responden mengetahui batas-batas hutan adat serta batas Kawasan Hulu Air Lempur. Sebanyak 16 responden 16,5 mengetahui batas hutan adat dan
sebanyak 81 responden 83,5 tidak mengetahui batas hutan adat. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat, hal ini disebabkan karena tidak jelasnya batas
yang ada di lapangan. Patok batas hanya terbuat dari lempengan besi yang diikatkan pada batang kayu serta kawasan hutan adat serta adanya sebagian besar
masyarakat Lempur yang tidak mengikuti sosialisasi pengukuhan batas Kawasan Hulu Air Lempur yang dilakukan di balai adat. Saat ini kondisi patok batas
Kawasan Hulu Air Lempur dan hutan adat sebagian besar telah hilang sehingga masyarakat melakukan kegiatan pertanian khususnya kebun kayu manis di dalam
kedua kawasan tersebut. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi dari instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan serta lembaga adat perlu dilakukan secara intensif dan
berkelanjutan. Hal itu harus dilakukan dengan pembuatan patok batas hutan adat yang permanen sehingga masyarakat mengetahui batas-batas hutan adat. Upaya
tersebut dilakukan agar pengelolaan kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lempur dapat optimal dan tetap lestari.
5.4.2 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan adat
Bila masyarakat memandang kawasan lindung sebagai penghalang, masyarakat akan menggagalkan langkah-langkah pelestariannya dengan berbagai
upaya. Kawasan lindung yang menguntungkan atau memberi manfaat kepada masyarakat, menjadikan masyarakat ikut bekerjasama dalam melindungi kawasan
dari kegiatan yang merusaknya. Persepsi masyarakat yang menganggap hutan sebagai sumberdaya alam yang bebas dimiliki dan dipergunakan semakin
mendorong masyarakat sekitar hutan untuk menyerobot lahan hutan Wiriadinata 1988 dalam Kasim 1990.
Berdasarkan hasil pengolahan data persepsi masyarakat dengan menggunakan rentang criteria atau skala Likert, tingkat persepsi masyarakat
terhadap keberadaan hutan dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Dari hasil wawancara diperoleh sebanyak 86 reponden 88,7 memiliki tingkat
persepsi masyarakat tinggi, 8 responden 8,3 memiliki tingkat persepsi masyarakat sedang dan 3 responden 3,1 memiliki tingkat persepsi rendah.
Masyarakat Lempur memandang hutan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masyarakat sangat menyetujui bahwa
kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi memberikan manfaat bagi masyarakat melalui fungsi-fungsinya. Menurut mereka hutan adalah sumber kehidupan bagi
mereka, misalkan sebagai sumber air, udara yang sejuk, serta hutan memberikan hasil alam lainnya. Mereka menganggap bahwa hutan mereka ini merupakan
hutan yang masih alami, maksudnya hutan mereka terlindung dari pengeksploitasian seperti pembalakan liar. Masyarakat menyadari bahwa jika
kawasan hutan dirusak maka bencana akan datang seperti longsor dan sawah menjadi kering. Masyarakat sangat menjaga hutan ini dengan mematuhi segala
aturan dari pemerintah maupun aturan yang ada dalam adat Lekuk 50 Tumbi. Persepsi masyarakat yang tinggi juga ditunjukkan dengan sikap mereka
untuk mengelola lahan garapan yang telah diberikan oleh adat. Misalkan untuk menyuburkan tanah garapan, masyarakat membiarkan areal lahan tersebut
ditumbuhi semar belukar atau dengan menghutankan kembali areal tersebut. Cara menghutankan kembali atau membiarkan areal lahan menjadi semak belukar
inilah yang dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai cara melestarikan hutan. Kondisi hutan yang dianggap sudah menjadi hutan kembali, yang ditandai
semakin banyak dan tingginya pohon-pohon di atas areal tersebut, maka berarti lahan tersebut dianggap sudah cukup bagus untuk dijadikan ladang. Jenis tanaman
semak lalu dibersihkan. Kondisi ladang yang dianggap tidak cukup baik lagi, maka lahan akan dibiarkan menjadi hutan kembali, demikian seterusnya. Kegiatan
seperti ini akan menghindarkan masyarakat dari sistem berladang berpindah. Kawasan Hulu Air Lempur yang di dalamnya terdapat Hutan Adat Lekuk
50 Tumbi Lempur dilihat sebagai areal hutan yang bermanfaat secara terus menerus, maka areal hutan juga terbuka untuk pengambilan kayu. Kegiatan
pengambilan kayu ini bukan pengambilan dalam jumlah besar seperti yang sering dilakukan kelompok HPH Hak Pengusahaan Hutan. Pengambilan kayu sesuai
dengan kebutuhan hidup mereka, misalkan untuk sarana dan prasarana desa dan adat, dianggap bukan perusakan hutan, tetapi apabila pengambilan kayu tersebut
memang ditujukan untuk dijual dan diambil dalam jumlah besar, maka akan dikenakan hukuman adat. Menurut masyarakat, masih wajar apabila penduduk
mengambil kayu di hutan untuk kebutuhan hidup mereka dan menganggapnya bukan perusak hutan.
5.5 Pengendalian Perluasan Penggunaan Lahan