dan persetujuan parlemen mempunyai peranan yang menentukan pula bagi terselenggaranya peratifikasian suatu perjanjian internasional. Sistem ini pada umumnya terdapat di negara yang berbentuk republik, dimana parlemen sebagai salah satu badan pembentuk undang- undang, dengan sendirinya juga merupakan “treaty making power ”. Berikut adalah tahapan dalam ratifikasi perjanjian internasional 79 79 Yudha Bakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003, h. 149-150. : 1. Sesudah naskah perjanjian subject to ratification yang telah ditandatangani oleh wakil Republik Indonesia pada akhir suatu konferensi internasional atau suatu perundingan, dimintakan pendapat politis serta persetujuan kepada Pimpinan Departemen Luar Negeri, untuk selanjutnya dimintakan pengesahan dari Presiden oleh Menteri Luar Negeri. Sebelum mengesahkannya, Presiden minta kepada DPR untuk menyetujuinya terlebih dahulu. 2. Sebelum Menteri Luar Negeri minta pengesahan kepada Presiden, Direktorat yang bersangkutan di Departemen Luar Negeri terlebih dahulu mengadakan suatu konsultasi antar Departemen yang berkepentingan dengan materi dari pada perjanjian tersebut. Pembahasan secara teknis pada prinsipnya diserahkan kepada masing-masing Departemen tadi. 3. Didalam konsultasi antar Departemen tersebut disiapkan pula suatu Rancangan Undang-Undang beserta penjelasannya untuk disampaikan kepada Presiden, yang kemudian dengan Amanat Presiden disampaikan kepada DPR untuk disetujui. 4. Setelah memperoleh persetujuan DPR, Rancangan Undang- Undang tersebut ditandatangani dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan oleh Sekertaris Negara. Perjanjian tersebut biasanya mulai berlaku setelah diadakan pertukaran Piagam ratifikasi. Berdasarkan penjelasan di atas, Republik Indonesia dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional menggunakan sistem campuran dan ASEAN Tourism Agreement ATA tahun 2002 di ratifikasi melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengesahan ASEAN Tourism Agreement persetujuan pariwisata ASEAN. 4. Akibat Hukum ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 Keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional merupakan konsekuensi hukum dari keinginan dan tindakan berdaulat negara untuk membuat perjanjian 80 Akibat hukumnya adalah kewajiban-kewajiban tertentu dalam ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 untuk Indonesia khususnya dan negara-negara ASEAN umumnya. Kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian termaksud seperti dikehendaki oleh pasal 18 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “kewajiban untuk tidak merusak objek dan tujuan perjanjian pada saat berlakunya, apabila misalnya ia telah menandatangani perjanjian, . Kesepakan yang telah dituangkan ke dalam ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 merupakan komitmen negara anggota ASEAN untuk melaksanakannya dan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut akan melahirkan pertanggungjawaban internasional kepada negara-negara yang telah menyepakati ASEAN Tourism Agreement ATA 2002. 80 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, cetakan ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, h.235. mempertukarkan piagam ratifikasi, sudah diakseptasi, disetujui atau apabila ia telah menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian”. Karena ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 sudah diratifikasi oleh Indonesia maka ketentuan-ketentuan dalam ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 berlaku bagi pihak-pihak yang disebutkan didalamnya terkhusus dibidang pariwisata, hal-hal yang berkenaan dengan daerah wisata, pengelola wisata, transportasi untuk menuju daerah wisata tersebut serta pihak-pihak yang akan memberikan keamanan dan kenyamana di tempat wisata. BAB IV ASEAN TOURISM AGREEMENT ATA 2002 DAN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDONESIA D. Hak dan Kewajiban Indonesia Pada ASEAN Tourism Agreement 2002 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa suatu Negara wajib untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak obyek dan maksud dari suatu perjanjian apabila 81 1 Negara tersebut telah menandatangani perjanjian atau telah saling menukar instrument perjanjian yang masih harus diratifikasi, akseptasi penerimaan atau persetujuan, sampai negara tersebut menyatakan kinginannya secara tegas bahwa ia tidak jadi menjadi anggota kepada perjanjian, atau : 2 Negara tersebut telah menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh suatu perjanjian sambil menunggu berlakunya suatu perjanjian dan asalkan bahwa berlakunya perjanjian tersebut tidak ditunda pasal 18 konvensi. Di dalam naskah ASEAN Tourism Agreement ATA 2002 terdapat beberapa hak dan kewajiban yang didapatkan dan harus dilaksanakan oleh negara-negara yang ikut dalam perjanjian tersebut, termasuk Indonesia, hak dan kewajiban tersebut adalah 82 a. Bidang transportasi : 81 Huala Adolf, Op.cit, h.234-235. 82 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Asean Tourism agreement Persetujuan Pariwisata Asean, hal 5-7. Wisatawan yang berasal dari negara anggota ASEAN berhak mendapatkan kemudahan fasilitas transportasi untuk menuju daerah wisata, sehingga memberikan kemudahan wisatawan untuk berkunjung ke daerah wisata di Negara-negara ASEAN. Negara Anggota wajib memberikan fasilitas perjalanan ke dan di dalam ASEAN dengan: 1 Pengaturan pemberian bebas Visa bagi warga negara anggota ASEAN yang bepergian di wilayah ASEAN berdasarkan persetujuan bilateral antara negara anggota ASEAN yang telah siap melaksanakannya; 2 Menyelaraskan prosedur penerbitan visa bagi wisatawan internasional; 3 Secara bertahap meniadakan pungutan-pungutan perjalanan dan pajak-pajak perjalanan bagi warga negara anggota ASEAN yang melakukan perjalanan ke negara anggota ASEAN lainnya; 4 Mendorong penggunaan smart cards untuk pengusaha dan wisatawan ASEAN yang sering melakukan perjalanan ke negara anggota ASEAN lainnya, bila memungkinkan untuk wisatawan lintas-batas berdasarkan perjanjian bilateral bagi negara anggota ASEAN yang telah siap melaksanakannya; 5 Memperbaiki komunikasi dengan wisatawan internasional melalui pemakaian simbol-simbol universal dan tanda-tanda dan format dalam berbagai bahasa; 6 Mempermudah proses penerbitan dokumen-dokumen perjalanan dan secara progresif mengurangi semua hambatan perjalanan; 7 Melakukan kerjasama dalam meningkatkan aksesibilitas melalui udara ke dan antar negara anggota melalui liberalisasi jasa penerbangan secara progresif; 8 Meningkatkan efisiensi pengelolaan bandara dan jasa-jasa terkait lainnya; 9 Membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk mendorong pengembangan wisata kapal pesiar, perjalanan menggunakan feri, dan perahu pesiar dengan menyediakan prasarana yang memadai dan memfasilitasi perjalanan tanpa batas; 10 Meningkatkan kerjasama dalam mengembangkan langkah- langkah untuk mendukung perjalanan wisata yang efisien dan aman yang berkaitan dengan angkutan darat dan asuransi perjalanan; dan 11 Mendorong kerjasama dan pengaturan komersial antar perusahaan-perusahaan penerbangan ASEAN. b. Akses pasar Negara anggota wajib melakukan perundingan secara berkesinambungan di bidang perdagangan jasa pariwisata sesuai Kerangka Kerja Persetujuan ASEAN di bidang Jasa. c. Pariwisata berkualitas Wisatawan yang berasal dari negara-negara ASEAN berhak mendapatkan pariwisata yang berkualitas, karena setiap daerah wisata yang ada di negara-negara ASEAN telah di sesuaikan dengan kenyamanan wisatawan sesuai dengan karakteristik daerah wisatanya. Negara anggota wajib menjamin terwujudnya pariwisata yang berkualitas melalui 83 1 Mendorong pemerintah dan masyarakat setempat di semua lapisan untuk menjalankan program-program yang menjamin pelestarian, konservasi dan promosi warisan alam, budaya dan sejarah negara-negara anggota; : 2 Mendorong para pengunjung untuk memahami, menghargai dan membantu pelestarian warisan alam, budaya dan sejarah negara- negara anggota; 3 Mendorong jika mungkin penerapan standar-standar pengelolaan lingkungan dan program-program sertifikasi bagi pariwisata yang berkelanjutan dan untuk menilai serta memantau dampak pariwisata terhadap masyarakat, budaya dan 83 Ibid, h.5-6 alam setempat, khususnya di wilayah-wilayah yang lingkungan dan budayanya sensitif; 4 Mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk melestarikan dan memelihara warisan alam, ekosistem dan keanekaragaman hayati, dan untuk melindungi flora dan fauna, serta mikro organisme yang terancam punah; 5 Memperkuat langkah-langkah untuk mencegah berbagai ancaman yang terkait dengan pariwisata dan eksploitasi terhadap warisan budaya dan sumber daya alam; dan 6 Mengambil langkah-langkah tegas untuk mencegah penyimpangan yang terkait dengan pariwisata dan eksploitasi terhadap manusia, khususnya wanita dan anak-anak. d. Keamanan dan kenyamanan pariwisata Wisatawan yang berasal dari negara-negara ASEAN berhak mendapatkan perlindungan dan keamanan di setiap daerah wisata yang ada di negara-negara ASEAN, jika ada wisatawan yang merasa dirugikan maka aparat penegak hukum yang ada di daerah wisata tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negara anggota wajib menjamin keselamatan dan keamanan wisatawan dengan: 1 Meningkatkan kerjasama antar institusi penegak hukum yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan wisatawan; 2 Mengintensifkan pertukaran informasi mengenai hal-hal keimigrasian antar institusi penegak hukum; dan 3 Mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin sistem komunikasi dan bantuan yang memenuhi kebutuhan pengunjung. e. Pemasaran dan promosi bersama Wisatawan yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN berhak mendapatkan promosi terkini dan diprioritaskan mengenai pariwisata yang ada di negara-negara ASEAN, melalui jasa-jasa pariwisata yang sudah bekerja sama dengan daerah wisata terkait maupun pemerintahan setempat yang memberikan informasi terkait hal tersebut. Negara anggota wajib mengintensifkan kegiatan bersama untuk memasarkan dan mempromosikan perjalanan wisata ke dan di dalam wilayah ASEAN dengan 84 1 Mendukung kampanye kunjungan ASEAN, dengan menampilkan paket-paket wisata dan atraksi tematik untuk mendorong pengunjung pada wisata minat khusus; : 84 Ibid, h.6-7 2 Mempromosikan kekayaan alam dan keanekaragaman budaya dan seni ASEAN; 3 Membantu kerjasama antar organisasi pariwisata nasional dan industri pariwisata ASEAN, terutama perusahaan penerbangan, hotel dan resor, agen perjalanan dan tur operatorbiro perjalanan, dalam memasarkan dan mempromosikan paket-paket wisata antar negara, termasuk kawasan pertumbuhan sub-regional; 4 Meminta perusahaan-perusahaan penerbangan negara anggota untuk memperluas program promosi pariwisata mereka; 5 Menyelenggarakan peristiwa-peristiwa promosi pariwisata negara ASEAN secara keseluruhan di dalam dan di luar ASEAN; 6 Memperluas dan memperkuat kerjasama ASEAN di pasar-pasar luar ASEAN dan pada pameran-pameran dagang pariwisata internasional utama; 7 Mempromosikan ASEAN sebagai suatu label di pasar internasional; 8 Memperkuat dukungan terhadap Forum Pariwisata ASEAN; 9 Mempromosikan peluang investasi di kalangan industri pariwisata ASEAN; 10 Melakukan kerjasama dalam penggunaan teknologi informasi di kalangan industri pariwisata ASEAN; dan 11 Membantu kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam bidang pemasaran dan promosi pariwisata, bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional dan regional serta badan- badan terkait lainnya f. Pengembangan sumber daya manusia Masyarakat dari negara-negara ASEAN berhak mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah setempat maupu pihak swasta di bidang pariwisata untuk pengembangan pariwisata ASEAN. Negara anggota wajib bekerja sama dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang industri pariwisata dengan 85 1 Merumuskan pengaturan tanpa hambatan untuk memudahkan negara anggota ASEAN menggunakan tenaga ahli pariwisata profesional dan tenaga kerja terampil yang ada di kawasan berdasarkan pengaturan bilateral; : 2 Mengintensifkan upaya berbagi sumber daya dan sarana untuk program pendidikan dan pelatihan pariwisata; 3 Meningkatkan kurikulum pendidikan dan keterampilan pariwisata dan merumuskan standar kompetensi dan prosedur sertifikasi, yang mengarah pada saling pengakuan atas keterampilan dan kualifikasi di kawasan ASEAN; 85 Ibid, h.7 4 Memperkuat kemitraan pemerintah dan swasta dalam pengembangan sumber daya manusia; dan 5 Melakukan kerjasama dengan negara-negara lain, kelompok negara dan lembaga-lembaga internasional dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang pariwisata.

E. Hak dan Kewajiban Indonesia Pada ASEAN Economic Community 2015