Harga Bayangan Benih Harga Bayangan Tenaga Kerja Analisis Keunggulan Kompetitif

55 dan garok untuk setiap karakteristik petani padi semiorganik mendapatkan harga yang sama, yaitu Rp 6.000 per buah.

5. Harga Bayangan Benih

Perhitungan harga bayangan benih pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Mantau 2009, yaitu harga bayangan benih berupa harga bayangannya sebagai output. Namun karena benih memiliki aspek quality control, maka harga bayangan relatif lebih besar dibanding harga bayangan output yaitu : dimana; HB = Harga Bayangan ; HA = Harga Aktual. Sehingga pada penelitian ini harga bayangan benih untuk petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan sebesar Rp 8.742,32 ; Rp 8.797,67 ; Rp 8.252,64 per kilogram

4.3.3.3. Harga Bayangan Faktor Domestik

Setiap faktor domestik memiliki cara yang berbeda-beda dalam menentukan harga bayangannya. Hal ini dikarenakan kondisi setiap faktor dometik di lokasi penelitian berbeda.

1. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Harga tenaga kerja diklasifikasikan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Penelitian ini menghitung upah tenaga kerja finansial sama dengan upah tenaga kerja bayangan, dikarenakan seluruh tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja tidak terampil dan para peneliti berpendapat tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja pertanian tidak terampil di pedesaan. Tingkat upah ditentukan sama dengan upah tenaga kerja luar keluarga Pearson et. al, 2005. Upah tenaga kerja pertanian dihitung berdasarkan satuan hari kerja pria HB benih = x HB output 56 HKP, dimana dalam rata-rata satu HKP adalah lima jam dan seharga Rp 26.283,33 per HKP.

2. Lahan

Lahan merupakan faktor produksi utama yang termasuk ke dalam input faktor domestik. Menurut Gittinger 1986, untuk menentukan harga bayangan lahan adalah dengan memakai nilai sewa lahan yang diperhitungkan setiap musimnya, sedangkan menurut Monke dan Pearson 1989, menentukan harga bayangan lahan berdasarkan pendapatan dari tanah untuk tanaman alternatif terbaik. Perhitungan harga bayangan pada petani pemilik lahan menggunakan pendekatan Gittinger 1986 yaitu dengan memakai harga sewa lahan yang diperhitungkan setiap musim di tempat penelitian. Harga sewa lahan sebesar Rp 1.893.384,74 per hektar per musim tanam. Perhitungan harga bayangan pada petani penggarap dan penyewa lahan menggunakan pendekatan Monke dan Pearson 1989, yaitu tanaman alternatif terbaik. Alternatif tanaman terbaik di lokasi penelitian adalah usahatani padi anorganik. Dengan mengacu pada penelitian Sari 2011, keuntungan dari usahatani padi anorganik sebesar Rp 2.038.025,08 per hektar per musim tanam.

4.3.3.4. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang

Rumus penentuan harga sosial nilai tukar uang digunakan rumus menurut Squire dan Van Der Tak 1975 dalam Gittinger 1986, yaitu: Keterangan: SERt = Shadow Exchange Rate tahun ke-t nilai tukar bayangan, RpUS OERt = Official Exchange Rate tahun ke-t nilai tukar resmi, RpUS SCFt = Standard Convertion Factor tahun ke-t Faktor Konversi Standar 57 Nilai SCF ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut Rosegrant, 1987 dalam Gittinger, 1986: Keterangan: SCFt = Faktor Konversi Standar tahun ke-t Mt = Nilai Impor tahun ke-t Rp Tmt = Pajak Impor tahun ke-t Rp Xt = Nilai Ekspor tahun ke-t Rp Txt = Pajak Ekspor tahun ke-t Rp Nilai ekspor Indonesia untuk tahun 2011 Xt sebesar Rp 1.473.392.692.140,00. Nilai impor Indonesia untuk tahun 2011 Mt sebesar Rp 1.267.712.621.792.520,00. Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor Txt untuk tahun 2011 sebesar Rp 28.270.000.000.000,00. Penerimaan pemerintah dari pajak impor Tmt sebesar Rp 24.680.000.000.000,00 16 . Nilai tukar resmi rata-rata mata uang rupiah terhadap U Dollar pada tahun 2011 sebesar Rp 8.708,85. Berdasarkan data tersebut dan perhitungan menurut Van Der Tak 1975 dalam Gittinger 1986, dapat diketahui nilai tukar bayangan mata uang rupiah terhadap U Dollar SER sebesar Rp 8.540,62.

4.4. Policy Analysis Matrix PAM

Penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix PAM. PAM terdiri dari matriks yang disusun berdasarkan hasil analisis finansial privat dan analisis ekonomi sosial. Baris pertama mengestimasi keuntungan privat, yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang 16 Bea Cukai Yakin Bisa Setor Rp 129,35 Trilliun ke Kas Negara. [1] Detikfinance. http:finance.detik.comread2011122708100518000304bea-cukai- yakin bisa-setor-rp-129,35-triliun-ke-kas-negara diaskes pada 4 Februari 2012 58 mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keuntungan sosial, yaitu perhitungan penerimaan dan biaya dengan harga sosial harga yang akan menghasilkan alokasi terbaik sumberdaya dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi. Pada baris ketiga menggambarkan divergensi kegagalan pasar yang merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua. Tabel matriks PAM dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan Uraian Penerimaan Output Biaya Input Keuntungan Tradable Non Tradable Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Efek Divergensi I J K L Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Keterangan: Keuntungan Privat : D = A - B - C Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO = A E Keuntungan Sosial : H = E - F - G Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI = B F Transfer Output : I = A - E Koefisien Proteksi Efektif EPC = A-B E - F Transfer Input : J = B - F Koefisien Keuntungan PC = D H Transfer Faktor : K = C - G Rasio Subsidi untuk Produsen SRP = L E Transfer Bersih : L = D - H Private Cost Ratio PCR : C A - B Domestic Cost Ratio DRC : G E - F Dari matriks analisis kebijakan dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1. Analisis Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif dapat dilihat dari keuntungan usahatani padi semiorganik pada harga sosial. keunggulan komparatif dianalisis berdasarkan keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik. a Keuntungan Sosial atau Social Profitability Keuntungan sosial KS merupakan indikator daya saing keunggulan komparatif pada kondisi tidak ada efek divergensi. Keuntungan sosial dirumukan sebagai berikut: KS H = E – F – G 59 Keterangan : E = Penerimaan Sosial F = Biaya input tradable sosial G = Biaya input nontradable sosial Jika keuntungan sosial lebih besar dari nol dan nilainya makin besar, maka sistem komoditi padi semiorganik tersebut makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, jika keuntungan sosial lebih kecil dari nol, maka sistem komoditi tidak mampu berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. b Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Domestic Ratio Cost DRC DRC adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga bayangan. Nilai ini digunakan sebagai ukuran efisiensi secara ekonomi dan menjadi satu indikator keunggulan komparatif. Suatu kegiatan ekonomi juga diharapkan memiliki nilai DRC yang kurang dari satu agar terjadi efisiensi secara ekonomi menunjukkan keunggulan komparatif. Apabila nilai DRC yang lebih dari satu, menunjukkan semakin besar penggunaan sumberdaya atau terjadi pemborosan sumberdaya domestik. DRC dapat diperoleh dari rumus:

2. Analisis Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari keuntungan usahatani padi semiorganik pada harga privat. Keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan keuntungan privat dan rasio biaya privat. a Keuntungan Privat atau Private Profitability DRC = 60 Keuntungan privat KP merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Jika nilai KP lebih besar dari nol, berarti sistem memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai KP kurang dari nol, berarti sistem komoditas tidak mendapatkan keuntungan. Keuntungan privat didapat dengan rumus berikut: Keterangan : A = Penerimaan Privat B = Biaya Input tradable privat C = Biaya Input nontradable privat b Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio PCR PCR adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisiensi secara finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai PCR diusahakan kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin kecil nilai PCR maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. PCR dapat diperoleh dari rumus :

3. Dampak Kebijakan Pemerintah