seringkali kerusakannya total. Kecenderungan ini terjadi pada saat larva masuk dalam fase instar tiga. Jika ulat menyerang pohon kubis selama pembentukan
kepala, ulat masuk ke dalam kepala dan membuat terowongan yang menyebabkan kebusukan. Secara umum, studi mengindikasikan bahwa dalam 90 hari periode
pertumbuhan kubis, populasi larva cenderung meningkat mulai minggu ke-2 setelah penanaman dan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-8 sesudah itu dan
menurun pada saat mendekati masa panen.
2.6 Kondisi Kultivasi B. thuringiensis
Menurut Dulmage 1990, proses fermentasi B. thuringiensis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fermentasi terendam submergeddeep-tank
fermentation dan fermentasi semi padat semi solid fermentation. Pada
fermentasi terendam, biakan murni B. thuringiensis ditumbuhkan dalam medium cair dengan fermentasi yang merata Dulmage dan Rhodes 1971. Fermentasi
terhadap B. thuringiensis dapat dilakukan di dalam labu kocok pada suhu 28-30
O
C dengan pH awal medium berkisar antara 6,8 dan 7,2. Sedangkan agitasi yang
digunakan berkisar antara 142 dan 340 rpm. Labu yang digunakan berukuran 300 ml yang diisi 50-100 ml medium fermentasi atau dengan menggunakan labu
erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml medium Vandekar dan Dulmage 1982; Mummigatti dan Raghunathan 1990.
Untuk kultivasi yang dilakukan dalam bioreaktor 1,5-3 liter, maka kondisi kondisi kultivasi dilakukan pada suhu 28-32
o
C, pH 6,8 – 7,2, agitasi 200 rpm, aerasi 1 vvm dan dipanen setelah sporulasi penuh ± 40-72 jam Dulmage et al.
1990 ; Yulianti 2001 ; Syamsu et al. 2003; Aprifianto 2006. Dalam bioreaktor lebih besar dari 14 liter, dilakukan pada suhu 28-32
o
C, pH 6,8 – 7,2, agitasi 400- 700 rpm, aerasi 0,5-1,5 vvm dan dipanen setelah sporulasi penuh ± 40-72 jam
Vandekar dan Dulmage 1982 ; Sikdar et al. 1993 Untuk memperoleh komplek spora - kristal yang optimum diperlukan nutrisi
dan kultur yang sesuai dengan B. thuringiensis galur yang digunakan. Nilai parameter optimasi untuk suatu galur tidak sama dengan galur yang lain. Secara
umum kondisi kultur untuk B. thuringiensis harus dioptimalkan untuk memperoleh jumlah sel yang banyak, konsentrasi protein kristal yang tinggi dan
daya toksisitas yang tinggi pula Dulmage et al. 1990. Sebelumnya, diyakini bahwa tingginya jumlah spora selalu berbanding lurus dengan besarnya daya
toksisitas, namun tidak selalu demikian. Dalam kultivasi B. thuringiensis, karbon mempunyai peran yang sangat
penting. Dalam konsentrasi yang tinggi, karbohidrat menyebabkan efek yang berlawanan karena B. thuringiensis menghasilkan asam dan dapat menurunkan pH
di bawah 5,5 – 5,7 dimana kebanyakan galur B. thuringiensis tidak dapat tumbuh sehingga fermentasi terhenti Dulmage et al. 1990. Untuk menjaga kondisi ini
diperlukan keseimbangan perbandingan karbon – nitrogen dan pH dikontrol dengan cara menambahkan basa selama proses. Farrera et al. 1998 menjelaskan
bahwa keseimbangan rasio CN secara langsung berpengaruh pada produksi kristal protein. Hasil investigasinya menunjukan bahwa pada kisaran
perbandingan CN dari 3:1 sampai 11:1 untuk fermentasi B. thuringiensis kurstaki HD-73, walaupun jumlah spora tertinggi diperoleh pada perbandingan rasio 4:1
tetapi konsentrasi protein kristal tertinggi diperoleh pada rasio CN 7:1. Pengaruh glukosa pada fermentasi tidak selalu demikian, penelitian yang
dilakukan Scherrer et al. 1973 memperlihatkan bahwa ketika konsentrasi glukosa medium dinaikan, ukuran dan potensi protein kristal juga meningkat.
Komponen lain yang sangat penting dalam produksi protein kristal adalah kalsium. Kultivasi B. thuringiensis pada media yang mengandung garam kalsium
dan dihasilkan peningkatan produksi protein kristal. Namun ketika garam kalsium digantikan oleh garam natrium, efek yang sama tidak terlihat. Foda et al. 1985
melaporkan, komponen lain yang penting adalah trace element. Sikdar et al. 1993 menemukan bahwa Fe, Mn, dan Cu dibutuhkan untuk memproduksi
protein kristal.
2.7 Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba