78
VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PADI SEMIORGANIK BERDASARKAN
STATUS KEPEMILIKAN LAHAN 6.1.
Policy Analysis Matrix Pada Usahatani Padi Semiorganik
Pada penelitian ini perhitungan daya saing padi semiorganik dibedakan berdasarkan status pengusaan lahan, yaitu petani penggarap, penyewa, dan
pemilik lahan. Hal tersebut diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix PAM. Matriks ini
tersusun dari komponen penerimaan, input tradable, input nontradable, dan keuntungan yang dipisahkan dalam dua analisis, yaitu ekonomi dan finansial.
Hasil perhitungan menggunakan PAM untuk usahatani padi semiorganik di Kecamatan Cigombong, Desa Ciburuy dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Policy Analysis Matrix Untuk Usahatani Padi Semiorganik di Desa
Ciburuy Tahun 2012 RpHa
Uraian Penerimaan
Biaya Input Keuntungan
Tradable Faktor Domestik
A. Petani penggarap Privat
9.346.715,00 132.270,93
7.608.541,24 1.605.902,82
Sosial 11.830.359,42
212.093,13 9.881.610,45
1.736.655,84 Divergensi
- 2.483.644,42 - 79.822,20
- 2.273.069,20 - 130.753,02
B. Petani penyewa Privat
17.015.540,35 261.157,66
10.583.970,29 6.170.412,39
Sosial 21.233.636,35
382.494,84 11.090.394,54
9.760.746,97 Divergensi
- 4.218.096.01 - 121.337,18
- 506.424,24 - 3.590.334,58
C. Petani Pemilik Privat
16.084.295,24 185.272,20
9.787.282,74 6.111.740,30
Sosial 20.213.890,01
321.119,21 12.099.112,33
7.793.658,46 Divergensi
- 4.129.594,77 - 135.847,01
- 2.311.829,60 - 1.681.918,16
Sumber : Data Primer, diolah 2012
6.1.1. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi
Berdasarkan perhitungan PAM pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa petani dari setiap klasifikasi penguasaan lahan menguntungkan secara ekonomi
maupun finansial. Hal tersebut dikarenakan nilai keuntungan yang dihasilkan bernilai positif. Petani dari setiap klasifikasi penguasaan lahan mempunyai
79
keuntungan yang berbeda-beda baik itu dari sisi finansial maupun ekonomi. Dari sisi finansial dan ekonomi, hal tersebut dapat disebabkan adanya perbedaan
jumlah dan harga output serta input yang didapatkan oleh setiap karakteristik petani. Besarnya keuntungan sosial yang didapatkan oleh setiap karakteristik
petani dikarenakan penerimaan sosial yang lebih tinggi daripada biaya inputnya. Selain itu disebabkan harga sosial beras semiorganik yang menjadi acuan dalam
penelitian ini bernilai cukup tinggi. Keuntungan privat dan sosial yang paling besar didapatkan oleh petani penyewa.
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilakukan perhitungan-perhitungan untuk menghitung daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani padi
semiorganik di Desa Ciburuy. Indikator daya saing dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatif, sedangkan dampak kebijakan pemerintah dibedakan
menjadi kebijakan input, kebijakan output, dan kebijakan input-output.
6.2. Indikator PAM Usahatani Padi Semiorganik Berdasarkan Klasifikasi Penguasaan Lahan
6.2.1. Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif suatu komoditas ditentukan oleh nilai keuntungan privat KP dan nilai Rasio Biaya Privat PCR. Harga yang digunakan dalam
analisis ini adalah harga pasar harga aktual yang terjadi di tingkat petani. Selain itu harga pasar sudah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Pada Tabel 19 dapat
dilihat nilai keuntungan privat KP dan Rasio Biaya Privat PCR usahatani padi semiorganik.
Tabel 19. Nilai KP dan PCR Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam
Indikator Penggarap
Penyewa Pemilik
KP 1.605.902,82
6.170.412,39 6.111.740,30
PCR 0,826
0,632 0,616
Sumber : Data Primer, diolah 2012
80
Berdasarkan Tabel 19, nilai keuntungan privat KP untuk petani penggarap sebesar Rp 1.605.902,82 per hektar. Petani penyewa sebesar Rp
6.170.412,39 per hektar sedangkan untuk petani pemilik Rp 6.111.740,3 per hektar. Nilai keuntungan privat ketiga karaktersitik petani lebih besar dari nol atau
bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan padi semiorganik pada setiap karakteristik petani layak secara finansial dan menguntungkan. Perbedaan
nilai keuntungan privat KP pada setiap karakteristik dikarenakan pada petani penggarap output yang dihasilkan harus dibagi dengan pemilik lahan sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati, sedangkan pada petani penyewa dan pemilik lahan, jumlah output dan harga output yang didapatkan oleh petani
berbeda-beda. Nilai keuntungan privat terbesar terdapat pada petani penyewa karena output yang dihasilkan lebih besar daripada karakteristik petani lainnya.
Keunggulan kompetitif juga dapat dilihat dari nilai PCR, dimana nilai ini menggambarkan efisiensi finansial dari suatu sistem usahatani. PCR adalah rasio
antara biaya input domestik dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dengan input tradable pada tingkat harga aktual. Berdasarkan Tabel 19 dapat
dilihat bahwa nilai PCR petani penggarap sebesar 0,826. Petani penyewa sebesar 0,632 dan petani pemilik sebesar 0,616. Nilai PCR dari setiap karakteristik petani
yang kurang dari satu mengindikasikan usahatani padi semiorganik sudah efisien dan usahatani padi dengan sistem semiorganik dapat membayar biaya sumberdaya
domestik nontradable pada harga privat. Hal ini berarti usahatani padi semiorganik yang dijalankan oleh setiap petani penggarap, penyewa, dan pemilik
memiliki keunggulan kompetitif.
81
Semakin kecil nilai PCR suatu komoditas maka akan semakin besar keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Nilai PCR dari setiap karakteristik
petani berbeda-beda. Nilai PCR pada petani pemilik lebih kecil dibandingkan nilai PCR pada petani penyewa dan penggarap. Nilai PCR petani pemilik sebesar 0,616
memiliki arti bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik setelah dikurangi biaya input tradable privat sebesar 100 persen, usahatani tersebut
membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 61,6 persen. Hal tersebut sama halnya dengan petani penggarap dan penyewa untuk meningkatkan nilai output
padi semiorganik setelah dikurangi biaya input tradable privat sebesar 100 persen, usahatani tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 82,6
persen dan 63,2 persen. Perbedaan nilai PCR antara tiap karakteristik petani padi semiorganik
dapat disebabkan karena beberapa hal, seperti perbedaan antara harga dan jumlah output yang diterima dan didapatkan oleh setiap petani. Seperti pada petani
penggarap harga rata-rata penjualan padi semiorganik sebesar Rp 2.800 per kilogram, dan output yang didapatkan petani penggarap hanya sebesar 3.338,11
kilogram per hektar. Jumlah panen yang cukup kecil disebabkan hasil output yang dihasilkan petani penggarap harus dibagi dengan pemilik lahan sesuai dengan
perjanjian. Untuk petani penyewa harga yang diterima sebesar Rp 2.840 per kilogram dan output yang dihasilkan sebesar 5.991,29 kilogram per hektar,
sedangkan untuk petani pemilik harga yang diterima sebesar Rp 2.820 per kilogram dan output yang dihasilkan sebesar 5.703,65 kilogram per hektar.
Perbedaan harga yang diterima oleh setiap karakteristik petani semiorganik disebabkan kualitas padi dari hasil panen yang dihasilkan.
82
Jika nilai PCR usahatani padi semiorganik pada penelitian ini dibandingkan dengan nilai PCR pada usahatani padi konvensional pada penelitian
Erviani 2011, menunjukkan bahwa ketiga karakteristik usahatani padi semiorganik memiliki keunggulan kompetitif yang lebih besar. Hal tersebut
disebabkan hasil penelitian Erviani 2011 menunjukkan nilai PCR sebesar 0,84. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan ketiga karakteristik petani yang
mengusahakan padi semiorganik. Sehingga secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa usahatani padi semiorganik lebih efisien secara finansial
dibandingkan dengan usahatani padi konvensional.
6.2.2. Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif usahatani padi semiorganik ditentukan oleh nilai Keuntungan Sosial KS dan nilai Rasio Sumberdaya Domestik DRC.
Keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing suatu komoditas dengan asumsi perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi sama sekali
intervensi kebijakan dari pemerintah. Nilai Keuntungan Sosial KS dan Rasio Sumberdaya Domestik DRC dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai KS dan DRC Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam
Indikator Penggarap
Penyewa Pemilik
KS 1.736.655,84
9.760.746,97 7.793.658,46
DRC 0,851
0,532 0,608
Sumber : Data Primer, diolah 2012
Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa ketiga karakteristik petani padi semiorganik memiliki nilai keuntungan sosial yang positif atau lebih besar dari
nol. Hal ini terlihat dari nilai keuntungan sosial petani penggarap sebesar Rp 1.736.655,84 per hektar, kemudian petani penyewa dan pemilik lahan sebesar Rp
9.760.746,97 dan Rp 7.793.658,46 per hektar. Keuntungan sosial yang positif
83
mengindikasikan bahwa pengusahaan padi semiorganik yang dilakukan oleh setiap karakterisktik petani dapat menghasilkan keuntungan dengan kondisi tanpa
campur tangan kebijakan dari pemerintah. Nilai KS yang berbeda disebabkan oleh penerimaan sosial yang berbeda. Harga bayangan output setiap karakteristik
petani tidak berpengaruh karena harga bayangan yang didapatkan sama yaitu sebesar Rp 3.544,03 per kilogram. Walaupun total produksi sosial dari setiap
karakteristik petani padi semiorganik terlihat besar, hal tersebut tidak mempengaruhi keuntungan sosialnya karena dapat ditutupi oleh jumlah
penerimaan sosialnya. Berdasarkan hasil analisis, Keuntungan Sosial KS memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai Keuntungan Privat
KP. Hal tersebut dapat disebabkan penerimaan sosial yang lebih besar karena harga sosial beras organik yang menjadi acuan pada penelitian ini cukup tinggi.
Selain nilai KS, keunggulan komparatif suatu komoditas juga dapat dilihat dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik DRC. Nilai DRC menggambarkan
efisiensi ekonomi atau efisiensi dalam penggunaan sumberdaya ketika tidak adanya distorsi kebijakan dari pemerintah. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui
nilai DRC untuk petani penggarap sebesar 0,851. Petani penyewa sebesar 0,532 sedangkan untuk petani pemilik sebesar 0,608. Nilai DRC setiap karakteristik
petani yang kurang dari satu menunjukkan bahwa usahatani padi semiorganik yang dilakukan oleh setiap karakteristik petani, efisien dan mempunyai
keunggulan komparatif serta mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.
Pemenuhan kebutuhan domestik akan padi yang dihasilkan menggunakan sistem semiorganik lebih baik diproduksi di dalam negeri daripada mengimpor
84
dari negara lain. Nilai DRC petani penggarap padi semiorganik sebesar 0,851 menjelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik setelah
dikurangi biaya input tradable sosial sebesar 100 persen, diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 85,1 persen. Untuk petani penyewa nilai
DRC sebesar 0,532 menjelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik setelah dikurangi biaya input tradable sosial sebesar 100 persen,
diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 53,2 persen. Untuk petani pemilik nilai DRC sebesar 0,608 menjelaskan bahwa untuk meningkatkan
nilai output padi semiorganik setelah dikurangi biaya input tradable sosial sebesar 100 persen, diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 60,8
persen. Semakin kecil nilai DRC, maka usahatani akan semakin efisien dalam penggunaan sumberdaya dan dapat dikatakan efisien secara ekonomi dan
memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC petani penyewa lebih kecil dibandingkan dengan petani
penggarap dan pemilik lahan. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik petani pada usahatani padi semiorganik yang mempunyai efisiensi ekonomi lebih baik
adalah petani penyewa, dikarenakan penggunaan faktor domestik yang lebih efisien dibandingkan dengan karakteristik petani lainnya. Nilai DRC pada petani
penyewa dan pemilik yang lebih rendah dari nilai PCR-nya dapat menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah yang ada belum mampu meningkatkan efisiensi
dalam memproduksi padi semiorganik. Hal tersebut tidak sama pada petani penggarap, bahwa nilai PCR petani penggarap lebih kecil dibandingkan dengan
nilai DRC-nya.
85
Jika nilai DRC usahatani padi semiorganik pada penelitian ini dibandingkan dengan nilai DRC pada usahatani padi konvensional pada penelitian
Erviani 2011, menunjukkan hanya petani penyewa dan pemilik yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan hasil penelitian
Erviani 2011 menunjukkan nilai DRC sebesar 0,76. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi semiorganik yang dijalankan oleh petani
penyewa dan pemilik yang memiliki nilai DRC sebesar 0,532 dan 0,608, artinya bahwa usahatani padi semiorganik yang dijalankan petani penyewa dan pemilik
lebih efisien secara ekonomi dibandingkan dengan usahatani padi konvensional.
6.3. Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Padi Semiorganik
6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output
Kebijakan pemerintah dalam aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi para pelaku ekonomi. Hal tersebut terkait dengan
petani mengusahakan usahatani padi semiorganik ini. Kebijakan pemerintah dapat berupa subsidi dan pajak. Indikator dampak kebijakan terhadap output dapat
dilihat menggunakan nilai transfer output TO dan Koefisien Proteksi Nominal pada Output NPCO. Terdapat nilai dari masing-masing indikator dapat dilihat
pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai TO dan NPCO Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam
Indikator Penggarap
Penyewa Pemilik
TO - 2.483.644,42
- 4.218.096,01 - 4.129.594,77
NPCO 0,790
0,801 0,796
Sumber : Data Primer, diolah 2012
Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui nilai TO petani padi semiorganik bernilai negatif pada setiap karakteristik. Petani penggarap bernilai negatif Rp
2.483.644,42 per hektar. Petani penyewa bernilai negatif Rp 4.218.096,01 per
86
hektar, sedangkan untuk petani pemilik bernilai negatif Rp 4.129.594,77 per hektar. Ketiga nilai TO yang negatif menunjukkan bahwa harga privat output padi
semiorganik lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Hal ini berarti tidak adanya kebijakan pemerintah mengenai proteksi khusus terhadap padi yang
dihasilkan menggunakan sistem organik. Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya transfer intensif dari produsen ke konsumen, dimana masyarakat atau
konsumen membeli harga yang lebih murah dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih kecil dari harga yang
seharusnya diterima. Kerugian terbesar diterima oleh petani penyewa. Pengalihan surplus dari
produsen kepada konsumen mencapai Rp 4.218.096,01 per hektar. Hal tersebut terjadi karena harga privat memiliki selisih sebesar Rp 704,03 lebih rendah dari
harga sosialnya dan jumlah output yang besar. Selisih tersebut mengakibatkan penerimaan petani penyewa pada usahatani padi semiorganik berkurang sebesar
Rp 704,03 per kilogram. Berdasarkan Tabel 21, nilai NPCO dari ketiga karakteristik petani padi
semiorganik bernilai kurang dari satu. Petani penggarap bernilai 0,790. Petani penyewa dan pemilik lahan bernilai 0,801 dan 0,796. Nilai tersebut didapatkan
dari rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO yang kurang dari satu
diakibatkan penerimaan pada harga privat lebih kecil daripada ketika penerimaan tanpa proteksi harga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak atau belum
adanya kebijakan khusus mengenai padi semiorganik atau khususnya padi yang dihasilkan dengan sistem organik yang dibuat oleh pemerintah.
87
Pada lokasi penelitian tidak terdapat kebijakan output yang diberlakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah mengenai padi semiorganik. Hal ini
dikarenakan menanam padi dengan menggunakan sistem padi organik belum banyak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan petani harus mengambil resiko
produksi menurun diawal-awal tahun pemanenan ketika peralihan dari konvensional menuju organik. Rendahnya harga padi semiorganik di lokasi
penelitian dikarenakan kualitas padi semiorganik yang dihasilkan masih kurang bagus. Terlepas itu perbedaan harga privat dengan harga sosial adalah kendala
padi pure organic, sehingga beras yang dihasilkan oleh penggilingan padi semiorganik tidak dapat menjual harga yang lebih tinggi kepada konsumen.
6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input
Kebijakan pemerintah tidak hanya berlaku untuk harga output namun berlaku pula untuk harga input. Bentuk kebijakan pemerintah terhadap input
seperti subsidi dan pajak diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam
negeri. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk melihat intervensi pemerintah dalam input produksi adalah nilai Transfer Input TI, Koesfisien
Proteksi Nominal pada Input NPCI, dan Transfer Faktor TF. Nilai-nilai TI, NPCI, dan TF dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Nilai TI, NPCI, dan TF Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam
Indikator Penggarap
Penyewa Pemilik
TI - 79.822,20
- 121.337,18 - 135.847,01
NPCI 0,624
0,683 0,577
TF - 2.273.069,20
- 506.424,24 - 2.311.829,60
Sumber : Data Primer, diolah 2012
Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui nilai TI dari setiap karakteristik petani padi semiorganik bernilai negatif. Petani penggarap nilai TI sebesar negatif
88
Rp 79.822,20 per hektar. Petani penyewa nilai TI sebesar negatif Rp 121.337,18 per hektar, sedangkan untuk petani pemilik nilai TI sebesar negatif Rp 135.847,01
per hektar. Nilai TI merupakan selisih antara biaya input tradable pada harga privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI ketiga karakteristik
petani padi semiorganik bernilai negatif menunjukkan bahwa terdapat kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable, yaitu terhadap pupuk anorganik pupuk
urea, TSP, NPK Phonska, dan KCL dalam pengusahaan padi semiorganik di lokasi penelitian. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi ketiga karakteristik
petani padi semiorganik karena terdapat kebijakan yang menguntungkan seperti subsidi atas biaya input tradable sehingga menyebabkan petani membayar input
yang lebih rendah dari harga sebenarnya. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui nilai TI ketiga karakteristik petani
padi semiorganik, ternyata petani pemilik lahan relatif lebih besar menerima subsidi dibandingkan dengan petani penggarap dan penyewa lahan. Besarnya nilai
subsidi petani pemilik sebesar Rp 135.847,01 per hektar. Petani penyewa sebesar Rp 121.337,18 per hektar sedangkan petani penggarap sebesar Rp 79.822,20 per
hektar. Besarnya nilai subsidi yang didapatkan oleh petani pemilik dan penyewa lahan disebabkan penggunaan jumlah input ditanggung oleh petani itu sendiri. Hal
tersebut berbeda dengan petani penggarap, karena jumlah input yang digunakan petani penggarap dibantu oleh pemilik lahan sesuai dengan perjanjian terlebih
dahulu. Indikator lain yang mendukung adanya subsidi pemerintah adalah
Koefisien Proteksi Output Input Nominal NPCI. NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dengan harga sosial. Nilai NPCI
89
menunjukkan seberapa besar insentif yang diberikan pemerintah terhadap input ptoduksi tradable. Berdasarkan Tabel 22, nilai NPCI dari ketiga karakateristik
petani padi semiorganik bernilai kurang dari satu. Petani penggarap bernilai 0,624. Petani penyewa bernilai 0,683, sedangkan untuk petani pemilik lahan bernilai
0,577. Hal ini menunjukkan terdapat kebijakan subsidi terhadap input petani yang menyebabkan harga finansial input lebih rendah dibandingkan dengan harga
bayangannya harga sosialnya. Selain menggunakan input tradable, para petani padi semiorganik juga
menggunakan input nontradable faktor domestik. Contoh faktor domestik yang digunakan petani pada usahatani padisemiorganik adalah benih, tenaga kerja,
pupuk organik, peralatan pertanian, lahan, dan input domestik lainnya. Transfer Faktor TF merupakan selisih antara biaya input nontradable pada harga privat
dengan harga sosialnya. Berdasarkan Tabel 22, dapat diketahui bahwa nilai TF setiap karakteristik petani padi semiorganik bernilai negatif. Petani penggarap
memiliki nilai TF sebesar negatif Rp 2.273.069,2 per hektar. Petani penyewa dan pemilik lahan nilai TF sebesar negatif Rp 506.424,24 dan negatif Rp 2.311.829,6
per hektar. Ketiga nilai TF yang bernilai negatif menunjukkan harga input nontradable
pada harga privat lebih kecil dibandingkan dengan input nontradable pada harga sosial.
Nilai TF yang bernilai negatif disebabkan adanya komponen faktor domestik yaitu harga bayangan lahan dan harga bayangan benih lebih besar
dibandingkan dengan harga privatnya. Harga bayangan lahan pada petani pemilik menggunakan harga rata-rata sewa lahan pada lokasi penelitian, yaitu
Rp 1.893.384,74 per hektar per musim tanam. Petani penggarap dan penyewa
90
lahan harga bayangan lahan didekati dengan social opportunity cost lahan tersebut, dengan mengacu terhadap penelitian Sari 2011, yaitu sebesar Rp
2.038.025,08 per hektar.
6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif EPC,
Transfer Bersih TB, Koefisien Keuntungan PC, dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP. Hasil perhitungan indikator dampak kebijakan pemerintah
terhadap input-output usahatani padi semiorganik dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Nilai EPC, TB, PC, dan SRP Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam
Indikator Penggarap
Penyewa Pemilik
EPC 0,793
0,804 0,799
TB - 130.753,02
- 3.590.334,58 - 1.681.918,16
PC 0,9247
0,6322 0,7842
SRP - 0,011
- 0,169 - 0,083
Sumber : Data Primer, diolah 2012
Koefisien Proteksi Efektif EPC merupakan rasio antara nilai tambah pada harga privat dengan nilai tambah harga sosial. EPC merupakan indikator dari
dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas di dalam negeri. Nilai ini menggambarkan bagaimana kebijakan
pemerintah bersifat melindungi atau menghambat proses produksi domestik. Nilai EPC untuk petani penggarap sebesar 0,793. Petani penyewa dan pemilik lahan
memiliki nilai EPC sebesar 0,804 dan 0,799. Nilai EPC untuk ketiga karakteristik petani padi semiorganik yang kurang dari satu menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap input-output tidak berjalan secara efektif. Pada kebijakan output, pemerintah belum menetapkan kebijakan secara khusus tentang padi yang
dihasilkan menggunakan sistem organik, sehingga harga privat padi semiorganik
91
masih jauh dibawah harga sosialnya. Untuk kebijakan terhadap input, khususnya input tradable pemerintah sudah menetapkan subsidi terhadap pupuk anorganik.
Subsidi tersebut tidak terlalu dirasakan oleh petani dikarenakan pada lokasi penelitian harga pupuk anorganik masih diatas Harga Eceran Tertinggi HET
pupuk tersebut. Transfer Bersih TB adalah selisih antara keuntungan privat dengan
keuntungan sosial. Nilai TB menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau
menguntungkan petani sebagai produsen. Beradasarkan Tabel 23, nilai TB ketiga karakteristik petani bernilai negatif menunjukkan bahwa surplus produsen
berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah terhadap input dan tidak adanya kebijakan pemerintah terhadap output yang
berlaku menyebabkan hilangnya keuntungan petani penggarap sebesar Rp 130.753,02 per hektar per musim tanam. Untuk petani penyewa hilangnya
keuntungan sebesar Rp 3.590.334,58 per hektar per musim tanam, sedangkan untuk petani pemilik hilangnya keuntungan sebesar Rp 1.681.918,16 per hektar
per musim tanam. Koefisien Keuntungan PC merupakan indikator dampak adanya
kebijakan pemerintah terhadap keuntungan yang diterima petani . PC merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial.
Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa PC petani penggarap sebesar 0,9247. Untuk petani penyewa dan pemilik sebesar 0,6322 dan 0,7842. Nilai PC dari
ketiga karakteristik petani padi semiorganik menunjukkan keuntungan privat yang diterima petani padi semiorganik lebih kecil dibandingkan keuntungan sosialnya.
92
Untuk petani penggarap lahan nilai keuntungan privatnya lebih kecil daripada keuntungan sosialnya sebesar 92,47 persen. Hal tersebut juga dirasakan oleh
petani penyewa dan pemilik lahan dimana keuntungan privatnya lebih kecil sebesar 63,22 persen dan 78,42 persen daripada keuntungan sosialnya.
Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input output selanjutnya adalah Rasio Subsidi bagi Produsen SRP. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui
bahwa nilai SRP yang diperoleh ketiga karakteristik petani padi semiorganik adalah negatif, yakni untuk petani penggarap lahan sebesar -0,011 lalu untuk
petani penyewa dan pemilik lahan sebesar -0,169 dan -0,083. Nilai SRP ini berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan petani penggarap
mengeluarkan biaya produksi lebih besar 1,1 persen dari biaya opportunity cost. Begitu juga dengan petani penyewa dan pemilik yang mengeluarkan biaya
produksi lebih besar 16,9 persen dan 8,3 persen dari biaya opportunity cost. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum
menguntungkan bagi pengembangan usahatani padi semiorganik. Hal tersebut karena adanya kebijakan subsidi input, yaitu subsidi pupuk anorganik, tidak
disertai dengan kebijakan output, dimana belum adanya proteksi atau sejenisnya untuk mengurangi beras semiorganik impor dan kebijakan harga jual padi
semiorganik di lokasi penelitian.
93
VII. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL PENERIMAAN DAN BIAYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF