Pengaruh  perbedaan  rasio  CN  terhadap  pH  cairan  kultivasi  dapat  dilihat pada  Gambar  13.  Secara  keseluruhan  pada  kelima  komposisi  media  pH  larutan
mengalami  kenaikan  dari  nilai  pH  awal  yaitu  antara  7,13  –  8,20.  Rentang  pH tersebut  masih  dalam  rentang  pH  pertumbuhan  yang  optimum  bagi  B
thuringiensis yaitu  5,5  –  8,5  Benhard  dan  Utz  1993.  Pada  jam  ke-3,  yang
merupakan  tahap  pertama  pertumbuhan,    seluruh  cairan  kultivasi  kelima komposisi media mengalami kenaikan pH  yang berkisar antara 7,40 hingga 7,90.
kenaikan  pH  disebabkan  oleh  dilepaskannya  amonia  sebagai  hasil  metabolisme urea. Menurut Sneath  1986,  Bacillus thuringiensis  memang  diketahui memiliki
enzim urease. Selain itu kenaikan pH terjadi karena dan adanya proses deaminasi substrat protein dalam medium Rahayuningsih 2003.
Penurunan  pH  kemudian  terjadi  pada  jam  ke-6  dimana  mulai  terjadi pembentukan asam organik karena pemanfaatan karbohidrat oleh B. thuringiensis
menghasilkan  asam  organik  seperti  asam  piruvat  dan  asam  asetat  Norris 1971, selanjutnya  pH  naik  kembali  hingga  jam  ke-12.  Peningkatan  kembali  nilai  pH
selama  fasa  stasioner  disebabkan  oleh  pemanfaatan  kembali  asam  asetat  yang terakumulasi  dalam  medium  untuk  memproduksi  poli-l3-hidroksibutirat  PHS
yang selanjutnya dapat digunakan sebagai energi selama proses sporulasi Tirado- Montiel et al. 2001.
Fluktuasi nilai pH cairan  kultivasi kelima  komposisi masih terjadi hingga jam  ke  36 dengan  nilai  kisaran pH  antara  7,80 dan  8,10.
Setelah
jam  ke 36 pH media  pengalami  penurunan  karena  adanya  akumulasi  dari  hasil  katabolisme
glukosa. Berdasarkan  analisis  sidik  ragam  Lampiran  5  pada  tingkat  kepercayaan
95 menunjukan bahwa pengaruh rasio CN terhadap hasil pengukuran pH pada setiap  jam  pengamatan  berbeda  nyata,  demikian  pula  interaksi  antara  keduanya
berpengaruh secara signifikan. Dengan demikian berdasarkan perubahan pH yang terjadi  kelima  komposisi  rasio  diatas  masih dapat digunakan  untuk pertumbuhan
Bt.
4.4.2  Pertumbuhan
Bacillus thuringiensis
Umumnya  bakteri  dapat  memperbanyak  diri  dengan  pembelahan  biner, yaitu  dari  satu  sel  membelah  menjadi  dua  sel  baru.  Pertumbuhan  mikroba
dibedakan  antara  pertumbuhan  masing-masing  individu  sel  dan  pertumbuhan kelompok  sel  atau  pertumbuhan  populasi.  Pertumbuhan  Bacillus  thuringiensis
selama  kultivasi  diartikan  sebagai  pertumbuhan  populasi.  Pengukuran pertumbuhan  populasi  dapat  diamati  dari  meningkatnya  jumlah  sel  hidup  atau
massa  sel  berat  kering  sel.  Jumlah  sel  hidup  dapat  ditetapkan  dengan  metode total  plate  count
TPC  atau  colony  count  yaitu  dengan  cara    ditaburkan  pada medium  agar  sehingga  satu  sel  hidup  akan  tumbuh  membentuk  satu  koloni,
jumlah koloni dianggap setara dengan jumlah sel. Menurut Bideshi et al. 2010, jumlah  sel  hidup  menunjukan  total  jumlah  sel  vegetatif,  spora  yang  sedang
tumbuh dan jumlah spora, bukan menunjukan ukuran sel. Dalam  biakan  secara  curah,  pengamatan  jumlah  sel  dalam  waktu  yang
cukup lama akan memberikan gambaran berdasarkan kurva pertumbuhan dimana terdapat  fase-fase  pertumbuhan.  Menurut  Wang  et  al.  1978  pertumbuhan
mikroorganisme  pada  media  tertentu  mempunyai  empat  fasa  dalam  kurva pertumbuhannya, yaitu fasa awal lag phase, yang diikuti fasa eksponensial, fasa
stasioner dan fasa penurunan death phase.
Gambar 14  Pertumbuhan sel vegetatif  B. thuringiensis Pertumbuhan sel B. thuringiensis dalam kelima komposisi media Gambar
14  menunjukan pola yang hampir sama.  Fase lag hanya terjadi pada media C3N. Media yang lain peertumbuhan sel mula-mula rata-rata berlangsung cepat hingga
jam  ke-6.  Kondisi  ini  dimungkinkan  karena  penggunaan  sumber  nitrogen  dan
2 4
6 8
10 12
3 9
15 21
27 33
39 45
51 57
63 69
Ju m
la h
k o
lo n
i c
fu m
L x
1
8
Jam Pengamatan ke
C3N C5N
C7N C9N
C11N
karbon  yang  lebih  sederhana  dari  media  seperti  gula-gula  sederhana  dan  ion amonium.   Pertumbuhan  sel  kemudian  melambat dari  jam  ke-18  hingga  jam  ke-
36.  Pertumbuhan  melambat  terjadi  antara  jam  ke-36  sampai  jam  ke-48,  hal    ini dapat  terjadi  karena  substrat  sederhana  telah  mulai  habis  sehingga  terjadi
penguraian  sumber  karbon  dan  nitrogen  yang  lebih  komplek  seperti  pati  dan protein.  Menurut  Rehm  et  al.  1999  B.  thuringiensis  menghasilkan  enzim
ekstraseluler  seperti  ami lase,  β-glukonase,  dan  protease  untuk  menguraikan  pati
dan protein menjadi gula-gula sederhana dan asam amino. Pada tahap ini mungkin beberapa sel mulai mati. Setelah  jam  ke-48 jumlah  koloni  relatif  tidak berubah
banyak.  Pada  kondisi  ini  sel  tetap  tumbuh  tetapi  jumlah  sel  yang  mati  juga semakin  meningkat  sampai  terjadi  jumlah  sel  hidup  hasil  pembelahan  sama
dengan  jumlah  sel  yang  mati,  sehingga  jumlah  sel  hidup  relatif  konstan.  Dalam penelitian ini, Rasio C3N; C5N; C9N; dan C11N fase kematian hingga jam ke-72
hampir  terlihat,  sedangkan  media  C7N  menunjukan  penurunan  jumlah  sel  dari mulai jam ke-48 sebesar 9,1 x 10
8
cfuml  menjadi 8,9 x 10
8
cfuml pada jam ke- 72.
Jumlah sel total selama masa kultivasi rata-rata diperoleh antara 0,58 x 10
8
cfuml  dan 10,75 x 10
8
cfuml, jumlah sel tertinggi diperoleh pada jam ke 48-72 dengan  capaian  terendah  diperoleh  dari  media  C3N  yaitu  8,85  x  10
8
cfuml  dan total jumlah sel tertinggi diperoleh dari media  C9N yaitu 10,75 x 10
8
cfuml. Berdasarkan analisis ragam uji F Lampiran 5 pada menunjukkan bahwa
pengaruh  perbedaan  rasio  CN  terhadap  pengukuran  jumlah  koloni  pada  setiap jam  pengamatan    dengan  tingkat  kepercayaan  95  sangat  berbeda  nyata,
demikian  pula  interaksi    antara  rasio  CN  dan  jam    pengamatan  pada  tingkat kepercayaan 95 berbeda nyata.
Pertumbuhan  sel  juga  dapat  diukur  dari  massa  selnya  atau  secara  tidak langsung  dengan  mengukur  turbiditas  cairan  medium  tumbuh.  Massa  sel  dapat
dipisahkan dari cairan mediumnya menggunakan alat sentrifus, dicuci dengan air dan  dikeringkan  dengan  pemanasan  pada  suhu  80
o
C  selama  4-5  jam  hingga diperoleh bobot yang konstan. Umumnya bobot kering bakteri adalah 10-20 dari
berat basahnya Wang et. al. 1979. Bobot kering biomassa mengukur sel hidup,
sel  mati,  spora  dan  bahan  lain  yang  tidak  larut  seperti  serat  kasar  yang  terdapat
dalam ampas tahu. Pengaruh  komposisi  media  terhadap  bobot  biomassa  kering  dapat  dilihat
pada Gambar 15. Dalam kelima  komposisi media Bt dapat tumbuh dengan baik. Kurva  pertumbuhan  bakteri  selama  72  jam  rata-rata  mengalami  kenaikan.
Pertumbuhan  dengan cepat terjadi pada jam ke-0 dengan bobot kering sel antara 0,91 dan 1,39 gr  hingga jam ke-12 dengan bobot antara 4,79 dan 6,97 gr dimana
bobot terendah diperoleh dari media C9N. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sel Bt pada  fase  awal  dapat  langsung  beradaptasi  dengan  media  kurang  dari  3  jam.
Selanjutnya  bakteri  mengalami  fase  eksponensial  dengan  memanfaatkan  sumber karbon  dan  nitrogen  sederhana  dalam  media.  Pada  jam  12-18  rata-rata
pertumbuhan  mengalami  penurunan,  ini  dimungkinkan  karena  telah  habisnya substrat sederhana dalam media dan bakteri melakukan konversi substrat komplek
oleh  bakteri  menjadi  substrat  yang  lebih  sederhana.  Kondisi  ini  dikuatkan  oleh kondisi selanjutnya dimana terjadi kembali kenaikan bobot biomassa kering diatas
jam  ke-18 dan  24.  Keadaan  stasioner  terjadi  di  atas  jam  ke-24  yang diikuti  oleh fase penurunan pada mulai jam ke-36 dan 48. Penurunan bobot kering sel diakhir
waktu  pengamatan  dimungkinkan  karena  berkurangnya  substrat,  karena  dari pengukuran  sel  hidup  pada  akhir  waktu  pengamatan  jumlah  sel  hidup  tidak
mengalami penurunan.
Gambar 15 Perkembangan bobot biomassa kering sel
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
B o
b o
t k
e ri
n g
b io
m a
ss a
g L
jam Pengamatan ke-
C3N C5N
C7N C9N
C11N
4.4.3  Total  gula sisa
Gula  merupakan  hasil  metabolisme  karbohidrat  yang  digunakan  untuk aktivitas  pertumbuhan  dan  pembentukan  metabolit  sekunder  oleh  mikroba.
Bernhard  dan  Utz  1993,  menyatakan  bahwa  semua  galur  Bt  mampu  menghasilkan enzim  amilase
yang  akan  memecah  pati  menjadi  gula-gula  sederhana,  sehingga dapat
digunakan langsung sebagai media kultivasi.
Glukosa  dalam  sel  akan  mengalami  oksidasi  untuk  menghasilkan  ATP, asam-asam  dan  energi.  Pengolahan  glukosa  menjadi  ATP  berlangsung  di  dalam
sel  melalui  respirasi  selular  yang  melibatkan  empat  jenis  reaksi  yaitu  glikolisis, pembentukan asetil koenzim A, siklus Kreb dan rantai transport elektron Tortora
dan Derrickson 2009. Hubungan  total  gula  sisa  dan  pertumbuhan  sel  dijelaskan  Gambar  16,
secara  selama  kultivasi  total  gula  mengalami  penurunan.  Pada  awal  kultivasi kadar  gula  masih  tinggi  yaitu  18,32  –  18,76  gL.  Penurunan  kadar  gula  pada
masing-masing komposisi media selanjutnya menunjukan pola  yang berbeda bila dibandingkan dengan  fase  pertumbuhan  Bt.  Pada fase  eksponensial  yaitu  sampai
jam  ke-6  dimana  media  C3N  penurunan  gula  masih  sedikit,  sedangkan  pada keempat  media  yang  lain  terjadi  sebaliknya.  Hal  ini  dapat  terjadi  karena
pemanfaatan  sumber  N  masih  lebih  dominan  dibanding  sumber  C  karena  media C3N  memiliki  kadar  nitrogen  yang  lebih  tinggi  dibanding  keempat  media  yang
lain.  Kondisi  ini  dibuktikan  dengan  adanya  kenaikan  pH  cairan  kultivasi  C3N yang lebih besar dibanding keempat media yang lain Gambar 13.
Pada fase berikutnya penurunan gula berjalan relatif lambat mulai jam ke- 9  hingga  jam  ke-36,  hal  ini  disebabkan  karena  amilase  yang  terbentuk  masih
sedikit.  Kondisi  berbeda  terjadi  pada  komposisi  C11N  yang  memiliki  kadar karbon  paling  tinggi,  dimana  penurunan  kadar  gula  yang  lambat  hanya
berlangsung antara jam ke-18 dan ke-24. Hal ini diduga Bt menghasilkan amilase lebih awal sebagai adaptasi dengan media  yang memiliki sumber C lebih banyak
dari ampas dan limbah cair tahu dibandingkan dengan sumber C dari urea. Kadar gula  di  akhir  fermentasi  mengindikasikan  adanya  pemanfaatan  C  dan  N  dari
organisme yang telah mati. Hal ini terbukti dengan tidak terlihatnya fase kematian pada kurva pertumbuhan sel.
Gambar  16  Hubungan total sel kultur Bt pada komposisi C3N a, C5N b, C7N c, C9N d, dan C11N e. Simbol:
 total sel
■ total gula sisa
a
b
c
d
e
4.4.4  Pembentukan spora selama kultivasi
Sel  vegetatif  Bt  terus  memperbanyak  diri  hingga  satu  atau  lebih  jenis faktor  pada  media  mulai  berkurang,  baik  itu  gula-gula  sederhana,  asam  amino,
kadar  oksigen,  serta  pH  dan  suhu  yang  ekstrim.  Pada  kondisi  tersebut,  bakteri memproduksi  spora  dan  badan  paraspora  yang  terutama  mengandung  satu  atau
lebih  delta  endotoksin  Federici  et  al.  2010,      sedangkan  menurut  Kang  et  al. 1993 pada kultur curah spora terbentuk selama  fase  stasioner pertumbuhan sel.
Protein  kristal  akan  lisis  dari  dinding  sel  pada  akhir  masa  sporulasi,  menurut Schnepf et al. 1998 beratnya kira-kira 20-30 berat kering sel.
Gambar 17 Pertumbuhan spora Bt selama kultivasi Pertumbuhan  spora  pada  kelima  komposisi  media  terlihat  pada  Gambar
17. Berdasarkan  hasil viable spore count VSC, pada awal  kultivasi jam  ke-0 spora  belum  dapat  teranalisa,  meskipun  mungkin  dalam  kultur  yang
diinokulasikan terdapat  spora. Koloni spora mulai tampak  pada pengamatan jam ke-3.  Pertumbuhan  spora  berjalan  sangat  cepat  hingga  jam  ke-12  yang  diikuti
dengan  pertumbuhan  yang  lambat  dan  mencapai  puncak  pertumbuhan  pada  jam ke-36. Hal ini sesuai dengan
Sukmadi et al. 1996 bahwa pembentukan spora mulai terlihat  nyata  pada  saat  fase  eksponensial  akan  berakhir  yaitu  saat  dimulainya  fase
stasioner.
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5 4
4,5
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Ju m
la h
S p
o ra
x 1
8
c fu
m L
Jam Pengamatan ke-
C3N C5N
C7N C9N
C11N Ket :
C3N   = C  N : 3 1 C9N
= C  N : 9 1 C5N = C  N : 5 1
C11N = C  N : 11 1 C7N  = C  N : 7 1
Kisaran  jumlah  spora pada  jam  ke-36  antara 1,4 x  10
8
cfuml dan  4,10  x 10
8
cfuml.  Nilai  VSC  terendah  diperoleh  dari  media  C3N  dan  tertinggi  dicapai oleh  media  C9N.  Hal  dapat  terjadi  karena  berdasarkan  nilai  pH  kultivasi  media
C9N memiliki nilai perubahan pH yang ekstrim yang dapat memacu pertumbuhan spora.  Pertumbuhan  spora  setelah  jam  ke-36  mengalami  penurunan.    Hal
kemungkinan  terjadi  karena  terjadi  perkecambahan  spora  menjadi  sel  vegetatif akibat  konsumsi  karbon  dari  sisa  sel  Bt  yang  telah  mati.  Terbukti  dengan  tidak
terlihatnya fase kematian pada grafik pertumbuhan sel Gambar 17. Pertumbuhan  spora  merupakan  indikasi  pembentukan  delta  endotoksin
sebagai produk aktif bioinsektisida. Informasi  yang diperoleh dari tahap ini dapat digunakan untuk masa pemanenan dan uji daya toksisitas produk. Semakin besar
jumlah  spora  yang  dihasilkan diharapkan  semakin  besar pula pembentukan  delta endotoksin.
4.4.5 Kinetika kultivasi
Pertumbuhan  dan  pembentukan  produk  oleh  mikroorganisme  merupakan proses  biokonversi  dimana  nutrisi  kimia  diumpankan  dan  diubah  menjadi
sejumlah  sel  dan  metabolit.  Masing-masing  konversi  dapat  dihitung  melalui koefisien  yield  sebagai  jumlah  sel  Y
NS
,  produk  Y
PS
,  bobot  sel  Y
XS
yang dibentuk  per  unit  masa  nutrient  yang  dikonsumsi,  dengan  demikian  maka
koefisien yield menunjukkan efisiensi biokonversi Wang et al. 1979. Tabel 11  Pengaruh komposisi media pada kinetika kultivasi
Parameter Formula Media
C
3
N C
5
N C
7
N C
9
N C
11
N N-max cfumL x 10
8
8,85± 0,06 9,95± 0,01
9,10± 0,05 10,75± 0,03
9,18± 0,06 P-max cfumL x 10
8
1,73± 0,03 3,35± 0,03
2,95± 0,04 4,1± 0,02
3,23± 0,03 µ
N
-max jam
-1
0,43± 0,02 0,25± 0,01
0,45± 0,01 0,55± 0,01
0,44± 0,04 q
P
-max jam
-1
0,19± 0,13 0,24± 0,04
0,29± 0,01 0,21± 0,07
0,23± 0,05 µ
X
-max jam
-1
8,85± 0,07 8,88± 0,03
8,40± 0,03 8,94± 0,02
9,04± 0,03 Y
NS
kolonig gula 0,45± 0,02
0,49± 0,02 0,55± 0,01
0,57± 0,01 0,41± 0,05
Y
PS
sporag gula 0,10± 0,00
0,17± 0,01 0,16± 0,01
0,17± 0,01 0,21± 0,01
Y
xS
g biomassag gula 0,51± 0,09
0,43± 0,02 0,44± 0,09
0,42± 0,03 0,50± 0,07
∆SSo 76,77± 0,0
82,47±0,03 85,08± 0,04
88,05± 0,0 86,99± 0,0
LC
50
mgL 1,45
10,78 0,90
3,27 15,19
Potensi toksisitasIUmg 5186
698 8356
2300 495
Hasil Perhitungan kinetika fermentasi kelima jenis formulai terlampir pada Tabel  11  Nilai  tertinggi  pertumbuhan  sel  terhadap  konsumsi  substrat  Y
NS
diperoleh  pada  komposisi  media  C5N  dan    C7N,  dimana  1  gram  substrat menghasilkan    masing-masing  0,55  kolonig  substrat  dan  0,57  kolonig  substrat.
Sedangkan pertumbuhan spora terhadap  konsumsi substrat Y
PS
paling besar pada C11N  yaitu
0,21  sporag  substrat.  Berdasarkan  hasil  perhitungan  efisiensi penggunaan  substrat
∆SSo  selama  proses  kultivasi,  rasio  C9N  menunjukan efisiensi  paling  besar  yaitu  88,05.  Berdasarkan  data  pada  Tabel  11  substrat
dimanfaatkan  bakteri  untuk  pertumbuhan  sel.  Uji  Anova  pada  masing-masing parameter kultivasi diatas menunjukan perbedaan masing-masing parameter tidak
berbeda nyata terhadap perbedaan rasio CN. Laju pertumbuhan spesifik sel dan spora dapat dihitung berdasarkan massa
jumlah sel dan jumlah spora. Laju pertumbuhan spesifik sel dari kelima rasio CN menunjukan  nilai  yang  bervariasi.  Rasio  C9N  menunjukan  nilai  paling  besar
dengan  laju  pertumbuhan  maksimum  pada  jam  ke-24  yaitu  sebesar  0,55  jam
-1
, sedangkan  laju  pertumbuhan  spesifik  spora  menunjukan  nilai  yang  relatif  sama
pada semua komposisi media dengan  nilai  laju spesifik tertinggi pada  komposisi C7N pada jam ke-12 sebesar 0,29 jam
-1
. Kinetika  hubungan  antara  pertumbuhan  dan  pembentukan  produk
bergantung  kepada  peranan  produk  dalam  metabolisme  sel.  Pola  kinetika pertumbuhan  dan  pembentukan  produk  terdiri  dari  tiga  macam  Wang  et  al.
1979, yaitu : 1.
sintesa  produk  selama  pertumbuhan,  sel  biasanya  merupakan  produk langsung  dari  jalur  katabolisme  growth-associated  product  misalnya
fermentasi  anaerobik  glukosa  menjadi  etanol  atau  berupa  produk  antara misalnya asam amino
2. sintesa  produk  setelah  pertumbuhan,  yaitu  dimana  produk  yang  terbentuk
setelah  pertumbuhan  sel  non  growth  associated  product  dinamakan metabolit  sekunder,  karena  dihasilkan  pada  tahap  setelah  proses
pertumbuhan,  seperti  asam  laktat,  xhantam  gum  dan  beberapa  metabolit sekunder
3. Sintesis  produk  pada  awal  pertumbuhan  sel  produk  tidak  terbentuk,
tetapi pada  beberapa  saat  kemudian  produk  mulai  d ihasilkan  sedangkan pertu mbu han  sel  berjalan  terus  Mixed-growth-associated  product,
seperti pembentukan antibiotik Pada  saat  kondisi  tidak  seimbang  dimana  salah  satu  atau  lebih  jenis  nutrisi
dalam  media  seperti  gula,  asam  amino  atau  oksigen  mengalami  pengurangan untuk  pertumbuhan,    bakteri  akan  membentuk  spora  dan  badan  spora  yang
mengandung satu atau lebih protein kristal akan diproduksi Bideshi et al. 2010.
4.4.6 Penentuan aktivitas bioinsektisida
Kristal  protein  yang  dihasilkan  tidak  selalu  berkorelasi  linier  dengan jumlah yield spora Morris et al. 1996. Rendemen  delta endotoksin per sel yang
bersporulasi  dipengaruhi  sangat  kuat  oleh  kondisi  kultivasi  dan  seleksi  media, dimana  komponen  dari  medium  harus  seimbang  untuk  memperoleh  aktivitas
toksik terbaik per volume medium Scherrer et al. 1972. Selain kondisi kultivasi, konsentrasi  glukosa  pada  media  juga  memegang  peranan  penting  dalam
mementukan  ukuran  delta  endotoksin  yang  dihasilkan. Hal  ini  juga  sejalan
dengan  Dulmage  et  al.  1990  bahwa  jika  konsentrasi  glukosa  dalam  medium meningkat, maka kristal delta endotoksin akan meningkat ukuran dan potensinya.
Tabel 12  Pengaruh komposisi media pada daya toksisitasnya terhadap ulat kubis
Jenis Komposisi
Media
Mortalitas  pada konsentrasi LC 50
mgL Potensi
IUmg 10
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
-5
10
-6
10
-7
C3N 85
70 60
50 1,45
5186 C5N
70 60
45 35
10,78 698
C7N 85
75 65
50 0,90
8356 C9N
70 65
55 45
3,27 2300
C11N 70
70 50
45 15,19
495 NB
100 80
55 25
1,54 4883
Limbah cair tahu 70
50 30
10 18,70
402 Bactospeine WP
100 100
100 100
90 40
40 0,47
16000 Air suling
Standar USDA Larutan 1 gL
Pengujian  hasil  uji  toksisitas  masing-masing  komposisi  media  tersaji pada  Tabel  12.  Melalui  pengujian  daya  toksisitas  ini  asumsi  awal  bahwa
pertumbuhan  delta  endotoksin  maksimal  terjadi  pada  saat  jumlah  spora maksimum  tidak  dapat  terpenuhi.  Terbukti  walaupun  jumlah  spora  pada  C5N
cukup besar tetapi daya toksisitasnya relatif kecil. Selanjutnya, Berdasarkan tabel diatas  terlihat  bahwa  komposisi    C7N  memberikan  daya  toksisitas  yang  lebih
besar dibandingkan komposisi  yang lain. Termasuk apabila dibandingkan dengan bioinsektisida yang dihasilkan dalam media kultivasi standar seperti NB. Hasil ini
sama  dengan  hasil  penelitian  Farrera  et  al.  1998  dimana  kristal  protein dihasilkan  paling  tinggi  dalam  rasio  CN  7:1.  Pada  komposisi  ini  terjadi
keseimbangan  asam  basa  media  yang  mendukung  terbentuknya  komplek  spora- kristal  dalam  jumlah  maksimum.    Menurut  Pearson  dan  Ward  dalam
Rahayuningsih 2003, media yang mempunyai kandung protein tinggi seperti NB dapat  menghambat  sporulasi  karena  terjadinya  pengaruh  represi  katabolit
nitrogen.  Dengan  demikian  untuk  kultivasi  dalam  bioreaktor  selanjutnya digunakan komposisi media C7N.
Hasil  penelitian  ini  bila  dibandingkan  dengan  penelitian  lain  Tabel  13 yang dilakukan oleh Aryani 2011 dengan menggunakan serangga sasaran  yang
sama  hasil  ini  lebih  kecil,  tetapi    masih  menunjukan  daya  toksisitas  yang  lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian Afriatni 2003, dan Sarfat 2010.
Tabel 13  Daya toksisitas Bt pada ulat kubis dalam berbagai media fermentasi
Hasil Penelitian
Media Galur Bt
Hama sasaran
LC
50
mgL
Afriatni 2003
Glukosa, NH
4 2
SO
4
kurstaki Ulat
kubis 19,22 -1,65
Sarfat 2010
Limbah industri tahu, Urea
aizawai Ulat
kubis 1,34 - 45636,00
Aryani 2011
Limbah cair tahu, air kelapa, urea
aizawai Ulat
kubis 0,01
4.5 Kultivasi  Bt  pada bioreaktor 3 L
Kultivasi  pada  bioreaktor dilakukan  menggunakan  komposisi  media  CN 7:1, yang memberikan uji toksisitas paling baik pada saat tahap penentuan media.
Perubahan  pH  pada  kultivasi  Bt  dalam  bioreaktor  berkisar  antara  7,55  -  8,30 Gambar  18,  kisaran  ini  masih  dalam  range  pH  pertumbuhan  optimum  Bt.
Penurunan  pH  di  awal  fermentasi  menunjukan  konsumsi  karbon  oleh  Bt  untuk pertumbuhan  sel.  Pembentukan spora  yang  sangat pesat  juga  sudah  dapat dilihat
pada  fase  ini.  Kadar  kalsium  yang  tinggi  dalam  media  diperkirakan  memacu pertumbuhan spora lebih awal.
Fase ekponensial terjadi sampai jam ke-24 yang diikuti oleh fase stasioner hingga  jam  ke-36,  selanjutnya  sel  mengalami  fase  kematian  hingga  jam  ke-72.
Peningkatan jumlah spora terus meningkat dan berkontribusi pada bobot biomassa kering,  dimana  hingga  jam  ke  72  bobot  biomassa  kering  terus  bertambah
walaupun jumlah sel menurun Gambar  18.
Gambar 18  Parameter kinetika kultivasi pada bioreaktor 3 L, pH
a, gula sisa dan pertumbuhan sel b, pertumbuhan spora c. Simbol:
 pH
▲
total gula sisa ■
biomassa kering 
total sel 
spora
2 4
6 8
10 12
14
p H
2 4
6 8
10 12
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
Ju m
la h
k o
lo n
i c
fu m
L .
x 1
8
B o
b o
t k
e ri
n g
b io
m a
ss a
g L
S is
a t
o ta
l g
u la
g L
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Ju m
la h
s p
o ra
x 1
8
c fu
m L
Jam pengamtan ke-
a
b
c