Latar belakang Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perairan Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang melimpah, diantaranya adalah moluska, krustase, ikan dan gastropoda. Krustase merupakan organisma yang banyak diperdagangkan setelah ikan dari keempat kelompok organisma tersebut. Jenisnya adalah udang, lobster, rajungan dan kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang banyak diperdagangkan. Jenisnya terdiri atas Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004. S. serrata adalah spesies yang paling dominan dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya Cholik dan Hanafi 2001. Keberadaanya mudah ditemukan di berbagai perairan, seperti perairan payau yang ditumbuhi tanaman bakau, pantai, teluk dan muara sungai. Kepiting bakau jenis S. serrata sangat disukai oleh konsumen. Penyebabnya adalah rasa daging yang enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Informasi yang disampaikan oleh Motoh 1977 diacu dalam Tupan et al. 2005 menyebutkan bahwa kandungan protein dalam daging dan telur kepiting bakau jenis S. serrata sekitar 67,5 - 82,6 bobot kering, sedangkan kandungan lemaknya hanya sekitar 0,9 - 8,2 bobot kering. Hampir seluruh kepiting bakau yang dijual di pasar ditangkap oleh nelayan dari alam dengan menggunakan bubu dan jaring insang. Kondisi kepiting bakau hasil tangkapan bubu biasanya dalam keadaan hidup dan seluruh anggota tubuhnya lengkap, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Komarudin 2012 menyatakan bahwa harga kepiting bakau di tingkat nelayan mencapai Rp 60.000,- per kg, sedangkan di swalayan sebesar Rp 30.000,- per 100-150 g. Adapun kepiting bakau hasil tangkapan jaring insang sebagian besar dalam kondisi mati dan anggota tubuhnya tidak lengkap. Ini menjadi penyebab bubu lebih disukai oleh nelayan dibandingkan dengan jaring insang. Jenis bubu yang banyak digunakan oleh nelayan di beberapa daerah, seperti Subang, Cirebon dan Banten, adalah bubu lipat Gambar 13. Tujuan utama penangkapannya adalah kepiting bakau atau rajungan. Adapun hasil tangkapan sampingannya berupa beberapa jenis organisma dasar, seperti udang, lobster dan siput. Beberapa jenis ikan terkadang ikut tertangkap oleh bubu lipat. Bubu lipat nelayan atau standar memiliki pintu masuk berbentuk celah yang dibuat tanpa adanya kajian ilmiah. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa celah masuk bubu terkadang sangat sulit dilalui oleh kepiting bakau karena duri-duri pada karapas dan capit kepiting bakau tersangkut pada celah masuk bubu lipat. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu lipat karena ukuran mata jaring lintasan bubu lipat nelayan besar. Oleh karena itu, penentuan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu yang meliputi ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu lipat nelayan perlu diteliti dan disesuaikan dengan tingkah laku, bentuk dan ukuran kepiting bakau. Berdasarkan alasan tersebut, maka bentuk pintu masuk bubu lipat nelayan perlu dimodifikasi agar kepiting bakau mudah melewatinya untuk masuk ke dalam bubu. Selain itu, untuk memudahkan kepiting bakau mencapai pintu masuk, maka perlu dilakukan penelitian terkait ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Penelitian ini terdiri atas 3 macam, yaitu penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan bidang lintasan masuk bubu, konstruksi pintu masuk dan pengujian konstruksi pintu masuk. Pustaka yang berisi kajian mengenai konstruksi bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau sulit ditemukan. Beberapa pustaka yang terkait dengan konstruksi bubu lipat ditujukan untuk menangkap rajungan. Misalnya, tingkah laku rajungan Charybdis japonica terhadap berbagai bentuk bubu dan tipe pintu masuk Kim and Ko 1987 dan 1990, efektivitas perangkap rajungan dan lobster Miller 1990, kajian selektivitas perangkap Blue crab: mesh size Guillory dan Prejean 1997, pengaruh pintu masuk bubu dan tingkah laku rajungan C. japonica Archdale et al. 2006 dan pengaruh konstruksi bubu lipat dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica dan Portunus pelagicus yang ditulis oleh Archdale et al. 2007. Beberapa pustaka lain yang membahas bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau hanya terfokus pada pengaruh jenis umpan dan waktu pengoperasian bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau Scylla serrata Tiku 2004, celah pelolosan bubu lipat Rusdi 2010 dan kajian mengenai perbedaan bobot dan posisi umpan terhadap rajungan pada bubu lipat Caesario 2011. Pustaka-pustaka tersebut dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian dan pembahasan hasil penelitian ini.

1.2 Tujuan