Makanan dan Kebiasaan Makan Waktu dan Tempat

minyaknya sudah semakin berkurang. b. Ciri histologis: Butiran kuning telurnya lebih besar dari TKG III dan lapisan minyaknya menutupi seluruh sitoplasma. 5. TKG V a. Ciri morfologis: Ukuran ovarium kembali mengecil dan di bagian abdomen terdapat banyak telur. Butiran telur tersebut ada yang tidak dikeluarkan saat proses pemijahan sehingga masih terlihat keberadaan butiran telur ini. b. Ciri histologis: Sel-sel telurnya seperti pada TKG I, namun telah ditemukan sel telur yang sudah matang. Ovarium berkembang menjadi matang setelah mencapai proses kopulasi. Kematangan gonad kepiting bakau dapat dicapai jika telah mengalami proses kopulasi untuk pertama kalinya. Pencapaian matang gonad biasanya ditunjukkan dengan lebar karapas kepiting bakau yang berkisar antara 105-123 mm atau 99,1- 114,2 mm. Keadaan tersebut dapat dicapai antara lima bulan sampai satu tahun Hartnoll 1969 diacu dalam Serosero 2005. Kepiting bakau betina di Indonesia yang telah matang kelamin mempunyai panjang karapas 42,7 mm dan lebarnya 80 mm Aldrianto 1994 diacu dalam Serosero 2005. Adapun Kanna 2002 berpendapat bahwa ciri kepiting bakau yang telah matang gonad memiliki lebar karapas 9-10 cm dan warna abdomen telah menyerupai warna karapasnya. Selain itu, tingkat kematangan gonad dari kepiting dapat diketahui dengan menekan batas perut bagian belakang dan karapas. Warna gonad kepiting yang telah matang gonad adalah oranye atau kuning Syafitriyanto 2009 diacu dalam Rusdi 2010.

2.7 Makanan dan Kebiasaan Makan

Kepiting bakau bersifat omnivorus scavengers atau pemakan segala makanan, cenderung pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Kepiting bakau memakan organisma yang bergerak lambat atau diam, terutama hewan yang biasa terpendam di dasar perairan, seperti kerang-kerangan, keong-keongan, krustase lainnya dan cacing. Alga dan busukan dari potongan kayu, bambu dan benda lainnya juga dimakan oleh kepiting Moosa et al. 1985 diacu dalam Rusdi 2010. Kepiting bakau pada tahap larva termasuk pemakan plankton. Makanan larva kecil di alam terdiri atas berbagai organisme plankton, seperti diatom, moluska dan cacing Kasry 1991. Kepiting bakau yang lebih besar menyerang kepiting bakau yang lebih kecil. Perilaku tersebut terjadi pada lingkungan hutan bakau. Kepiting besar melumpuhkan kepiting kecil dengan merusak umbai-umbainya dan kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan. Setelah itu, kepiting besar mulai memakannya dengan mengambil bagian lunak dari tubuh mangsanya Rosmaniar 2008. Kanibalisme pada kepiting merupakan hal yang sering terjadi, terutama pada ruangan yang terbatas, baik rajungan atau kepiting dewasa maupun yang masih larva Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007. Ada beberapa faktor yang menyebabkan nafsu makan kepiting bakau berkurang, yaitu suhu dan pergantian kulit. Aktivitas makan kepiting bakau menurun pada suhu di bawah 20 o C Hill 1975. Kepiting bakau termasuk hewan nokturnal dan keluar dari persembunyiannya setelah matahari terbenam. Pergerakannya berlangsung sepanjang malam, terutama untuk mencari makan. Pergerakan kepiting bakau pada malam hari dapat mencapai jarak antara 219-910 m. Kepiting kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat matahari akan terbit Kordi 1997.

2.8 Bubu

2.8.1 Deskripsi bubu

Bubu merupakan alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan perangkap. Pengoperasian bubu menggunakan perahu. Bubu banyak digunakan pada daerah pesisir laut untuk menangkap berbagai jenis krustase, ikan, gurita dan kerang. Bubu terdiri atas berbagai ukuran dan bentuk yang dapat menarik berbagai jenis organisme yang akan tertangkap dengan menggunakan ikan Sainsbury 1996. Alat tangkap bubu telah lama dikenal oleh nelayan. Ini disebabkan karena biaya pembuatan relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya mudah, bahan pembuatannya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Bubu dapat dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan, seperti daerah karang, celah karang, lubang-lubang di antara bebatuan, perairan yang sangat dalam atau perairan dengan pantai yang tinggi dan terjal. Adanya berbagai kelebihan tersebut menyebabkan nelayan-nelayan bermodal kecil sangat menyukainya Puspito 2009. Prinsip penangkapan dengan bubu adalah memerangkap organisme laut yang masuk ke dalam bubu dan tidak dapat keluar lagi. Ada banyak penyebab organisme laut masuk ke dalam bubu, diantaranya tertarik oleh makanan, mengira bubu sebagai tempat tinggalnya, terbawa arus, sebagai tempat berlindung dari kejaran pemangsa, tidak sengaja masuk ke dalam bubu dan tergiring oleh nelayan. Oleh karena itu, pengoperasian atau pembuatan bubu umumnya didasarkan atas semua faktor penyebab tersebut Puspito 2009.

2.8.2 Klasifikasi bubu

Bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap trap Brandt 1984. Berdasarkan lokasi pemasangannya, bubu diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu Sainsbury 1996: 1. Inshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan pada daerah yang arusnya tidak terlalu deras, seperti daerah karang, estuaria, laguna, teluk dan perairan dekat pantai sampai kedalaman 75 m. Bubu dioperasikan menggunakan perahu kecil dengan panjang antara 25-45 kaki. Nelayan yang mengoperasikan hanya berjumlah 1-2 orang. 2. Offshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 900 m. Bubu dioperasikan menggunakan kapal besar menggunakan peralatan yang mendukung selama pengopersian berlangsung. Selain itu, bubu juga dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu: 1. Sistem tunggal. Bubu dipasang menetap di dasar perairan secara satu per satu. Biasanya dipasang di daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Bubu ini dilengkapi dengan pemberat agar bubu tidak berpindah. Selain itu, bubu ini juga dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali agar posisi bubu dapat diketahui. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar 9. Sumber: Sainsbury 1996 Gambar 9 Pengoperasian bubu sistem tunggal 2. Sistem rawai. Bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu yang satu dengan yang lainnya. Daerah pengoperasian biasanya pada perairan laut dalam. Setiap bubu dilengkapi tali cabang dan terhubung ke tali utama dengan pengait snap. Satu rangkaian bubu ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan sistem rawai dapat dilihat pada Gambar 10. Sumber: Sainsbury 1996 Gambar 10 Pengoperasian bubu sistem rawai Subani dan Barus 1989 membagi bubu menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar ground fishpot, bubu apung floating fishpot dan bubu hanyut drifting fishpot. Rinciannya adalah: 1. Bubu dasar Bubu ini dioperasikan di dasar perairan. Ukurannya bervariasi menurut kebutuhan. Bubu yang berukuran kecil umumnya memiliki panjang 100 cm, lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm, sedangkan bubu yang berukuran besar dapat mencapai ukuran panjang 350 cm, lebar 200 cm dan tinggi 75-100 cm. Pengoperasian bubu ini dilakukan secara tunggal untuk bubu yang berukuran besar dan dapat pula dioperasikan secara ganda untuk bubu berukuran kecil atau sedang yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang pada jarak tertentu dan bubu diikatkan tali tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang, di antara karang-karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. 2. Bubu apung Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara diapungkan. Bubu ini dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari bambu. Bentuk bubu apung ada yang silinder dan ada yang seperti kurungan. Pada pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali umumnya 1,5 kali dalam perairan. 3. Bubu hanyut Bubu yang pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan, yaitu mengikuti arus. Bubu ini dirangkai atas beberapa bubu berukuran kecil yang berjumlah antara 20 – 30 bubu. Pakaja, luka atau patorani adalah bubu hanyut yang umumnya dikenal. Pakaja adalah bubu berukuran kecil berbentuk silinder dengan panjang 0,75 m. Pada saat pengoperasian, beberapa bubu disatukan menjadi beberapa kelompok. Patorani adalah sebutan untuk bubu yang digunakan untuk menangkap ikan torani dan tuing-tuing atau ikan terbang flying fish.

2.8.3 Konstruksi bubu

Konstruksi bubu secara umum terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk. Selain itu, ada yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan, kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan dan celah pelolosan Lastari 2007. Konstruksi bukaan mulut bubu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu Wibyosatoto 1994.

2.8.3.1 Bentuk Bubu

Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sainsbury 1996 mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan target tangkapan di setiap daerah. Bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama. Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia, seperti Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia dan di pantai timur dan barat Amerika Utara, yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis, sedangkan bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India dan Sri Lanka. Selain itu, terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Z- pot yang berasal dari Karibia. Bubu yang terdapat di Indonesia dan Thailand disebut dengan tubular traps yang memiliki bentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut funnel dengan bagian ujung bubu terbelah-belah Brandt 1984. Bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran Subani dan Barus 1989. Adapun menurut Martasuganda 2003, bentuk bubu ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong dan persegi panjang. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong Gambar 11, pinturrakkang Gambar 12 dan bubu lipat Gambar 13. a Gambar 11 Konstruksi bubu wadong b Gambar 12 Konstruksi bubu pintur Sumber: Martasuganda 2003 c Gambar 13 Konstruksi bubu lipat standar Keterangan a : 1. Rangka 2. Pintu 3. Pintu masuk 4. Tiang penyangga 5. Penusuk umpan Keterangan b : 1. Tali penyangga 2. Rangka 3. Jaring 4. Pemberat 5. Umpan Keterangan c : 1. Rangka 2. Mulut bubu 3. Badan bubu 4. Engsel 5. Tempat umpan

2.8.4 Umpan

Umpan merupakan salah satu faktor yang berpengaruhnya terhadap keberhasilan suatu usaha penangkapan Sadhori 1985 diacu dalam Rusdi 2010. Rusdi 2010 lebih lanjut menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan stimulus yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi organisme tertentu pada proses penangkapannya. Penggunaaan umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Umpan disebut baik apabila memenuhi syarat, yaitu efektif untuk menarik ikan target, mudah dipasang pada berbagai posisi di dalam bubu, tahan lama, harga murah, mudah disimpan dan diangkut. Bubu yang menggunakan umpan 1 2 3 4 5 berupa ikan yang dipotong-potong memiliki hasil tangkapan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan Slack and Smith 2001.

2.8.5 Metode pengoperasian bubu

Cara pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bubu dasar stationary fish pots, bubu apung floating fish pots dan bubu hanyut drifting fish pots. Bubu dasar biasanya dioperasikan di perairan karang atau diantara karang dan bebatuan. Agar lokasi pemasangan bubu mudah diketahui, bubu dilengkapi pelampung yang dihubungkan dengan tali panjang Subani dan Barus 1989. Tipe bubu apung dilengkapi dengan pelampung terbuat dari bambu atau rakit bambu. Bubu diletakkan di bagian atas pelampung atau digantungkan pada rakit bambu. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagis. Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut yang dikenal, yaitu pakaja, luka atau pataroni yang dikhususkan untuk menangkap ikan terbang flying fish Subani dan Barus 1989. Metode pengoperasian bubu diawali dengan penentuan daerah penangkapan. Apabila telah sampai di daerah penangkapan, bubu yang dioperasikan tanpa umpan dapat langsung diturunkan. Bagi bubu yang menggunakan umpan, maka umpan terlebih dahulu diletakkan ke dalam kantung umpan atau dikaitkan pada kawat yang ada di dalam bubu. Setelah itu, bubu ditenggelamkan ke dalam perairan. Pada umumnya pengoperasian bubu dimulai dengan menurunkan pelampung tanda, kemudian dilanjutkan dengan penurunan bubu satu persatu beserta pemberat ke dalam perairan Sudirman dan Mallawa 2004 diacu dalam Lastari 2007. 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Tahap kedua adalah penentuan konstruksi pintu masuk bubu, sedangkan tahap ketiga adalah pengujian pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian tahap pertama dilakukan antara bulan Desember 2011-April 2012, sedangkan penelitian tahap kedua dan ketiga dilaksanakan antara bulan Mei-Agustus 2012. Seluruh penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan TAP, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan