Kerangka Pemikiran The utilization and development strategy of demersal fisheries in Sibolga, North Sumatera Province

pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep ”hasil maksimum lestari” Maximum Sustainable Yield atau juga disebut dengan ”MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 empat faktor utama, yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya resource oriented yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan fisheries oriented, apalagi berorientasi pada manusia social oriented. Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan ”Maximum Sustainable Yield” telah mendapat tantangan yang cukup berat, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian ”yield” yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah ”diminishing return” yang menunjukkan bahwa kenaikan ”yield” akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan ”effort” Lawson, 1978. Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan ”Maximum Economic Yield” atau lebih popular dengan ”MEY”. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Selanjutnya hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep ”Optimum Sustainable Yield” OSY, sebagaimana dikemukakan oleh Lawson, 1984. Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep ”MSY”, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian, besaran dari ”OSY” adalah lebih kecil dari ”MSY” dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Total Allowable Catch” TAC. Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya adalah : 1 Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan; 2 Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar; 3 Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikantahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikantahun 63,49. Dengan demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zona penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya over fishing.

2.2 Sumberdaya Ikan Demersal

Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan dan umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Berdasarkan urutan nilai komersialnya, ikan demersal dapat dibagi menjadi empat kelompok utama, yaitu: 1 komersial utama, seperti: ikan kakap merah, kerapu, bawal putih, manyung dan janaha; 2 ikan komersial kedua, seperti: ikan layur, bawal hitam, kurisi, baronang, gerot-gerot, kuro, pari dan ketang-ketang; 3 komersial ketiga, seperti: ikan beloso, mata merah, pepetek, kuniran, besot, gabus laut, sidat dan lain lain; 4 ikan campuran, seperti: ikan lidah, sebelah, kapas-kapas, serinding dan lain-lain Simbolon, 2011. Keberadaan sumberdaya ikan demersal dalam pembangunan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar. Apabila potensi sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara optimal maka akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan pendapatan nelayan maupun bagi pembangunan. Pada umumnya komoditas sumberdaya ikan demersal bernilai ekonomis penting. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan eksploitasi yang intensif pada wilayah tertentu, yang apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang bersangkutan Badrudin, 2006. Dari 9 wilayah pengelolaan sumberdaya ikan demersal, 5 wilayah pengelolaan telah mengalami kelebihan tangkap over exploited yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, 3 wilayah pengelolaan masih berada pada tangkapan rendah under exploited yaitu Laut China Selatan, Laut Seram dan Samudera Pasifik, dan satu wilayah tangkap penuh fully exploited yaitu Laut Arafuru. Sumberdaya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun produktiviktas berbeda menurut perairan. Di Laut Jawa Badrudin at al., 1998 dalam Mallawa, 2006 misalnya terdapat kurang lebih 100 jenis ikan demersal ekonomis penting yang termasuk kedalam 20 famili. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain : kakap merahbambangan Lutjanidae, manyung Ariidae, gerot-gerot Pomadasyidae, kurisi Nemipteridae, beloso Synodontidae, kuniran Mullidae, layur Trichiuridae, pepetek Leiognathidae, dan bawal putih Stromateidae.

2.2.1 Ikan kakap merah Lutjanus malabaricus

Ikan kakap merah memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Lutjanidae, Genus: Lutjanus dan Spesies: Lutjanus malabaricus. Ikan kakap merah hidup di laut dan lingkungan yang berasosiasi dengan terumbu karang dan biasanya mendiami perairan dengan kedalaman 9 – 90 m. Ciri-ciri fisik yang dimiliki antara lain: memiliki sirip punggung yang berjumlah 10 buah dengan duri lunak sirip punggung berjumlah 13-14 buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan duri lunak sirip dubur sebanyak 8-9 buah, hidung agak meruncing, profil bagian punggung dari kepala menurun tajam. Pada umumnya ikan kakap merah berwarna merah terang atau merah muda pada waktu segar dengan lebih intens pigmen pada bagian belakang, sirip merah atau orange, juvenile dibawah 10 cm memiliki ujung sirip caudal yang kehitaman, sering kali juga sebuah tanda kehitaman agak melengkung ditengah sirip caudal, kadang kala juga dengan garis lateral ditengah yang berwarna kekuningan mulai dari sisi operculum hingga bagian tengah sirip caudal. Biasanya hidup soliter atau dalam kelompok kecil. Kakap merah merupakan ikan konsumsi dengan harga yang tinggi Froese dan Paully, 2011.

2.2.2 Ikan kakap putih Lates calcarifer

Ikan kakap putih merupakan ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam euryhaline. Ikan kakap putih termasuk dalam Kingdom: Animalia , Filum: Chordata, Subfilum: Vertebrata, Kelas: Pisces, Subkelas: Teleostei, Ordo: Percomorphi, Famili: Centroponidae, Genus: Lates, Spesies: Lates calcarifer. Ikan kakap putih dewasa akan bermigrasi kearah muara untuk melakukan pemijahan. Ciri-ciri fisik ikan kakap putih yaitu memiliki sirip punggung sebanyak 7-9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak 10-11 buah, memiliki sirip anus sebanyak 3 buah dengan sirip anus lunak sebanyak 7-8 buah dengan bentuk badan memanjang, mulut besar, rahang atas terdapat dibelakang mata Froese dan Pauly 2011. 2.2.3 Ikan kerapu sunu Plectropormus leopardus Ikan kerapu sunu biasanya memakan jenis-jenis ikan, krustacea dan jenis cumi-cumi. Ikan ini memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Serranidae, Genus: Plectropomus, Spesies: Plectropomus leopardus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang yang umum ditemukan 35 cm dengan panjang at first maturity pada rentang 21-60 cm. Ikan kerapu sunu biasanya hidup pada kedalaman 3-100 m. Ciri-ciri yang dimiliki ikan ini antara lain: memiliki sirip punggung berjumlah 7-8 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak 10-12 buah, sirip dubur sebanyak 3 buah dengan dirip dubur lunak sebanyak 8 buah. Ikan ini berwarna kuning langsat sampai coklat kemerahan Froese dan Pauly 2011.

2.2.4 Ikan kuwe Caranx sexfasciatus

Ikan kuwe atau yang lebih dikenal dengan nama blue fin treavllyu termasuk ikan dasar dari golongan predator yang banyak ditemui pada daerah disekitar terumbu karang. Ikan kuwe memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes , Subordo: Percoidei, Superfamili: Percoidea, Famili: Carangidae, Genus: Caranx , Spesies: Caranx sexfasciatus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang umum 60 cm. Ikan kuwe hidup pada iklim 26 o C -29 o C. Ikan yang aktif mencari makan pada malam hari ini biasanya memakan jenis ikan dan krustacea. Ikan ini biasanya memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: memiliki sirip punggung berjumlah 9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak 19-22 buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan sirip dubur lunak sebanyak 14-17 buah. Tubuh berwarna-warni mulai dari hijau muda bagian punggung dan bagian bawah berwarna putih keperakan dengan sirip dada melengkung lancip Froese dan Pauly 2011.

2.3 Pengembangan Perikanan

Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik Bahari 1989 dalam Pulu, 2011. Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang lebih baik atau dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Prioritas kebijakan pengembangan perikanan khususnya untuk komoditas sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dimasing-masing daerah akan berbeda-beda. Aspek yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu jenis teknologi penangkapan ikan antara lain: 1 jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya; 2 secara teknis efektif digunakan; 3 secara sosial dapat diterima masyarakat dan nelayan dan; 4 secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia. Aspek terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam melaksanakan kegiatannya. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap Sparre dan Vanema 1999. Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang yang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi high risk mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan collateral yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil untuk memperoleh pinjaman. Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001 yaitu: 1 Mikroteknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pengembangan armada perikanan tangkap, 2 Makro-struktural kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomi- makro, politik, hukum, maupun kelembagaan . Masalah Mikroteknis meliputi : 1 Tingkat kemiskinan nelayan yang tinggi Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.