Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara

(1)

PROPINSI SULAWESI UTARA

ZULKIFLI MANTAU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG

MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Zulkifli Mantau NRP. H353070191


(3)

ZULKIFLI MANTAU. The Analysis of Comparative and Competitive Advantages of Maize and Paddy Farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, North Sulawesi Province (HARIANTO as a Chairman and NUNUNG NURYARTONO as a Member of the Advisory Committee).

The aims of this research are : (1) to analyze the profitability of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) to analyze the comparative and competitive advantages of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (3) to analyze the impact of government policy on competitiveness of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (4) to analyze the price changed sensitivity of input, output and wage of labor on comparative and competitive advantages of maize farming in Kabupaten Bolaang Mongondow. The analysis method use a Policy Analysis Matrix (PAM). The PAM results showed that private and social profitability of maize farming are Rp. 218 926 and Rp. 3 045 938. Private Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.97 and 0.69. Domestic Resources Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.65 and 0.68. Based on the results of Output Transfer and Nominal Protection Coefficient on Output can be indicated that output price in domestic market was lower than output price in international market. Based on the results of Input Transfer and Nominal Coefficient on Input can be indicated that there’s subsidy policy impact in input price of maize farming. In additional, factor transfer result indicated that there’s tax policy impact in domestic factors. The result of Effective Protection Coefficient of maize (0.80) indicates that there’s low protection of maize product in Bolmong. Net Transfer result was negative. The profitability rates of maize farming just only 7 percent in private price. Subsidy Ratio to Producers was negative. It means that there’s a high budget of production budget of maize farming, especially in private factor. Finally, based on sensitivity analysis can be shown that the ninth scenario (fertilizer price decreased 10 percent and output price increased 30 percent) was the best scenario with result of private and social profitabilities, PCR and DRCR are Rp. 3 027 171/ year and Rp. 6 849 398/ year, 0.69 and 0.46.

Keywords : comparative and competitive advantages, maize and paddy farming, Policy Analysis Matrix


(4)

ZULKIFLI MANTAU. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara (HARIANTO sebagai Ketua, dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Pemerintah Indonesia menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007 setelah pencanangan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tahun 2005. Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuh kembangkan yaitu jagung, rumput laut dan VCO (Virgin Coconut Oil). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK yaitu peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practice), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara, agar dapat dirumuskan suatu kebijakan yang sesuai (langkah-langkah intervensi) untuk pengembangan komoditas unggulan tersebut, dimana sasaran akhirnya tidak terlepas dari faktor peningkatan produksi dan kesejahteraan petani (berhubungan dengan strategi pertama yaitu pengurangan kemiskinan dan kegureman petani).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (3) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang Mongondow. Metode analisis menggunakan Policy Anylisis Matrix (PAM). Dengan PAM dapat diketahui nilai profitabilitas privat dan sosial, Private Cost Ratio (PCR) untuk rasio keunggulan kompetitif, Domestic Resources Cost Ratio

(DRCR) untuk rasio keunggulan komparatif dan aspek divergensi atau dampak kebijakan yang terdiri dari Output Transfer (OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer (IT), Nominal Coefficient on Input (NPCI),

Factor Transfer (FT), Effective Protection Coefficient (EPC), Profitability Coefficient (PC)dan Surplus Ratio to Producer (SRP).

Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45 tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Petani responden di lima kecamatan lokasi penelitian (Poigar, Bolaang, Bolaang Timur, Lolayan dan Lolak) semuanya bermata pencaharian utama dari kegiatan usahatani, baik tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Sebagian besar petani merupakan pemilik lahan, hanya satu kecamatan saja yang keseluruhan


(5)

dan padi masing-masing sebesar Rp. 218 926 dan Rp. 3 870 106dengan RC-ratio

sebesar 1.02 dan 1.39, sedangkan provitabilitas sosial masing-masing sebesar Rp. 3 045 938 dan Rp. 3 446 567 per dua musim tanam dengan RC-ratio sebesar 1.33 untuk jagung dan 1.37 untuk padi. Berdasarkan nilai PCR dapat dikemukakan bahwa usahatani jagung memerlukan 0.97 satuan untuk dapat bersaing dengan usahatani padi yang hanya memerlukan tambahan biaya faktor domestik pada harga privat sebesar 0.69 satuan. Nilai DRCR usahatani jagung menunjukkan bahwa setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US $ 0.65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan usahatani padi yang memiliki nilai DRCR sebesar 0.68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa kedua komoditas tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten Bolaang Mongondow daripada mengimpornya.

Selanjutnya berdasarkan analisis dampak kebijakan dalam Tabel PAM diperoleh hasil untuk usahatani jagung nilai OT negatif (Rp. -3 016 041.83) dengan NPCO 0.75 sedangkan usahatani padi nilai OT positif (Rp. 944 028.37) dengan NPCO 1.07. Hasil ini menunjukkan harga domestik jagung lebih rendah dari harga internasionalnya sebaliknya harga domestik padi (beras) lebih tinggi dari harga internasionalnya, yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif terhadap output jagung (pajak komoditas). Hasil IT baik usahatani jagung maupun padi sama-sama negatif, yaitu Rp. -1 219 818.82 dan Rp. -785 522.96 dengan NPCI masing-masing 0.64 dan 0.62. Hasil ini menunjukkan secara implisit adanya subsidi terhadap faktor input yang besarannya 64 persen untuk jagung dan 62 persen untuk padi. Sebaliknya hasil FT yang positif, yaitu Rp. 1 030 788.26 untuk jagung dan Rp. 1 306 012.31 untuk padi menunjukkan adanya subsidi sebesar nilai-nilai tersebut terhadap faktor domestik masing-masing usahatani. Nilai EPC untuk jagung lebih kecil dari satu (0.80) sedangkan padi lebih besar dari satu (1.16) yang menunjukkan adanya kebijakan proteksi terhadap komoditi padi (beras). Nilai NT dan SRP usahatani jagung yang negatif menunjukkan adanya pengurangan surplus produsen (petani) dan tingginya biaya produksi, dengan rasio keuntungan pada harga privat hanya sebesar 7 persen (PC).

Berdasarkan analisis sensitivitas maka kebijakan yang dapat diambil pemerintah daerah pada usahatani jagung di Bolaang Mongondow adalah dengan menurunkan harga pupuk sebesar 10 persen dan menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-9).

Kata kunci : keunggulan komparatif dan kompetitif, Policy Analysis Matrix, usahatani jagung dan padi


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

PROPINSI SULAWESI UTARA

ZULKIFLI MANTAU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi:

Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec


(9)

Sulawesi Utara Nama Mahasiswa : Zulkifli Mantau Nomor Pokok : H353070191

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS

Tanggal Lulus: 4 September 2009 Tanggal Ujian Tesis : 13 Juli 2009


(10)

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas rakhmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis Program Magister Sains ini dapat terselesaikan. Tesis ini mengkaji dan mengulas mengenai aspek-aspek daya saing serta kebijakan bagi usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan, saran serta pemikirannya dari awal penulisan proposal sampai dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr.Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec selaku penguji luar komisi.

Banyak terima kasih penulis sampaikan juga kepada :

1. Kepala Badan Litbang Pertanian – Deptan serta Kepala BPTP Sulawesi Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan S-2 di IPB.

2. Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator serta seluruh staf dosen dan pegawai Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SPS – IPB (mba Rubi, mba Yani, mba Aam, Ibu Kokom, Pak Husen) yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan, wawasan kepada penulis selama kuliah di EPN - IPB. 3. Para Penyuluh Pertanian Lapangan, Ketua GAPOKTAN, Kepala Desa dan

petani responden di Desa Poigar, Bolaang, Langagon, Lolayan dan Lolak II yang telah banyak membantu penulis memperoleh data dan informasi selama penelitian lapang berlangsung.


(11)

5. Para staf di dinas pertanian, dinas perdagangan propinsi dan kabupaten, bea cukai Pelabuhan Bitung dan Gorontalo, Pelindo Bitung, BPS Propinsi, Direktorat Bina Pasar Departemen Perdagangan, yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan penelusuran data-data.

6. Teman-teman EPN angkatan 2007 : Adhi Setyanto, Ferryanto W.K, Narta, M.Suryadi, Ambar Kurniawan, Roni Afrizal, Desi Aryani, Dian Hafizah, Wanti Fitrianti, Asri, Wiwik Hidayati, atas bantuan dan dorongan semangatnya.

7. Teman-teman peneliti, penyuluh serta staf administrasi di BPTP Sulut atas segala bantuan yang diberikan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Papi Abdullah Mantau (Alm) dan yang teristimewa untuk Mami tercinta Hj. Kartin Ali atas doa, dukungan dan perhatiannya. Kepada Istri terkasih Salmah Tirajoh serta dua permata hati Zahra dan Raya yang telah dengan sabar menanti dan mendoakan penulis. Kepada Kakak-kakakku Abdul Halim dan Mercy atas doa dan dukungannya.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan penelitian di Indonesia.

Bogor, Agustus 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 Juni 1974 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Drs.Abdullah Mantau (Alm) dengan Ir.Hj.Kartin Ali.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1986, kemudian pendidikan menengah di SMP Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1989 dan SMA Negeri 7 Manado pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar sarjana pada tahun 1997.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara sejak April 1998. Pada tahun 2007 memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.6. Keterbatasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 9

2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ... 15

2.3. Penelitian Terdahulu ... 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

3.1. Kerangka Pemikiran Analisis ... 22

3.2. Policy Analysis Matrix ... 25

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 28

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 28

4.2. Data dan Sumber Data ... 28

4.3. Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh ... 30

4.4. Metode Analisis ... 32

4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan ... 38

4.5.1. Harga Bayangan Output ... 39

4.5.2. Harga Bayangan Lahan ... 39

4.5.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan ... 40


(14)

xiii

4.6. Analisis Sensitivitas ... 43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 47

5.2. Karakteristik Petani Responden ... 49

5.3. Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan ... 53

5.4. Justifikasi Harga Bayangan ... 56

5.4.1. Harga Bayangan Output ... 57

5.4.2. Harga Bayangan Lahan ... 58

5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan ... 58

5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja ... 61

5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal ... 63

5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah ... 63

5.5. Profitabilitas Privat dan Sosial ... 64

5.6. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 69

5.7. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ... 73

5.7.1. Kebijakan Output ... 74

5.7.2. Kebijakan Input ... 78

5.7.3. Kebijakan Input-Output ... 85

5.8. Analisis Sensitivitas ... 88

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 92

6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Implikasi Kebijakan ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(15)

xiv

Nomor Halaman

1. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung

di Sulawesi Utara Tahun 2003 – 2005 ... 21

2. Policy Analysis Matrix ... 27

3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006 ... 46

4. Curah Hujan selang Tahun 2004 – 2008 ... 47

5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007 ... 48

6. Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2007 ... 49

7. Karakteristik Usia Petani Responden ... 50

8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden ... 51

9. Status dan Peranan Anggota Keluarga ... 53

10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009 ... 54

11. Struktur Pendapatan Rumah tangga Tani Responden ... 55

12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian ... 58

13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian ... 60

14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil Usahatani Jagung ... 62

15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ... 66

16. Hasil Perhitungan Privat Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ... 69

17. Output Transfer dan Nominal Protection Coeficient on Output Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ... 74


(16)

xv

19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient Input dan Factor Transfer

Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ... 79 20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi

Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow ... 80 21. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability Coeficient dan Susidy Ratio to Producers Usahatani Jagung dan Padi

di Kabupaten Bolaang Mongondow ... 85 22. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Bolaang Mongondow ... 89


(17)

xvi

Nomor Halaman

1. Dua Belas Pilar Competitiveness ... 14 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness ... 14 3. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani dengan Jenis Usahatani ... 52


(18)

xvii

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 101 2. Rekap Pendapatan Rata-Rata Rumah tangga Tani Responden

di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008 ... 102 3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten

Bolaang Mongondow Tahun 2008 ... 103 4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten

Bolaang Mongondow Tahun 2008 ... 105 5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten

Bolaang Mongondow ... 107 6. Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten

Bolaang Mongondow ... 108 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan

Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007 ... 109 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi

Penelitian ... 110


(19)

1.1. Latar Belakang

Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut, dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor (net importer) (Swastika, 2002; Nuryartono, 2005). Hal ini berkaitan erat dengan pola konsumsi yang lambat laun berubah, dimana jagung tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan) namun juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, khususnya pakan ternak (Nuryartono, 2005). Tercatat kebutuhan jagung nasional untuk bahan baku pakan ternak pada tahun 2005 saja sudah mencapai 4.5 juta ton dan diprediksi akan meningkat setiap tahunnya (WWF Indonesia, 2008). Sedangkan sampai akhir tahun 2007 kebutuhan jagung nasional secara keseluruhan sebesar 13.8 juta ton, dimana 13.2 juta ton merupakan produksi dalam negeri sementara 600 ribu ton diimpor dari negara lain. Adapun peningkatan permintaan terhadap komoditas jagung tersebut diperkirakan mencapai 2.40 persen per tahun (Antara News, 2007).

Kebijakan swasembada beras selama ini menempatkan beras sebagai produk pangan utama di Indonesia, sementara jagung menjadi second commodity

dalam tatanan produk pangan di Indonesia. Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak era orde lama komoditi padi (dalam hal ini beras) telah memiliki peran strategis terutama menyangkut isu ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan stabilitas politik.


(20)

Kebijakan perberasan nasional kemudian dimantapkan dalam GBHN 1999 – 2004, yang mengatur landasan utama perumusan kebijakan perberasan nasional (Puslitbangtan, 2005). Selanjutnya kebijakan perberasan nasional semakin dipermantap dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) No. 3 Tahun 2007 dan No.1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Dimana pada intinya mengatur mengenai: (1) harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah (kering panen dan kering giling), beras dan stabilisasi harga beras, (2) fasilitasi pupuk untuk usahatani padi, (3) penyaluran beras bersubsidi serta sasarannya, (4) masalah ekspor dan impor beras, dan (5) menyangkut koordinasi dan instruksi bagi kementrian dan departemen terkait serta pemerintah daerah.

Selanjutnya jagung lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri baik untuk pakan ternak maupun bio-energi, daripada antisipasi ketahanan pangan. Sehingga aspek regulasi pun tidak semantap dan sekonsisten kebijakan perberasan. Alasan yang mendasari perubahan isu dari kepentingan pangan menjadi kepentingan industri pakan adalah semata-mata sebagai antisipasi dari perkembangan industri ternak Indonesia yang semakin pesat. Sebagai gambaran umum bahwa kapasitas produksi Perusahaan Makanan Ternak (PMT) di Indonesia, sekitar 6 908 000 ton per tahun. Apabila 50 persen berat bahan bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan hampir 3.5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton per ha dan 2 kali tanam per tahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan diperlukan lahan sekitar 350 000 ha per tahun (Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil Bank Indonesia, 2008).


(21)

Menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMTI) proyeksi kebutuhan jagung untuk pakan ternak akan naik dari 3.5 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun dalam kurun waktu tahun 2004 – 2010 (Departemen Perindustrian, 2004). Data FAO menunjukkan bahwa produksi jagung nasional pada tahun 2006 sebesar 11 610 646 ton dengan luas areal panen sebesar 3 346 427 ha (FAO, 2008). Sedangkan Produksi jagung Sulawesi Utara pada tahun 2006 menurut data BPS, sebesar 406 759 ton dengan luas areal panen sebesar 115 664 ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari produksi jagung nasional tersebut tersedot oleh kebutuhan pabrik pakan ternak, dan ini akan meningkat terus setiap tahunnya sesuai dengan proyeksi dari GPMTI. Sementara produksi jagung Sulawesi Utara hanya memberikan kontribusi sekitar 12 persen dari total kebutuhan jagung untuk pakan ternak.

Seiring kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia kemudian memandang optimis akan perkembangan jagung ini dengan menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007 (Nuryartono, 2005). Antisipasi ini dimungkinkan mengacu pada pertumbuhan produksi jagung lima tahun terakhir (2000-2004) yang besarnya 4.24 persen per tahun dan laju peningkatan kebutuhan yang besarnya 2.74 persen per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam

Suryana, 2006). Target pemerintah ini tidak lepas dari kebijakan umum RPPK, dimana strategi kedua adalah peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practice) (Departemen Pertanian, 2005).


(22)

Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan unggulan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan yaitu jagung, rumput laut dan kelapa dalam bentuk Virgin Coconut Oil (VCO). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK tersebut (aspek daya saing komoditas unggulan), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan salah satu wilayah sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai “lumbung berasnya” Sulawesi Utara.

Komoditas jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow sejak tahun 2006 mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Tahun 2005 tercatat produksi total jagung Bolmong sebesar 69 000 ton, meningkat menjadi 110 670 ton pada tahun 2006, selanjutnya naik menjadi 119 282 ton pada tahun 2007 dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 126 857 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Peningkatan produksi tersebut diikuti oleh peningkatan luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitasnya. Pada tahun 2006 luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitas jagung berturut-turut masih sebesar 38 692 ha, 36 835 ha dan 30.15 ton per ha. Kemudian meningkat pada tahun 2008 sebesar 38 813 ha, 37 839 ha dan 35.50 ton per ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Bahkan pada tahun 2007 sebanyak 2000 ton jagung Bolmong telah diekspor ke Davao, Phillipina (Harian Komentar, 2 Juni 2007).


(23)

Peningkatan luas areal tanam, luas areal panen, produktivitas dan produksi jagung di Bolaang Mongondow selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi karena sejak dicanangkannya Crash Program Agribisnis Sulawesi Utara jagung dipacu dan diangkat menjadi komoditas unggulan, sehingga bisa lebih memiliki daya saing serta membuka peluang untuk ekspor (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008).

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ekspor hasil pertanian dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu: (1) permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi kebijaksanaan pemerintah yang diambil selama ini, (2) permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat yang melekat pada komoditas pertanian, dan (3) permasalahan yang berkaitan dengan kebijaksanaan perdagangan yang dilakukan oleh partner dagang. Permasalahan-permasalahan ini perlu diatasi dalam upaya pengembangan ekspor hasil pertanian guna meningkatkan penerimaan ekspor dengan melakukan reorientasi kebijaksanaan ekspor dan kebijaksanaan pembangunan pertanian (Dillon dan Suryana, 1990

dalam Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, 2000).

Di lain pihak, untuk mengembangkan komoditas ekspor pertanian perlu mempertimbangkan aspek keunggulan komparatif dan kompetitifnya, sehingga tercipta pewilayahan komoditas yang benar-benar mencerminkan kemampuan suatu wilayah dalam menghasilkan komoditi pertanian serta mampu menangkap peluang pasar.


(24)

Berhubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara pada tahun 1999 menunjukkan komoditas jagung di Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) sebesar 0.53, sedangkan padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61 (BPTP Sulut, 2000). Sementara itu, selama kurun waktu hampir 10 tahun tidak banyak diperoleh informasi terbaru mengenai tingkat keunggulan komparatif maupun kompetitif usahatani jagung serta padi di wilayah tersebut. Apakah telah mengalami peningkatan atau bahkan penurunan, sebab keunggulan komparatif bersifat dinamis dan sewaktu-waktu keunggulan yang dimiliki tersebut dapat diambil alih oleh komoditas lain. Padahal informasi atau data ini sangat penting tersedia sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan atau langkah-langkah intervensi guna pengembangan komoditas jagung tersebut dalam rangka mensukseskan Crash Program Agribisnis Propinsi Sulawesi Utara.

Berdasarkan permasalahan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan bahwa apakah usahatani jagung yang dilakukan selama ini masih memiliki keunggulan komparatif dan bagaimana keunggulan kompetitifnya dengan komoditas lain yang merupakan kompetitor utama di Bolaang Mongondow, yaitu padi ? Selanjutnya, bagaimana kontribusinya terhadap tingkat pendapatan petani di Kabupaten Bolaang Mongondow ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian 1.1. dan 1.2. maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:


(25)

1. Menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow

2. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow.

3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow.

4. Menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang Mongondow.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan dan informasi bagi pihak pengambil kebijakan daerah tentang sejauh mana atau seberapa besar keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini. Sehingga dapat dirumuskan langkah kebijakan selanjutnya mengenai program revitalisasi jagung khususnya di Kabupaten Bolaang Mongondow, terutama dalam hal penentuan kadar intervensi pemerintah terhadap usahatani tersebut.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup pokok bahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi yang meliputi perhitungan/ penentuan

Domestic Resource Cost Ratio (DRCR), Private Cost Ratio (PCR), analisis keuntungan baik sosial maupun privat serta aspek dampak kebijakan pemerintah


(26)

yang mempengaruhi daya saing jagung serta padi. Keseluruhan indikator tersebut akan menunjukkan seberapa besar tingkat daya saing (komparatif dan kompetitif) dari usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Disamping itu, pengamatan lebih difokuskan pada tingkat usahatani dan bukan pada tingkat/skala industri besar seperti industri pakan ternak yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku utamanya.

1.6. Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini hanya dibatasi pada analisis komparatif dan kompetitif termasuk profitabilitas sosial dan privat serta dampak kebijakan sesuai hasil

Policy Analysis Matrix (PAM) untuk perumusan suatu kebijakan.

2. Keterbatasan informasi atau kegagalan informasi dari pedagang pengumpul mengenai harga beli riil jagung di tingkat petani serta keterbatasan informasi dari pihak birokrat sebagai alasan untuk pengamanan program daerah.

3. Batas-batas wilayah administratif yang belum jelas sebagai akibat proses pemekaran wilayah yang belum tuntas menyebabkan kesulitan dalam hal koordinasi dan validasi data sekunder terutama data potensi serta luas lahan dan pertanaman jagung secara total di Kabupaten Bolaang Mongondow. 4. Penentuan input-input tradable serta validitas harga yang berlaku di

Kabupaten Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya.


(27)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Teori ini disinggung pertama kali oleh Adam Smith kemudian diperkaya dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk menggambarkan teori ini secara umum, maka sering digunakan istilah “Ricardian Model” (Gonzalez, 2004).

Gonzalez (2004) mengemukakan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam mengartikan keunggulan komparatif. Pertama, prinsip dari keunggulan komparatif adalah sangat kontra-intuitif. Banyak hasil dari model formal mengandung kontroversi secara logika. Kedua, teori tersebut sangat mudah untuk membawa kebingungan dengan dugaan lain mengenai keuntungan, yang dikenal dalam teori perdagangan sebagai teori keunggulan absolut. Dasar pemikiran dari keunggulan absolut cukup intuitif. Kebingungan antara dua konsep teori ini membuat banyak orang untuk berpikir bahwa mereka paham keunggulan komparatif dalam faktanya, padahal yang dipahami adalah keunggulan absolut. Dalam penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif sering disajikan dalam bentuk matematis, menggunakan contoh-contoh numerik atau representasi

diagrammatic untuk menggambarkan hasil dasar dan implikasi terdalam dari teori tersebut. Bagaimanapun, teori tersebut mudah untuk dilihat secara matematik, tanpa perlu memahami intuisi dasar dari teori tersebut.

Selanjutnya dikemukakan bahwa disebabkan ide dasar dari keunggulan komparatif yang tidak intuitif, maka cara terbaik untuk memahami teori ini adalah dengan mempelajari temuan dari David Ricardo. Dalam contohnya, Ricardo


(28)

menyajikan dua negara, Inggris dan Portugal yang memproduksi dua barang, yaitu pakaian dan anggur dengan menggunakan tenaga kerja sebagai input penjualan dalam produksi. Ricardo berasumsi bahwa produktivitas tenaga kerja (seperti kuantitas produksi per pekerja) bervariasi antara industri dan antar negara. Inggris lebih produktif dalam produksi salah satu barang dan Portugal lebih produktif pada hal yang lain, Ricardo berasumsi bahwa Portugal lebih produktif pada kedua barang tersebut. Jika Portugal dua kali relatif lebih produktif dalam produksi kain dan tiga kali dalam produksi anggur, maka kemudian dikatakan bahwa Portugal memiliki keunggulan komparatif untuk produk anggur. Sebaliknya Inggris dikatakan lebih memiliki keunggulan komparatif untuk produk kain. Hal ini menyiratkan bahwa untuk mendatangkan keuntungan dari spesialisasi produk dan perdagangan bebas, maka Portugal harus mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang paling baik dalam produksi, sedangkan Inggris mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang sedikit buruknya dalam produksi (Gonzalez, 2004).

Namun dewasa ini teori keunggulan komparatif (comparative advantage) telah mengalami pergeseran, seiring dikonsepkannya kembali comparative advantage oleh Paul Krugman, seorang ekonom penerima hadiah Nobel tahun 2008. Menurut Handerson (2008) teori Krugman menjelaskan bahwa banyak perdagangan inernasional mengambil lokasi antar negara dengan ratio capital

yang sama untuk tenaga kerja. Teori Krugman mencontohkan industri mobil di Swedia yang menggunakan intensive capital dimana Swedia mengeskpor mobil ke Amerika, sementara konsumen Swedia juga mengimport mobil dari Amerika.


(29)

Penjelasan Krugman mengenai comparative advantage didasari pada economies of scale. Teori Krugman mengatakan bahwa:

“sebab dari economies of scale, produsen mempunyai insentif untuk berkonsentrasi memproduksi setiap barang atau jasa pada jumlah terbatas dari lokasi tertentu. Disebabkan karena biaya transaksi melewati jarak (secara geografis), maka lokasi yang diinginkan dari tiap produsen adalah tempat dimana permintaan besar atau jumlah input yang sesuai – yang secara umum adalah suatu lokasi yang dipilih oleh produsen yang lain. Sehingga (secara geografis) konsentrasi dari industri, sekali dimapankan/ dimantapkan, sehingga cenderung untuk berkelanjutan dengan sendirinya” (Handerson, 2008).

Intinya, tidak seperti Ricardo yang menyarankan bahwa setiap negara atau daerah harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi suatu barang agar dapat memiliki

comparative advantage terhadap negara/daerah lain dengan memproduksi barang yang berbeda, namun Krugman mengemukakan bahwa setiap negara dapat memiliki comparative advantage terhadap negara lainnya dengan memproduksi barang yang sama atau tidak perlu spesialisasi produksi karena adanya kemajuan teknologi (Krugman and Venables, 1996; Handerson, 2008).

Berhubungan dengan hal spesialisasi produk, Ricci (1999) dalam penelitiannya mengenai aglomerasi versus spesialisasi menemukan bahwa aglomerasi dalam suatu negara akan mengurangi spesialisasi dalam industri yang

Increasing Return to Scale (IRS). Selanjutnya dikemukakan bahwa keunggulan komparatif menentukan model atau pola spesialisasi. Dimana dalam aktivitas IRS, masing-masing negara akan lebih mengkhususkan pada produksi barang yang memiliki keunggulan komparatif.

Tsakok (1990) mengemukakan bahwa konsep dari keunggulan komparatif dan absolut memang sering membingungkan, namun pada prinsipnya mereka sangat berbeda. Keungguan absolut merujuk pada perbedaan dalam tingkat biaya


(30)

absolut pada produksi suatu negara. Sedangkan keunggulan komparatif merujuk pada perbedaan dalam opportunity cost diantara negara yang melakukan perdagangan. Keunggulan komparatif memiliki dua pengertian. Pertama, pengertian mengenai efisiensi produksi yang membandingkan antara dua atau lebih negara-negara yang melakukan perdagangan. Negara-negara dengan

opportunity cost yang paling rendah adalah relatif lebih efisien dan memiliki keunggulan komparatif. Mereka memiliki biaya keunggulan dibanding dengan produsen lainnya dan memiliki daya saing internasional (internationally competitive). Kedua, pengertian keunggulan komparatif merujuk pada efisiensi dari berbagai jenis produksi di dalam ekonomi domestik, yang dibandingkan pada pendapatan atau simpanan dari setiap unit devisa.

Adapun konsep atau teori keunggulan kompetitif (competitiveness) digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial).

Porter (2008) mengemukakan bahwa competitiveness merupakan suatu konsep yang tidak mudah dipahami, namun dilain pihak arti pentingnya diterima secara luas. Definisi yang paling intuitif mengenai competitiveness adalah share

suatu negara dari pasar dunia untuk produk tertentu. Hal ini membuat

competitiveness sebagai suatu “zero-sum game”, sebab salah satu keuntungan suatu negara datang dari biaya negara lainnya. Gambaran mengenai

competitiveness ini adalah legalisasi tindakan suatu negara untuk intervensi pasar atau disebut juga kebijakan industrial, termasuk kebijakan untuk menyediakan subsidi, menahan upah lokal dan mendevaluasi mata uang suatu negara. Faktanya,


(31)

hal ini masih sering dikatakan bahwa upah yang lebih rendah atau devaluasi akan membuat suatu negara lebih kompetitif.

Untuk dapat mengerti competitiveness, maka harus diawali atau didasari pada sumber-sumber kemakmuran. Standar hidup suatu negara ditentukan oleh produktivitas ekonominya yang diukur dengan nilai barang dan jasa per unit yang diproduksi dari sumberdaya manusia, kapital dan sumberdaya alam suatu negara. Produktivitas tergantung pada nilai produk dan jasa suatu negara yang diukur dengan harga di pasar bebas serta efisiensi. Selain itu competitiveness suatu negara atau wilayah membaik jika negara atau wilayah tersebut mampu meningkatkan kapabilitas produksi mereka yang didorong oleh faktor-faktor : level negara, industri, perusahaan dan individu (Porter, 2008).

Martin et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua belas pilar dari

competitiveness. Pernyataan tersebut dijelaskan pada Gambar 1, dimana walaupun keduabelas pilar competitiveness tersebut digambarkan secara terpisah, namun hal ini tidak mengaburkan fakta bahwa bukan hanya terkait satu dengan lainnya namun keduabelas pilar tersebut cenderung saling menguatkan satu sama lain. Contohnya, inovasi (pilar keduabelas) tidak mungkin ada didunia ini tanpa suatu institusi (pilar pertama) yang menjamin kebebasan intelektual. Dimana hal ini tidak dapat dibentuk pada negara-negara dengan tingkat pendidikan dan kualitas angkatan kerja yang rendah (pilar kelima). Selain itu, tidak akan mendapat tempat dalam ekonomi dengan pasar yang inefisien (pilar keenam, tujuh dan delapan) atau tanpa infrastruktur yang ekstensif dan efisien (pilar kedua). Namun pengaruh pilar-pilar tersebut akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, terutama antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju.


(32)

Sumber : Martin et al. (2008)

Gambar 1. Dua Belas Pilar Competitiveness

Selanjutnya berdasarkan kluster yang terbentuk dari keduabelas pilar tersebut, Porter (2008) menggambarkan tahapan dalam membangun competitiveness seperti terlihat pada Gambar 2.

Sumber: Porter (2008)

Gambar 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness

Tahap factor-driven merupakan faktor kondisi awal seperti biaya tenaga kerja rendah dan sumberdaya alam yang tidak terproses (terolah). Dimana hal tersebut merupakan sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif dan eksport. Perusahaan memproduksi komoditi atau produk yang relatif sederhana. Pada tahap investment-driven, efisiensi dalam memproduksi produk standar dan

Basic requirements • Institutions • Infrastructure

• Macroeconomic stability

• Health and primary education

Efficiency enhancers

• Higher education and training

• Goods market efficiency

• Labor market efficiency

• Financial market sophistication

• Technological readiness

• Market size

Innovation and sophistication factors • Business sophistication

• Innovation Key for Factor-driven economies Key for Efficiency-driven economies Key for Innovation-driven economies Factor-driven economy Investment-driven economy Innovation-driven economy


(33)

jasa menjadi sumber dominan dari keunggulan kompetitif. Sedangkan faktor investasi besar dalam infrastruktur, administrasi negara yang baik, insentif terhadap investasi dan akses yang baik pada kapital menciptakan produktivitas yang baik. Investment-driven economy dikonsentrasikan pada manufaktur dan jasa-jasa eksport. Pada tahap innovation-driven, kemampuan inovasi produk dan jasa menjadi terdepan. Dengan menggunakan beberapa metode lanjutan, maka hal ini menjadi sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif. Institusi dan insentif mendukung inovasi dengan baik. Perusahaan-perusahaan bersaing dengan produk-produk strategis secara global. Pada tahap ini ekonomi memiliki high share dari jasa-jasa dalam ekonomi dan tahan terhadap external shock.

2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

RPPK merupakan salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16.6 persen tahun 2004 menjadi 8.2 persen tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9.7 persen tahun 2004 menjadi 5.1 persen tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6.6 persen per tahun, rasio investasi terhadap PDP harus naik dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 24.4 persen pada tahun 2009 (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00).

Triple Track Strategy tersebut yaitu: (1) stabilisasi ekonomi makro mendukung pertumbuhan 6.6 persen per tahun, (2) menggerakkan kembali sektor riil, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan (3) revitalisasi


(34)

pertanian dan perekonomian pedesaan. Sebagai konsekuensi maka diperlukan kebijakan yang mensinergikan sektor pertanian, industri dan jasa. Berkaitan dengan hal tersebut, Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) ditetapkan sebagai salah satu program pembangunan, dengan maksud:

1. Menegaskan komitmen pemerintah terhadap revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia.

2. Mensosialisasikan arah dan strategi revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia.

3. Memberi arah dan mendorong investasi di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan, baik investasi publik, investasi swasta, maupun investasi masayarakat.

4. Menjadi awal bagi perumusan dan implementasi rangkaian kebijakan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan.

5. Menfasilitasi komunikasi antar petani, nelayan, pengusaha pertanian, investor, pemerintah, akademisi dan stakeholder lainnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara meluncurkan Crash Program Agribisnis pada tahun 2005, dimana salah satunya adalah program revitalisasi komoditas jagung. Pemilihan jagung dengan alasan bahwa kebutuhan Indonesia terhadap jagung mencapai 11 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mencapai 9 juta ton, sedangkan impor jagung setiap tahun mencapai 2 juta ton. Produksi jagung Sulawesi Utara sekitar 140 ribu ton pada tahun 2004, sementara lahan yang potensial untuk pertanaman jagung sebesar 200 ribu hektar. Sehingga


(35)

pemerintah menargetkan 50 ribu hektar diantaranya dapat dikelola secara intensif dengan target produksi 400 ribu ton per tahun. Hal ini diharapkan selain dapat memenuhi permintaan nasional, juga diorientasikan untuk penyediaan bahan baku bagi pabrik pakan ternak yang akan dibangun di Sulawesi Utara dengan kebutuhan sekitar 150 ribu ton per tahun. Disamping itu masyarakat Sulawesi Utara sangat familiar dengan tanaman jagung, hal ini ditunjukkan dengan adanya varietas unggul lokal yang bernama “Manado Kuning” (Manado Post, 10 November 2005).

Secara umum kebijakan dan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan adalah sebagai berikut:

1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta pencapaian skala keekonomian usaha Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (PPK) terutama melalui pengelolaan pertanahan, tataruang dan keagrariaan; fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diluar usahatani diwilayah pedesaan, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi kegiatan produksi PPK, pengembangan infrastruktur, dan pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani-hutan serta pemenuhan hak-hak dasar petani, nelayan dan petani-hutan.

2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK terutama melalui praktek usaha pertanian yang baik (good

agriculture practices), pengembangan usaha baru dan multiproduk,

pengembangan agroindustri pedesaan, pengembangan infrastruktur, pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani hutan, pengembangan dan peningkatan akses terhadap berbagai layanan usaha,


(36)

pengurangan hingga penghilangan berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil. 3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara

berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pengelolaan pertanahan, tata-ruang dan keagrariaan serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi dan kelembagaan yang ramah lingkungan serta penegakkan hukum (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00).

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif terutama untuk komoditas jagung dan padi telah banyak dilakukan di berbagai daerah. Di Sulawesi Utara sendiri pada tahun 1999 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara telah melakukan penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif tanaman pangan di Kabupaten Bolaang Mongondow. Selain itu terdapat pula penelitian-penelitian di daerah lain yang relevan dengan penelitian penulis, seperti hasil penelitian Suryana (1980), Oktaviani (1991), Haryono (1991), Emilya (2001), Anapu et al. (2005) dan Suprapto (2006).

Hasil penelitian BPTP Sulawesi Utara pada tahun 1999 menemukan bahwa tingkat produktifitas minimal masing-masing komoditas tanaman pangan dan holtikultura yang harus dihasilkan untuk berkompetisi dengan jagung adalah berturut-turut kedelai 4 566.04 kg per ha, padi sawah 3 826.6 kg per ha, nenas 2 410.15 kg per ha serta kentang 4 566.04 kg per ha. Rincian nilai tersebut relatif berbeda jauh jumlahnya dikaitkan angka produktifitas riil di lapangan. Demikian


(37)

pula dengan tingkat harga yang ditunjukkan bahwa untuk mampu bersaing dengan harga jagung yang sebesar Rp. 850 per kg pada tahun 1999, maka harga minimal masing-masing komoditas yang harus dihasilkan adalah Rp. 1 761 (padi/ beras), Rp. 2 660 (kentang), Rp. 2 100 (kedelai) serta Rp. 1 109 (nenas) (BPTP Sulawesi Utara, 2000). Realitas dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komoditas-komoditas padi, kedelai dan nenas memiliki tingkat produktifitas serta harga yang mampu bersaing dengan jagung karena tingkat produktifitas dan harga yang cukup kompetitif karena berada di bawah nilai ambang dan tingkat harga riil di lapangan.

Hasil analisis keunggulan komparatif komoditas tanaman pangan dan hortikultura berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa komoditas padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61, jagung (DRCR = 0.53), nenas (DRCR = 0.36), kemudian rasio DRC kentang dan kedelai masing-masing sebesar 0.33 dan 0.19. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa komoditas padi sawah merupakan komoditas tanaman pangan yang memiliki peluang terkecil untuk dimaksimalkan, dilain pihak kedelai memiliki peluang terbesar dari aspek komparatif (BPTP Sulawesi Utara, 2000).

Suryana (1980) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa secara ekonomi berdasarkan hasil analisis DRCR menunjukkan usahatani ubi kayu lebih menguntungkan dibanding usahatani jagung baik di Lampung maupun di Jawa Timur, namun untuk pengembangannya Lampung lebih menguntungkan. Sebaliknya secara finansial usahatani ubi kayu dan jagung lebih menguntungkan jika dilaksanakan di Jawa Timur daripada Lampung.


(38)

Oktaviani (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa kebijakan insentif (kebijakan harga) pada komoditas padi, jagung, kedele dan ubi kayu menyebabkan surplus produsen berkurang. Kebijakan pemerintah berupa subsidi input sebaiknya ditetapkan per wilayah. Pada daerah di luar Jawa, besaran subsidi disesuaikan dengan biaya distribusi agar Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diterima petani produsen sama di tiap wilayah.

Haryono (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa hasil analisis DRCR menunjukkan komoditas kedelai, jagung dan ubi kayu di Propinsi Lampung memiliki keunggulan komparatif, dengan tingkat proteksi efektif (Effective Protection Coefficient) menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap petani produsen kedelai dan jagung sementara petani produsen ubi kayu dirugikan.

Emilya (2001) dalam tesisnya mengemukakan bahwa usahatani padi, kedelai dan jagung di Propinsi Riau memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, dimana yang tertinggi komoditas padi, diikuti kedelai dan jagung.

Suprapto (2006) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa komoditas jagung di Jawa Timur untuk orientasi ekspor memperoleh proteksi dari pemerintah sedangkan komoditas jagung untuk orientasi subtitusi impor dan perdagangan antar daerah tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah.

Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa kebijakan tarif impor menciptakan pemborosan sumberdaya. Usahatani padi tidak efisien ditunjukkan dengan tingkat keuntungan sosial yang negatif. Sebaliknya usahatani kacang tanah memberikan keuntungan sosial yang jauh lebih tinggi dari


(39)

padi. Namun, petani lebih suka menanam padi dengan pertimbangan keamanan pangan keluarga, mengurangi resiko dan mudah memasarkan hasil.

Hasil kajian yang dilakukan Departemen Pertanian (2009) mengenai Peluang Perencanaan Investasi Pertanian Indonesia menunjukkan jenis tanaman pangan jagung dan padi merupakan komoditas unggulan untuk sub sektor tanaman pangan. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi jagung lebih cepat daripada padi, namun laju pertumbuhan areal padi lebih tinggi daripada jagung. Sedangkan laju peningkatan produksi kedua komoditas ini jauh lebih tinggi daripada peningkatan areal tanamnya.

Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di Sulawesi Utara Tahun 2003 – 2005

Komoditas

Tahun Laju

pertumbuhan (%) per tahun 2003 2004 2005

Padi Produksi (ton) 369 930 407 358 432 625 8.2

Luas (ha) 84 385 92 439 94 946 6.1

Jagung Produksi (ton) 144 671 150 128 195 305 16.9

Luas (ha) 65 656 66 196 71 644 4.5


(40)

III. KERANGKA

PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Analisis

Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin pesatnya kemajuan teknologi. Berkaitan dengan itu maka strategi pengembangan pertanian kedepan senantiasa berorientasi kompetisi atas dasar keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini berkaitan erat pula dengan pelaksanaan revitalisasi pertanian di Propinsi Sulawesi Utara yang secara umum diharapkan mencapai tujuan seperti yang diamanatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Sulawesi Utara tahun 2005-2010, yakni peningkatan produktifitas dan produksi pertanian, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja baru, meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan daya saing ekonomi serta melestarikan lingkungan hidup.

Menurut Tsakok (1990) terdapat dua cara untuk mengukur keunggulan komparatif, yaitu : Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (RBSD) dan Net Economic Benefit Ratio (NEBR). Kedua koefisien menggunakan informasi yang sama dalam penggunaan harga dan input, namun DRCR penggunaanya lebih luas dibanding NEBR. Kedua teknik tersebut mensyaratkan bahwa input primer dan antara dalam proses produksi dinilai atau dihitung dalam harga bayangan (shadow prices). Keunggulan komparatif suatu


(41)

komoditi yang diukur dengan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (RBSD) yaitu rasio antara BSD dan harga bayangan nilai tukar uang (V1) sebagai berikut :

dengan catatan jika nilai RBSD suatu komoditi kurang dari satu (RBSD < 1) menunjukkan komoditi tersebut di dalam negeri relatif lebih menguntungkan secara ekonomis dibanding dengan mengimpornya. Dalam penerapan model ini, dipertimbangkan dua jenis harga (riil dan harga bayangan) untuk setiap komponen input dan output. Harga riil merupakan harga ditingkat petani, sementara harga bayangan mengacu pada harga Cost Insurance Freight (CIF) untuk komoditi impor dan harga Free on Board (FOB) untuk komoditi ekspor.

Sedangkan Analisis Keunggulan Kompetitif dapat menentukan sampai seberapa jauh komoditas unggulan mampu bersaing dengan komoditas pembandingnya (pesaing) dimana perlu memperhatikan beberapa kondisi yakni : (1) komoditas pembandingnya adalah komoditas yang umumnya ditanam pada hamparan dan musim yang sama, (2) umur komoditas pembandingnya relatif hampir sama, (3) produksi dan harga komoditas pembandingnya diasumsikan tidak mengalami perubahan (konstan), dan (4) biaya produksi baik komoditas yang dibandingkan maupun komoditas pembandingnya diasumsikan tetap.

Analisis keuntungan kompetitif produksi akan memberi gambaran pada tingkat produksi minimal berapa komoditas yang ditanam petani baru bisa memberikan tingkat keuntungan yang bersaing dengan komoditas pesaingnya. Sedangkan analisis keuntungan kompetitif harga akan memberikan gambaran mengenai tingkat harga minimal yang harus diterima petani, agar komoditas yang


(42)

ditanamnya mampu memberikan keuntungan yang bersaing dengan tanaman pesaingnya (BPTP Sulawesi Utara, 2000).

Pada garis besarnya, tujuan petani berproduksi adalah untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha produksi dari pengelolaaan sumberdaya tanah, tenaga kerja dan modal. Pada kenyataannya, alokasi sumberdaya sektor pertanian yang dilakukan petani untuk kegiatan usahatani belum dilakukan secara optimal.

Dalam usahatani prinsip keunggulan komparatif menjelaskan lokasi produksi pertanian, berbagai jenis tanaman dan ternak dengan syarat-syaratnya yang berbeda, harus diusahakan di daerah-daerah atau pada usahatani yang keadaan fisik serta sumberdaya lainnya secara ekonomi sangat sesuai. Karena itu usahatani dengan sumberdaya yang sangat miskinpun dapat mempunyai keunggulan komparatif untuk beberapa komoditi. Prinsip keunggulan komparatif berlaku untuk wilayah yang luas (dunia, negara) ataupun untuk perbandingan antar usahatani. Prinsip ini sangat mudah diterima oleh setiap orang sehingga sering dilupakan penggunaannya, terutama dalam memilih tanaman untuk daerah-daerah pemekaran (daerah-daerah baru). Terdapat beberapa faktor yang dapat mengubah keunggulan komparatif, diantaranya:

1. Pengembangan pola usahatani baru atau perbaikan teknologi

2. Perubahan biaya produksi dan harga relatif dari berbagai komoditas usahatani 3. Perubahan biaya angkutan seperti yang terjadi bila jalan diperbaiki atau rusak 4. Perbaikan kualitas lahan karena drainase, irigasi dan sebagainya

5. Pengembangan produk substitusi yang lebih murah.

Sehingga setiap daerah dapat memperbaiki posisi ekonominya dengan komoditas tanaman tertentu, ataupun kehilangan posisi ekonominya (Soekartawi et al. 1986).


(43)

Dari kerangka di atas diharapkan akan dihasilkan suatu acuan pengembangan pertanian daerah berdasarkan skala prioritas, selain dapat menjadi andalan pertumbuhan perekonomian daerah, juga akan dapat ditetapkan beberapa komoditas yang dapat memberi kepastian usaha bagi para petani berdasarkan spesifikasi wilayah.

3.2. Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix (PAM) menyediakan informasi untuk membantu pengambil kebijakan di pusat dan daerah terhadap tiga isu sentral dari analisis kebijakan pertanian. Isu pertama adalah apakah sistem pertanian kompetitif di bawah teknologi dan harga-harga yang ada saat ini. Apakah para petani, pedagang dan pengolah memperoleh keuntungan ketika menghadapi harga aktual pasar. Kebijakan harga akan mengubah nilai dari output atau biaya input serta pula profitabilitas privat dalam sistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor. Selain itu PAM juga menyediakan informasi baseline yang penting dan esensial untuk analisis benefit-cost (analisis keuntungan biaya) dari suatu investasi pertanian (Pearson et al.

2005). Selanjutnya model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara bersamaan (Yao, 1997; Emilya, 2001).

Isu yang kedua adalah dampak dari investasi publik pada infrastruktur dalam efisiensi sistem pertanian. Efisiensi diukur dengan profitabilitas sosial, penilaian dari keuntungan dalam efisiensi harga. Kesuksesan investasi publik (pada irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan


(44)

biaya input. Perbandingan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik dapat menjadi tolok ukur peningkatan dalam social profit. Isu yang ketiga (hampir sama dengan komponen isu kedua) adalah dampak dari investasi publik yang baru dalam penelitian pertanian atau teknologi pada efisiensi sistem pertanian. Kesuksesan investasi publik dalam penyediaan benih unggul baru, teknik pertanian, atau teknologi pengolahan akan meningkatkan hasil pertanian atau hasil olahan dan sekaligus meningkatkan penerimaan atau menurunkan biaya-biaya. Perbandingan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik dalam penelitian dapat merupakan tolok ukur perolehan/ keberhasilan dalam social profitability.

Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Tabel 2 memberi gambaran bahwa PAM terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan private price (harga pasar/ aktual) yaitu harga yang diterima petani, baris kedua merupakan perhitungan social price (harga bayangan) yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur biaya maupun hasil, dari dua perhitungan tersebut masing-masing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara private price dengan social price disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis (Monke and Pearson, 1989; Emilya, 2001).


(45)

Setiap matriks memiliki empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input) dan biaya faktor domestik (domestic factors). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/ bibit, peralatan dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al. 2005).

Tabel 2. Policy Analysis Matrix

Uraian Penerimaan (revenue)

Biaya

Profit

Input tradable Faktor

domestik Nilai finansial

(private price) A B C

D = A – B – C Nilai ekonomi

(social price) E F G

H = E – F – G Divergensi/

dampak

kebijakan dan distorsi pasar

I = A – E J = B - F K = C - G L = D – H = I – J – K

Sumber : Monke and Pearson (1989)

Keterangan : D = private profitability; H = social profitability; I = output transfer; J = input transfer; K = factor transfer; L = net transfer

Penggunaan private dan social price dalam matriks PAM menggambarkan bahwa matriks ini mengandung analisis privat dan sosial. Dalam analisis sosial, tinjauan aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan sedangkan pada analisis privat tinjauan aktivitas pelaku ekonomi (individu atau perusahaan) yang berkepentingan langsung dalam kegiatan ekonomi. Matriks PAM menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya.


(46)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah Kabupaten Bolaang Mongondow, yaitu: Poigar, Bolaang, Bolaang Timur, Lolayan dan Lolak. Selanjutnya dari lima kecamatan tersebut diambil masing-masing satu desa, yaitu Desa Nonapan I Kecamatan Poigar, Desa Bolaang Kecamatan Bolaang Timur, Desa Langagon Kecamatan Bolaang, Desa Lolayan Kecamatan Lolayan dan Desa Lolak II Kecamatan Lolak.

4.2. Data dan Sumber Data

Kegiatan penelitian ini lebih terfokus pada kegiatan survei. Dalam survei, data dan informasi dikumpulkan dengan menggunakan daftar kuesioner secara terstruktur dan interview langsung. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani, pedagang pengumpul (desa dan kecamatan), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara dan Bolaang Mongondow, Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi dan Kab. Bolaang Mongondow, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Bolaang Mongondow, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bolaang Mongondow, Bea Cukai, dan Pelindo.


(47)

Data Primer:

1. Input-input tradable dan faktor domestik (non tradable) yang berlaku di Sulawesi Utara.

2. Karakteristik rumahtangga tani 3. Penguasaan aset lahan

4. Kegiatan usahatani : pendapatan, penggunaan faktor-faktor produksi, hasil-hasil yang diperoleh (berhubungan dengan nomor 1)

5. Kegiatan dan karakteristik on farm, off farm dan non farm (berhubungan dengan nomor 1 dan 4).

6. Pemasaran hasil produksi dan pengadaan sarana produksi (berhubungan dengan nomor 1, 4 dan 5).

7. Penentuan harga ditingkat petani

Data Sekunder:

1. Aturan pemerintah mengenai pengusahaan komoditas jagung serta sarana dan prasarana pendukungnya, termasuk ketentuan tentang pajak ekspor – impor, perizinan dan sebagainya.

2. Perkembangan produksi usahatani, volume dan nilai ekspor serta impor selama kurang lebih 5 tahun terakhir (lebih dikhususkan di Propinsi Sulawesi Utara). 3. Perkembangan harga-harga ekspor, harga domesik, pendapatan dan nilai tukar

mata uang negara pengimpor.

4. Pola usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow (masing-masing kecamatan).


(48)

4.3. Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh

Secara garis besar prosedur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Studi pustaka berupa pengumpulan berbagai bahan bacaan baik dari berbagai

buku, makalah, laporan, jurnal, web site serta bahan lain yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Data dan informasi yang diperoleh dalam tahap ini merupakan himpunan data sekunder.

2. Menyangkut kegiatan persiapan pelaksanaan penelitian lapangan. Kegiatan ini mencakup pembuatan daftar kuisioner, diskusi dengan pihak-pihak terkait dan para pakar yang berkaitan dengan kegiatan ini, pengurusan perijinan, pemantapan tim kerja peneliti, serta negosiasi dengan calon responden tentang penetapan waktu penelitian dan wawancara.

3. Pelaksanaan dilapangan, yaitu kegiatan wawancara dengan responden dan observasi lapangan serta pengumpulan data sekunder pendukung. Dalam wawancara, kepada responden diajukan sejumlah pertanyaan sesuai dengan daftar kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan observasi lapangan digunakan untuk menggali data fisik yang diperlukan untuk melengkapi data yang tidak terhimpun dalam kuesioner (berupa wawancara terbuka tanpa kuisioner).

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan potensi pengembangan usahatani jagung berupa tingkat produktivitas serta jarak ke Ibukota Propinsi (Manado) dan kota kabupaten (Kotamobagu). Hal ini penting karena pertimbangan walaupun suatu kecamatan memiliki luas areal tanam maupun panen yang cukup besar namun jika jauh dari pusat-pusat ekonomi daerah, maka akan memperlemah posisi tawar produk yang


(49)

bersangkutan. Usahatani jagung diambil sebagai tolok ukur penentuan lokasi penelitian karena dalam penelitian ini memang fokus utamanya adalah usahatani jagung, sehingga pemilihan lokasi pun disesuaikan dengan daerah sentra pengembangan jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Berdasarkan hal tersebut diperoleh 5 kecamatan dari 12 kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang dapat memenuhi kriteria potensi pengembangan jagung dan jarak ke pusat ekonomi, yaitu Kecamatan Poigar (produktivitas usahatani jagung 3.44 ton per ha per tahun), Bolaang Timur (produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Bolaang (produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Lolak (produktivitas usahatani jagung 3.47 ton per ha per tahun), dan Lolayan (produktivitas usahatani jagung 3.41 ton per ha per tahun), dimana kelima kecamatan tersebut memiliki jarak rata-rata ke ibukota propinsi 50 – 80 km dan ke kota Kotamobagu 10 – 30 km (Badan Pusat Statistik Bolaang Mongondow, 2008).

Pada tiap kecamatan kemudian ditentukan desa-desa sampel dengan rasio sampling sebesar 5 persen, sehingga diperoleh rata-rata satu desa tiap kecamatan yang dapat mewakili sejumlah desa pada masing-masing kecamatan. Selanjutnya desa mana yang akan dijadikan sampel tiap kecamatan ditentukan secara

purposive berdasarkan informasi dan rekomendasi dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan, yaitu Desa Nonapan I (Kecamatan Poigar), Desa Bolaang (Kecamatan Bolaang Timur), Desa Langagon (Kecamatan Bolaang), Desa Lolak II (Kecamatan Lolak) dan Desa Lolayan (Kecamatan Lolayan). Selanjutnya pada tiap desa diambil 20 petani responden yang melakukan kegiatan usahatani utama jagung, sehingga jumlah total responden sebesar 100


(50)

responden. Pengamatan dilakukan di tingkat Rumahtangga Tani (RTT). Penentuan petani sampel dilakukan menurut kriteria acak sederhana. Sedangkan untuk informan kunci seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), aparat desa, dan tokoh masyarakat ditentukan secara sengaja (purposive) dengan maksud untuk mempermudah perolehan informasi yang lebih mendalam dan terarah. Dalam penelitian ini menitikberatkan pengamatan dan pengambilan data pada kegiatan usahatani jagung, disamping itu sebagai pembanding digali pula informasi mengenai usahatani lain yang juga dilakukan di lahan petani yang bersangkutan.

4.4. Metode Analisis

Dalam penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan. Dimana dalam PAM dapat diketahui besaran/ rasio keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) serta dampak dari kebijakan, singkatnya perhitungan dapat dilakukan secara menyeluruh serta sistematis (output merupakan keuntungan privat dan sosial, efisiensi serta besaran insentif intervensi pemerintah pada produsen, konsumen dan pedagang pengumpul).

Metode analisis PAM tidak hanya digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (keuntungan sosial) tapi juga mengukur dampak intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi (dalam hal ini usahatani jagung dan padi). Policy Analisis Matrix juga dapat digunakan untuk menganalisis kegiatan usahatani sebagai suatu sistem, termasuk di dalamnya pasca panen, pengolahan dan pemasaran.


(51)

Tahapan penggunaan metode PAM dalam penelitian ini adalah: 1. Identifikasi input dan output secara lengkap dari usahatani jagung dan padi 2. Menentukan harga bayangan dari input dan output usahatani jagung dan padi 3. Memisahkan unsur biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik

4. Menghitung penerimaan usahatani jagung dan padi

5. Menghitung dan menganalisis berbagai indikator keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan Tabel PAM.

Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM untuk usahatani jagung dan padi dihitung dalam periode satu siklus produksi (dua musim tanam dalam setahun). Dari data tersebut selanjutnya dianalisis berbagai indikator sebagai berikut:

A. Analisis Keuntungan

1. Private Profitability : D = A – (B + C). Keuntungan privat merupakan

indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D > 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.

2. Social Profitability : H = E – (F + G). Keuntungan sosial merupakan

indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.


(52)

B. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

1. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F). Nilai DRCR

merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga sosial. Jika DRCR > 1 maka sistem komoditi tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sehingga memboroskan sumberdaya domestik yang langka. Sebaliknya jika DRCR < 1 dan atau lebih kecil lagi, maka sistem komoditi makin efisien dan memiliki daya saing tinggi (keunggulan komparatif) serta mampu hidup atau berkembang tanpa bantuan dan intervensi pemerintah disamping memiliki peluang ekspor yang lebih besar.

2. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A – B). Nilai PCR menjelaskan berapa banyak sistem komoditi dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Sehingga suatu usahatani komoditi akan lebih kompetitif jika nilai D > 0 atau nilai C (harga privat faktor domestik) < (A – B). Keuntungan maksimal akan diperoleh dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila PCR < 1 dan atau nilainya lebih kecil, maka artinya sistem produksi suatu usahatani mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuannya semakin meningkat atau memiliki keunggulan kompetitif.

C. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output

1. Output Transfer : OT (I) = A-E : Transfer output merupakan selisih antara

penerimaan yang dihitung atas harga finansial (private) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial. Nilai OT


(53)

menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. Dalam pengertian masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya jika OT < 0 (negatif).

2. Nominal Protection Coefficient on Output : NPCO = A/E : merupakan rasio

penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. NPCO menunjukkan dampak kebijakan (kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan sosial terhadap harga output. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1 atau dengan kata lain pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga efisiensinya (harga dunia), dan sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika NPCO < 1.

b. Kebijakan Input

1. Input Transfer : IT (J) = B – F : Transfer input adalah selisih antara biaya

input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT > 0 (positif), menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian juga sebaliknya, atau dengan kata lain menunjukkan


(54)

besarnya transfer (insentif) dari produsen ke pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor.

2. Nominal Protection Coefficient on Input: NPCI = B/F : indikator yang

menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini dapat pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. Sebaliknya jika NPCI > 1 artinya pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik diatas harga efisiensinya. Hal ini membawa implikasi sektor yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi.

3. Factor Transfer : FT (K) = C – G : Transfer faktor merupakan nilai yang

menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada

input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan negatif). Jika nilai FT > 0 atau positif, artinya terdapat transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable, atau dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif, demikian juga sebaliknya, jika negatif atau FT < 0 maka kebijakan lebih berpihak pada petani.


(1)

Lampiran 4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten

Bolaang Mongondow Tahun 2008

No. Input Satuan Jml Fisik (rata-rata)

Harga Privat (Rp)

Harga Sosial

(Rp)

Finansial (Rp)

Ekonomi (Rp)

A. Tradable input

1 Benih Padi kg/ha 148.45 2 734

2 545 405 792 377 841

2 Urea kg/ha 199.75 1 476 4 259 294 730 850 729

3 Ponska kg/ha 103.19 2 505 5 000 258 467 515 942

4 Herbisida l/ha 3.48 72 104 72 104 251 048 251 048

5 Pestisida cair l/ha 0.87 66 882 66 882 58 115 58 115

B Faktor Domestik

B.1 Tenaga kerja

1 Olah tanah I (manusia) :

a. dalam keluarga HOK 4.05 14 500 11 600 58 750 47 000 b. luar keluarga HOK 28.19 36 214 28 971 1 020 790 816 632

2 Olah tanah I (ternak) :

a. dalam keluarga HTK 3.33 35 000 35 000 116 667 116 667 b. luar keluarga HTK 2.75 87 308 87 308 240 096 240 096 3 Olah tanah I (traktor) HTK 1.89 152 937 152 937 289 487 289 487

4 Olah tanah II (manusia) :

a. dalam keluarga HOK 2.58 15 833 12 667 40 903 32 722 b. luar keluarga HOK 5.00 41 429 33 143 207 143 165 714

5 Olah tanah II (ternak) :

a. dalam keluarga HTK 5.00 35 000 35 000 175 000 175 000 b. luar keluarga HTK 3.13 61 667 61 667 192 708 192 708 6 Olah tanah II (traktor) HTK 1.57 107 024 107 024 168 180 168 180

7 Garu I (manusia) :

a. dalam keluarga HOK 1.76 15 000 12 000 26 413 21 130 b. luar keluarga HOK 2.88 38 750 31 000 111 406 89 125

8 Garu I (ternak) :

a. dalam keluarga HTK 1.73 13 333 13 333 23 077 23 077 b. luar keluarga HTK 1.71 60 577 60 577 103 846 103 846

9 Garu II (manusia) :

a. dalam keluarga HOK 2.07 16 429 13 143 34 031 27 224 b. luar keluarga HOK 2.00 42 500 34 000 85 000 68 000

10 Garu II (ternak) :

a. dalam keluarga HTK 1.56 10 000 10 000 15 625 15 625 b. luar keluarga HTK 1.75 84 167 84 167 147 292 147 292 11 Garu II (traktor) HTK 2.00 50 000 50 000 100 000 100 000

12 Penanaman :

a. dalam keluarga HOK 1.50 14 780 11 824 22 131 17 705 b. luar keluarga HOK 7.22 37 474 29 979 270 507 216 406

c. Ternak (bajak/ larik)) HOK 0 0 0 0 0

13 Sulam :

a. dalam keluarga HOK 1.62 17 308 13 846 27 959 22 367 b. luar keluarga HOK 4.75 46 250 37 000 219 688 175 750

14 Penyiangan 1 & 2:

a. dalam keluarga HOK 5.11 14 881 11 905 76 058 60 847 b. luar keluarga HOK 9.37 38 329 30 663 359 160 287 328


(2)

No. Input Satuan (rata-rata) Jml Fisik Privat (Rp) Harga

Harga Sosial

(Rp)

Finansial (Rp)

Ekonomi (Rp)

15 Pemupukan 1 & 2:

a. dalam keluarga HOK 1.38 16 250 13 000 22 452 17 961 b. luar keluarga HOK 1.89 40 000 32 000 75 714 60 571 16 Pengendalian H&P HOK 2.30 25 560 25 560 58 848 58 848

17 Panen & rontok:

a. dalam keluarga HOK 1.65 15 760 12 608 25 937 20 750 b. luar keluarga HOK 11.25 48 894 39 115 550 001 440 001

17 Jemur padi:

a. dalam keluarga HOK 3.53 14 796 11 837 52 239 41 791 b. luar keluarga HOK 4.40 35 600 28 480 156 640 125 312

18 Pengangkutan

a. dalam keluarga HOK 2.17 15 000 12 000 32 500 26 000 b. luar keluarga HOK 5.90 28 607 22 885 168 779 135 023 c. Roda sapi HTK 1.39 114 747 114 747 159 950 159 950

d. Lainnya (mobil &

bentor) HTK 0 0 0 0 0

B.2 Sewa lahan ha 1.12 1 539 083

1 539

083 1 717 528 1 717 528

B.3 Pajak Lahan tahun/ha

B.3 Modal

1 Suku bunga modal Rp 3 664 585 25 persen

9.25

persen 916 146 338 974 2 sewa alat rontok Rp/unit 1.00 413 954 413 954 413 954 413 954

B4 Penyusutan alat:

a. sekop 1.00 17 831 17 831 17 831 17 831

b.cangkul 1.00 18 079 18 079 18 079 18 079

c.parang 2.00 24 403 24 403 48 807 48 807

C Produksi (gabah) kg/ha

C Produksi (beras) kg/ha 2 765.57 4 956 4 614 13 705 580 12 761 552

Hasil Penjualan (Revenue) Rp 13 705 580 12 761 552

Total Input tradable Rp 1 268 152 2 053 675

Total Faktor Domestik :

a. Tenaga Kerja Rp 5 434 977 4 706 137

b. Modal Rp 1 330 101 752 929

c. Penyusutan alat Rp 84 717 84 717

d. Lahan Rp 1 717 528 1 717 528

pendapatan bersih (blm

masuk lahan) Rp 5 587 634 5 164 095

pendapatan bersih (masuk

lahan) Rp 3 870 106 3 446 567

RC-ratio (di luar lahan) 1.69 1.68


(3)

Lampiran 5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang

Mongondow

Uraian

Revenue

(Rp)

Input tradable

(Rp)

Faktor Domestik/

non

tradable

(Rp)

Profit

(Rp)

Tenaga Kerja

Lahan &

Modal

Privat

9 160 790.63

2 135 557.29

4 560 657

2 245 650

218 926

Sosial

12 176 832.45

3 355 376.11

3 962 836

1 812 683

3 045 938

Divergensi

- 3 016 041.83

- 1 219 818.82

597 821

432 968 (-)2 827 011

Parameter Nilai

1. Privat Profitability (PP)

Rp 218 926

2. Social Profitability (SP)

Rp 3 045 938

3. Output Transfer (OT)

Rp - 3 016 041.83

4. Input Transfer (IT)

Rp - 1 219 818.82

5. Factor Transfer (FT)

Rp 1 030 788.26

6. Net Transfer (NT)

Rp - 2 827 011

7. Private Cost Ratio (PCR)

0.97

8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)

0.65

9. Nominal Protection Coefficient (NPC) :

a. On Tradable Outputs (NPCO)

0.75

b. On Tradable inputs (NPCI)

0.64

10. Effective Protection Coefficient (EPC)

0.80

11. Profitability Coeficient (PC)

0.07

12. Subsidy Ratio to Producers (SRP)


(4)

Lampiran

6.

Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang

Mongondow

Uraian

Revenue

(Rp)

Input tradable

(Rp)

Faktor Domestik/

non

tradable

(Rp)

Profit

(Rp)

Tenaga Kerja

Lahan &

Modal

Privat

13 705 580.09

1 268 151.97

5 434 977

3 132 345

3 870 106

Sosial

12 761 551.72

2 053 674.92

4 706 137

2 555 173

3 446 567

Divergensi

944 028.37

- 785 522.96

728 840

577 172

423 539

Parameter Nilai

1. Privat Profitability (PP)

Rp 3 870 106

2. Social Profitability (SP)

Rp 3 446 567

3. Output Transfer (OT)

Rp 944 028.37

4. Input Transfer (IT)

Rp - 785 522.96

5. Factor Transfer (FT)

Rp 1 306 012.31

6. Net Transfer (NT)

Rp 423 539.02

7. Private Cost Ratio (PCR)

0.69

8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)

0.68

9. Nominal Protection Coefficient (NPC) :

a. On Tradeble Outputs (NPCO)

1.07

b. On Tradeble inputs (NPCI)

0.62

10. Effective Protection Coefficient (EPC)

1.16

11. Profitability Coeficient (PC)

1.12

12. Subsidy Ratio to Producers (SRP)


(5)

Lampiran 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007

No Komoditi

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Volume

(kg)

Nilai (US $)

Volume (kg)

Nilai (US $)

Volume (kg)

Nilai (US $)

Volume (kg)

Nilai (US $)

Volume (kg)

Nilai (US $)

Volume (kg)

Nilai (US $)

1. Jagung 7 500 1 500 125 659 10 073 400 785 33 317 0 0 0 0 2 000 000 476 891

2. Panili 2 970 193 050 3 000 214 990 0 0 4 777 1 109 484 7 499 175 822 19 957 357 093 3. Minyak kelapa 260 669 965 103 477 040 173 750 834 78 533 352 28 832 065 14 669 109 223 081 808 30 642 645 222 188 393 142 606 709 362 739 628 273 242 131 4. Karbon aktif 1 437 347 667 676 2 125 440 594 368 120 000 61 038 3 139 257 1 117 760 1 767 234 1 767 234 2 692 592 1 995 547 5. Arang tempurung 3 779 598 359 283 3 564 036 345 043 272 000 34 476 2 739 523 390 642 6 755 529 656 059 7 831 903 876 922 6. Tepung kelapa 13 896 471 19 282 632 9 757 773 6 731 551 1 627 643 1 077 604 14 476 290 15 316 656 7 086 559 4 952 121 6 497 961 6 396 427 7. Bungkil kopra 104 546 407 6 951 147 51 241 500 3 290 707 17 782 934 1 495 019 63 789 337 10 027 685 125 557 032 13 353 483 121 143 419 13 427 629 8. Kopra 21 466 729 4 424 516 16 722 601 2 549 960 2 200 000 717 464 78 738 547 11 671 141 29 798 458 6 060 830 7 830 000 3 592 909 9. Pala 1 470 635 8 882 028 1 104 178 4 784 201 103 195 439 735 1 394 568 5 159 232 2 721 552 11 035 611 1 331 608 6 934 911 10. Fuli 233 288 1 238 935 198 954 1 029 823 26 010 131 961 219 056 1 085 983 488 959 2 651 015 215 650 1 349 241 11. Ikan kaleng 11 344 660 15 693 469 12 061 921 103 343 064 1 736 398 2 732 757 5 563 787 9 004 886 3 247 059 6 084 368 13 732 573 32 979 383 12 Ikan segar 19 866 801 1 173 293 4 413 787 10 582 404 1 076 453 558 021 4 659 125 2 623 750 8 171 595 2 570 815 8 386 122 2 159 012 13. Ikan beku 37 412 960 37 470 987 37 838 765 26 362 316 22 027 375 12 352 858 79 519 618 32 885 193 16 089 767 9 041 431 19 853 002 10 940 026 14. Rumput laut 996 559 396 071 712 629 240 681 63 400 34 870 38 163 24 806 78 344 48 573 60 000 52 621 15. Ikan kayu 2 098 663 6 580 515 1 431 470 4 335 380 552 304 1 990 743 10 442 467 18 728 440 2 194 407 11 063 877 2 791 227 10 690 978 16. Lain-lain 42 454 111 74 182 835 194 422 892 81 627 243 469 337 098 310 650 870 267 725 623 251 546 486 378 072 468 230 393 654 23 286 025 164 910 067 Total 521 684 662 280 974 980 509 475 427 324 575 156 546 157 658 346 979 842 755 531 945 391 334 788 804 224 857 442 461 604 580 411 667 530 381 787

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara (2009)


(6)

Lampiran 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi Penelitian

Usahatani

Bulan

Januari Pebruari Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus September Oktober November Desember

Jagung

Bera

Bera

MT I

MT I

MT I

panen

Bera

Bera

MT II

MT II

MT II

panen

Padi MT

I

MT I/

panen

Bera

Bera

MT II

MT II

MT II

MT II/

panen

Bera

Bera

MT I

MT I

Keterangan:

MT =

Musim Tanam