Mata Pencaharian Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

Gambar 12 menunjukkan bahwa dari tahun 1988-2008 kawasan Lempur mengalami perubahan penutupan lahan. Tutupan lahan terbangun, kebun kayu manis serta semak belukar mengalami peningkatan luasan. Semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk disuatu wilayah maka akan mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman atupun lahan- lahan budidaya. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi jumlah pemukiman atau lahan terbangun lainnya. Kurun waktu antara tahun 1988-2008 terjadi perluasan luas wilayah lahan terbangun. Pada tahun 1988 luasan lahan terbangun sebesar 24,36 ha dan pada tahun 2008 luasannya meningkat menjadi 279 ha. Perluasan lahan terbangun khususnya untuk daerah pemukiman meningkat sangat drastis dan terjadi pada daerah pemukiman yang telah ada serta daerah yang topografinya relatif datar. Tingginya kepadatan penduduk akan meningkatkan tekanan terhadap hutan. Misalkan, banyaknya penduduk yang bekerja di bidang pertanian ini memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan khususnya lahan budidaya, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Konsekuensi dari jumlah penduduk yang meningkat salah satunya adalah pertambahan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja yang tidak seimbang dengan penyediaan lapangan kerja mengakibatkan pengangguran meningkat, yang kemudian akan mengakibatkan ketergantungan masyarakat akan hutan semakin tinggi sehingga kegiatan konversi lahan semakin meningkat Fakultas Kehutanan IPB 1986.

4. Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Mata pencaharian masyarakat Desa Lekuk 50 Tumbi Lempur No Desa Pertanian Perindustrian Perdagangan Pengangkutan Jasa lainnya 1 Dusun Baru Lempur 138 3 16 23 14 2 Lempur Tengah 406 5 43 49 39 3 Lempur Hilir 57 4 13 19 22 4 Lempur Mudik 209 2 20 26 16 Total 810 14 92 117 91 Sumber : BPS Kabupaten Kerinci tahun 2008 Masyarakat Lempur merupakan masyarakat agraris yang pada umumnya bekerja pada sektor pertanian antara lain berkebun kayu manis, kopi dan tanaman palawija sebesar 810 jiwa 72, selain itu sebagian masyarakat bekerja di bidang pengangkutan dan perdagangan seperti tukang ojek dan pengumpul kayu manis berturut-turut sebesar 117 jiwa 10,4 dan 92 jiwa 8,19. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 97 responden, 45 responden memiliki kebun kayu manis dan 20 responden memiliki sawah. Pada umumnya setiap keluarga memiliki lanah garapan baik itu dalam bentuk sawah ataupun kebun kayu manis yang dikelola secara turun-temurun. Pada saat harga kayu manis tinggi, sebagian besar masyarakat Lempur menggantungkan hidupnya dari hasil berkebun kayu manis. Harga kayu manis menurun drastis saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998, sehingga masyarakat yang tadinya menggantungkan hidupnya dari hasil kayu manis, beralih berkebun tanaman palawija. Lahan bekas kebun kayu manis dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ditanam tanaman palawija seperti tomat, cabe serta kopi. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan 1986 bahwa semakin besar kebutuhan lahan untuk pertanian, maka semakin besar pula tingkat gangguan keamanan terhadap kawasan hutan. Hal ini terjadi di Kawasan Hulu Air Lempur yang sudah sejak dahulu wilayah perbukitannya dikonversi dari hutan menjadi perkebunan rakyat seperti kebun kulit manis dan kebun campuran lainnya. Harga kulit manis yang membaik sejak tahun 1983 yang diiringi dengan merosotnya harga cengkeh di pasaran mendorong lahirnya stabilisasi harga kulit manis. Masyarakat lempur kemudian berlomba-lomba mengkonversi ladang mereka menjadi tanaman kayu manis. Karakteristik ekonomi Lempur yang nyata adalah pendapatan perkapita relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil pemetaan kemiskinan Bappenas, daerah ini tidak dikategorikan sebagai desa “miskin atau sangat miskin”. Tentunya pemetaan ini tanpa menampilkan kemerosotan nilai ekonomi sumberdaya alam yang intagible tidak dapat dinilai, seperti pemusnahan jenis hayati dan berkurangnya mutu air sungai akibat konversi hutan sekitar desa menjadi daerah perladangan. Salah satunya ditunjukkan dengan nilai ekonomi total kebun kayu manis di ladang masyarakat lempur sebesar Rp 40 milyar. Konstruksi budaya ekonomi di daerah ini sedang mengalami transisi dari masyarakat petani yang feodal ke masyarakat pra-kapitalitas dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Nilai ekonomi yang lebih bersifat intangible, seperti ketersediaan air dan kandungan jenis hutan diperkiran telah mengalami kemerosotan drastis akibat pengurangan sumber daya alam pedesaan.

5.4 Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Hutan Adat